Haidar melempar lumpur ke barisan tentara. Bocah itu melakukan hal tadi berulang kali. Sejumlah tentara menjerit kesakitan. Lumpur mengenai wajah mereka dan masuk ke mata.
Kuncian kaki Budi jadi longgar. Beberapa tentara menjauh karena tak dapat melihat. Dua orang di antara mereka tersungkur jatuh. Senjata mereka terlempar ke pangkuan Budi.
Budi bermaksud mengembalikan senjata tadi kepada pemiliknya. Namun saat dia hendak bangun, rentetan peluru justru terdengar.
“Tum, tum, tum,…tum.”
Wajah Budi pucat. Sejumlah peluru bersarang di tubuhnya. Bajunya memerah. Percikan darah membasahi wajah Haidar.
Ia roboh seketika ke lumpur. Ia yakin ini akhir dari perjalanan hidupnya selama ini. Namun Budi berharap masih bisa memeluk Haidar untuk terakhir kalinya. Menenangkan bocah itu sebelum ajalnya tiba.
Namun matanya terlalu berat untuk dibuka. Tubuhnya dingin. Saratnya tak lagi berfungsi. Dunianya gelap dan tertutup untuk selamanya.
Pedalaman Bener Meriah Awal 1998TEUNGKU FIAH mengamuk. Ini baru kali pertama orang tua itu terlihat begitu marah. Sejumlah ilalang di depannya dibabat habis.Kemarahannya mencapai ubun-ubun. Seakan ada bom yang meledak dalam tubuhnya. Hatinya hancur berkeping-keping.Ia benar-benar terluka tatkala mengetahui anaknya yang kedua tewas di ujung senjata tentara republic. Ia ingin cepat-cepat kembali ke Nicah Awe untuk melihat pemakaman terakhir untuk anak itu.Namun perintah komandan, ia tidak boleh turun gunung. Minimal hingga keadaan sedikit aman dan tenang. Sejumlah pasukan gabungan siaga di lokasi. Tak hanya dari wilayah Peureulak, tapi juga Pase dan Gayo, kini bergabung di lokasi itu.Rencananya akan ada rekrutmen pasukan baru.“Kalau turun, teungku tak lagi diizinkan kembali ke pasukan.”Begitu perintah yang datang dari para pimpinan di sana. Biarpun dirinya termasuk yang dituakan dalam perjuangan, teta
Hampir dua malam Teungku Fiah dalam kondisi terikat. Ia terus merontak-rontak untuk mengendurkan tali yang mengikat tangannya. Usahanya ternyata tak sia-sia. Di hari ketiga, tali yang melilit tangannya sedikit melonggar. Ia berhasil melepas ikatan di tangan dan kakinya.Saat itu suasana masih pagi. Seluruh pasukan berkumpul di atas bukit untuk apel dan pembagian tugas. Inilah kesempatan untuk lari. Ia hanya menunggu penjagaan longgar dan kemudian kabur.Saat suasana sepi. Ia mencoba keluar dari kamp yang dijadikan penjara oleh tentara nanggroe dan kemudian menelusuri hutan seorang diri.Senjatanya sudah dilucuti saat ditangkap beberapa hari lalu. Kini ia hanya memiliki pisau ukuran kecil untuk bertahan hidup.“Mudah-mudahan tak bertemu tentara republic di hutan. Kalau ular dan binatang justru bisa jadi makanan,” gumam Teungku Fiah.Tujuan Teungku Fiah ke arah timur untuk mencapai perkampungan. Dari sana, ia mungkin bisa bertemu beberapa
“Ngapain kau ke sumur magrib-magrib?” suara itu terdengar. Jumlah mereka diperkirakan lebih 10 orang. Di dalam rumah, wajah Teungku Fiah mulai pucat basi. Ia khawatir jika kedatangannya ke rumah itu sudah terpantau. Surat langkah terdengar mengelilingi rumah. Teungku Fiah sudah terkepung. “Untuk wudhu pak?” jawab sang pemuda tiba-tiba. “Untuk wudhu ayah saya yang sedang sakit di dalam rumah,” ujarnya lagi. Wanita paruh baya di dalam rumah menarik tangan Teungku Fiah untuk masuk dalam kamar. Ia memberi isyarat kepada Teungku Fiah untuk mencopot seluruh pakaiannya yang dikenakannya. Wanita itu menyerahkan kain sarung dan baju tua untuk dikenakan Teungku Fiah. Teungku Fiah menuruti permintaan wanita tadi. Ia tahu bahwa semua ini dilakukan untuk keselamatan dirinya. Sang wanita tua tadi juga meminta Teungku Fiah untuk tidur di atas kasur miliknya. “Druk.” Pintu rumah tiba-tiba terdobrak. Sejumlah pria berpakaian mil
USAI para pria berbaju loreng itu berlalu, Teungku Fiah mengucapkan terimakasih berulang kali kepada keluarga yang sudah membantunya itu. Ia bersyukur mendatangi rumah yang tepat.Wanita itu bertindak cepat saat saat genting tadi. Jika seandainya wanita tua tadi tak membantunya, nyawa Teungku Fiah tentu sudah melayang. Apalagi kini ia tak memiliki senjata untuk memberi perlawanan.Teungku Fiah kemudian salat dan menyantap sedikit nasi yang telah disediakan yang punya rumah. Sedangkan nasi kaleng yang diserahkan TNI tadi diletakan di dapur.Makanan itu dilahabnya dengan cepat. Ia memang benar-benar lapar.Sementara pemuda seumuran anaknya itu bernama Firmansyah. Ia alumni salah satu universitas di Banda Aceh. Ibunya bernama Rohana.Firman, demikian pria itu disapa, pulang kampung untuk menjaga ibunya yang kini tinggal seorang diri.Malam ini, ia memutuskan untuk menginap. Ia khawatir jika tentara tadi masih bertahan di perkampungan itu untuk
Usai Subuh, Firman memenuhi janjinya untuk mengantar Teungku Fiah ke Panton Labu. Mereka menumpang sepeda motor butut peninggalan almarhum ayah Firman. Tidak ada rintangan yang berarti selama perjalanan. Beberapa pos militer yang dilalui, juga tak ada pemeriksaan yang berarti. Tanpa pakaian militer dan senjata, Teungku Fiah hanyalah orangtua biasa. Keadaannya yang kurus kering justru mendatangkan simpati dan iba dari para tentara yang ditemui sepanjang perjalanan. Teungku Fiah dianggap orang tua biasa yang sedang menderita sakit karena factor umur serta mengalami gizi buruk. Lebih kurang satu jam, mereka akhirnya tiba di Panton Labu. Teungku Fiah awalnya hendak mengunjungi rumah almarhum Ruslan untuk melihat kondisi keluarga itu. Namun niat tersebut dibatalkannya atas permintaan keluarga yang bersangkutan. Istri almarhum Ruslan tak ingin keadaan memanas karena komplek tempat tinggal mereka dikawal ketat pasca penembakan misterius yang menimbal suaminy
USAI ngopi dan sarapan pagi, Siwan mengajak Teungku Fiah ke rumahnya yang tak jauh dari kedai tadi. Di sana, ia mengeluarkan mobil pengangkut kelapa miliknya yang terparkir di gudang. Ada beberapa kelapa di bagian belakang. Ia sengaja tak mengosongkan habis kelapa itu. Tujuannya, agar tentara tak curiga dengan aktivitasnya selama ini. Tak hanya Teungku Fiah, ia telah berulangkali mengantar tentara nanggroe ke tujuan masing-masing selama ini. Tak ada yang curiga jika ia berprofesi ganda selama ini. Teungku Fiah duduk di sisi kiri Siwan yang bertindak sebagai sopir. “Bismillah. Semoga Allah menjaga kita hingga ke tujuan,” kata Siwan. Dari lorong sempit, mobil itu kemudian belok ke kanan untuk melintasi jalan Medan-Banda Aceh. “Teungku diam saja nanti jika ada razia,” ujar Siwan. Teungku Fiah mengangguk tanda setuju. Jarak antara Panton Labu ke Nicah Awe Simpang Ulim memang lumayan dekat. Namun razia sering terjadi sepanjang jalan. Apalag
TEUNGKU Fiah tertegur saat melihat rumahnya yang tinggal abu. Ia memang sudah mengetahui kondisi itu dari penghubung. Namun melihat kondisi tersebut dengan mata sendiri, tetap saja ia merasa sedih hati.Dari kejauhan, Teungku Baka terlihat melambai. Lelaki itu hampir seumuran dengannya. Ia memberi isyarat bahwa anak dan istrinya ada di rumahnya. Teungku Fiah mengangguk.Ia bergegas ke arah Teungku Imum Baka. Ia memeluk lelaki itu.“Masuklah segera. Aku khawatir ada tentara yang melihatnya nanti,” ujar Teungku Baka. Teungku Baka menunjuk kamar kedua dari pintu.“Anak dan istrimu ada disana. Beberapa hari ini, mereka selalu menangis mengenang Budi,” kata Teungku Baka lagi.Saat Teungku Fiah membuka pintu, Sakdiah dan Haidar terlihat saling berpelukan. Mereka tertidur pulas. Istrinya itu terlihat sangat kurus dibandingkan setahun lalu, terakhir ia bersua dengannya. Demikian juga Haidar, anaknya terkecil, yang kini menjadi satu-
SAAT gelap menyelimuti Nicah Awe, beberapa pria bersenjata memasuki rumah Teungku Baka. Mereka adalah anggota pasukan nanggroe bekas didikannya yang kini dikomandoi oleh Mustafa.Teungku Fiah sendiri tak gentar. Ia membiarkan Mustafa masuk untuk menemuinya. Sementara Teungku Baka dan anak-anaknya menjauh ke dapur. Sementara Sakdiah dan Haidar mengurung diri di dalam kamar.Teungku Fiah keluar menemui Mustafa usai salat magrib. Ia siap jika harus dieksekusi karena melanggar peunutoh pimpinan. Namun Mustafa justru memeluknya erat-erat.“Aku mengira teungku telah tiada. Maafkan aku karena membiarkan teungku sendiri,” ujar Mustafa.“Kami diperintahkan oleh pimpinan untuk mencari teungku. Bukan untuk menangkap dan kembali memenjarakan teungku, tapi memastikan keselamatan teungku dan keluarga,” kata Mustafa lagi.Teungku Fiah menarik nafas lega.“Alhamdulillah. Terimakasih Mustafa,” ujarnya kemudian.&ldq