Untuk pertama kalinya aku diperkenalkan dengan lingkungan Om Bas. Tempatnya berkecimpung dalam dunia kerja. Gak cuma aku, tapi melibatkan seluruh keluarga karyawan di perusahaan tersebut untuk mempererat hubungan kekeluargaan. Family Gathering diadakan di sebuah hotel berbintang lima dengan berbagai fasilitas. Semua kompak mengenakan kaos atasan warna merah dan bawahan berwarna hitam. Yang udah punya keluarga lengkap, rata-rata menghabiskan waktu di kolam renang besar yang bentuknya mirip sungai panjang yang mengelilingi venue outdoor. Om Bas berhenti sejenak saat melintasi keasyikan anak-anak itu. Tersenyum saat melihat keriuhan dan keseruan mereka mencipratkan air ke ayah dan bundanya. Aku tahu, dalam hatinya pasti ada keinginan serupa seperti apa yang tengah disaksikannya. Kadang dia insecure di usia yang telah matang, tetapi belum juga dikaruniai buah hati seperti kawan sebaya lainnya. Bagiku belum tua-tua amat, sedang ganteng-gantengnya malah. "Ngapain lihatin saya kaya git
Sisy terlelap di dadaku, dengan dua tangan melingkari pinggang ini. Makin terbuai ke alam mimpi makin merenggang pelukan itu. Aku menyibak anak rambut yang menutupi dahi dan wajah sendunya malam ini. Masih ada sisa-sisa basah di kitaran mata dan pipi. Usai menumpahkan semua ganjalan di hati.Upayaku mengenalkan dan membawanya masuk ke duniaku harus berujung ketidaknyamanan. Kehilangan senyum cerianya sama dengan memadamkan kehangatan di rumah ini, dan tangisnya adalah bagian menyakitkan yang tak ingin kulihat lagi sejak terakhir kali dia menumpahkannya dulu--saat aku memberikan sebuah pengakuan menyayat hati. Kupikir dia akan tumbuh menjadi gadis yang dewasa sebelum waktunya. Mengingat sejarah masa kecilnya dulu. Ternyata tidak selamanya seperti itu. Adakalanya dia begitu polos dan lugu. Tak jarang pula bertingkah labil seperti remaja belasan tahun. Namun terkadang sisi bijaknya bisa muncul tanpa diduga. Bagaimana pun itu, aku menyayanginya. Aku yang membawanya masuk dalam ikatan su
"Kalau yang ini menurut Om gimana?" Ini adalah taster kue lapis ketiga yang kubikin, menggunakan resep Ibuk. "Sekarang lebih oke lah, hanya saja pilihan warnanya terlalu pucat." Om Bas kebagian jadi komentator. "Ooh. Oke! Nanti Sisy perbaiki lagi." Katanya, aku gak boleh marah kalau dikritik. Karena masukan dari banyak orang juga penting supaya kita bisa berbenah, apa aja yang kurang dari dagangan kita. Semua untuk kebaikan kita juga, biar ke depan lebih maju dan berkembang. Sebelum ini, kalau gak kelembekan ya pasti kurang manis. Biar bukan chef, tapi lidah Om Bas lumayan bisa diandalkan atau bisa jadi patokan berhasil atau enggaknya kue bikinanku. "Jangan hanya saya yang disuruh cobain. Kita juga butuh pendapat orang lain. Coba nanti bikin lagi terus dibagi-bagikan ke tetangga. Sebenarnya waktu paling tepat itu pas ada kegiatan lingkungan yang melibatkan seluruh warga. Nah, itu peluang bagus untuk testimoni atau promo pengenalan produk." "Terus apa lagi?" "Kalau pikiran sud
"Om apaan, sih! Lupa ini di mana?" Aku melepaskan rangkulan lelaki itu. Masa mau iya-iya di kantor? "Salah sendiri blusukan ke ruang rahasia segala, jangan salahkan saya kalau sampai lepas kendali." "Kalau ada orang masuk gimana? Nekat banget." "Gak bakalan ada yang berani masuk ganggu jam istirahat saya." Om Bas maju lagi, aku melipir nempel-nempel di dinding, jalan ke samping selangkah demi selangkah. Lelaki ini kenapa jadi agresif sekali? Apa aku dulu seperti itu, ya, waktu sering mancing-mancing Om Bas biar dia mau apa-apain aku? Hadeh, memalukan! Untung udah halal. "Ayolah!" Om Bas melihat jam tangan sekali lagi, mungkin memastikan waktu istirahat yang tersisa. "Nanti di rumah aja." "Sekarang pokoknya." "Nanti baju Om kusut, loh." "Enggak, kan gak perlu pakai baju." "Om!" Aku melotot tegas. Om Bas mengempaskan diri ke kasur sambil memegangi perutnya, menahan tawa. Sial! Jangan-jangan cuma prank. Udah deg-degan setengah mati. Kirain mau ngajakin bikin adonan dede bayi
"Udah taruh, kenapa dilihatin terus?" Aku geli-geli gemas dengan tingkah Om Bas. "Saya gak mimpi, kan?" Om Bas memperhatikan sekali lagi benda sebesar gagang sikat gigi anak-anak yang terbungkus plastik itu. Gak ada yang berubah, tetap menampakkan strip dua warna merah. "Kerasa, gak?" Aku mencium pipi lelaki yang tengah berbahagia itu. "Coba ulangi lagi!" "Om Bas modus." Biar gitu, aku tetap mengulanginya lagi. "Masyaa Allah, sungguh ini kado terindah dan luar biasa, Sayang. Sejak kapan kamu telat datang bulan, hem? Kenapa bisa lolos dari pantauan saya." Si calon ayah meletakkan kepala di pangkuanku dengan wajah menghadap perut. Dielusnya perut rataku lantas menghujaninya dengan kecupan lembut. Kemarin-kemarin Om Bas sibuk mengurus persiapan pembukaan outlet. Belum kerjaan menumpuk di kantornya sendiri. Sampai lupa kapan terakhir kali mencatat haid terakhirku. Atau saking sudah pasrah tiap kali aku telat mens langsung ditestpack. Namun, sejauh ini negatif terus. Sampailah pada
"Ish, kan dokter udah bilang ... Om gak boleh ngintip dulu. Kalau dedek bayinya kesakitan gimana?" Bayangin doang kok jadi serem sendiri. "Gak bakalan kesakitan, Sayang." Om Bas malah ketawa gemes, andalannya pencet-pencet hidungku. Untung gak kempes dan tetep mancung. "Buktinya gak boleh, kan?" "Boleh, asal gak tiap hari. Asal tahu prosedur yang aman bagaimana. Dedek bayinya kan udah terlindungi kantong ketuban dan otot rahim yang kuat, jadi gak bakalan kesakitan." Tuh, kan! Padahal bukan Om Bas yang hamil, tapi dia lebih tahu segalanya. Kadang heran akutuh. Coba pinternya nular dikit gitu ke aku. Kalau gak bisa, seenggaknya nanti diwariskan ke bayi kami. "Pokoknya Sisy gak mau anuan dulu." "Sampai kapan?" "Tiga bulan." "Kamu becanda?" "Serius." Dulu aja aku sabar banget nungguin berbulan-bulan, ya sekarang rasain gimana gak enaknya dianggurin. Sebenarnya aku gak sekejam itu, kok. Serius, aku takut dedeknya kenapa-kenapa. "Om yang sabar, ya!" "Iya, iyaaa ..." Om Bas nga
"Pagi, Sayang!" Om Bas udah rapi pakai setelan kemeja biru dongker dan celana hitam panjang. "Pagi juga Om Sayang." Sambil menahan mual, aku tetap menyiapkan sarapan untuk lelaki pujaan hati. Kasihan nanti gak keurus kalau aku manjain rasa nano-nano di dalam perut ini. Lagipula menu sarapan Om Bas gak ribet. Untuk pagi hari menu favoritnya bukan tergolong makanan berat semacam nasi dan lauk pauk. Paling cuma sereal, sandwich atau roti-rotian. Hari ini kubikinkan pisang panggang tabur keju cokelat. "Masih mual-mual?" tanya Om Bas. "Hmmm." "Tetap paksain makan sesuatu, ya." "Iya, tadi Sisy udah minum susu, kok." "Harus konsumsi makanan lain juga, Sayang." "Iya, nanti diusahain." Sejak hamil, Om Bas lebih mirip mama-mama, cerewet banget. Bentar-bentar suruh makan melulu. Minum vitamin inilah, itulah. Kulkas udah mirip orang jualan, full sayuran, buah-buahan, juga daging-dagingan. Bukan aku yang belanja, tapi bapak rumah tangga yang lagi asyik bersantap sarapan di kursi seberang
"Cepet banget move on dari aku, langsung pacaran sama Evan." Deri menghadang langkahku pas mau balik ke kelas habis dari perpustakaan. "Emangnya kenapa? Orang kita udah putus juga."Aneh, ada mantan cepet move on kok gak rela. Terus aku harus mewek guling-guling gitu, ogah! Cukup lebih dari lima tahun aku patah hati gara-gara ditolak cinta pertama. Cinta pertama yang sekarang gak tahu masih hidup apa enggak. Tiba-tiba ilang gitu aja, gak ada kabar. Mau tanya sama Om Jatmiko kok gengsi, nanti dikiranya Om Bas penting banget dalam hidupku. "Hebatnya dia apa?" Ini anak kenapa coba tanya-tanya melulu. Aneh, orang dia sendiri yang minta putus gara-gara aku gak mau dicium. "Masa gak tahu? Yang jelas dia lebih ganteng dari kamu." Aku gak bohong ini, bukannya mau banding-bandingin. Deri sendiri yang tanya apa hebatnya Evan. "Cuma menang tampang doang udah bikin kamu segitu bangga. Dia itu playboy tahu, gak?" "Enggak, kok. Orang pacarnya cuma Sisy di sekolah ini." Deri kaya gak terima da
"Mama sama Papa pulang, ya! Kalau Evan macem-macem bilang sama Mama." Ibu mertua memelukku penuh sayang. "Iya, Ma." "Jaga istrimu baik-baik! Sekarang kamu sudah jadi suami, tanggung jawabmu makin besar, jangan petakilan dan main-main gak jelas lagi." Tetap Evan yang diwanti-wanti, dikasih wejangan dengan nada penuh ancaman baik dari sang Mama maupun Papa. "Siap, Komandan!" Masih saja cengengesan di saat yang lain tenggelam dalam haru. "Pak, Bu, kami pamit pulang. Jangan segan-segan menegur anak kami jika dia salah langkah dan arah. Bimbing dia supaya bisa menjadi suami dan calon ayah yang baik." Kedua mertuaku menyalami sang besan. "Insya Allah, Pak, Bu. Terima kasih telah menyempatkan diri mampir ke sini," ucap Papa mewakili keluargaku. "Cici, kamu gak tinggal di Surabaya aja?" Gadis yang sekarang resmi jadi adik ipar masih menggelendot manja di lenganku, lebih manja ke aku daripada kakak kandungnya sendiri. Kami hanya beberapa kali bertemu sebelum acara pernikahan. Namun, akt
Pagiku kini berbeda, biasanya akan terbangun dengan bunyi alarm, atau memang otakku telah tersetting sedemikian rupa oleh kebiasaan sehingga tanpa adanya alarm pun aku pasti terbangun di jam yang sama. Gak peduli tidur larut atau enggak, tetap gak ada pengaruhnya. Aku gak langsung berolahraga atau gegas mandi, tapi hari ini aku seperti mendapatkan dispensasi atas apa yang terjadi semalam. Masih ingin bermalas-malasan dengannya, memanfaatkan cuti yang gak seberapa lama dengan bercengkerama. Evan masih terpejam, mendengkur halus dengan napas teratur. Tanganku terulur menjangkau wajah tampan itu kemudian mengusapnya perlahan. Semalam pasti melelahkan untuk kami, terutama untuknya. Gejolak muda telah terlampiaskan dengan begitu indah bermandikan peluh. Kelopak mata yang tersentuh oleh tanganku mengerjap. Lengkungan di kedua sudut bibirnya begitu hangat hingga merasuk ke dada ini. "Dicium juga boleh," ujar lelaki yang telah memiliki jiwa dan ragaku seutuhnya. Aku tersadar jika jemarik
"Gimana? Sudah sesuai dengan ekspektasi kamu?" Evan menemaniku melihat-lihat interior ruko hasil rancangannya setelah diisi lengkap dengan furniture. Proses finishing mundur satu bulan dari target karena beberapa kendala. Di lantai dua, aku memindai tiap sudut ruangan yang sebagian kecil adalah request-ku sendiri termasuk pemilihan cat dan wallpaper dinding kamar. "Oke, aku suka, kok." Puas menjelajah tiap sudut lantai dua, lanjut ke lantai tiga yang sengaja dikhususkan untuk bersantai. Ada kolam renang kecil, tempat gym dan juga taman minimalis yang difungsikan sebagai area hijau roof top. "This is you're dream, right?" Lelaki berstatus calon suami itu merentangkan tangan seperti mempersembahkan sebuah pertunjukan. "Hmmm." Aku menepi ke tembok pembatas setinggi dada orang dewasa, berdiri menghadap langit barat Surabaya. Sekarang benar-benar terwujud bersamaan dengan view keemasan kala senja. Juga dengan dia--pria tampan yang nantinya akan jadi sandaran kepalaku ketika sama-sa
"Sudah, Mbak. Aku gak mau denger lagi pertanyaan yang selalu kamu ulang-ulang. Kamu yakin, gak? Kamu benar-benar yakin? Aku bosen, sumpah. Ini terakhir kalinya aku menjawab kalau aku sangat-sangat yakin ingin menikahimu ... segera. Paham!" Aku gak bisa lari ketika Evan mengunciku dengan tatapan tegasnya. Celah mana yang ingin kamu jadikan alasan, Erin? Kurang keras kah usahanya mencairkan bekunya rasamu? Bukti apa lagi yang kamu inginkan agar dia bisa leluasa memasuki singgasana hatimu kemudian mengizinkannya menetap di sana? "Kenapa harus segera, Van? Kaya married by accident aja." "Akan terjadi accident beneran kalau kamu sengaja mengulur-ulur waktu." Evan mencondongkan wajah, aku mundur hingga punggungku terdesak ke pintu mobil. Teringat ciuman spontan waktu di Malang, refleks kudorong dadanya hingga kepala pemuda itu terantuk jendela kaca samping pengemudi. Aku puas dia meringis dan mengelus-elus belakang kepala. "Masih berani ngancam?" "Ngeri kamu, Mbak. Mau dikasih enak ma
"Mbak suka yang mana?" tanya Evan. Ada puluhan model cincin tunangan yang berjajar di kaca etalase toko perhiasan bernama Sofia's Jewelry. Bocah gemblung itu memang anti basa-basi. Jika memiliki keinginan tertentu pokoknya harus terlaksana segera. "Bahkan kamu belum bilang apa-apa sama Papa, Van. Apa ini gak lucu?" Gak tahu apa yang ada di kepala bocah ini. Bagiku semuanya serba instan, pertemuan kami, ketertarikan Evan, caranya mendekatiku hingga luluh. Lalu sekarang tahu-tahu sudah mengajak berburu cincin tunangan. "Aku yakin papamu pasti setuju, Mbak. Nanti begitu sampai Surabaya, aku pasti langsung ngobrolin ini sama keluarga besar Mbak." "Van--""Udah, jangan kebanyakan mikir. Buruan pilih yang mana." "Terserah kamu aja, Van." Ada model emas polosan, berhias permata, batu safir dan masih banyak model lainnya. "Enggak bisa, pokoknya harus pilih sendiri and follow your heart. Aku gak suka kata 'terserah'. Takut ngedumel di belakang." "Serius, Van. Pilih aja sesuai feeling d
"Coba ulangi, Mbak!" Evan memiringkan kepala, sengaja mendekatkan telinganya ke bibirku. Ngelunjak memang. "Iya, Van, iya. Puas?" Gak peduli Cici akan terbangun atau enggak. Aku berteriak dan mungkin gendang telinga Evan pecah kali ini. Dia menggosok-gosok daun telinganya dan ngedumel gak jelas. Rasakan! Siapa suruh iseng. Namun itu gak berlangsung lama, aku menyaksikan sebuah selebrasi menggelikan setelahnya. Laki-laki yang baru saja kuterima cintanya melompat-lompat sambil mengepalkan tangan. Berkali-kali mengucap yes-yes. "Tapi aku belum puas kalau belum sah, Mbak," ucapnya, di sela mengatur napas yang ngos-ngosan sehabis jejingkrakan. "Tapi awas ya, kalau sampai kamu sebarluaskan berita ini. Termasuk ke Vanya. Dan jangan sekali-kali posting status apapun di sosmed tentang ini." "Kenapa?" "Kamu udah tahu jawabannya." Pancaran tegas dan kadang meneduhkan itu sedikit meredup. Kedua tangannya mencengkeram besi pembatas balkon. Bukannya aku gak mau mengakuinya, tapi aku takut j
"Santai aja, Mbak. Gak usah tegang." Evan menutup pintu mobilnya, lalu menarik tanganku ke sebuah bangunan modern klasik berlantai dua. "Kamu yang santai, Van. Aku enggak bakalan ilang." Kulepas genggamannya yang hangat, seketika detak jantungku kembali normal. Dia gak tahu irama menyebalkan itu cukup mengganggu. "Evan!" seru seseorang, setelah daun pintu ditarik ke dalam. Wanita berambut keriting sebahu memeluk erat pemuda itu. Erat sekali seperti seakan semua rindu tumpah di sana. Seolah dia pernah bepergian ke suatu tempat, lalu kembali setelah bertahun-tahun. "Kangen banget ya, Ma?" Evan lebih erat membalas. "Iyalah. Biasanya seminggu sekali pulang, ini enggak. Mentang-mentang sudah nemu--" "Oh, ya, Ma. Kenalin, ini wanita cantik yang pernah Evan ceritain ke Mama." Pelukan terurai dan dengan lancangnya tangan Evan merangkul leherku. Cerita apa saja dia ke ibunya? "Oh, jadi kamu yang namanya Erin? Cantik sekali. Real pict seperti di foto-foto yang sering dikirim Evan." "I
"Semudah itu papa kasih izin Evan?" Terpaksa aku prepare juga pagi ini. Aku kalah telak dengan pendukung cowok cute itu. Papa, Mama dan Vanya bersekongkol meluluhkanku dengan sejuta cara. "Dia meminta izin dan bicara baik-baik sama papa. Papa cuma bisa kasih semangat, sekalian ingin melihat bagaimana cara dia berjuang mendapatkan cinta Erin yang kerasa kepala. Berani juga anak itu." Lelaki itu duduk di tepi ranjang, menungguku bersiap-siap karena sebentar lagi Evan menjemput. "Sekarang papa pasrah, ya?" Aku tertawa kecil menggodanya, mengingat pria-pria rekomendasi papa yang pernah kutolak sebelum ini. Dari kesemua lelaki tersebut, aku tahu papa sudah menyelidiki dulu latar belakang masing-masing. Gak mungkin asal walaupun bisa dikatakan aku begitu terlambat menemukan pasangan. "Bukan pasrah, tapi ingin mengikuti apa yang terbaik menurut kamu karena yang akan menjalani adalah kamu. Soal Evan ... menurut papa, dia memiliki daya tarik kuat. Bisa kamu lihat dari niat baiknya, keber
Aku tertawa, tepatnya menertawakan diri sendiri. Menyedihkan, bukan! Bahkan sekarang aku sedang dihibur oleh lelaki muda dengan gombalannya. Gombalan yang sering kulihat di acara komedi talk show atau cuplikan video singkat di sosmed. Evan berhasil, melebur sakitku, kecewaku juga sedihku dengan caranya meski di balik semua itu batinku meronta-ronta. "Ada yang lucu, Mbak?" Pertanyaan yang membuatku menghentikan tawa ini. Bukankah dia pencipta mood booster itu? Lawakan khas anak muda ketika iseng merayu wanita-wanita di sekitarnya. Kenapa dia malah datar saja? "Maaf, Van. Aku terbawa suasana dan gak bisa nahan tawa." "Jadi, Mbak pikir aku sedang becanda?" "Loh, terus?" Apa ini sebuah kode tertentu, kode lelaki terhadap perempuan yang memiliki kepekaan tinggi. Masa depan Mbak sudah ada di sini katanya. Apa itu artinya dia sudah berani melangkah lebih jauh? "Mungkin terlalu cepat dan begitu konyol di mata Mbak. Tapi jujur, apa yang sedang kurasakan ini gak salah. Serius!" Pramusaj