Pagiku kini berbeda, biasanya akan terbangun dengan bunyi alarm, atau memang otakku telah tersetting sedemikian rupa oleh kebiasaan sehingga tanpa adanya alarm pun aku pasti terbangun di jam yang sama. Gak peduli tidur larut atau enggak, tetap gak ada pengaruhnya. Aku gak langsung berolahraga atau gegas mandi, tapi hari ini aku seperti mendapatkan dispensasi atas apa yang terjadi semalam. Masih ingin bermalas-malasan dengannya, memanfaatkan cuti yang gak seberapa lama dengan bercengkerama. Evan masih terpejam, mendengkur halus dengan napas teratur. Tanganku terulur menjangkau wajah tampan itu kemudian mengusapnya perlahan. Semalam pasti melelahkan untuk kami, terutama untuknya. Gejolak muda telah terlampiaskan dengan begitu indah bermandikan peluh. Kelopak mata yang tersentuh oleh tanganku mengerjap. Lengkungan di kedua sudut bibirnya begitu hangat hingga merasuk ke dada ini. "Dicium juga boleh," ujar lelaki yang telah memiliki jiwa dan ragaku seutuhnya. Aku tersadar jika jemarik
"Mama sama Papa pulang, ya! Kalau Evan macem-macem bilang sama Mama." Ibu mertua memelukku penuh sayang. "Iya, Ma." "Jaga istrimu baik-baik! Sekarang kamu sudah jadi suami, tanggung jawabmu makin besar, jangan petakilan dan main-main gak jelas lagi." Tetap Evan yang diwanti-wanti, dikasih wejangan dengan nada penuh ancaman baik dari sang Mama maupun Papa. "Siap, Komandan!" Masih saja cengengesan di saat yang lain tenggelam dalam haru. "Pak, Bu, kami pamit pulang. Jangan segan-segan menegur anak kami jika dia salah langkah dan arah. Bimbing dia supaya bisa menjadi suami dan calon ayah yang baik." Kedua mertuaku menyalami sang besan. "Insya Allah, Pak, Bu. Terima kasih telah menyempatkan diri mampir ke sini," ucap Papa mewakili keluargaku. "Cici, kamu gak tinggal di Surabaya aja?" Gadis yang sekarang resmi jadi adik ipar masih menggelendot manja di lenganku, lebih manja ke aku daripada kakak kandungnya sendiri. Kami hanya beberapa kali bertemu sebelum acara pernikahan. Namun, akt
"Kok, Om gak mau sentuh aku? Kita kan udah nikah." Aku menoel punggung lelaki yang terbaring di sampingku. "Kecil-kecil me*um." "Tua-tua gak normal." "Geli aja kalau ingat waktu kamu masih ingusan dulu." "Itu, kan, waktu aku masih umur 10 tahun." "Pokoknya masih kebayang sampai sekarang." Om Bas bergidik merinding lalu bebaring memunggungiku. Pilih peluk guling daripada aku--gadis yang sudah dinikahinya sebulan lalu. Istri yang masih berstatus perawan ting-ting, bukan permen bukan biskuit. Aku bisa maklum kalau Om Bas memiliki kelemahan tertentu. Masalahnya, alasan dia gak banget. Masa iya gara-gara teringat caraku ngelap ingus dulu. Pakai punggung tangan hingga terseret ke pipi. Kadang ada gelembung keluar dari salah satu lubang hidung. Bukankah itu lucu dan menggemaskan? "Terus kalau gak mau pegang, kenapa Om mau nikah sama aku?" Aku tahu lelaki jangkung itu hanya pura-pura merem. "Ini semua gara-gara kutukan gak masuk akalmu itu." == "Mau jadi apa kamu, Sisy? Disuruh kuli
Mendadak Om Bas gemetaran lihat aku beraksi menyingkap kimono pelan-pelan. Pokoknya pakai gerakan slow motion ala brand ambassador sabun mandi. Biar memacu adrenalin dan menciptakan sensasi gurih-gurih gimana gitu. "Hentikan!" Om Bas sampai berjingkat turun dari ranjang. Tetap bawa bantal buat tutupin muka, padahal ngintip juga. Ck! Muna-waroh memang. Aku menjulurkan kaki ke lantai, duduk berpose elegan dengan mencondongkan tubuh ke belakang. Pilin-pilin anak rambut dan kedipin sebelah mata, menggoda. Betewe, udah kaya pelakor belum? "Sini, dong, Om!" Kugerakkan jari telunjuk isyarat supaya lelaki mature itu mau mendekat. "Dasar bocah genit!" Bukannya maju, si dia malah mundur teratur. Syalan! Habis sudah kesabaran Sisy. Eh, belum, ding. Masih ada sisa sekian persen, bisalah untuk melanjutkan aksi nackal ini. Sebagai istri yang sebulan belum terjamah sama sekali, wajib hukumnya buat demo meminta hak buka segel. Dengan sejuta keanggunan yang kupunya, aku melangkah mendekati pria
"Unboxing apaan? Jangan macam-macam kamu!" Uwuw, Om Bas gumushin kalau lagi panik. Takut yang dipegang bakalan lepas kalau nekat kuapa-apain. Lelaki berambut setengah basah itu melipir nempel-nempel di dinding. Jalan ke samping selangkah demi selangkah saat aku berjalan mendekatinya sampai mentok ke meja rias. Langkahku makin dekat dan teramat dekat dengan mata tak beralih menatap area bawah. "Dari luar aja udah lucu gitu bentuknya, apalagi dalamnya." Aku mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di bibir lalu menipiskan jarak dengan Om Bas. "Sisy! Jangan kurang ajar sama suami." Aku menyambar kotak kado merah muda dengan hiasan pita yang teronggok di meja rias, tepat di bawah pinggang Om Bas. Hadiah pernikahan yang telat dikirim salah satu teman yang kerja di luar kota. "Wleee, ge'er!" Kujulurkan lidah pada pemilik wajah tegang-tegang menggemaskan itu saat berjalan melewatinya. Sedikit menahan malu, Om Bas menyembunyikan wajah di balik pintu lemari. Pura-pura sibuk cari baju. "Wah! Baju
Rumah itu gak terlalu besar, tapi bersihnya minta ampun. Benar-benar sudah siap huni karena semua perabotan telah tertata rapi. Pokoknya Sisy tinggal bawa badan sama baju doang. Gak salah aku jadi Om-om lover. Selain matang secara usia, Om Bas juga prepare banget tentang kewajibannya sebagai suami, yakni sandang, pangan, papan. Tinggal satu kewajiban anuan aja yang belum. Nah, kan! Ke sana lagi, ke sana lagi. "Ini kamar kita, bereskan sendiri baju-baju kamu di lemari." Om Bas menarik koperku, masuk ke sebuah ruangan yang lumayan lega kalau dipakai buat anuan. Buat guling-guling maksudnya. Kamar kita katanya. Berarti boboknya bareng-bareng kan, ya! Haseeek. Ada ranjang berukuran nomor satu dengan seprei dan bed cover warna pastel di sana. Gak sabar kepingin rebahan, apalagi sudah dilengkapi AC yang bisa diatur temperaturnya. Pasti gak bakalan bikin masuk angin kaya kipas di rumah Ibuk. "Sisy boleh tiduran di situ kan, Om?" "Ya, bolehlah." Yes! Otewe rebahan. Mana nyaman banget lag
Jadi gitu ceritanya, Om Bas belum mau apa-apain aku gara-gara masih kebayang terus sama masa kecilku. Kalau sepuluh tahun lalu tahu, bahwa dia akan jadi suami di masa mendatang, pasti aku bakalan rajin mandi, gak mainan tanah dan petakilan. Biar yang diingat adalah Sisy yang cantik, manis, imut dan menggoda. Intinya, dia masih kesulitan menganggapku sebagai istri. Di matanya, aku tetaplah bocah ingusan yang belum tumbuh dewasa. Padahal sebagai wanita, fisikku sudah ideal, kok. Gak kalah sama supermodel atau finalis kontes kecantikan. Masa iya gak ada keinginan buat nyicipin dikit gitu. Belum juga tahu gimana rasanya. "Astaga, Bas. Jadi selama ini kamu belum--" Mama menyatukan dua jari telunjuk kanan dan kiri isyarat anu. "Iya, Ma. Gimana cara mengatasinya ya, Ma?" Om Bas menghela napas sambil mikir. Apa selama ini dia juga tersiksa gak bisa mengatasi sugestinya sendiri? Secara kasat mata aku cukup dewasa dan menarik. Namun, bagi Om Bas berbeda, yang dilihatnya adalah sosok Sisy ke
"Diem, ah. Berisik! Nanti kalau tetangga denger, dikiranya saya KDRT." Aku ditarik ke sofa, suruh duduk anteng kaya anak TK. sedang Om Bas jongkok sambil ngelap pipiku pakai tisu. Cuma pipi, hidungku disuruh ngelap sendiri. Segitu bencinya sama ingus. "Makanya jangan jaad." "Siapa yang jahat? Yakin, kamu dandan seperti ini hanya untuk menarik perhatian saya? Bukan laki-laki lain di luar sana? Coba ingat-ingat, sepanjang perjalanan dari mall ke rumah, ada berapa pasang mata laki-laki yang bebas menguliti penampilan kamu?" Kali ini Om Bas ambil tisu basah di rak bawah meja kaca. Gak cuma air mata, polesan wajah juga dihapus sampai bersih. Ada yang polosan tapi bukan anu. Iya juga, sih. Begitu wajah Sisy yang innocent disulap jadi cantik. Tiba-tiba banyak kaum pria yang nengok pas aku lagi jalan selesai pemotretan. Dari mulai mas-mas cleaning service, pramuniaga dan pengunjung. Kayaknya terlihat takjub gitu, persis kaya Jaka Tarub waktu ketemu bidadari. Di mana, Sy? Di drama musikal
"Mama sama Papa pulang, ya! Kalau Evan macem-macem bilang sama Mama." Ibu mertua memelukku penuh sayang. "Iya, Ma." "Jaga istrimu baik-baik! Sekarang kamu sudah jadi suami, tanggung jawabmu makin besar, jangan petakilan dan main-main gak jelas lagi." Tetap Evan yang diwanti-wanti, dikasih wejangan dengan nada penuh ancaman baik dari sang Mama maupun Papa. "Siap, Komandan!" Masih saja cengengesan di saat yang lain tenggelam dalam haru. "Pak, Bu, kami pamit pulang. Jangan segan-segan menegur anak kami jika dia salah langkah dan arah. Bimbing dia supaya bisa menjadi suami dan calon ayah yang baik." Kedua mertuaku menyalami sang besan. "Insya Allah, Pak, Bu. Terima kasih telah menyempatkan diri mampir ke sini," ucap Papa mewakili keluargaku. "Cici, kamu gak tinggal di Surabaya aja?" Gadis yang sekarang resmi jadi adik ipar masih menggelendot manja di lenganku, lebih manja ke aku daripada kakak kandungnya sendiri. Kami hanya beberapa kali bertemu sebelum acara pernikahan. Namun, akt
Pagiku kini berbeda, biasanya akan terbangun dengan bunyi alarm, atau memang otakku telah tersetting sedemikian rupa oleh kebiasaan sehingga tanpa adanya alarm pun aku pasti terbangun di jam yang sama. Gak peduli tidur larut atau enggak, tetap gak ada pengaruhnya. Aku gak langsung berolahraga atau gegas mandi, tapi hari ini aku seperti mendapatkan dispensasi atas apa yang terjadi semalam. Masih ingin bermalas-malasan dengannya, memanfaatkan cuti yang gak seberapa lama dengan bercengkerama. Evan masih terpejam, mendengkur halus dengan napas teratur. Tanganku terulur menjangkau wajah tampan itu kemudian mengusapnya perlahan. Semalam pasti melelahkan untuk kami, terutama untuknya. Gejolak muda telah terlampiaskan dengan begitu indah bermandikan peluh. Kelopak mata yang tersentuh oleh tanganku mengerjap. Lengkungan di kedua sudut bibirnya begitu hangat hingga merasuk ke dada ini. "Dicium juga boleh," ujar lelaki yang telah memiliki jiwa dan ragaku seutuhnya. Aku tersadar jika jemarik
"Gimana? Sudah sesuai dengan ekspektasi kamu?" Evan menemaniku melihat-lihat interior ruko hasil rancangannya setelah diisi lengkap dengan furniture. Proses finishing mundur satu bulan dari target karena beberapa kendala. Di lantai dua, aku memindai tiap sudut ruangan yang sebagian kecil adalah request-ku sendiri termasuk pemilihan cat dan wallpaper dinding kamar. "Oke, aku suka, kok." Puas menjelajah tiap sudut lantai dua, lanjut ke lantai tiga yang sengaja dikhususkan untuk bersantai. Ada kolam renang kecil, tempat gym dan juga taman minimalis yang difungsikan sebagai area hijau roof top. "This is you're dream, right?" Lelaki berstatus calon suami itu merentangkan tangan seperti mempersembahkan sebuah pertunjukan. "Hmmm." Aku menepi ke tembok pembatas setinggi dada orang dewasa, berdiri menghadap langit barat Surabaya. Sekarang benar-benar terwujud bersamaan dengan view keemasan kala senja. Juga dengan dia--pria tampan yang nantinya akan jadi sandaran kepalaku ketika sama-sa
"Sudah, Mbak. Aku gak mau denger lagi pertanyaan yang selalu kamu ulang-ulang. Kamu yakin, gak? Kamu benar-benar yakin? Aku bosen, sumpah. Ini terakhir kalinya aku menjawab kalau aku sangat-sangat yakin ingin menikahimu ... segera. Paham!" Aku gak bisa lari ketika Evan mengunciku dengan tatapan tegasnya. Celah mana yang ingin kamu jadikan alasan, Erin? Kurang keras kah usahanya mencairkan bekunya rasamu? Bukti apa lagi yang kamu inginkan agar dia bisa leluasa memasuki singgasana hatimu kemudian mengizinkannya menetap di sana? "Kenapa harus segera, Van? Kaya married by accident aja." "Akan terjadi accident beneran kalau kamu sengaja mengulur-ulur waktu." Evan mencondongkan wajah, aku mundur hingga punggungku terdesak ke pintu mobil. Teringat ciuman spontan waktu di Malang, refleks kudorong dadanya hingga kepala pemuda itu terantuk jendela kaca samping pengemudi. Aku puas dia meringis dan mengelus-elus belakang kepala. "Masih berani ngancam?" "Ngeri kamu, Mbak. Mau dikasih enak ma
"Mbak suka yang mana?" tanya Evan. Ada puluhan model cincin tunangan yang berjajar di kaca etalase toko perhiasan bernama Sofia's Jewelry. Bocah gemblung itu memang anti basa-basi. Jika memiliki keinginan tertentu pokoknya harus terlaksana segera. "Bahkan kamu belum bilang apa-apa sama Papa, Van. Apa ini gak lucu?" Gak tahu apa yang ada di kepala bocah ini. Bagiku semuanya serba instan, pertemuan kami, ketertarikan Evan, caranya mendekatiku hingga luluh. Lalu sekarang tahu-tahu sudah mengajak berburu cincin tunangan. "Aku yakin papamu pasti setuju, Mbak. Nanti begitu sampai Surabaya, aku pasti langsung ngobrolin ini sama keluarga besar Mbak." "Van--""Udah, jangan kebanyakan mikir. Buruan pilih yang mana." "Terserah kamu aja, Van." Ada model emas polosan, berhias permata, batu safir dan masih banyak model lainnya. "Enggak bisa, pokoknya harus pilih sendiri and follow your heart. Aku gak suka kata 'terserah'. Takut ngedumel di belakang." "Serius, Van. Pilih aja sesuai feeling d
"Coba ulangi, Mbak!" Evan memiringkan kepala, sengaja mendekatkan telinganya ke bibirku. Ngelunjak memang. "Iya, Van, iya. Puas?" Gak peduli Cici akan terbangun atau enggak. Aku berteriak dan mungkin gendang telinga Evan pecah kali ini. Dia menggosok-gosok daun telinganya dan ngedumel gak jelas. Rasakan! Siapa suruh iseng. Namun itu gak berlangsung lama, aku menyaksikan sebuah selebrasi menggelikan setelahnya. Laki-laki yang baru saja kuterima cintanya melompat-lompat sambil mengepalkan tangan. Berkali-kali mengucap yes-yes. "Tapi aku belum puas kalau belum sah, Mbak," ucapnya, di sela mengatur napas yang ngos-ngosan sehabis jejingkrakan. "Tapi awas ya, kalau sampai kamu sebarluaskan berita ini. Termasuk ke Vanya. Dan jangan sekali-kali posting status apapun di sosmed tentang ini." "Kenapa?" "Kamu udah tahu jawabannya." Pancaran tegas dan kadang meneduhkan itu sedikit meredup. Kedua tangannya mencengkeram besi pembatas balkon. Bukannya aku gak mau mengakuinya, tapi aku takut j
"Santai aja, Mbak. Gak usah tegang." Evan menutup pintu mobilnya, lalu menarik tanganku ke sebuah bangunan modern klasik berlantai dua. "Kamu yang santai, Van. Aku enggak bakalan ilang." Kulepas genggamannya yang hangat, seketika detak jantungku kembali normal. Dia gak tahu irama menyebalkan itu cukup mengganggu. "Evan!" seru seseorang, setelah daun pintu ditarik ke dalam. Wanita berambut keriting sebahu memeluk erat pemuda itu. Erat sekali seperti seakan semua rindu tumpah di sana. Seolah dia pernah bepergian ke suatu tempat, lalu kembali setelah bertahun-tahun. "Kangen banget ya, Ma?" Evan lebih erat membalas. "Iyalah. Biasanya seminggu sekali pulang, ini enggak. Mentang-mentang sudah nemu--" "Oh, ya, Ma. Kenalin, ini wanita cantik yang pernah Evan ceritain ke Mama." Pelukan terurai dan dengan lancangnya tangan Evan merangkul leherku. Cerita apa saja dia ke ibunya? "Oh, jadi kamu yang namanya Erin? Cantik sekali. Real pict seperti di foto-foto yang sering dikirim Evan." "I
"Semudah itu papa kasih izin Evan?" Terpaksa aku prepare juga pagi ini. Aku kalah telak dengan pendukung cowok cute itu. Papa, Mama dan Vanya bersekongkol meluluhkanku dengan sejuta cara. "Dia meminta izin dan bicara baik-baik sama papa. Papa cuma bisa kasih semangat, sekalian ingin melihat bagaimana cara dia berjuang mendapatkan cinta Erin yang kerasa kepala. Berani juga anak itu." Lelaki itu duduk di tepi ranjang, menungguku bersiap-siap karena sebentar lagi Evan menjemput. "Sekarang papa pasrah, ya?" Aku tertawa kecil menggodanya, mengingat pria-pria rekomendasi papa yang pernah kutolak sebelum ini. Dari kesemua lelaki tersebut, aku tahu papa sudah menyelidiki dulu latar belakang masing-masing. Gak mungkin asal walaupun bisa dikatakan aku begitu terlambat menemukan pasangan. "Bukan pasrah, tapi ingin mengikuti apa yang terbaik menurut kamu karena yang akan menjalani adalah kamu. Soal Evan ... menurut papa, dia memiliki daya tarik kuat. Bisa kamu lihat dari niat baiknya, keber
Aku tertawa, tepatnya menertawakan diri sendiri. Menyedihkan, bukan! Bahkan sekarang aku sedang dihibur oleh lelaki muda dengan gombalannya. Gombalan yang sering kulihat di acara komedi talk show atau cuplikan video singkat di sosmed. Evan berhasil, melebur sakitku, kecewaku juga sedihku dengan caranya meski di balik semua itu batinku meronta-ronta. "Ada yang lucu, Mbak?" Pertanyaan yang membuatku menghentikan tawa ini. Bukankah dia pencipta mood booster itu? Lawakan khas anak muda ketika iseng merayu wanita-wanita di sekitarnya. Kenapa dia malah datar saja? "Maaf, Van. Aku terbawa suasana dan gak bisa nahan tawa." "Jadi, Mbak pikir aku sedang becanda?" "Loh, terus?" Apa ini sebuah kode tertentu, kode lelaki terhadap perempuan yang memiliki kepekaan tinggi. Masa depan Mbak sudah ada di sini katanya. Apa itu artinya dia sudah berani melangkah lebih jauh? "Mungkin terlalu cepat dan begitu konyol di mata Mbak. Tapi jujur, apa yang sedang kurasakan ini gak salah. Serius!" Pramusaj