"Buk, pernah gak, Bapak melakukan kesalahan besar yang susah banget untuk dimaafkan?" Aku menyandarkan kepala di pundak wanita yang tengah membelai rambut ini. "Ya, pernahlah," jawab Ibuk antusias. "Kesalahan apa?" Setahuku mereka jarang sekali bertengkar, kecuali ribut berebutan remote TV. Satu ingin menonton berita, sedangkan satunya lagi gandrung dengan sinetron. Namun, Bapak lebih sering mengalah dengan menonton tayangan favoritnya di pos ronda. "Pernah tergoda janda muda yang ngontrak di rumah sebelah." "Kapan? Sisy gak pernah dengar." "Waktu kamu masih kecil, belum bisa jalan. Dulu, kan, Bapakmu itu hitam-hitam Kereta Api. Biar hitam banyak yang mengintil." Ibuk tersenyum, tapi hanya sebentar. Setelah itu mengepalkan tangan geram lagi mengingat kelakuan Bapak dulu. "Memang sekuat itu pesona Bapak?" "Entahlah. Mungkin pakai ilmu pelet, buktinya ibuk langsung mau saja waktu dilamar." Lagi-lagi Ibuk menertawakan diri sendiri, sambil menerawang jauh. Mungkin mengingat bagaim
Aku mengayun kaki setengah ragu, bingung bagaimana harus menghadapi pemilik mobil yang tahu-tahu udah berada di depan rumah Bapak. Sayup-sayup terdengar beberapa orang mengobrol di dalam. "Assalamualaikum!" sapaku pada seluruh penghuni ruang tamu. Namun, gak kutemukan sosok Om Bas di sana saat netra ini menyapu sekeliling. Selain Bapak dan Ibuk, hanya ada Om Jatmiko. "Wa'alaikum salam, Nduk. Untung kamu sudah pulang. Buruan siap-siap berangkat ke Surabaya! Ibu mertuamu masuk rumah sakit. Kenapa HP-mu dimatikan segala? Punya temanmu juga sama." Ibuk terlihat panik. "Mama masuk rumah sakit? Kapan, Om?" tanyaku setengah panik. Terrnyata Om Jatmiko yang membawa mobil Om Bas ke sini. "Tadi pagi. Kamu ditelepon Bas gak aktif. Bapak sama Ibukmu juga entah ketiduran, atau entah ke mana, jadi gak dengar HP-nya bunyi. Papa mertuamu masih dalam perjalanan dari Madiun, makanya Bas suruh om buat jemput kamu. Untung saja pas om lagi cuti." "Mama sakit apa, Om?" Bukankah selama ini wanita ber
Kalau kalian pikir semalam aku udah ngapa-ngapain tau diapa-apain, itu salah. Kan udah kubilang Om Bas belum sepenuhnya pulih dari traumanya. Selow gak papa, asal nanti hilang permanen dan cuma ada Sisy dalam dunianya. Sejak awal nikah, Om Bas udah konseling ke beberapa psikiater. Sayangnya belum ada perubahan signifikan. Terakhir dia bertemu dengan hipnoterapis bernama Lidya. Wanita cantik yang pernah kupergokin lagi nongkrong bareng suamiku di kafe. Pelan tapi pasti, ya seperti yang kalian semua ketahui. Om Bas berusaha untuk memberanikan diri kontak fisik denganku. Dimulai dari pegangan tangan, kecup kening, kelonin, peluk, terus ehem ... berani kecup bibir. Nah, kalau ngaca mungkin sekarang bibirku udah dower kali, ya, sisa semalam. Gak usah tanya kenapa dan jangan pernah bayangin yang iya-iya. Khususnya para jomblo. Bahaya! Karena penasaran, beberapa kali aku ikut mendampingi Om Bas waktu melakukan hipnoterapi. Waktu itu, aku melihat secara langsung bagaimana pria tampanku
"Loh, kok tumben gak mau dipeluk." Tangan Om Bas yang terlanjur terulur cuma tertahan di udara. Aku kabur duluan setelah cium tangan dan ambil tas kerjanya. "Takut Om Bas khilaf terus kebablasan." Aku berkelit ke sana sini saat lelaki itu berusaha menangkap tubuhku. "Ayolah, kok jadi gini sekarang? Bukannya dulu kepengin nempel terus setiap saat." "Ya, beda. Itu kan dulu sebelum ...." Sebelum kepenasaranku terjawab. Setelah tahu bahwa anuan itu ... ya ternyata begitulah pokoknya. Jangan minta aku buat jelasin, pasti emak-emak udah paham luar kepala. Ya. Harusnya aku senang Om Bas berhasil menang telak melawan traumanya. Lantas menobatkan Sisy sebagai istri seutuhnya. Namun, sekali sakit tetap sakit. Giliranku yang takut sekarang. "Ya, sudah. Bikinkan saya kopi, ya!" "Ahsiyaaap!" Aku balik haluan secepat kilat, lumayan bisa menghindar sebentar. Kemarin-kemarin, pelukan Om Bas itu seperti candu. Pokoknya mau lagi dan lagi. Sekarang kok beda, kaya sebuah ancaman. Rasanya kaya mau
"Makasih, ya!" Om Bas memiringkan tubuh sambil belai-belai pipiku. Biar baru bangun tidur dan kucel, kalau dari sananya udah tampan, bau asem pun tetap tercium seperti pewangi pakaian. Apalagi pas senyum bahagia kaya gini. Bahagia lahir batin pokoknya. Tahu kenapa? Semalam pakaian sport-ku ternyata gak guna. Dia malah paksa aku pakai baju kelambu anti nyamuk yang dulu pernah dibencinya. Pokoknya jaman dia pasif dulu, aku gak boleh memakai baju itu di depannya. Lantas sekarang kenapa hukumnya jadi wajib? Aturan macam apa ini? Diberlakukan tiap malam pula. Baru boleh libur kalau tanggal merah, eh palang merah bulanan. "Hmmm." Aku mengangguk, jauh lebih lemah. Mungkin sebentar lagi meredup dan padam. Butuh re-charge tenaga setelah semalam terkuras habis. Om Bas berhasil menerobos pertahananku dengan tehnik barunya. Jadi paham, kan! Kenapa pagi ini dia bahagia banget? Gol kemenangan pertama telah berhasil dicetaknya. Segel Sisy sudah terbuka. Hiks! "Welcome, Nyonya Baskara!" ucapnya
Demi kebahagiaan lelaki ganteng maksimalku, Sisy mendadak jadi robot yang tugasnya kudu ngangguk-angguk aja untuk keinginan besar Tuan Baskara Abimana. Apa itu? Bereproduksi, Saudara. Demi mewujudkan itu dan biar cepat ada hasil, Om Bas sampai mengagendakan kami untuk mengikuti program hamil. Seniat itu, padahal aku selow. Nanti kalau sudah waktunya pasti bakalan hamil juga. Baik aku sama Om Bas, toh gak pasang pelindung apapun. Aku juga udah pasrah seandainya segera dapet label bunda Sisy. "Lapar?" tanyanya, saat menyusuri lorong rumah sakit. "Banget," jawabku. "Ya udah. Kita cari makan dulu." Sekarang aku gak bakalan ketinggalan atau takut gak bisa mengimbangi langkah panjang Om Bas. Karena dia selalu merangkul pundak atau gandeng tangan ini ke manapun kami jalan berdua. Bodo amat sama orang-orang yang lihatin melulu, entah karena iri atau barangkali lagi ketawa dalam hati ada bocil unyu mesra sama om-om. Hari ini suamiku sengaja ambil cuti untuk check up awal ke dokter kandun
"Kenapa sih, Mel? Jawab telepon aja sampai suruh aku ngumpet-ngumpet kaya gini." Berasa kurang kerjaan pagi-pagi udah mojok di toilet. Leader genk gesrek gak ada akhlak memang. Masa mau telepon pakai chat dulu, suruh ngumpet di tempat tersembunyi. Di mana aja, asal gak terdeteksi sama Om Bas. Kalau perlu masuk lubang semut. "Tau, nggak? Semalam Om Bas ngomel-ngomel sama aku, Sy." "Hah! Serius? Kok, bisa." "Iya. Pakai wanti-wanti segala. 'Lain kali jangan menakut-nakuti istri saya, atau saya akan bikin perhitungan sama kamu!' Kaya gitu, Sy. Serem amat laki kamu kalau marah." Mau gak mau aku ngakak dengar Amel niruin gaya marahnya Om Bas. Untung lelaki itu lagi ngopi di depan, gak mungkin kebrisikan sama semburan tawa kerasku. Pantesan Amel minta aku ngumpet, pasti takut ketangkap basah lagi kaya kemarin. "Ya, salah kamu sendiri kenapa pakai cerita di bagian yang serem-serem. Wajar aja aku langsung takut." "Kan kamu yang minta share pengalamanku waktu hamil. Aku kasih tahu fakta
Untuk pertama kalinya aku diperkenalkan dengan lingkungan Om Bas. Tempatnya berkecimpung dalam dunia kerja. Gak cuma aku, tapi melibatkan seluruh keluarga karyawan di perusahaan tersebut untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Family Gathering diadakan di sebuah hotel berbintang lima dengan berbagai fasilitas. Semua kompak mengenakan kaos atasan warna merah dan bawahan berwarna hitam. Yang udah punya keluarga lengkap, rata-rata menghabiskan waktu di kolam renang besar yang bentuknya mirip sungai panjang yang mengelilingi venue outdoor. Om Bas berhenti sejenak saat melintasi keasyikan anak-anak itu. Tersenyum saat melihat keriuhan dan keseruan mereka mencipratkan air ke ayah dan bundanya. Aku tahu, dalam hatinya pasti ada keinginan serupa seperti apa yang tengah disaksikannya. Kadang dia insecure di usia yang telah matang, tetapi belum juga dikaruniai buah hati seperti kawan sebaya lainnya. Bagiku belum tua-tua amat, sedang ganteng-gantengnya malah. "Ngapain lihatin saya kaya git
"Mama sama Papa pulang, ya! Kalau Evan macem-macem bilang sama Mama." Ibu mertua memelukku penuh sayang. "Iya, Ma." "Jaga istrimu baik-baik! Sekarang kamu sudah jadi suami, tanggung jawabmu makin besar, jangan petakilan dan main-main gak jelas lagi." Tetap Evan yang diwanti-wanti, dikasih wejangan dengan nada penuh ancaman baik dari sang Mama maupun Papa. "Siap, Komandan!" Masih saja cengengesan di saat yang lain tenggelam dalam haru. "Pak, Bu, kami pamit pulang. Jangan segan-segan menegur anak kami jika dia salah langkah dan arah. Bimbing dia supaya bisa menjadi suami dan calon ayah yang baik." Kedua mertuaku menyalami sang besan. "Insya Allah, Pak, Bu. Terima kasih telah menyempatkan diri mampir ke sini," ucap Papa mewakili keluargaku. "Cici, kamu gak tinggal di Surabaya aja?" Gadis yang sekarang resmi jadi adik ipar masih menggelendot manja di lenganku, lebih manja ke aku daripada kakak kandungnya sendiri. Kami hanya beberapa kali bertemu sebelum acara pernikahan. Namun, akt
Pagiku kini berbeda, biasanya akan terbangun dengan bunyi alarm, atau memang otakku telah tersetting sedemikian rupa oleh kebiasaan sehingga tanpa adanya alarm pun aku pasti terbangun di jam yang sama. Gak peduli tidur larut atau enggak, tetap gak ada pengaruhnya. Aku gak langsung berolahraga atau gegas mandi, tapi hari ini aku seperti mendapatkan dispensasi atas apa yang terjadi semalam. Masih ingin bermalas-malasan dengannya, memanfaatkan cuti yang gak seberapa lama dengan bercengkerama. Evan masih terpejam, mendengkur halus dengan napas teratur. Tanganku terulur menjangkau wajah tampan itu kemudian mengusapnya perlahan. Semalam pasti melelahkan untuk kami, terutama untuknya. Gejolak muda telah terlampiaskan dengan begitu indah bermandikan peluh. Kelopak mata yang tersentuh oleh tanganku mengerjap. Lengkungan di kedua sudut bibirnya begitu hangat hingga merasuk ke dada ini. "Dicium juga boleh," ujar lelaki yang telah memiliki jiwa dan ragaku seutuhnya. Aku tersadar jika jemarik
"Gimana? Sudah sesuai dengan ekspektasi kamu?" Evan menemaniku melihat-lihat interior ruko hasil rancangannya setelah diisi lengkap dengan furniture. Proses finishing mundur satu bulan dari target karena beberapa kendala. Di lantai dua, aku memindai tiap sudut ruangan yang sebagian kecil adalah request-ku sendiri termasuk pemilihan cat dan wallpaper dinding kamar. "Oke, aku suka, kok." Puas menjelajah tiap sudut lantai dua, lanjut ke lantai tiga yang sengaja dikhususkan untuk bersantai. Ada kolam renang kecil, tempat gym dan juga taman minimalis yang difungsikan sebagai area hijau roof top. "This is you're dream, right?" Lelaki berstatus calon suami itu merentangkan tangan seperti mempersembahkan sebuah pertunjukan. "Hmmm." Aku menepi ke tembok pembatas setinggi dada orang dewasa, berdiri menghadap langit barat Surabaya. Sekarang benar-benar terwujud bersamaan dengan view keemasan kala senja. Juga dengan dia--pria tampan yang nantinya akan jadi sandaran kepalaku ketika sama-sa
"Sudah, Mbak. Aku gak mau denger lagi pertanyaan yang selalu kamu ulang-ulang. Kamu yakin, gak? Kamu benar-benar yakin? Aku bosen, sumpah. Ini terakhir kalinya aku menjawab kalau aku sangat-sangat yakin ingin menikahimu ... segera. Paham!" Aku gak bisa lari ketika Evan mengunciku dengan tatapan tegasnya. Celah mana yang ingin kamu jadikan alasan, Erin? Kurang keras kah usahanya mencairkan bekunya rasamu? Bukti apa lagi yang kamu inginkan agar dia bisa leluasa memasuki singgasana hatimu kemudian mengizinkannya menetap di sana? "Kenapa harus segera, Van? Kaya married by accident aja." "Akan terjadi accident beneran kalau kamu sengaja mengulur-ulur waktu." Evan mencondongkan wajah, aku mundur hingga punggungku terdesak ke pintu mobil. Teringat ciuman spontan waktu di Malang, refleks kudorong dadanya hingga kepala pemuda itu terantuk jendela kaca samping pengemudi. Aku puas dia meringis dan mengelus-elus belakang kepala. "Masih berani ngancam?" "Ngeri kamu, Mbak. Mau dikasih enak ma
"Mbak suka yang mana?" tanya Evan. Ada puluhan model cincin tunangan yang berjajar di kaca etalase toko perhiasan bernama Sofia's Jewelry. Bocah gemblung itu memang anti basa-basi. Jika memiliki keinginan tertentu pokoknya harus terlaksana segera. "Bahkan kamu belum bilang apa-apa sama Papa, Van. Apa ini gak lucu?" Gak tahu apa yang ada di kepala bocah ini. Bagiku semuanya serba instan, pertemuan kami, ketertarikan Evan, caranya mendekatiku hingga luluh. Lalu sekarang tahu-tahu sudah mengajak berburu cincin tunangan. "Aku yakin papamu pasti setuju, Mbak. Nanti begitu sampai Surabaya, aku pasti langsung ngobrolin ini sama keluarga besar Mbak." "Van--""Udah, jangan kebanyakan mikir. Buruan pilih yang mana." "Terserah kamu aja, Van." Ada model emas polosan, berhias permata, batu safir dan masih banyak model lainnya. "Enggak bisa, pokoknya harus pilih sendiri and follow your heart. Aku gak suka kata 'terserah'. Takut ngedumel di belakang." "Serius, Van. Pilih aja sesuai feeling d
"Coba ulangi, Mbak!" Evan memiringkan kepala, sengaja mendekatkan telinganya ke bibirku. Ngelunjak memang. "Iya, Van, iya. Puas?" Gak peduli Cici akan terbangun atau enggak. Aku berteriak dan mungkin gendang telinga Evan pecah kali ini. Dia menggosok-gosok daun telinganya dan ngedumel gak jelas. Rasakan! Siapa suruh iseng. Namun itu gak berlangsung lama, aku menyaksikan sebuah selebrasi menggelikan setelahnya. Laki-laki yang baru saja kuterima cintanya melompat-lompat sambil mengepalkan tangan. Berkali-kali mengucap yes-yes. "Tapi aku belum puas kalau belum sah, Mbak," ucapnya, di sela mengatur napas yang ngos-ngosan sehabis jejingkrakan. "Tapi awas ya, kalau sampai kamu sebarluaskan berita ini. Termasuk ke Vanya. Dan jangan sekali-kali posting status apapun di sosmed tentang ini." "Kenapa?" "Kamu udah tahu jawabannya." Pancaran tegas dan kadang meneduhkan itu sedikit meredup. Kedua tangannya mencengkeram besi pembatas balkon. Bukannya aku gak mau mengakuinya, tapi aku takut j
"Santai aja, Mbak. Gak usah tegang." Evan menutup pintu mobilnya, lalu menarik tanganku ke sebuah bangunan modern klasik berlantai dua. "Kamu yang santai, Van. Aku enggak bakalan ilang." Kulepas genggamannya yang hangat, seketika detak jantungku kembali normal. Dia gak tahu irama menyebalkan itu cukup mengganggu. "Evan!" seru seseorang, setelah daun pintu ditarik ke dalam. Wanita berambut keriting sebahu memeluk erat pemuda itu. Erat sekali seperti seakan semua rindu tumpah di sana. Seolah dia pernah bepergian ke suatu tempat, lalu kembali setelah bertahun-tahun. "Kangen banget ya, Ma?" Evan lebih erat membalas. "Iyalah. Biasanya seminggu sekali pulang, ini enggak. Mentang-mentang sudah nemu--" "Oh, ya, Ma. Kenalin, ini wanita cantik yang pernah Evan ceritain ke Mama." Pelukan terurai dan dengan lancangnya tangan Evan merangkul leherku. Cerita apa saja dia ke ibunya? "Oh, jadi kamu yang namanya Erin? Cantik sekali. Real pict seperti di foto-foto yang sering dikirim Evan." "I
"Semudah itu papa kasih izin Evan?" Terpaksa aku prepare juga pagi ini. Aku kalah telak dengan pendukung cowok cute itu. Papa, Mama dan Vanya bersekongkol meluluhkanku dengan sejuta cara. "Dia meminta izin dan bicara baik-baik sama papa. Papa cuma bisa kasih semangat, sekalian ingin melihat bagaimana cara dia berjuang mendapatkan cinta Erin yang kerasa kepala. Berani juga anak itu." Lelaki itu duduk di tepi ranjang, menungguku bersiap-siap karena sebentar lagi Evan menjemput. "Sekarang papa pasrah, ya?" Aku tertawa kecil menggodanya, mengingat pria-pria rekomendasi papa yang pernah kutolak sebelum ini. Dari kesemua lelaki tersebut, aku tahu papa sudah menyelidiki dulu latar belakang masing-masing. Gak mungkin asal walaupun bisa dikatakan aku begitu terlambat menemukan pasangan. "Bukan pasrah, tapi ingin mengikuti apa yang terbaik menurut kamu karena yang akan menjalani adalah kamu. Soal Evan ... menurut papa, dia memiliki daya tarik kuat. Bisa kamu lihat dari niat baiknya, keber
Aku tertawa, tepatnya menertawakan diri sendiri. Menyedihkan, bukan! Bahkan sekarang aku sedang dihibur oleh lelaki muda dengan gombalannya. Gombalan yang sering kulihat di acara komedi talk show atau cuplikan video singkat di sosmed. Evan berhasil, melebur sakitku, kecewaku juga sedihku dengan caranya meski di balik semua itu batinku meronta-ronta. "Ada yang lucu, Mbak?" Pertanyaan yang membuatku menghentikan tawa ini. Bukankah dia pencipta mood booster itu? Lawakan khas anak muda ketika iseng merayu wanita-wanita di sekitarnya. Kenapa dia malah datar saja? "Maaf, Van. Aku terbawa suasana dan gak bisa nahan tawa." "Jadi, Mbak pikir aku sedang becanda?" "Loh, terus?" Apa ini sebuah kode tertentu, kode lelaki terhadap perempuan yang memiliki kepekaan tinggi. Masa depan Mbak sudah ada di sini katanya. Apa itu artinya dia sudah berani melangkah lebih jauh? "Mungkin terlalu cepat dan begitu konyol di mata Mbak. Tapi jujur, apa yang sedang kurasakan ini gak salah. Serius!" Pramusaj