Aku mengendarai Cadillac-ku menuju rumah Reggina dan Beatrize untuk acara makan malam sebelum berangkat ke Indonesia.
“Kamu sama sekali belum bilang Magisa?” Beatrize bertanya. Ia sedang sibuk menyiapkan makan malam untuk kami selagi Reggina belum pulang.
“Surprise,” jawabku sambil menghampiri untuk melihat apa yang bisa kubantu untuk makan malam spesial kami.
Beatrize tersenyum, sementara tangannya sibuk mencincang daging. Dia ingin membuat pie daging dan sup kacang polong. Aku bisa melihat semua bahan sudah disiapkan di atas meja oleh Winnie, pengurus rumah tangga.
“Kamu mau Pavlova?” tanya Beatrize padaku.
“Ya, it would be nice. Satu bulan di Jakarta aku sering makan mie cup instan,
Saira hanya memandangi kaleng soda itu tanpa menyentuhnya sama sekali. Bukankah minuman itu yang dia inginkan di Walmart? Dia masih menatapku dengan wajah muram dan merengut. Sejak aku mengajaknya untuk singgah di restoran terdekat dan duduk untuk sekedar bicara; dia belum mengucapkan sesuatu. “Ngapain kamu di Australia?” tanyaku menatapnya, memperhatiiikaaannn raut wajahnya. “Sejak kapan?” “Sejakenam tahunyang lalu. Memangnya kenapa?” balas dia, agak ketus tanpa merubah raut wajah masam itu. Dia tampak tak ingin berlama-lama denganku karena dia sendiri tampak gelisah; sambil menggoyang-goyangkan lututnya, menatap ke sana ke mari kecuali ke arahku dan dia beberapa kali menengadah seperti sedang menanggul air mata dengan cekungan yang dalam pada kedua matanya. Agaknya dia benar-benar terpaksa menghadapiku. “Enam tahun?” ba
Dia berjalan lagi seolah kaki-kakinya yang kurus tidak pernah merasa lelah. Padahal dia juga tidak punya tujuan pasti. Katanya selain tidak punya uang juga tidak punya tempat tinggal. Siapa yang menelantarkannya? Saira tidak pernah menjawab dengan pasti. Dia hanya berkata ingin pulang. Namun, ada yang aneh saat aku memperhatikan langkahnya yang ringan. Sesekali tampak Saira menghirup udara setiap angin bertiup. Entah. Aku melihatnya seperti seekor burung yang baru saja lepas dari sangkarnya dan terbang bebas. Sejak meninggalkan restoran dengan perut kenyang, dia sedikit lebih ceria walaupun masih menghindari banyak pertanyaan dariku. Selain itu juga dia masih enggan memulai percakapan. Cahaya matahari semakin berkurang intensitasnya. Aku mungkin melewatkan makan malam di rumah sebagaimana aku mengabaikan telpon dari Mum dan Magisa. Aku mengikuti langkah Saira seakan takut ini akan menjadi t
Ponselku batrai-nya habis. Aku masih meninggalkan mobilku di parkiran pusat perbelanjaan. Seumur hidup, ini adalah malam yang terasa panjang bagiku; seolah larut malam bukan waktunya tidur; seakan matahari tidak akan datang esok hari karena aku harus melakukan banyak hal. Setelah makan di restoran di dekat Walmart, aku mengikuti Saira berjalan kaki tanpa tujuan. Ini bukan pertama kalinya kami berjalan seperti ini dan seolah tanpa tujuan. Aku sudah melewatkan makan malam bersama keluargaku dan pastinya Mummy tidak jadi membuat Pavlova. Aku bahkan membuang belanjaaanku karena merepotkan membawa keranjang itu saat mengikuti Saira. Aku tidak mau di saat aku menaruhnya di mobil, Saira sudah menghilang lagi. Sekarang kami duduk di taman kecil yang selalu ia perhatikan dari seberang jalan karena sepertinya dia butuh sedikit beristrihat setelah pengakuanku yang membuatnya syok. Jalanan tak pernah s
Aku berhenti di Hickson Road karena Saira memintanya. Keseluruhan gedung keong terlihat indah di tambah cahaya lampu yang mengitari Teluk Sydney. Entah kebetulan atau apalah namanya, ini adalah titik yang sama aku dan Magisa bertemu setelah pemakaman ayahku. Di sinilah aku memutuskan untuk melupakan Saira dan menerima perempuan lain dalam hidupku. Aku tidak pernah tahu aku akan kembali lagi ke sini; bersama gadis yang telah kulupakan itu. Seakan Opera House Sydney kesal padaku, dia mengembalikan Saira di saat… hatiku sudah menjadi milik orang lain. Apa yang bisa kukatakan tentang ini, selain bahwa semuanya sudah sangat terlambat? “Kamu nggak mau nunggu sampai besok untuk pertunjukannya?”tanyaku, ikut memandang Opera House Sydney. “Aku nggak ingin tinggal lebih lama. Udara di sini kadang bikin aku sesak,” jelasnya. “Aku sudah ada di Sydney, lalu
Seluruh tubuhku mengeluh. Mulai dari kepala, tangan dan kaki; sekujur tubuh ini rasanya benar-benar lelah seperti habis berjalan kaki puluhan mil. Sepanjang jalan mengendarai mobilku menuju rumah, aku sudah membayangkan tempat tidur dan tidak sabar ingin melompat ke atasnya. Aku tidak tahu persis penyebab yang membuatku begitu lelah seperti ini; mungkin karena Saira telah pergi dan kupastikan kali ini kami tidak akan pernah bertemu lagi untuk selamanya…. Karena tidak ingin mendengar hujan pertanyaan dari kedua adikku karena tidak kembali dalam waktu yang lama, aku kembali ke rumah itu; rumah yang aku dan Magisa tinggalkan karena membuat dia kesepian. Sebuah rumah di Double Bay yang kupikir akan melengkapi kebahagiaan kami bersama anak-anak, tapi kenyataan berbanding terbalik dengan impian. Tahun-tahun yang kami habiskan di rumah ini malah menjadi pesakitan bagi kami. Aku menendang keluar se
“Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan…” suara operator masih menjawab telpon Magisa sejak pagi. Aku mulai gelisah, apakah terjadi sesuatu padanya? Harusnya saat dia senang karena kemungkinan klien akan suka dengan design gedung yang dia buat. Tapi, aku juga tidak tahu apakah presentasinya berjalan lancar. Aku semakin gelisah karena tidak ada orang lain yang bisa kuhubungi lagi selain ibu dan kakak-kakaknya yang mengatakan bahwa Magisa belum mengunjungi mereka lagi sejak aku kembali ke Sydney. Perasaanku tidak enak dan itu masih berlanjut sampai aku akhirnya bertolak ke Jakarta. Magisa tidak bisa dihubungi. Ide memberi kejutan itu sepertinya kacau. Ya tidak akan ada mawar merah di tempat tidur, lilin aromaterapi dalam gelap. Wine dan candle light. Semua itu lenyap dari pikiranku. Aku pulang ke rumah kami yang baru dengan perasaa
Ya, Magisa membawa maketnya ke luar ruangan. Lalu mencoba menelponku, tapi aku tidak mengangkatnya. Lalu bekali-kali lagi dia mencobanya, aku sudah tak bisa dihubungi. Saking depresinya, dia lemparkan maket yang sudah dia rancang sedemikian rupa ke dinding sampai hancur. Kurasa karena aku tidak ada di sisinya saat itulah yang membuatnya membanting barang-barang ada di rumah. Aku menyesal karena mengabaikannya dan malah sibuk dengan perempuan lain. Namun aku sudah mengakhiri kegilaan itu Aku hanya bisa tertunduk saat Magisa menceritakan detil kejadian sampai kemudian perusahaan yang merekrutnya terpaksa memutuskan kontrak dengannya. Aku bingung. Benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa, karena aku sendiri juga sudah tahu bahwa…Magisa tidak hanya menghancurkan masa remaja Saira tapi juga seluruh sisa hidupnya. Aku sudah b
Aku memeluknya sekali lagi walaupun jantungku masih berdebar keras. Kupejamkan mataku saat mendekapnya di dada untuk merasakan bahwa hatiku milik perempuan ini, apa pun yang terjadi. Namun, kilasan itu seakan menari-nari lagi di ruang mataku.Bagaimana Saira menolakku untuk tidak menyentuhnya seujung jari pun; dia gemetaran bahkan saat aku memeluknya untuk memberinya rasa nyaman. Dia menangis dan aku berusaha keras untuk membuatnya bicara. Saat akhirnya dia bicara, kami saling menangis. Ya, aku meneteskan air mataku saat mendengarkan ceritanya.“Dar…,” suara Magisa kembali memanggil dengan lemah.Kusadari, aku telah terbaring dengan tubuhnya di atas tubuhku. Aku membuka mataku dan melihat wajah pucat Magisa tepat berada di depan wajahku, dan bibirnya menyentuh bibirku dengan kasar. Aku membiarkannya karena keadaannya yang sedang tidak stabil
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp