SAAT gelap menyelimuti Nicah Awe, beberapa pria bersenjata memasuki rumah Teungku Baka. Mereka adalah anggota pasukan nanggroe bekas didikannya yang kini dikomandoi oleh Mustafa.
Teungku Fiah sendiri tak gentar. Ia membiarkan Mustafa masuk untuk menemuinya. Sementara Teungku Baka dan anak-anaknya menjauh ke dapur. Sementara Sakdiah dan Haidar mengurung diri di dalam kamar.
Teungku Fiah keluar menemui Mustafa usai salat magrib. Ia siap jika harus dieksekusi karena melanggar peunutoh pimpinan. Namun Mustafa justru memeluknya erat-erat.
“Aku mengira teungku telah tiada. Maafkan aku karena membiarkan teungku sendiri,” ujar Mustafa.
“Kami diperintahkan oleh pimpinan untuk mencari teungku. Bukan untuk menangkap dan kembali memenjarakan teungku, tapi memastikan keselamatan teungku dan keluarga,” kata Mustafa lagi.
Teungku Fiah menarik nafas lega.
“Alhamdulillah. Terimakasih Mustafa,” ujarnya kemudian.
&ldq
MELEWATI meunasah Nicah Awe, mobil yang disupiri Siwan belok kanan menuju ke arah Panton Labu. Mulut Teungku Fiah terlihat komat kamit membaca doa. Demikian juga dengan Mustafa. Sementara istri Mustafa, Sakdiah dan Haidar mulai tertidur lelap.Baik Teungku Fiah dan Mustafa, sadar bahwa perjalanan ini taklah semulus yang dibayangkan. Mereka khawatir jika ada razia dadakan dari tentara republic. Nyawa mereka dan keluarga jadi taruhan dalam perjalanan nanti.“Teungku tenang saja. Jika ada razia, biar aku yang berbicara nanti,” ujar Siwan menenangkan keduanya.Irwan sendiri tak begitu percaya dengan kalimat yang diucapkannya tersebut. Namun ia mencoba menguatkan hati kedua tentara nanggroe itu.Teungku Fiah tersenyum mendengar penjelasan Siwan. Ia telah berulangkali melewati perjalanan bersama pemuda itu. Berulangkali pula pemuda itu menyelamatkan nyawanya dari situasi yang tak menguntungkan. Kali ini, Teungku Fiah mengharapkan keberuntungan yang
MEMASUKI kawasan Krueng Geukuh, suasana kembali sepi. Hanya beberapa kendaraan roda empat yang melintas. Wajah Irwan terlihat sedikit tegang. Pasalnya, dari informasi yang didapatnya, dari kawasan tersebut hingga Krueng Mane, tentara republic sering menggelar razia kendaraan. “Bismillah,” ujarnya pelan tapi suaranya sampai juga ke telinga Teungku Fiah. “Isya Allah tuhan bersama kita, anakku. Isya Allah aman,” ujar Teungku Fiah tiba-tiba. Mendengar ucapan Teungku Fiah, Irwan justru merasa tak enak hati. Ia seolah menebar ketakutan kepada dua pasukan nanggroe dan keluarga yang sedang di antarnya tersebut. Keselamatan mereka bersama kini ada di tangannya. “Teungku mohon dibaca doapeurabunbeh. Masih ada ilmu di pesantren dulu kan,” ujar Irwan lagi mencoba bercanda. Teungku Fiah mengangguk. Ia terlihat berkomat kamit serius. Entah apa yang sedang dibacanya. Demikian juga Mustafa. Memasuki kawasan Bungkah, jalanan terlih
Ketiga tentara muda itu saling pandang. “Ya sudah kalau begitu. Kau jalan. Hati hati di jalan. Kalau ketemu dengan orang GAM, kasih tahu kami,” ujar salah seorang di antara mereka. Jantung Irwan yang awalnya berdetak cepat, tiba-tiba berubah plong. Irwan benar-benar tak menduga jika pemeriksaan terhadap dirinya berlangsung cepat. Terlebih lagi, para tentara juga tak memeriksa isi mobil. Irwan buru-buru mengangguk. Ia bergegas ke posisi sopir dan segera melaju dengan kecepatan sedang. Irwan tak ingin ketiga tentara tadi berubah pikiran dan memeriksa isi mobilnya lebih lama. Sedangkan Teungku Fiah dan Mustafa tak berbicara sedikit pun. Demikian juga Sakdiah dan gadis muda di sampingnya. Keduanya sempat berkeringat dingin ketika melihat ujung senjata milik tentara tadi. Sedangkan bocah dalam pelukan Sakdiah masih terlelap nyenyak. Mobil L300 itu kemudian melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan kerumunan mobil yang masih menjalani peme
Darussalam, 2016 Haidar terdiam. Ia mengamati baju dan toga di depannya itu berulangkali. Beberapa hari lagi, ia akan mengenakan baju impian dari orangtuanya itu. Senat Umayah akan menarik tali di ujung toga itu sebagai tanda ia telah sarjana. Ini adalah harapan terakhir ayahnya semasa hidup. Pengorbanan dari ibunya yang selalu tersenyum tapi diam-diam menitihkan air mata dalam sujudnya di tengah malam. Ibu yang menanggung beban seorang diri pasca ditinggal syahid sang ayah di medan perang karena konflik. Mengingat almarhum ibunya, hati Haidar terasa sakit. Ia sempat membenci tuhan atas takdir yang mempermainkan hidupnya. Namun ia kemudian sadar bahwa ada banyak anak Aceh lainnya yang mengalami nasib serupa dengannya. Ada kampung janda, bukit tengkorak serta sejumlah tragedi mengerikan lainnya di kampung kampung seluruh Aceh. Namun itu masa lalu. Kini Aceh sudah damai. Haidar tak mau ia terjebak dengan masa lalu Aceh yang begi
SEJUMLAH pesan singkat mulai ke handphone sehari jelang wisuda. Pesan itu berisi undangan makan-makan bersama dari para calon sarjana. Haidar sendiri tak mengadakan acara makan-makan. Pertama, ia tak memiliki uang yang bisa digunakan untuk pesta keci-kecilan dalam rangka kelulusan. Sedangkan yang kedua, ia juga tak seperti calon sarjana lainnya yang memiliki keluarga. Sementara kawan-kawannya memiliki hajatan masing-masing. Haidar melihat sejumlah pesan singkat yang masuk ke handphone dalam kamar asrama. Termasuk pesan dari Rina yang juga akan diwisuda sepertinya. Beberapa hari terakhir, Haidar memang lebih banyak menghabiskan waktu dalam kamar. Haidar bimbang antara datang ke Mbak Moel untuk memenuhi undangan Rina atau tidak. Ia ingin meminta maaf pada gadis itu karena menjaga jarak dengannya selama ini. Mungkin, hajatan kecil yang dibuat Rina adalah pertemuan terakhir mereka. Karena setelah wisuda nanti, mereka akan sulit bertemu. Haidar sen
“Sefti,” gumam Haidar.Haidar mendekat dengan penuh keraguan. Ia takut jika kehadirannya justru menganggu komunikasi antara Insani dan gadis itu. Haidar menduga jika Insani adalah pria misterius yang selama ini membuat Sefti tak menghubunginya.Namun ia sudah palang tanggung. Kehadirannya sudah dilihat oleh kedua sosok itu.Haidar mencoba bersikap tenang. Wajahnya kemudian menyorot seisi kantin. Ada beberapa orang asing di sana tapi tak satupun dikenalnya. Ia mencoba mencari orang yang dibilang oleh Gunawan ingin ketemu dengannya. Namun di luar Insani, hanya Sefti yang dikenalnya di sana.“Mungkinkah Sefti yang mencariku?” gumam Haidar dalam hati. Ia kemudian berjalan untuk mendekati meja tempat Insani dan Sefti duduk.“Hai San. Hai Sefti, apa kabar. Sorry jika aku menganggu nie. Tadi Gunawan bilang ada yang cari aku. Makanya ke kantin,” ujarnya pelan. Ada rasa cemburu dalam kalimatnya itu.Insani paham de
USAI Salat Subur, Haidar mulai merapikan diri. Ia memakai baju putih dan celana kain hitam. Ada juga sepatu dan jas hitam yang dipinjam dari Insani. Hari ini ia berpenampilan beda dari biasanya. Meskipun sepatu bermerek yang dipakaiannya adalah pinjaman belaka. Haidar mematung beberapa lama di depan kaca. Ia hampir tak mengenali dirinya sendiri. “Cukup ganteng. Mudah-mudahan setelah hari ini, garis hidupmu berubah, Dar,” ujar Insani tiba-tiba. Sosok ini berdiri di pintu kamar. Ia terlihat tersenyum di samping Gunawan yang juga terlihat sedang memandanginya. Kedua sosok itu juga terlihat berpakaian rapi. Haidar memandingi kedua kawan se-asrama ini dengan alis berkerut. Kemudian ia tiba-tiba tersenyum. “Kalian ikut aku juga ke lokasi wisuda? Terimakasih Wak, Dek Gun. Kalian temanku yang sangat baik,” ujar Haidar senang. Ia tidak memiliki keluarga kandung di hari wisuda, tapi ia masih memiliki sahabat. Insani tersenyum. Demikian juga deng
MOBIL itu dikemudi oleh Insani. Gunawan duduk di sisi kirinya. Sementara Sefti dan Haidar ditempatkan di deretan kedua. Mereka berdua terlihat sangat serasi. Seperti mempelai yang hendak menuju ke KUA.“Semoga kalian berdua dijodohkan,” ujar Insani sambil melirik Haidar dan Sefti dari kaca spion. Sefti tersenyum mendengar pengakuan Insani. Sementara Haidar berwajah merona tapi tak merespon perkataan Insani.Dari asrama, mobil itu mengarah ke AAC Dayan Dawood. Jaraknya sekitar satu kilometer.Sefti merapikan baju Haidar sebelum ia turun dan bergabung dalam antrian panjang para sarjana yang akan dikukuhkan beberapa jam lagi.Kebersamaan mereka berdua sempat diabadikan oleh Insani melalui kamera handphone secara diam-diam.Senyum keduanya terlihat lepas. Haidar seperti bahagia didampingi oleh Sefti meski tak memiliki keluarga untuk datang ke acara spesialnya.Insani dan Gunawan kemudian memilih menuju kantin untuk ngopi pagi.
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp