Seminggu setelah misteri tentang Saira terpecahkan, seseorang mengetuk pintu kantorku –Magisa.
Dia sudah tidak mengenakan kaca mata dan kawat Magisa yang membuatnya seperti gadis culun dan kutu buku. Aku tidak menyangka ia merubah penampilannya sejak keluar dari rumah sakit. Dengan mengenakan pakaian bebas, ia mendatangiku untuk mengajakku pergi bersamanya.
“Kamu mau tau apa yang sebenarnya yang Saira dan teman-temannya lakukan di luar?” tanya dia.
Dia belum menceritakan garis besarnya waktu di rumah sakit tapi itu tidak mengurangi keingintahuanku yang besar. Aku memang ingin melihatnya sendiri. Saat itu aku masih berharap juga bisa melihat Saira. Magisa telah memanipulasi sebuah rahasia besar dari kelompok gadis-gadis yang ingin mengatasi masalah yang mereka alami dengan melihat keluar dari kotak di mana mereka hidup. Mereka melihat ke depan untuk menjadi
Di satu malam setelah kejadian-kejadian itu aku bermimpi. Aku melihat Saira dengan bunga matahari menghiasi kepalanya dan iaberjalan di atas pasir menuju matahari terbenam, menyongsong ombak di pinggiran pantai. Di tangannya iamenggenggam setangkai bunga matahari,. “Saira!” aku menyerukan namanya dan ia menoleh lalu tersenyum padaku. Tapi, ia terus berjalan dan aku terpaku di tempat yang sama menyaksikan ia perlahan menjauh lalu tenggelam. Langit tiba-tiba menjadi hitam. Saat akhirnya aku bisa mengejarnya, ia telah mengilang. Ketika terbangun, aku berpikir untuk mendatangi Teluk Jakarta sekali lagi. Para gadis matahari akan menghanyutkan permohonan mereka setiap senja menjelang. Tapi yang kutemukan hanya gadis lain yang tidak diharapkan. Magisa. Dia tengah menghanyutkan permohonanya dalam sebuah botol bers
Dua tahun tahun kemudian…. Warna kota telah berubah. aku kira mungkin aku tidak akan kembali tinggal di Jakarta karena seluruh kehidupanku berada di Sydney setelah kembali ke ayahku dan terjebak dalam dunianya. Dulu, aku pikir Magisa akan setuju untuk tinggal di Australia selamanya mendampingiku. Awalnya, Magisa telah merencanakan semuanya. Dimulai dari pernikahan, di mana kami akan tinggal, bagaimana kami membagi waktu untuk bertemu karena saat itu ia masih berjuang demi gelar sarjana di jurusan arsitektur dan kesibukanku di kantor, lalu turunan dari semua itu adalah anak-anak. Kami membutuhkan rumah yang besar untuk membesarkan beberapa orang anak nantinya. Tapi, tahun berlalu, di rumah sebesar itu selalu hanya kami yang tinggal berdua. Anak-anak yang selalu kami impikan untuk meramaikan suasana tidak pernah datang. Mereka tidak akan pernah datang dalam k
Magisa mengeluarkan isi kopernya lalu mulai mencari sesuatu; sebuah jaket tebal. “Nggak ada selimut jaket pun jadi,” kata dia, entah mengapa masih terlihat riang di malam selarut ini dan aku sudah menguap berkali-kali sejak tadi. Magisa mulai menyusun baju-bajunya sebagai alas tidur di sudut ruangan. Dia melemparku sebuah jaket berbulu miliknya yang berwarna merah maroon. Serius dia menyuruhku tidur di lantai hanya dengan selimut beralaskan tumpukan baju-baju di antara koper kami? Aku menggeleng, menolak memakai jaket itu. Magisa mendengus. “Lantainya dingin, kalau kamu nggak mau masuk angin lebih baik dipakai,” dia memperingatkan. Aku membuka lipatan jaket merah marun Magisa yang berbulu-bulu itu. “Ini?” aku meyakinkannya sekali lagi bahwa aku tidak mau memakai jaket perempuan dan warnanya merah pula.
Semuanya sudah berubah. Aku tidak tahu di mana gadis itu berada. Kenapa aku masih saja merasa bersalah? Aku sudah berusaha sekuat tenaga bukan? Tapi, tetap saja aku tidak bisa menemukannya. Seolah dia ditelan bumi. Kenapa dia bisa hadir di dalam mimpiku? “Kamu mikirin apa sih?”, Magisa memelukku sambil menyandarkan seluruh tubuhnya di punggungku. “Pasti pikiran kamu sudah sampai di Sydney, ya ‘kan?” Aku hanya tersenyum. “Aku kan udah bilang, kalau kamu mau balik nggak apa-apa. Toh rumah kita udah jadi. Kamu udah bantuin aku menyusun perabotan,” ujar dia. “Tapi, sekali aku pergi, susah untuk kembali ke sini. Sekali pun itu demi kamu...,” kataku sedikit sedih. Lalu menoleh. Perhatianku kemudian tertuju pada sesuatu yang berada di tengah-tengah ruangan kami. Maket gedung yang dibuat oleh Magisa untuk klien pertamanya. Sudah ha
Sydney, Australia.... Kenyataannya Saira tidak pernah kembali untuk membalas. Jika dia ingin kembali, sudah pasti dia muncul dan mengacaukan kami. Tapi, yang aku tahu Saira bukan seorang pengacau. Betapapun berantakannya dia, dia tidak pernah membalas kejahatan dengan cara menghancurkan orang lain. Aku tahu itu. Lagipula enam tahun adalah waktu yang lama. Sebagaimana aku telah melupakannya, mungkin dia juga sudah menemukan kebahagiaannya. Bisa saja saat ini, dia menjadi model majalah di tempat lain dan terkenal. Atau tengah menikmati indahnya ladang bunga matahari di satu negara. Entah. Dia bukan lagi gadis kecil yang membenci orang dewasa karena saat ini pun dia sudah dewasa. Atau barangkali telah menikah dan memiliki seorang anak; bisa jadi beberapa anak. Aku tersenyum kepada bunga matahari yang hampir layu di dalam vas besardi tengah-tengah k
Aku mengendarai Cadillac-ku menuju rumah Reggina dan Beatrize untuk acara makan malam sebelum berangkat ke Indonesia. “Kamu sama sekali belum bilang Magisa?” Beatrize bertanya. Ia sedang sibuk menyiapkan makan malam untuk kami selagi Reggina belum pulang. “Surprise,” jawabku sambil menghampiri untuk melihat apa yang bisa kubantu untuk makan malam spesial kami. Beatrize tersenyum, sementara tangannya sibuk mencincang daging. Dia ingin membuat pie daging dan sup kacang polong. Aku bisa melihat semua bahan sudah disiapkan di atas meja oleh Winnie, pengurus rumah tangga. “Kamu mau Pavlova?” tanya Beatrize padaku. “Ya,it would be nice. Satu bulan di Jakarta aku sering makan mie cup instan,
Saira hanya memandangi kaleng soda itu tanpa menyentuhnya sama sekali. Bukankah minuman itu yang dia inginkan di Walmart? Dia masih menatapku dengan wajah muram dan merengut. Sejak aku mengajaknya untuk singgah di restoran terdekat dan duduk untuk sekedar bicara; dia belum mengucapkan sesuatu. “Ngapain kamu di Australia?” tanyaku menatapnya, memperhatiiikaaannn raut wajahnya. “Sejak kapan?” “Sejakenam tahunyang lalu. Memangnya kenapa?” balas dia, agak ketus tanpa merubah raut wajah masam itu. Dia tampak tak ingin berlama-lama denganku karena dia sendiri tampak gelisah; sambil menggoyang-goyangkan lututnya, menatap ke sana ke mari kecuali ke arahku dan dia beberapa kali menengadah seperti sedang menanggul air mata dengan cekungan yang dalam pada kedua matanya. Agaknya dia benar-benar terpaksa menghadapiku. “Enam tahun?” ba
Dia berjalan lagi seolah kaki-kakinya yang kurus tidak pernah merasa lelah. Padahal dia juga tidak punya tujuan pasti. Katanya selain tidak punya uang juga tidak punya tempat tinggal. Siapa yang menelantarkannya? Saira tidak pernah menjawab dengan pasti. Dia hanya berkata ingin pulang. Namun, ada yang aneh saat aku memperhatikan langkahnya yang ringan. Sesekali tampak Saira menghirup udara setiap angin bertiup. Entah. Aku melihatnya seperti seekor burung yang baru saja lepas dari sangkarnya dan terbang bebas. Sejak meninggalkan restoran dengan perut kenyang, dia sedikit lebih ceria walaupun masih menghindari banyak pertanyaan dariku. Selain itu juga dia masih enggan memulai percakapan. Cahaya matahari semakin berkurang intensitasnya. Aku mungkin melewatkan makan malam di rumah sebagaimana aku mengabaikan telpon dari Mum dan Magisa. Aku mengikuti langkah Saira seakan takut ini akan menjadi t
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp