Setiap hubungan punya cobaannya masing-masing. Cobaan yang bisa menguatkan hubungan atau justru sebaliknya bisa menghancurkannya. Itu yang kuyakini dan dulu juga sering dinasihatkan ibuku. Dulu berkali-kali Ibu mengatakan hal itu ketika hubunganku dan Mas Adam memanas. Dulu Ibu pernah menuding Ivan adalah ujian rumah tangga yang akan menghancurkanku sehingga sangat sulit waktu itu meminta restu Ibu untuk hubungan kami.Dan kini cobaan lain datang ketika baru saja kureguk bahagian bersama Ivan setelah kami berdua jungkir balik membina rasa ini. Satu hal yang masih kusyukuri dari semua ini adalah Ivan yang tetap ramah padaku dan Ibu meski raut wajahnya terlihat penuh tanya. Mungkin keramahan ini memang sudah menjadi pembawaan Ivan, maka meski melupakan beberapa kenangan kami, tak pernah sekali pun ia menyakiti hatiku dengan penolakannya. Ia mengatakannya dengan sangat halus, seolah tetap menjaga perasaanku meski ia kehilangan candanya, kehilangan keromantisannya.“Si Bucin yang pelupa.”
PoV Ivan.“Apa kamu ingat momen ini?”“Dulu ... saat pertama kalinya masuk ke kamar ini, kita pernah berdiri di sini seperti ini terus kamu meluk dan bilang pengen aku cepat-cepat tinggal di sini, di kamar ini bersamamu.” Berusaha kuhidupkan kembali memori yang mungkin hilang. “Apa kamu mengingatnya?”Kucengkram kuat-kuat setir mobilku. Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah apa yang dikatakan Aya tadi? Seperti itu kah hubunganku dengan Aya dulu? Membawanya ke dalam kamarku lalu menginginkannya segera tinggal bersamaku?Jika iya, mengapa Kak Dian tak memprotes kami? Padahal biasanya Kak Dian dan Bang Malik banyak memberiku nasihat, mereka berdua sudah seperti pengganti kedua orang tuaku.Yang kuingat tentang Aya adalah dia istriku yang kunikahi di sebuah ruang rawat rumah sakit. Kenapa waktu itu kami menikah di rumah sakit? Padahal aku bisa saja menyewa hotel termahal untuk perhelatan pernikahan. Satu lagi yang kuingat adalah dia adalah mantan istri Adam Haidar – sahabat masa abu-abuku
“Iya, Van. Semuanya kujapri untuk membatalkan undanganmu malam ini, termasuk Adam. Bahkan dia adalah orang yang paling pertama kukabari.”Ada sedikit rasa kesal yang menguasai hatiku. Adam adalah orang yang belakangan ini paling ingin kutemui, dan dengan mudahnya Supri mengabarinya dan berbohong bahwa aku membatalkan pertemuan ini.“Padahal dia yang paling ingin kutemui,” gumamku ragu-ragu. Aku merasa harus berhati-hati pada Supri karena aku belum tahu apa niatnya membatalkan undanganku malam ini tanpa konfirmasi padaku. Apalagi kulihat salah satu sahabat kentalku itu terlihat ragu-ragu dengan menggaruk garuk tengkuknya.“Shit!” Ia mengumpat saat kuberi tatapan tajam tak suka.“Kenapa aku jadi ikut campur gini? Gini deh, Bro. Jangan percaya begitu saja apa yang kamu dengar di luar sana, dari siapa pun itu termasuk dari Adam. Mungkin memang nggak semua yang dikatakannya salah, tapi aku cuma nggak tega kalo dia manfaatin keadaan.”Aku menyipitkan mata memperhatikan pria di hadapanku ini
Aya PoVMasih kuteriakkan nama itu, ketika deru mobil Ivan sudah hilang meninggalkan garasi. Bagaimana Ivan menilaiku setelah ini? Bagaimana jika Mas Adam memanfaatkannya. Rasa kecewa itu membuatku terduduk di atas karpet di dalam kamar kami.‘Aku memang pernah masuk ke sini sebelum kita menikah, pernah menginap di sini saat masih terikat pernikahan dengan laki – laki lain, Apa kau tak ingat semuanya? Apa kau tak ingat semua kejadian yang kita lalui hingga ada di sini? Apa kau tak ingat betapa dulu kita berdua melawan norma dan jatuh ke dalam dosa terindah?’ Ingin sekali rasanya kupertanyakan sampai di mana ia mengingatku, tetapi bagaimana bisa aku bertanya sementara Ivan terlihat menghindariku.Sebuah ketukan di pintu kamar membuatku buru-buru menghapus sisa tangisku.“Iya, Bu,” sapaku saat mendapati ibuku di depan kamar.“Suamimu ke mana tadi, Nak?”“Dia nggak bilang ke mana, Bu. Cuma bilang ada janji dengan temannya.”Kulihat ibuku menghela napas.“Apa kata dokter tentangnya, Nak?
Lelah membuka-buka album foto di ruang kerja Ivan, aku memilih masuk ke kamar putriku. Berat rasanya malam ini aku kembali ke kamar kami, sementara Ivan pergi dan tak mengatakan akan kapan akan kembali. Lelah rasanya hatiku berada di sana setelah tadi ia mempertanyakan kehadiranku di dalam kamar bernuansa coklat itu.Aku terlelap memeluk putriku, setelah sebelumnya memanjatkan doa agar suamiku segera menemukan kembali ingatannya yang hilang tentangku dan Kia.***Tengah malam aku terjaga ketika merasakan napasku sedikit sesak. Kuedarkan pandangan ke sekeliling memperlajari situasi hingga menyadari bahwa aku sedang tertidur di kamar Kia. Ukuran tempat tidur Kia memang tak sebesar ranjang king size di kamar kami, namun kurasa terlalu berlebihan jika aku merasa kesempitan berada di sini. Tapi kenapa terasa sesak dan sempit?Aku masih bertanya-tanya ketika kusadari ada tangan yang sedang memeluk pinggangku dari belakang.“Ivan?” Spontan kubalikkan tubuhku mencari tahu.Dan benar saja, dia
“Kak Dian! Kapan datangnya? Kok nggak bilang-bilang?” tanyaku basa-basi.Kedua kakak beradik itu spontan menoleh, sekilas kulihat Kak Dian melirik adiknya seolah sedang memberi kode sebelum kemudian kembali menatap padaku.“Baru aja, Ay. Bang Malik ada rapat di kantor pusat dan dia nyuruh aku ikut. Tadi pas datang rumah sepi kupikir nggak ada orang.”“Oh, aku tadi emang sengaja bangunnya siang, Kak.”Selain karena mungkin semalam aku bermimpi indah, aku memang sedang kedatangan tamu bulanan sehingga tak wajib bangun subuh menunaikan salat subuh.Aku menarik kursi di sebelah Kak Dian, dan itu membuatku berhadapan dengan pria yang semalam kumimpikan memelukku.“Semalam aku tidur di kamar Kia, Kak.” Aku sengaja memancing. “Kupikir Papinya nggak pulang karena tadi malam keluar katanya janjian sama teman-temannya. Aku kesiangan tadi, keikut nyenyaknya Kia, apalagi semalam aku mimpiin Papinya juga datang ke sana dan nemanin kami.”Kulihat lelakiku itu gelisah.“Semalam jadi ketemu Supri dan
“Bukan rindu rumah kami, Kak. Sepertinya maksuh Ibu dia rindu rumah ini seperti dulu, saat seisi rumah ini masih menginginkan kehadirannya.”Kedua kakak beradik itu saling menatap.“Oiya, aku permisi dulu ya, Kak. Mau ngecek dapur.” Aku berdiri, dan sebelum aku melangkah jauh, telapak tangan hangat yang sangat kukenali itu meraih tanganku.Kutatap mata elang itu dengan alis bergerak naik.“Aku nggak minta Ibu pergi.” Ivan menatapku.“Iya, aku tau.”“Kurasa kehadiran Ibu di rumah ini sangat berarti, buktinya Ibu adalah orang yang pertama dicari Kak Dian waktu datang tadi.”“Iya,” jawabku lagi. “Kak Dian emang dekat dengan Ibu. Kamu juga.”“Kalau begitu minta Ibu untuk kembali ke rumah ini.”“Kurasa Ibu nggak mau kembali kalo bukan pemilik rumah ini yang memintanya langsung.”“Maafkan aku. Aku lupa bagaimana hubunganku dengan Ibu.” Ia terdiam sesaat. “Yang aku ingat hanya ruangan rumah sakit saat kita menikah, selain itu aku tak ingat di mana Ibu dalam hidupku.”Aku menatapnya iba. Mesk
“Ay, adek kamu yang cowok itu tinggal di rumah ibu juga?” Kak Dian bertanya saat kami bertiga sedang sarapan.“Nggak, Kak. Belakangan ini rumah itu kosong. Candra tinggal di rumahnya sendiri sekarang, adikku yang satunya kerja di luar kota dan hanya pulang sesekali.”Kulihat tak hanya Kak Dian, tapi Ivan juga menghentikan kunyahannya.“Kenapa?” tanyaku lirih, aneh melihat kedua kakak beradik itu menatap intens padaku.“Ya Allah, Aya. Kalian ini ya, masih punya ibu tapi dibiarin tinggal sendirian gitu. Tau nggak, aku dan ini bocah pelupa selalu iri ngeliat orang-orang seperti kalian yang masih memiliki orang tua. Sedangkan kami ...” Kak Dian tak melanjutkan ucapannya.“Bukan dibiarin, Kak. Semalam Ibu memang bilang mau pulang ke rumah dulu sementara waktu."“Ini gara-gara si bocah pelupa ini pasti nih Ibu jadi nggak nyaman di rumah ini.”Aku sedikit khawatir melihat Kak Dian melotot pada Ivan yang masih diam menahan makanan di dalam mulutnya.“Heh bocah! Ibu itu pergi karena elu. Ibu n
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber