BAGI Haidar, Dara adalah sosok lain dari Sefti. Dua dua-nya sama-sama cantik, modis dan memiliki argumentasi yang kuat dalam setiap berbicara. Yang sedikit membedakan, Dara lebih bijak dan dewasa dalam menghadapi masalah.
Baru dua hari ia kembali bertemu dengan Dara, namun Haidar tidak lagi merasa canggung dengan wanita itu.
Sikap dan gaya bicaranya, membuat siapapun mereka nyaman. Mungkin karakter tersebut terbentuk selama ia aktif di Kementerian Pariwisata.
“Satu lagi. Mulai sekarang. Kamu panggil aku Dara saja. Setidaknya aku bisa merasakan lebih muda dan sesuai untuk menjadi pendampingmu kelak,” ujar Dara sambil mendekati kepala Haidar dan memamerkan gigi putihnya.
Dara setengah bercanda. Ia tak ingin Haidar terbebani dalam pembicaraan serius. Toh, masih ada dua tahun lagi ‘kemungkinan’ mereka menikah. Maka, masing-masing perlu penyesuaian diri.
Sedangkan Haidar hampir terkesima dengan pesona Dara. Ia masih belum habis pikir, jika gadis it
BAU mawar semerbak. Ia seolah berada di kebun bunga. Bau khas yang selama ini cukup akrab dengan seseorang. Haidar mencoba mengamati sekeliling. Namun sosok yang dicari luput dari pandangannya. Hanya ada beberapa muslimah yang berada di barisan antrian terakhir. Haidar kemudian berlari kecil ke barisan belakang guna memastikan instingnya benar adanya. Namun beberapa muslimah tersebut justru keheranan melihat tingkahnya yang tak biasa. Mereka bukanlah sosok yang dicari oleh Haidar. Padahal, sebelumnya, ia cukup yakin jika sosok pemilik bau mawar yang dikenalnya selama ini sedang berada di sekitar bandara. Atau minimal dalam jarak yang cukup dekat. “Maaf saya pikir ada kawan saya di barisan ini,” ujarnya kepada wanita tadi. Mereka mengangguk dan tersenyum. Demikian juga dengan para bule lainnya yang sedang antri di sana untuk pulang kampung. Haidar tertunduk lesu. Entah kenapa, ia sangat berharap jika gadis ‘bau mawar’ berada di sana dan
JANTUNG Haidar berdetak kencang. Ia benar-benar tak pernah membayangkan jika keinginannya untuk berangkat program Magister ke Australia akhirnya terwujud. Ia kini berada dalam pesawat untuk berangkat ke negeri kanguru itu. Seumur hidup, ia baru dua kali naik pesawat. Seminggu lalu, ia berangkat dari Banda Aceh ke Jakarta. Dan kini, ia kembali menaiki pesawat untuk terbang ke Australia yang menjadi tempatnya menuntut ilmu untuk dua tahun kedepan. Haidar berdiri kaku di pintu pesawat. Dua pramugari tanpa jilbab tersenyum ke arahnya. “Silahkan pak ke depan. Saya bantu antar ke kursi yang tertera di tiket,” ujar salah seorang pramugari yang bernama Fecilia. Nama itu tercantum di dadanya. Haidar tersenyum dan mengangguk. Sang pramugari cantik itu juga membantunya memasukan koper serta tas. Ia mendapatkan kursi di pertengahan bagian kiri. Untuk set kiri dan kanannya masing kosong. Haidar merebahkan diri di kursi tadi. Ia mencoba membaca beberapa maj
Haidar menarik nafas panjang. Ia menduga bahwa Sefti kini memandangnya sebagai lelaki yang ingkar janji. Lelaki yang tak memiliki komitmen. Bahkan posisinya turut menjadi bahan gosip. Buktinya, Bela, sang wanita muslimah yang baru diperkenalkan oleh Sefti, turut mengetahui soal apa yang pernah terjadi antara dirinya dengan wanita asal Ngawi itu. Ada banyak hal yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Ia dan Sefti mungkin memiliki persepsi yang berbeda terkait alur kejadian yang menimpa mereka. Namun Haidar ingin menceritakan semuanya sehingga tak ada lagi miskomunikasi yang terjadi. “Begini. Aku tahu ini pertemuan pertama kita setelah hari wisudamu. Harusnya, hari ini pembahasan santai. Kita sudah lama tidak ketemu. Aku juga baru berkenalan dengan Bela.Tapi banyak hal yang perlu diluruskan,” ujar Haidar tiba-tiba. Sefti justru tersenyum senang. Ia mengangguk dengan cepat. Bela turut menjadi pendengar yang baik. Sefti telah berulangkali men
“Aku tidak tahu,” ujar Haidar dengan nada pelan. “Saat kamu pulang ke Ngawi. Aku bertemu dengan Dara, anak ayah angkatku di masa lalu. Aku baru tahu kalau kami dijodohkan sejak kecil,” kata Haidar lagi. Sefti tertunduk lesu. Ia sebenarnya sudah mengetahui hal tersebut dari Insani. Namun Sefti tetap berharap masih memiliki celah untuk dekat dengan Haidar dan bisa mengubah takdir mereka berdua. “Kami belum menikah. Dara juga memberiku kebebasan hingga dua tahun ke depan untuk menentukan pilihan. Namun justru hal ini yang membuatku sulit untuk menyakitinya,” ujar Haidar kemudian. Haidar menarik nafas panjang. Ada banyak hal yang membuat dirinya serba salah. Sedikit kesalahan yang dilakukannya justru akan mengakibatkan kedua wanita itu. Maka ia ingin berbicara apa adanya. “Aku tak tahu takdir seperti apa yang menantiku kedepan. Tapi jika mau jujur, aku menghargai setiap waktu yang kita lalui di masa lalu. Namun untuk saat ini, aku juga tak ingin m
DARI Bandara, Haidar langsung menuju University Of Sydney untuk mengurus kelengkapan akademik di civitas setempat.Haidar juga menemui manajemen yang mengurus sewa apartemen yang ia pesan melalui aplikasi online. Biayanya juga sudah ditransfer oleh Dara sebelum ia berangkat kemarin. Haidar hanya perlu datang untuk memperkenalkan diri dan mengambil kunci dari jajaran setempat.Apartemen yang akan ditempati oleh Haidar ini hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari University Of Sydney. Memiliki ruang tidur, kamar mandi serta fasilitas lainnya, seperti jaringan wifi serta fasilitas telepon.Harga sewanya cukup mahal. Namun karena Haidar memiliki keuangan yang cukup dari hasil ‘warisan’ ayah angkatnya, maka persoalan tadi tak lagi jadi masalah baginya.Haidar mengirim mail ke Dara untuk memberitahu bahwa ia telah tiba di Sidney. Namun hingga sejam ia menunggu, tak ada balasan dari wanita cantik itu di Jakarta.“Mungkin ia masih kerja at
5 Tahun Kemudian... Gadis ini seperti ancaman. Hampir semua membicarakan tentangnya, anak-anak perempuan dan guru-guru yang serba salah karenanya. Pertama kali melihatnya, aku sudah menduga ia akan mengacaukanku. Ketika dia membolos atau merundung aku akan bertemu dengannya di ruang konseling dan semua perhatianku menjadi miliknya. Caranya menatap sangat mengintimidasi –entah, padahal dia hanya gadis berusia tujuh belas tahun yang pasti akan gentar kalau aku mengancam akan memanggil ibunya kalau dia terus berulah. Tapi, aku tak pernah berani melakukan itu padanya –tidak juga guru konseling sebelum aku. “Jadi, katakan apa alasan kamu mem-bully Magisa?” “Dia ngambil foto aku tanpa izin,” jawabnya acuh dan justru lebih galak dari aku yang harusnya marah karena dia baru saja dilaporkan membuat seorang siswa perempuan tidak mau ke sekolah karena Saira mengolok-oloknya bersama beberapa anak nakal lain. “Siapa yang tahu dia mau pakai foto itu buat apa.” “Kit
Tidak ada yang bisa kuberikan untuk seorang gadis broken home seperti dirinya. Aku sudah merencanakan masa depanku jauh sebelum dia karena aku benci kegagalan. Kupikir karena terlalu serius dengan apa yang belum terjadi lah yang membuatku kehilangan masa-masa berharga di usia belasan yang kuhabiskan untuk hal-hal membosankan. Lalu ketika sudah terlalu terlambat, aku jatuh cinta layaknya remaja pada seorang remaja. Meskipun itu juga bukan perasaan sepihak, dengan Saira, aku tahu itu adalah kesalahan. Aku memang tidak bisa menyembunyikan betapa seringkali aku berharap dia bukan seorang gadis SMA berseragam ketika dia mendekat Tapi, sebenarnya yang menjadi masalah kemudian bukanlah hubunganku dengannya. Satu sekolah dihebohkan dengan berita tentang Saira. Entah siapa pelakunya, foto-foto Saira tengah bersama pria dewasa berserakan di depan gerbang sekolah. Itu menjawab kegelisahannya tentang a
Kepalaku mendadak berdenyut. Tidak tahan, aku meninggalkan ruangan dan pergi ke halaman belakang untuk merokok. Berharap Saira juga ada di sana. Tapi yang kutemukan malah siswa lain. Magisa –seorang siswa yang mempunyai reputasi sangat baik di sekolah. Dia berdiri di sudut tempat Saira biasa merokok sembunyi-sembunyi seolah sedang menunggu seseorang datang. “Saira nggak masuk hari ini,” katanya dan tentu saja itu membuat sangat terkejut. Lalu ia tersenyum. “Bapak nggak usah khawatir, selain aku nggak ada lagi orang yang tahu kok.” “Apa yang kamu lakukan di sini?” aku berusaha untuk tetap tenang walaupun sebenarnya aku juga melihat dia seperti ancaman yang sama ketika terakhir kali aku bertemu dengan Saira di sini. Magisa adalah teman sekelas Saira. Seorang gadis berkaca mata dan behel yang sering diceritakan Saira padaku se
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp