“Bukan rindu rumah kami, Kak. Sepertinya maksuh Ibu dia rindu rumah ini seperti dulu, saat seisi rumah ini masih menginginkan kehadirannya.”Kedua kakak beradik itu saling menatap.“Oiya, aku permisi dulu ya, Kak. Mau ngecek dapur.” Aku berdiri, dan sebelum aku melangkah jauh, telapak tangan hangat yang sangat kukenali itu meraih tanganku.Kutatap mata elang itu dengan alis bergerak naik.“Aku nggak minta Ibu pergi.” Ivan menatapku.“Iya, aku tau.”“Kurasa kehadiran Ibu di rumah ini sangat berarti, buktinya Ibu adalah orang yang pertama dicari Kak Dian waktu datang tadi.”“Iya,” jawabku lagi. “Kak Dian emang dekat dengan Ibu. Kamu juga.”“Kalau begitu minta Ibu untuk kembali ke rumah ini.”“Kurasa Ibu nggak mau kembali kalo bukan pemilik rumah ini yang memintanya langsung.”“Maafkan aku. Aku lupa bagaimana hubunganku dengan Ibu.” Ia terdiam sesaat. “Yang aku ingat hanya ruangan rumah sakit saat kita menikah, selain itu aku tak ingat di mana Ibu dalam hidupku.”Aku menatapnya iba. Mesk
“Ay, adek kamu yang cowok itu tinggal di rumah ibu juga?” Kak Dian bertanya saat kami bertiga sedang sarapan.“Nggak, Kak. Belakangan ini rumah itu kosong. Candra tinggal di rumahnya sendiri sekarang, adikku yang satunya kerja di luar kota dan hanya pulang sesekali.”Kulihat tak hanya Kak Dian, tapi Ivan juga menghentikan kunyahannya.“Kenapa?” tanyaku lirih, aneh melihat kedua kakak beradik itu menatap intens padaku.“Ya Allah, Aya. Kalian ini ya, masih punya ibu tapi dibiarin tinggal sendirian gitu. Tau nggak, aku dan ini bocah pelupa selalu iri ngeliat orang-orang seperti kalian yang masih memiliki orang tua. Sedangkan kami ...” Kak Dian tak melanjutkan ucapannya.“Bukan dibiarin, Kak. Semalam Ibu memang bilang mau pulang ke rumah dulu sementara waktu."“Ini gara-gara si bocah pelupa ini pasti nih Ibu jadi nggak nyaman di rumah ini.”Aku sedikit khawatir melihat Kak Dian melotot pada Ivan yang masih diam menahan makanan di dalam mulutnya.“Heh bocah! Ibu itu pergi karena elu. Ibu n
[Bapak ada di kantor, Tiara?]Siang ini aku mengirim pesan pada Tiara menanyakan keberadaan Ivan di kantornya. Jika biasanya aku akan memilih datang ke sana memberi kejutan, maka kali ini aku lebih memilih bertanya pada Tiara dulu. Sejak Ivan kecelakaan lalu menjaga jarak denganku, sudah dua kali aku datang dengan niat memberinya kejutan seperti yang dulu sering kulakukan, tapi dua kali pula aku harus menahan rasa kesalku karena mendapatinya di sana dengan Tari.Keberadaan Tari sebenarnya tak pernah kukhawatirkan lagi, wanita itru sudah kuanggap bagian dari masa lalu suamiku. Meski Tari adalah ibu dari anak Ivan namun kami bertiga sudah bisa menempatkan diri dan saling mengerti. Tari memang pernah menjadi ketakutanku, pernah menjadi sumber kecewaku ketika wanita itu kembali hadir di hidup suamiku, tapi Ivan selalu meyakinkanku bahwa kehadiran Tari kembali tak akan mempengaruhi apa pun.Aku sendiri punya andil banyak dengan kehadiran wanita itu kembali sebab aku lah yang memilih CV nya
Aku menatapnya tajam. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan lelaki ini? Apa ia sedang mengatakan ingin menjadi pendamping Tari lalu hidup bersama putra mereka?“Ada kah yang bisa menjelaskan padaku kenapa identitas Wira sama sekali tak memakai namaku padahal wajahnya sangat mirip denganku? Itu bukan aku, Aya. Aku bukan laki-laki yang lari dari tanggung jawab. Itu yang sedang kucari jawabannya pelan-pelan dari Tari.”Dadaku bergemuruh.“Aku berharap dari penjelasan Tari aku bisa merasakan bagaimana sebenarnya arti kehadiranmu dalam hidupku, Aya. Lari dari tanggung jawabku pada Tari dan Wira lalu hidup bersamamu dan Kia, itu hal yang mustahil kulakukan jika kamu bukan orang yang istimewa.”Aku menautkan alis.“Malam itu saat aku ketiduran di kafe, aku seperti memimpikanmu. Entah itu potongan ingatanku yang kembali tapi malam itu aku tiba-tiba saja ingin segera pulang dan memelukmu. Dan aku benar-benar melakukannya malam itu, mendatangimu ke kamar Kia dan memelukmu sampai pagi.”Ingatanku
(Pov Ivan)“Aku mau ketemu Tari, boleh nggak?” Aku masih memandangin Aya dengan segala pesonanya ketika wanita itu memergokiku.Cahaya Kirana. Di dalam ingatanku wanita ini pernah hadir mewarnai masa mudaku dulu. Aku pernah menyukainya dan aku masih ingat dulu selalu diam-diam memperhatikan Aya saat ia sedang bersama kekasihnya di kampus, lalu ingatanku terputus sampai di situ, lalu potongan memoriku tentang pernikahan kami di rumah sakit adalah isi ingatanku berikutnya. Bagaimana prosesku melamarnya? Apa aku melamarnya di pantai seperti foto dalam pigura yang ada di meja kerjaku?Foto itu selalu mengalihkan perhatianku saat sedang termenung di ruang kerjaku. Foto Aya dengan gaun berwarna biru senada dengan warna lautan lepas yang menjadi latarnya, juga cincin bermata biru yang terselip di jari manisnya dan dipamerkannya ke kamera. Ahh, hatiku selalu berdesir saat melihat foto itu.Pantai itu adalah salah satu tempat favoritku selain perkebunan, karena di sana ada kenangan masa kecilk
Darahku berdesir hebat mendengarnya, napasku memburu. Sejak kecelakaan dan tak mengingat beberapa hal tentangnya, aku memang memilih menghindarinya. Satu-satunya keintimanku dengannya saat malam itu aku menyusup masuk ke kamar Kia dan memeluknya hingga pagi. Dan sekarang ... wanita ini menari meliuk-liuk di atas pangkuanku. Seluruh tubuhku rasanya terpanggil untuk menikmatinya.Huhh! Persetan dengan ingatan! Persetan dengan dugaan dan kecurigaanku! Aku sedang menginginkan wanita ini! Dulu aku bahkan sering membayangkan wajahnya pasrah dalam kuasaku saat ia masih punya kekasih. Dan kini wajah itu justru terlihat sedang mendamba untuk kukuasai.“Papi.” Ia memanggil dengan desahan.“Hmm.”“Aku mau ....”Tak kubiarkan Aya meneruskan kalimatnya, kubungkam mulutnya dan menikmati manis bibirnya.“Aya.” Aku balas berbisik, dan ternyata bisikanku menimbulkan gelenyar yang sama padanya, karena kulihat matanya menatap penuh harap padaku.“Iya.”“Jangan panggil Papi, panggil Ivan aja. Itu terdeng
“Minuman untukku mana, Bi?” Pertanyaan sesederhana itu membuat beberapa orang yang ada di dapur menoleh padaku.‘Ada apa?’ Alisku bertaut, bertanya dalam diam.“Ehh ... itu ... Pak ....” Wanita paruh baya itu tergagap. Entah sejak kapan aku mempekerjakan beberapa orang asing itu di rumah ini, aku sendiri tak mengingatnya.“Bapak ... mau minum apa?”Pertanyaan ragu-ragu wanita itu membuatku berdiri tak menginginkan minuman yang kucari tadi. Ada apa? Kenapa mereka semua seolah heran mendengarku? Bukankah hal yang wajar jika aku menanyakan minumanku untuk sarapan pagi ini?“Sudahlah, Bi! Aku sudah tak berselera!” Dengan sedikit nada tinggi kutinggalkan meja makan meskipun deretan menu sarapan pagi tadi sempat menggugah selera makanku.“Ada apa, Pi?”Langkahku terhenti sesaat ketika melihat Aya muncul dengan rambut yang diikat tinggi dan digulung dengan asal. Leher putih mulusnya membuatku menelan ludah. Langkah pelan Aya ke arahku dengan gaya rambutnya yang dikuncir ke atas membuat kepal
(PoV Aya)Sejujurnya kejadian pagi itu memaksaku harus kembali merasakan kepedihan masa laluku. Ivan yang tiba-tiba saja oleng ketika melihatku muncul ke dapur pagi ini membuatku mau tak mau mengingat kembali penggalan ingatan yang juga tiba-tiba saja terlintas di kepala Ivan. Aku masih mengingat jelas momen itu, momen ketika ia menjemputku di rumah Ibu, memintaku menemaninya makan siang di rumah makan padang, lalu terlihat frustasi ketika melihat beberapa bercak merah kebiruan di leherku.Aku masih ingat dengan jelas, waktu itu aku dan Mas Adam masih tinggal serumah. Dan malam sebelumnya, Mas Adam memperlakukanku dengan brutal, meninggalkan apa yang disebut Ivan “tanda perang” di sekitar leher hingga tulang selangkaku. Bahkan aku masih ingat pertanyaannya malam itu setelah semua perlakuan kasarnya, “Apa kamu pernah tidur dengannya?”Ahh, sungguh mengingat perjalanan hidupku saat masih bersama Mas Adam membuatku selalu tak bisa untuk tak menitikkan air mata. Apalagi pagi ini, justru I
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber