Simpang Ulim, 1997
BELASAN pria berpakaian loreng terlihat hilir mudik. Mereka mengetuk sejumlah rumah dan memeriksa satu persatu.
Gerak mereka cepat dan sejumlah barang terlempar keluar. Mereka masuk sekitar 5 menit per rumah. Namun kemudian keluar tanpa hasil.
Hasil yang sama juga dituai untuk 4 rumah selanjutnya. Sejumlah pria berpakaian loreng itu terlihat kesal. Namun yang dihadapi adalah ibu-ibu. Tak ada satu orang pria pun di rumah yang dapat dijadikan tempat pelampiasan.
Tak ada juga lelaki dan wanita muda. Selama konflik, mereka mungkin telah diungsikan ke kota.
Tinggal ibu-ibu dan anak-anak yang masih kecil di rumah. Mereka lah yang menghadapi tentara ketika murka atau mencari orang-orang yang dianggap bersalah pada negara.
“Kalau Ibu lihat mereka, segera kasih tahu.” Ucapan itu terdengar dari kejauhan.
“Saya tak akan menjamin keselamatan ibu kalau ternyata menyembuyikan pemberontak di sini.”
SAAT keadaan dirasakan aman, wanita paruh baya tadi dan dua anaknya keluar dari lokasi persembunyian. Kedua anaknya itu terlihat ketakutan. Ini bukan kali pertama mereka digedor serta diincar oleh pria berbaju loreng. Sepekan lalu, rumah mereka di Nicah Awe juga digeledah oleh tentara republic. Para tentara mencari suaminya yang terlibat dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Suaminya, salah satu pimpinan pasukan gerilya di Simpang Ulim. Namanya Hanafiah, tapi akrab disapa Teungku Fiah. Saat itu, anaknya yang tertua turut diambil paksa. Nasib anaknya itu kini tak ada kejelasan. Ia hanya berharap anaknya itu masih hidup. Walaupun harapan tersebut sangat tipis. Sedangkan anaknya yang kedua menderita luka yang cukup serius. Ia menerima beberapa tendangan di dada dan ulu hati saat hendak memisahkan abangnya dari penangkapan paksa. Meski peristiwa tersebut sudah berlalu sepekan, tetapi kilas balik kejadian masih membekas di ingatan. Hal ini pula yang m
SAKDIAH memeluk Si Kecil. Ia kasihan dengan anaknya itu yang mengalami kemalangan. Si Kecil memang jarang bertemu dengan ayahnya sejak lahir. Ia hanya bertemu dengan ayahnya beberapa kali. Jika pun bertemu, tak lebih dari dua hari. Ayahnya kemudian kembali pergi untuk bergerilya. Meninggalkan mereka berbulan-bulan tanpa kejelasan, apakah masih hidup atau syahid dalam perang. Setidaknya itu yang diyakini oleh suaminya dan orang-orang yang menyertainya selama ini. Konflik dan dendam membuat keluarganya tak pernah utuh. Namun Sakdiah sendiri yakin bahwa ada banyak keluarga yang mengalami nasib lebih buruk darinya. Untuk itu, ia harus bertahan. “Kamu pasti akan kembali ke sekolah nak. Ayahmu pasti menjemput kita dan pulang bersama,” ujar Sakdiah kemudian. Si Kecil tersenyum. Ia kemudian mengangguk berulangkali. “Bang Budi, ajari aku membaca. Aku tidak mau diledeki sama Bang Man lagi,” ujarnya kemudian. Bang Man yang dimaksud adalah Abdurrahman. Ba
SAAT malam hari tiba, Sakdiah dan dua anaknya minta izin pamit ke Nek Minah. Wanita tua itu tak bisa menghentikan niat Sakdiah untuk pergi.Mereka bertiga bergerak dengan menggunakan dua RBT hingga ke kawasan Panton Labu. Tujuan mereka adalah rumah salah satu famili Teungku Fiah yang berada di kawasan Pasar Panton Labu.Daerah ini dinilai lumayan aman dari perang yang sering meletus tiba-tiba seperti daerah lainnya di lintas timur Aceh.Yang terpenting, pemilik rumah ini adalah tentara republic, tapi memiliki kedekatan dengan para tentara nanggroe.Menurut Sakdiah, pemilik rumah ini, Teuku Ruslan, pasti akan memberi perlindungan kepada dirinya dan dua anaknya tersebut. Faktor family, harga dirinya sebagai orang Aceh serta kedekatannya secara pribadi dengan para tentara nanggroe, pasti akan membuat sosok itu menerima mereka untuk sementara waktu di sana.Waktu yang ditempuh dari rumah Nek Minah di pedalaman Simpang Ulim ke Panton Labu sekitar 45 men
“Kenapa dengan adikmu?” ujar pria berpakaian loreng di depannya lagi.Budi sempat terdiam. Ia mencoba mencari jawaban yang singkat agar bisa pergi dari lokasi itu secepatnya.“Dia ketakutan pak?” ujar Budi lagi. Pria yang bertanya tadi kemudian terdiam. Dia mundur beberapa langkah. Namun pria lainnya di belakang kembali bersuara.“Ah kalian ini. Sama kami takut. Sama tentara nanggroe tidak. Jangan-jangan kalian anak orang GAM ya,” ujar pria itu tiba-tiba.Wajah Budi hampir bias mendengarkan penuturan itu. Keadaan kian runyam. Ia tak mau memperpanjang urusan dengan tentara itu.Budi memilih meneruskan langkah tanpa menjawab. Namun sikapnya ini justru membuat para tentara itu marah karena abai atas pertanyaan mereka.“Hey bocah. Kau jawab dulu. Kalian anak GAM ya?” ujar pria tadi lagi sambil bergerak cepat ke arah mereka. Dalam hitungan menit, sosok itu sudah di depan Budi dengan posisi senjata k
SEPEKAN berada di rumah Ruslan membuat Sakdiah serba salah. Apalagi anaknya yang terkecil, Ibnu Haidar, selalu menjerit ketika melihat baju loreng milik Ruslan. Padahal, Ruslan sendiri memperlakukan mereka dengan sangat baik.Tempat itu nyaman baginya dan budi, tapi tidak bagi Haidar. Si Kecil bahkan sering bermimpi buruk ketika malam hari tiba.Sakdiah akhirnya meminta izin pada Ruslan untuk pamit. Namun Ruslan sendiri menolak keinginan Sakdiah.“Kakak bertahanlah beberapa hari lagi di sini hingga aku bisa menemukan rumah yang cocok untuk tinggal sementara,” kata Ruslan, Senin malam.“Kakak tak perlu merasa bersalah atas sikap Si Kecil. Kami sudah terbiasa dengannya. Dia masih anak-anak, tak mengerti dengan kondisi yang sedang terjadi,” ujar Ruslan. Pria itu terlihat sangat dewasa dan peduli.“Atau kakak bertahanlah hingga Bang Fiah datang menjemput. Atau hingga kita menemukan tempat tinggal yang cocok untuk kakak dan
DI Panton, Sakdiah dan dua anaknya berjalan kaki menelusuri kota kecil itu. Ia kalut karena harus meninggalkan rumah duka tanpa tujuan. Ia juga sedih atas tragedi yang menimpa almarhum Ruslan.Istri Ruslan juga menitip sejumlah uang kepada dirinya. Pria yang diminta menjaga mereka tadi hanya mengantar hingga ke jalan tembus menuju kota. Ia harus kembali untuk melaksanakan fadhu kifayah untuk abang iparnya itu.Di tengah kepanikan, ia tiba-tiba teringat dengan kampung halamannya di Nicah Awe. Sakdiah bertekad untuk pulang.Tak peduli sedang dicari oleh tentara republic, Sakdiah hanya berharap ada tempat berteduh bagi anak-anaknya nanti. Ia tak ingin lagi ada orang yang terluka dan menderita karena menampung mereka.Sakdiah menyetop bus antar kota ke arah Medan. Uang pemberian istri almarhum Ruslan digunakan untuk ongkos pulang. Hanya beberapa penumpang saat itu. Selama konflik, memang tak banyak warga yang rela menempuh perjalanan. Faktor razia dadakan ser
BUDI menelusuri desa. Ia mencari beberapa penghubung tentara nanggroe, yang diketahuinya, dekat dengan ayahnya. Haidar mengekor dari arah belakang. Bocah itu memang tak bisa jauh darinya selama beberapa bulan terakhir, terutama pasca abang tertua mereka dijemput paksa dan tidak ada kabar hingga kini.Bocah itu ngotot ingin ikut. Padahal misi yang diembannya cukup berbahaya.“Dar, kalau pulang saja. Kau jaga mamak di rumah Teungku Baka. Kasihan Mamak sedang sakit,” ujar Budi kepada adiknya itu di pematang sawah.Namun anak itu tetap menggeleng kepala. Ia keras kepala seperti abang tertua dan ayahnya yang kini entah di mana.“Aku ingin ketemu ayah. Dar ingin bilang kalau rumah kita gak ada lagi dan mamak sakit, sama ayah,” kata bocah tadi.Budi akhirnya menarik nafas panjang. Berdebat dengan adiknya itu hanya akan menghabiskan waktu. Sementara dia memang harus bertemu dengan salah seorang penghubung agar bisa berkomunikasi den
Haidar melempar lumpur ke barisan tentara. Bocah itu melakukan hal tadi berulang kali. Sejumlah tentara menjerit kesakitan. Lumpur mengenai wajah mereka dan masuk ke mata.Kuncian kaki Budi jadi longgar. Beberapa tentara menjauh karena tak dapat melihat. Dua orang di antara mereka tersungkur jatuh. Senjata mereka terlempar ke pangkuan Budi.Budi bermaksud mengembalikan senjata tadi kepada pemiliknya. Namun saat dia hendak bangun, rentetan peluru justru terdengar.“Tum, tum, tum,…tum.”Wajah Budi pucat. Sejumlah peluru bersarang di tubuhnya. Bajunya memerah. Percikan darah membasahi wajah Haidar.Ia roboh seketika ke lumpur. Ia yakin ini akhir dari perjalanan hidupnya selama ini. Namun Budi berharap masih bisa memeluk Haidar untuk terakhir kalinya. Menenangkan bocah itu sebelum ajalnya tiba.Namun matanya terlalu berat untuk dibuka. Tubuhnya dingin. Saratnya tak lagi berfungsi. Dunianya gelap dan tertutup untuk selamanya.
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp