Pedalaman Bener Meriah Awal 1998
TEUNGKU FIAH mengamuk. Ini baru kali pertama orang tua itu terlihat begitu marah. Sejumlah ilalang di depannya dibabat habis.
Kemarahannya mencapai ubun-ubun. Seakan ada bom yang meledak dalam tubuhnya. Hatinya hancur berkeping-keping.
Ia benar-benar terluka tatkala mengetahui anaknya yang kedua tewas di ujung senjata tentara republic. Ia ingin cepat-cepat kembali ke Nicah Awe untuk melihat pemakaman terakhir untuk anak itu.
Namun perintah komandan, ia tidak boleh turun gunung. Minimal hingga keadaan sedikit aman dan tenang. Sejumlah pasukan gabungan siaga di lokasi. Tak hanya dari wilayah Peureulak, tapi juga Pase dan Gayo, kini bergabung di lokasi itu.
Rencananya akan ada rekrutmen pasukan baru.
“Kalau turun, teungku tak lagi diizinkan kembali ke pasukan.”
Begitu perintah yang datang dari para pimpinan di sana. Biarpun dirinya termasuk yang dituakan dalam perjuangan, teta
Hampir dua malam Teungku Fiah dalam kondisi terikat. Ia terus merontak-rontak untuk mengendurkan tali yang mengikat tangannya. Usahanya ternyata tak sia-sia. Di hari ketiga, tali yang melilit tangannya sedikit melonggar. Ia berhasil melepas ikatan di tangan dan kakinya.Saat itu suasana masih pagi. Seluruh pasukan berkumpul di atas bukit untuk apel dan pembagian tugas. Inilah kesempatan untuk lari. Ia hanya menunggu penjagaan longgar dan kemudian kabur.Saat suasana sepi. Ia mencoba keluar dari kamp yang dijadikan penjara oleh tentara nanggroe dan kemudian menelusuri hutan seorang diri.Senjatanya sudah dilucuti saat ditangkap beberapa hari lalu. Kini ia hanya memiliki pisau ukuran kecil untuk bertahan hidup.“Mudah-mudahan tak bertemu tentara republic di hutan. Kalau ular dan binatang justru bisa jadi makanan,” gumam Teungku Fiah.Tujuan Teungku Fiah ke arah timur untuk mencapai perkampungan. Dari sana, ia mungkin bisa bertemu beberapa
“Ngapain kau ke sumur magrib-magrib?” suara itu terdengar. Jumlah mereka diperkirakan lebih 10 orang. Di dalam rumah, wajah Teungku Fiah mulai pucat basi. Ia khawatir jika kedatangannya ke rumah itu sudah terpantau. Surat langkah terdengar mengelilingi rumah. Teungku Fiah sudah terkepung. “Untuk wudhu pak?” jawab sang pemuda tiba-tiba. “Untuk wudhu ayah saya yang sedang sakit di dalam rumah,” ujarnya lagi. Wanita paruh baya di dalam rumah menarik tangan Teungku Fiah untuk masuk dalam kamar. Ia memberi isyarat kepada Teungku Fiah untuk mencopot seluruh pakaiannya yang dikenakannya. Wanita itu menyerahkan kain sarung dan baju tua untuk dikenakan Teungku Fiah. Teungku Fiah menuruti permintaan wanita tadi. Ia tahu bahwa semua ini dilakukan untuk keselamatan dirinya. Sang wanita tua tadi juga meminta Teungku Fiah untuk tidur di atas kasur miliknya. “Druk.” Pintu rumah tiba-tiba terdobrak. Sejumlah pria berpakaian mil
USAI para pria berbaju loreng itu berlalu, Teungku Fiah mengucapkan terimakasih berulang kali kepada keluarga yang sudah membantunya itu. Ia bersyukur mendatangi rumah yang tepat.Wanita itu bertindak cepat saat saat genting tadi. Jika seandainya wanita tua tadi tak membantunya, nyawa Teungku Fiah tentu sudah melayang. Apalagi kini ia tak memiliki senjata untuk memberi perlawanan.Teungku Fiah kemudian salat dan menyantap sedikit nasi yang telah disediakan yang punya rumah. Sedangkan nasi kaleng yang diserahkan TNI tadi diletakan di dapur.Makanan itu dilahabnya dengan cepat. Ia memang benar-benar lapar.Sementara pemuda seumuran anaknya itu bernama Firmansyah. Ia alumni salah satu universitas di Banda Aceh. Ibunya bernama Rohana.Firman, demikian pria itu disapa, pulang kampung untuk menjaga ibunya yang kini tinggal seorang diri.Malam ini, ia memutuskan untuk menginap. Ia khawatir jika tentara tadi masih bertahan di perkampungan itu untuk
Usai Subuh, Firman memenuhi janjinya untuk mengantar Teungku Fiah ke Panton Labu. Mereka menumpang sepeda motor butut peninggalan almarhum ayah Firman. Tidak ada rintangan yang berarti selama perjalanan. Beberapa pos militer yang dilalui, juga tak ada pemeriksaan yang berarti. Tanpa pakaian militer dan senjata, Teungku Fiah hanyalah orangtua biasa. Keadaannya yang kurus kering justru mendatangkan simpati dan iba dari para tentara yang ditemui sepanjang perjalanan. Teungku Fiah dianggap orang tua biasa yang sedang menderita sakit karena factor umur serta mengalami gizi buruk. Lebih kurang satu jam, mereka akhirnya tiba di Panton Labu. Teungku Fiah awalnya hendak mengunjungi rumah almarhum Ruslan untuk melihat kondisi keluarga itu. Namun niat tersebut dibatalkannya atas permintaan keluarga yang bersangkutan. Istri almarhum Ruslan tak ingin keadaan memanas karena komplek tempat tinggal mereka dikawal ketat pasca penembakan misterius yang menimbal suaminy
USAI ngopi dan sarapan pagi, Siwan mengajak Teungku Fiah ke rumahnya yang tak jauh dari kedai tadi. Di sana, ia mengeluarkan mobil pengangkut kelapa miliknya yang terparkir di gudang. Ada beberapa kelapa di bagian belakang. Ia sengaja tak mengosongkan habis kelapa itu. Tujuannya, agar tentara tak curiga dengan aktivitasnya selama ini. Tak hanya Teungku Fiah, ia telah berulangkali mengantar tentara nanggroe ke tujuan masing-masing selama ini. Tak ada yang curiga jika ia berprofesi ganda selama ini. Teungku Fiah duduk di sisi kiri Siwan yang bertindak sebagai sopir. “Bismillah. Semoga Allah menjaga kita hingga ke tujuan,” kata Siwan. Dari lorong sempit, mobil itu kemudian belok ke kanan untuk melintasi jalan Medan-Banda Aceh. “Teungku diam saja nanti jika ada razia,” ujar Siwan. Teungku Fiah mengangguk tanda setuju. Jarak antara Panton Labu ke Nicah Awe Simpang Ulim memang lumayan dekat. Namun razia sering terjadi sepanjang jalan. Apalag
TEUNGKU Fiah tertegur saat melihat rumahnya yang tinggal abu. Ia memang sudah mengetahui kondisi itu dari penghubung. Namun melihat kondisi tersebut dengan mata sendiri, tetap saja ia merasa sedih hati.Dari kejauhan, Teungku Baka terlihat melambai. Lelaki itu hampir seumuran dengannya. Ia memberi isyarat bahwa anak dan istrinya ada di rumahnya. Teungku Fiah mengangguk.Ia bergegas ke arah Teungku Imum Baka. Ia memeluk lelaki itu.“Masuklah segera. Aku khawatir ada tentara yang melihatnya nanti,” ujar Teungku Baka. Teungku Baka menunjuk kamar kedua dari pintu.“Anak dan istrimu ada disana. Beberapa hari ini, mereka selalu menangis mengenang Budi,” kata Teungku Baka lagi.Saat Teungku Fiah membuka pintu, Sakdiah dan Haidar terlihat saling berpelukan. Mereka tertidur pulas. Istrinya itu terlihat sangat kurus dibandingkan setahun lalu, terakhir ia bersua dengannya. Demikian juga Haidar, anaknya terkecil, yang kini menjadi satu-
SAAT gelap menyelimuti Nicah Awe, beberapa pria bersenjata memasuki rumah Teungku Baka. Mereka adalah anggota pasukan nanggroe bekas didikannya yang kini dikomandoi oleh Mustafa.Teungku Fiah sendiri tak gentar. Ia membiarkan Mustafa masuk untuk menemuinya. Sementara Teungku Baka dan anak-anaknya menjauh ke dapur. Sementara Sakdiah dan Haidar mengurung diri di dalam kamar.Teungku Fiah keluar menemui Mustafa usai salat magrib. Ia siap jika harus dieksekusi karena melanggar peunutoh pimpinan. Namun Mustafa justru memeluknya erat-erat.“Aku mengira teungku telah tiada. Maafkan aku karena membiarkan teungku sendiri,” ujar Mustafa.“Kami diperintahkan oleh pimpinan untuk mencari teungku. Bukan untuk menangkap dan kembali memenjarakan teungku, tapi memastikan keselamatan teungku dan keluarga,” kata Mustafa lagi.Teungku Fiah menarik nafas lega.“Alhamdulillah. Terimakasih Mustafa,” ujarnya kemudian.&ldq
MELEWATI meunasah Nicah Awe, mobil yang disupiri Siwan belok kanan menuju ke arah Panton Labu. Mulut Teungku Fiah terlihat komat kamit membaca doa. Demikian juga dengan Mustafa. Sementara istri Mustafa, Sakdiah dan Haidar mulai tertidur lelap.Baik Teungku Fiah dan Mustafa, sadar bahwa perjalanan ini taklah semulus yang dibayangkan. Mereka khawatir jika ada razia dadakan dari tentara republic. Nyawa mereka dan keluarga jadi taruhan dalam perjalanan nanti.“Teungku tenang saja. Jika ada razia, biar aku yang berbicara nanti,” ujar Siwan menenangkan keduanya.Irwan sendiri tak begitu percaya dengan kalimat yang diucapkannya tersebut. Namun ia mencoba menguatkan hati kedua tentara nanggroe itu.Teungku Fiah tersenyum mendengar penjelasan Siwan. Ia telah berulangkali melewati perjalanan bersama pemuda itu. Berulangkali pula pemuda itu menyelamatkan nyawanya dari situasi yang tak menguntungkan. Kali ini, Teungku Fiah mengharapkan keberuntungan yang
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp