âHari ini masih nggak boleh kerja, Aya! Istirahat di rumah sampai bener-bener pulih.â Itu perintah Ivan di hari kedua, padahal aku sudah merasa tak selemah kemarin lagi.Akan tetapi, aku memilih tetap mengikuti keinginannya dengan masih berdiam diri di rumah. Rasanya selama bersamanya, aku memang nyaris tak pernah membatah lelaki ini, bahkan terlalu sering merasa terhipnotis oleh kata-katanya, apalagi perintahnya.Ivan pun seperti itu, kami seolah saling berlomba untuk bisa memenuhi keinginan masing-masing. Seperti kemarin saat dia benar-benar pulang ke rumah saat kukatakan bahwa aku menunggunya menyuapiku. Dia melakukan apa yang kuinginkan, mengabulkan hampir semua keinginanku.âPadahal aku udah ditunggu Iin hari ini, Pi. Banyak yang mau didiskusikan.ââSuruh nanya ke aku, diskusi ke aku.âJawaban yang tentu saja mengundang cibiranku, tetapi Ivan buru-buru memelukku.âJangan ngambek. Pokoknya jangan kerja dulu. Hari ini Kak Dian dan Bang Malik datang, kamu temenin mereka dulu aja seb
âEh, tumben banget jemputnya rame-rame ini.â Kak Dian mengomentari kehadiranku dan Ivan lengkap dengan Kia di pintu kedatangan.âIya, Kak. Kebetulan sempat.â Aku menyambut kakak iparku itu sapaan ala wanita, cipika cipiki.âNggak kerja, Dek?â Kak Dian menyapa adik kesayangannya.âIya, Kak. Aya manja banget hari ini, minta ditemenin di rumah.âAku melirik tak suka, sudah pasti ini adalah salah satu keisengan Ivan.âLoh, emang Aya kenapa?ââDua hari ini sakit, Kak. Tapi jadinya manja banget, minta ditemenin, minta dipijit, bahkan minta dimandiin.ââCk! Papi! Jangan mengada-ada!âMeski aku merasa kesal, tetapi aku tahu bahwa Kak Dian pasti sudah sangat memahami keisengan adiknya ini.âJangan-jangan Aya hamil ya, Kak? Lagi manja banget soalnya, sampai mau jemput Kak Dian aja minta ikut.âKak Dian tertawa, lalu menatapku sekilas.âBukannya emang lagi hamil, Ay?ââNg-nggak, Kak. Ivan lagi iseng aja tuh.â Aku menjawab.âTapi Tari percaya banget loh kalo kamu lagi hamil, Ay.ââKok Kak Dian ta
âA-apa ini?â Aku meggumam sendirian. Kamar mewah yang luas dengan semua fasilitas eksklusif di alamnya ini terlihat berbeda dengan saat pertama Ivan membawaku melihat rumah ini. Dan tentu saja hal utama yang membuatnya berbeda adalah gambar suamiku di hampir setiap sudutnya.Kakiku bergetar, tak sanggup lagi rasanya menahan tubuh ini menyaksikan deretan foto-foto Ivan dengan berbagai pose di dinding. Aku ingin berteriak, tapi lidahku rasanya sudah kelu. Di salah satu sudut kamar di dekat private pool, masih sempat kulihat sosok yang tadi membuatku penasaran dan akhirnya mengikutinya ke kamar ini.âAya! Apa-apan kamu?! Masuk kamar orang tanpa permisi!â Dan suara nyaring itu membuatku mendongak. Imelda berdiri menjulang di depanku yang terduduk lesu di lantai karena kakiku sudah tak sanggup lagi menopang tubuh.âKamu udah ngelewatin batasmu, Aya! Masuk kamar pribadiku tanpa permisi!âApa katanya? Aku melewati batas? Lalu bagaimana dengan deretan foto suamiku di dinding kamar yang diakui
âSampai kapan kita seperti ini?â tanyaku ketika kami akhirnya hanya saling diam tenggelam dalam pikiran masing-masing. âSampai kamu tenang, sampai kamu nggak nangisin ulah murahan Imelda.â Ivan menatap tepat di mataku. âDan sampai kamu nggak menatapku seperti itu, Aya.â Aku menautkan alis. âMenatap seperti itu? Seperti apa?â âIya, jangan menatapku seperti ini.â Ia mengusap mataku. âAku ngerasa nggak nyaman, Aya. Aku ngerasa dicurigai, aku memang nggak liat apa yang kamu liat di sana tadi, tapi aku bisa ngebayangin itu. Kamu nggak curiga aku yang ngasih foto-fotoku ke Imelda, kan?â Astaga! Aku baru menyadari bahwa Ivan-lah korban sesungguhnya dari ulah Imelda ini. Hanya dengan mendengar ceritaku saja dia sudah setidaknyaman ini, bahkan menyalah artikan tatapan mataku. Dia lah korbannya, korban dari obsesi Imelda, korban dari konspirasi Toni, dan kini korban dari tatapanku yang membuatnya merasa dicurigai. âNggak, Pi.â Aku bergerak memeluknya. âAku nggak pernah curiga ke kamu. Nggak
âYa ampun pasangan bucin ini bikin susah orang aja. Subuh-subuh udah bangunin orang.â Kak Dian membuka pintu dengan ekspresi kesal subuh ini.âSorry, Kak.â Aku menanggapi setelah berbalas salam dengan kakak iparku itu.âIni satu, kenapa masam gini mukanya?â Kak Dian menunjuk adiknya.âMasih ngantuk dia, Kak,â jawabku.âLah, kalo ngantuk ngapain pulang subuh-subuh gini? Ganggu orang aja.â Kak Dian kembali memprotes.âTuh! Aya.â Ivan menunjukku. âNgotot minta pulang, katanya nggak bisa mandi air dingin.â Suaranya serak khas orang baru bangun tidur. Pria itu melewati Kak Dian begitu saja dan melangkah ke dalam rumah.âMandi air dingin? Kalian dari mana emangnya?âAku baru menyadari jika semalam hanya memberi kabar bahwa kami akan menginap di luar dan tak pulang ke rumah. Kak Dian yang semalam kutitipin Kia pun tentu saja menyetujui, apalagi setelah insiden di rumah Imelda semalam yang kurasa masih membuat wanita itu penasaran.âDari House of Coffee, Kak,â jawabku lagi.Di depanku, Kak Di
Di atas ranjang, Ivan masih tidur dengan sangat lelap. Napasnya naik turun dengan teratur. Perlahan aku menghampiri. Wajahnya terlihat menenangkan saat sedang terlelap seperti ini, dan memang pria ini selalu menenangkan. Ivan menggeliat sebentar saat aku mengusap pipinya.âBangun, Pi. Udah subuh,â bisikku di telinganya, tetapi Ivan hanya menggeliat kecil.Kembali kutatap wajah menenangkan itu, wajah dari pria yang ternyata begitu diinginkan Imelda. Membeli rumah mewah Ivan dengan harga yang fantastis lalu mengkondisikan kamar utama di sana dengan Ivan di setiap sudutnya menggambarkan bagaimana besarnya keinginan Imelda untuk memiliki pria ini.âKenapa kamu malah milih aku, Ivan?â Tanpa bisa kutahan, aku menggumam. Begitu banyak pilihan di sekitarnya, begitu banyak wanita yang menginginkannya, dan aku tak mengerti mengapa dia justru memilihku.âPadahal aku bukan siapa-siapa, tak ada satu pun yang membuatku lebih dibanding wanita-wanita di sekitarmu.â Aku kembali membelai pipinya, dan s
âKalo aku yang bikin, Papi nggak suka, ya?â tanyaku ketika melihat Ivan sibuk meracik kopi, minuman kesukaannya.Dia menoleh lalu tersenyum manis, khas Ivan banget.âBukan nggak suka, Sayang. Cuma nggak mau ngerepotin kamu aja.â Dia meraih pinggangku. âGimana Kia?â tanyanya, sebab aku memang baru saja keluar dari kamar putri kami lalu menujunya.âMasih tidur lelap, Pi. Tapi kata Mbak Ri semalam nggak rewel, nggak nyariin juga.âDia masih tersenyum. âKayaknya Kia tau Papi Maminya lagi usaha bikinin adik, makanya nggak rewel.ââBikin mulu! Jadi juga nggak!â Suara dari arah belakang kami, aku dan Ivan sudah tahu persis itu suara siapa.âGood morning, Kak Dian yang cantik.â Ivan melepas pelukannya di pinggangku, lalu menghampiri kakaknya. Aku tersenyum menyaksikan Ivan yang ternyata bukan hanya bermanja padaku tapi juga pada kakak kandungnya. Dia menunduk mencium bahu Kak Dian hingga ke lengannya.âDih! Sana! Udah punya istri masih kek gitu ke gue aja lu!â Kak Dian menegur, tetapi Ivan ju
âCahaya!â Aku baru saja hendak meninggalkan butik ketika sebuah panggilan yang sudah sangat kukenali terdengar dari arah parkiran.âEh, Hendra!âAku menoleh dan mendapati pria yang baru saja memanggil namanya dengan ciri khasnya itu melangkah menujuku. âMau ke butik?â tanyaku lagi.âBisa iya, bisa nggak sih.â Pria itu menjawab.Aku menautkan alis. âKok gitu?ââTergantung majikanku hari ini, Cahaya.â Hendra tertawa sambil menunjuk ke arah lain.âOh, hai ... ada Rubby juga?â Aku segera menyapa gadis yang baru saja ditunjuknya.âHmm. Dia jadi majikanku hari ini, jadi harus nurutin semua kemauannya.ââKok gitu?â Aku tertawa.âKemarin dia dapat juara satu lomba fashion show tingkat nasional, makanya hari ini ngebajak seharian nemanin dia.âAku tersenyum lalu memberi selamat pada gadis muda penerus Rubby Agency itu.âWah, enak dong jadi majikan seharian ini. Tapi kok malah ke sini? Kalo aku jadi Rubby sih seharian ini kuajak ke Mall ngeborong semua.âHendra dan putrinya sama-sama tertawa.âN
âKalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!â Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.âUntung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?â Kak Dian kembali bicara. âKurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.â Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.âJangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?â Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.âOiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.â Kak Dian menekankan kata empat puluh. âNggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.â Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.âNak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.â Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
âTerima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.â Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. âMalam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.â Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. âAku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
âTerima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.â Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. âMalam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.â Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. âAku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
âEmang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?ââNggak apa, Nin.ââOiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,â katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.âHai, Aya. Gimana kabarmu?â Kaku sekali, pria itu menyapa.âBaik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?â Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.âAku juga baik. Oiya, Ivan ada?âKembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.âKalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.â Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.âYa udah, kutinggal
âHari ini ikut ke Twin House, ya.âIni sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.âAdam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.ââAku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.âItu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
âDari mana, Pi?â Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.âUdah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?âDan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.âDari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?â Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.âAku bangga punya kamu, Aya.â Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. âKalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber