‘Jangan pergi, firasatku tak enak!’ ‘Segera kembali, aku ingin kamu. Hanya ingin kamu.’ Aku kembali ke dalam rumah setelah mobil suamiku menghilang di ujung tikungan. Paper bag yang sama dengan yang ditenteng Ivan tadi terlihat di kamar putriku ketika aku masuk. “Kia udah bangun, Mbak?” tanyaku pada pengasuh Sidney. Sebenarnya aku pernah menolak saat Ivan memintaku memilih pengasuh untuk Adzkia dari yayasan penyalur, karena aku merasa tak membutuhkan bantuan mengasuh Sidney. Selain itu aku juga ingin lebih banyak bersama putriku, tapi Ivan bersikeras agar aku memilih salah satu berkas yang dibawanya. “Mungkin sekarang kamu belum membutuhkannya, tapi ada saatnya kamu pasti membutuhkan bantuan pengasuh. Maka lebih baik pilih sekarang agar bisa akrab di awal awal dan Kia terbiasa.” Kia sebenarnya masih tidur denganku di kamar kami, kamar utama di rumah ini. Namun tak jarang gadis kecil itu juga tertidur di kamarnya yang didesain bernuansa putri kerajaan. Ternyata apa yang dulu dikat
“Kiiaaa!!!” Pekikan itu mengejutkanku ketika sedang mengobrol santai dengan Ibu di taman belakang. Aku memang selalu suka berada di taman ini, begitu pun dengan ibuku. Hobiku berkebun sejak dulu membuatku selalu betah berlama-lama berada di sini.“Kak Dian!”Wanita cantik yang kini menjadi kakak iparku itu terlihat menghambur menggendong putriku.“Baru tiba, Kak?” tanyaku lagi.“Iya, Ay.”“Kok nggak ngabarin, Kak? Tau gitu kan bisa dijemput tadi.”“Aku ... bawa teman, Ay.” Kulihat Kak Dian ragu-ragu.Beberapa saat kemudian Kak Dian memperkenalkan padaku dan Ibu seorang wanita yang ternyata datang bersamanya.Nita, begitu wanita itu memperkenalkan diri. Kak Dian yang memang pembawannya selalu riang dengan mudah membuatku dan Nita berbincang santai. Hingga pada saat Kak Dian menyebutkan profesi wanita itu, aku baru menyadari mengapa Nita yang disebut Kak Dian tadi adalah sahabat karibnya datang bersama Kak Dian dari Surabaya.“Nita ini psikolog, Ay. Dia sahabatku dari SMA. Dia orangnya
“Pak Ivan kecelakaan.” “Bersama Mbak Tari.” “Berduaan di dalam mobil Pak Ivan.” Itu desas-desus yang kudengar jelas namun aku tak begitu menggubrisnya, fokusku hanya satu, mencari tahu keberadaan dan keadaan suamiku. Di tengah kepanikanku, ada tatapan mata aneh yang kutangkap dari Kak Dian namun ia seperti enggan bertanya. Nama Tari tentu tak asing bagi Kak Dian mengingat wanita itu pernah menjadi tetangga dekat mereka, dan aku tahu persis apa yang ada dalam pikiran Kak Dian ketika mendengar nama Tari, apalagi bisik-bisik di luar sana yang menyebut Ivan dan Tari berdua dalam mobil saat kecelakaan. Saat tiba di rumah sakit tadi, Tiara dan beberapa karyawan Ivan memang sudah ada di sana. Lokasi kecelakaan yang dekat dari kantornya membuat Tiara dan yang lain lebih dulu berada di sana dari pada aku dan Kak Dian, juga Nita, sang psikolog yang baru saja kukenal pagi ini. Aku melewati Tiara dan beberapa orang yang memanggil dan menyapaku, tetapi aku tak nyaman dengan tatapan iba mereka.
“Sejak kapan Ivan dekat dengan Tari, Aya?”“Kok bisa berduaan di dalam mobil?”“Kamu tau siapa Tari?”Dan banyak lagi pertanyaan Kak Dian lainnya. Kami semua masih menunggu kabar petugas medis yang menangani Ivan, tapi Kak Dian sepertinya sudah tak bisa memendam pertanyaannya.“Aku kenal Tari, Kak. Dan tolong jangan salah sangka dulu, Ivan memang tadi menjemputnya karena ada pekerjaan yang ditugaskannya pada Tari.” Aku teringat beberapa hari ini ponsel suamiku sering menampilkan nama Tari di sana, sebelum kemudian ia bercerita tentang villa yang penjualannya diurus Tari.“Hari ini Ivan bersama Tari untuk tandatangan di notaris, Kak. Tari yang mengurus penjualan villa di puncak.”“Haa? Jual villa?” Dari keterkejutan yang ditampakkan Kak Dian, aku tahu bahwa wanita itu belum mengetahui perihal Ivan yang menjual villa. Beruntung kemudian Bang Malik ikut menjelaskan.“Ivan sempat sharing denganku mengenai rencanya menjual villa, Ma. Tapi aku belum sempat cerita ke kamu.”“Tapi kenapa diju
Seperti ada sembilu yang sedang mengiris-iris hatiku tanpa ampun ketika kusaksikan pemandangan itu. Tubuh yang selalu melindungiku itu, yang selalu menjadi tempat ternyaman untukku bersandar, kini terbaring diam di sana dengan beberapa alat medis yang tersambung ke tubuhnya. Pria yang selalu gagah di mataku itu, yang selalu tersenyum lebar padaku dan selalu membuatku merasa wanita yang paling beruntung kini hanya diam dengan mata terpejam rapat.Aku sendiri adalah orang yang paling terakhir masuk ke ruangan ini setelah tadi kubiarkan Kak Dian lalu Bang Malik bergantian masuk. Kami memang tak diperkenankan masuk bersamaan karena kondisi Ivan yang masih belum stabil, dan tadi aku memilih menyuruh Kak Dian dan Bang Malik yang lebih dahulu masuk, aku takut mentalku tak kuat melihatnya.Dan benar saja, air mataku berderai tak tertahan melihatnya terdiam di sana. Ada beberapa perban di kepala dan bagian tubuh Ivan yang lain yang menandakan luka – lukanya karena kecelakaan tadi.“Hai, katany
Dia berubah meski tak sepenuhnya berubah. Ivan memang tetap mengenaliku, menerimaku sebagai istrinya. Ia hanya melupakan Kia, sebelum kemudian terlihat merasa bersalah ketika menyaksikan bagaimana Kia datang memeluknya seperti biasa lalu mengajak bermain dan bercanda.“Kenapa aku bisa melupakannya, Kak? Padahal dengan begitu lugunya dia bermanja padaku. Pasti hubungan kami begitu dekat kan, Kak?”Pertanyaan itu sering kali kudengar saat Ivan sedang bersama Kak Dian, sementara aku hanya menjadi pendengar. Ya, sejak pulang ke rumah, dia jarang sekali bicara padaku meski juga tak terkesan menghindariku. Ivan bersikap dingin, seolah keberadaanku tak mengganggunya, tapi sekaligus tak diperlukannya. Aku hanya menjadi pendengar saat ia berbicara pada Kak Dian, juga hanya menjadi penonton ketika ia kembali berusaha membangun chemistry pada putri kami.Aku mengerti kecelakaan yang dialaminya memang membuatnya harus menerima beberapa tindakan medis di kepala. Dokter yang menanganinya saat itu j
Sebulan berlalu sejak kecelakaan itu, Ivan sudah kembali aktif di kantornya seperti biasa. Arm sling yang membelenggu tangan dan pundaknya pun kini sudah tak ada. Tak pernah lagi aku memandikan dan memakaikannya pakaian karena ia sekarang sudah bisa melakukannya sendiri. Satu hal yang belum kembali dari kecelakaan itu adalah dia masih terlihat dingin padaku, meski sesekali pula kudapati dia berusaha tersenyum.Kak Dian dan Nita pun sudah kembali ke Surabaya. Selama berada di Jakarta, Nita benar-benar melakukan pekerjaannya dengan baik. Di sela-sela aku mengurus Ivan, Nita selalu berusaha mengejakku bercerita, menanyakan hal-hal sepele sebelum kemudian menbahas sedikit demi sedikit kejadian di villa itu. Maka untuk hanya kepada Nita aku akhirnya menceritakan semuanya meski itu kembali membuat tubuhku gemetaran. Pada Nita kuceritakan dengan detail apa yang terjadi padaku di villa malam itu, bagaimana Mas Adam menggerayangi seluruhku bahkan melakukan hal yang membuatku rasanya ingin menc
“Selamat siang, Bu. Pak Ivan-nya ... sedang meeting di luar.”Belum juga kusapa Tiara saat aku baru saja tiba di kantor suamiku ketika gadis itu menyapaku lebih dulu dan menjelaskan keberadaan Ivan sebelum aku bertanya. Kehentikan langkah tepat di hadapannya, gadis itu terlihat ragu-ragu ketika menjelaskan keberadaan Ivan padaku.“Selamat pagi juga, Tiara,” jawabku, kemudian terdiam setelahnya.Ivan sedang meeting? Tumben sekali ia meeting tanpa mengajak serta gadis yang selalu bekerja keras mengikuti ritme pekerjaan boss nya ini.“Tiara nggak ikut? Tumben,” kataku lagi sambil bersiap meneruskan langkah.“Ngg ... iya, Bu. Tadi ... Pak Ivan mengajak staff keuangan.”Langkahku kembali terhenti. Staff keuangan? Otakku langsung mengingat Tari ketika mendengar Tiara menyebut staff keuangan. “Dengan Tari?” tanyaku menyelidik.“Oh ... eh ... kalo itu saya kurang tau persisnya, Bu. Dengan Mbak Tari atau staff keuangan yang lain. Tapi mungkin meeting kali ini memang ada hubungannya dengan keua
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber