“Iya, kamu kan, dulu cinta mati sama Agus. Eh, dianya malah dipelet sama si Yasmin. Mumpung sekarang peletnya udah gak mempan, makanya si Agus sadar kalau nggak ada yang lebih baik daripada Lilis. Cuman, dia malu buat bilangnya. Agus nyuruh saya buat sampein salam ke kamu, Lis.” Mae nyerocos seperti beo.“Masa, iya, Bu Mae? Beneran Mas Agus titip salam buat saya?” mata Lilis berbinar. “Etapi … sekarang Lilis cintanya sama dokter Radit,” ucapnya sambil cemberut.“Halah, si Adit, kan, udah kawin. Mending sama Agus. Dia itu manajer di Jakarta. Gajinya gede. Rumahnya bagus,” cerocosnya lagi.“Lah, kata orang-orang Mas Agus kemarin pulang naik ojek ke sini. Emang ke mana mobilnya, Bu Mae?” tanya Lilis.“Oh, itu. Lagi diservis. Biasa, ganti cat, biar tambah bagus,” jawab Maemunah terdengar gugup.“Ooh,” sahut Lilis juga Yani berbarengan.“Nggak taulah, Bu Mae. Lilis udah ilang rasa sama Mas Agus. Soalnya Dokter Radit lebih menggoda. Dia udah buktiin bisa bangun rumah segede aula. Mana mobil
POV Maemunah Sial. Kenapa si Yasmin datang ke sini segala sih? Pas banget lagi, saat aku bilang soal dia tukang teluh.“Siapa yang bilang tukang teluh? Aku bilang kamu tukang ngeluh. Kuping kamu aja yang budeg,” kataku sambil melihat tentengan tangannya. Sepertinya dia mau ngasih sesuatu sama Bu Kardun. Bu Kardun melirik padaku dengan sinis. Semoga saja dia tidak bongkar rahasia. Kalau tidak, bisa runyam dunia persilatan. Kebohonganku bisa terbongkar. “Waalaikumsalam, Neng Yasmin? Ada apa, Neng?” jawab Bu Kardun sambil nyamperin mantan menantuku itu. Selamat, selamaat. Aku mengusap dada yang masih berdebar. Si Yasmin masih menatapku dengan wajah penasaran, sepertinya tadi dia mendengar dengan jelas apa yang aku katakan. Masa bodo, lah. “Ah, ini ada sedikit oleh-oleh buat Ibu,” katanya. Aku langsung menajamkan pandangan, menilik dari jauh, apa yang dikasihin si Yasmin sama Bu Kardun. “Wah, dodol. Kayaknya enak, nih. Emang dapet dari mana dodol sebanyak ini?” ujar Bu Kardun, sok
“Heh kamu timbang disuruh begitu aja kagak mau! Dasar ya. Saya ini orang terpandang di sini. Mana mungkin saya nggak bayar! Udah sana, awas jangan ngalangin jalan saya!” aku menyenggolnya sampai si Sri oleng dan hampir jatuh. Tau rasa dia. Begitu kalau nolak keinginan Mae.“Lah, sama Bu Badru aja katanya Ibu nggak bayar,” ucapnya pelan dengan logatnya yang lemah.Sialan si Badru, rupanya dia omong-omong ke orang kalau aku belum bayar. Nggak akan kubayar sekalian. Duit hasil penjualan burung habis buat urus-urus si Agus. Bukannya aku nggak mau bayar.Ah, jadi dapat ide. Apa aku curi aja ya burung Pak Didi barang satu ekor. Pak Didi kayaknya lagi nggak ada. Bagus juga ideku ini. Dasar Mae orang pinter. Selalu saja dapat ide yang cemerlang.Aku lalu mengendap masuk ke pekarangan Pak Didi yang pagarnya nggak dikunci. Semoga Pak Didi lagi keluar atau lagi tidur. Celingak-celinguk. Sepi. Kayaknya Pak Didi emang nggak ada. Rejeki nomplok ini. Burung yang mana yang kira-kira paling mahal, y
POV YasminKeesokan paginya aku dikejutkan dengan tiket pesawat ke Lombok yang ada di atas meja rias. Aku bolak-balik. Untuk dua orang atas nama aku juga dr.Radit. Untuk akhir pekan ini.“Mas,” panggilku pada dr.Radit yang baru keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk. Aku yang tadinya melihat dia langsung melengos. Duh, roti sobeknya boleh buat sarapan, nggak, sih?Dr.Radit memang rajin fitness di kala waktu senggangnya. Minimal lari selama satu jam di atas treadmil setiap pagi dan sore hari dia akan sit up, push up, dan lain-lain. Kadang suka gemes juga kalau lihat dr.Radit yang basah karena keringat.“Kenapa?” tanyanya.“Emh, ini apa?” tanyaku tanpa melihat padanya. Bisa kacau kalau melihat lagi deretan roti itu.“Tiket. Memangnya kamu nggak bisa baca?” Dia balik bertanya dengan nada menggoda. Menyebalkan kadang-kadang. Bisa saja mancing-mancing.“Kok, nggak bilang-bilang?” Aku bertanya lagi, masih berpura-pura tidak ingin melihatnya.“Biar kamu lihat sendiri,” katanya d
“Sudah beres sholatnya?”Sebuah pertanyaan yang membuat jantungku seakan mau copot. Pertanyaan itu seolah terdengar, ‘apa kamu sudah siap malam ini?’.“Su-sudah,” jawabku tergagap.“Ayo,” ajaknya membuat mataku membulat sempurna. Ayo ke mana ini?“Ke-mana?” tanyaku terbata.“Lihat pemandangan malam dari sana,” tunjuknya ke area luar kamar yang terhubung dengan kolam renang dan tempat duduk out door tanpa atap.Mau tak mau aku bangkit. Tidak terlalu malu karena masih ada handuk kimono yang menutupi.Aku sambut uluran tangannya yang hangat. Mungkin karena dia habis tiduran. Sementara tanganku terasa dingin karena habis mandi walaupun dengan air hangat.Kelap-kelip lampu di kejauhan terlihat indah. Sepertinya dari hotel lain ataupun rumah penduduk.“Indah sekali,” bisiknya dari belakangku. Dia memelukku erat dari belakang. Berulang kali menghidu rambutku yang beriak tersapu angin. Tangannya melingkar ke perutku.Perlahan tangannya membuka tali simpul dari handuk kimono yang kupakai. Aku
POV Yasmin.Pagi-pagi di hari terakhir kami di Lombok. Dr.Radit mengajakku ke pantai, setelah hari kemarin malah kami habiskan sepanjang hari di kamar untuk menjalankan ritual pengantin baru yang sebenarnya sudah tidak baru.Aku sengaja memakai kaus ditambah sweater dan celana jins, soalnya kata dr.Radit kami akan keliling pantai naik ATV. Wah, pasti seru. Aku belum pernah menaiki kendaraan itu.Saat kami hendak keluar dan melalui loby hotel, sebuah suara juga sosok yang rasanya sangat kuhapal. Tentu saja, karena baru seminggu yang lalu kami bertemu. Aku dan dr.Radit langsung menghentikan langkah.Dia yang sedang berbicara dengan seorang wanita bercelana pendek dan memakai topi pun sama, dia berhenti dan menatapku juga dr.Radit bergantian.“Yas-min,” ucapnya mengeja namaku dengan mata berbinar.Dr.Radit langsung mengeratkan genggaman tangannya. Apalagi saat wanita yang sedang bersama Kak Jeff itu memasang wajah terpukau saat melihatku.“Inikah Yasmin itu?” pekiknya menghampiriku. Dia
“Yes, sure. Dia pasti tidak akan melepaskan Yasmin begitu saja. Karena itu, pertahankan dia, atau kau akan kehilangan dia selamanya. Jeff tidak akan menyia-nyiakan kesempatan.” Jennifer memperingatkan dr.Radit. “Terima kasih sudah memperingatkan,” sahut dr.Radit. “Kami akan pulang sore ini, karena itu kami pamit. Aku akan rekomendasikan hotel kalian pada teman-teman. Pelayanannya sangat memuaskan.”“Thank you. Oh ya, untuk liburan kalian kali ini anggap saja itu hadiah dariku untuk pernikahan kalian. Kalian tidak perlu membayarnya,” ujar Jennifer lalu menyeruput minuman dari gelasnya.“Tidak usah. Saya merasa tidak enak,” balas dr.Radit.“No, with my pleasure. Aku senang bisa membuat kalian bahagia datang ke tempat ini. datanglah kapan pun kalian mau. Aku akan siapkan tempat untuk kalian.” Jennifer berhenti, sepertinya sedang memikirkan sesuatu.“You know, aku sangat berterima kasih padamu, Yasmin. Karena kamu, dia punya semangat memperbaiki diri. Dia adalah anak paling bandel dan s
POV MaemunahTok, tok, tok.Siapa, ya, pagi-pagi begini udah bertamu? Nggak punya etika sama sekali. Aku lekas mengelap tangan yang basah karena lagi cuci piring dan gegas menuju pintu. Si Agus masih molor jam segini, begitu juga sama Mas Undang. Dua lakik gak ada guna. Pengen rasanya kutumbalkan saja pada siluman buaya, kali aja aku jadi mendadak kaya seperti yang pernah ditawarkan oleh Mbah Jamrong.Eh, tunggu, dari sosoknya rasanya itu Bu Kardun. Mau apa dia pagi-pagi begini? Mana larak-lirik ke kiri dan ke kanan pula, kayak yang takut ketahuan orang.“Eh, Bu Kardun. Ada apa pagi-pagi begini?” sapaku ramah, walaupun dalam hati masih ada mangkel juga dengan sikap Bu Kardun yang terakhir kali. Tapi … aku ingin tahu apakah jampi-jampi dari Mbah Jamrong itu bener-bener mempan? Baru saja kemarin aku dari dukun tua itu, dan sekarang sepertinya sudah menunjukan hasil yang memuaskan.“Ada yang ingin saya bicarakan dengan Bu Mae juga Agus,” katanya dengan mata masih saja larak-lirik ke kiri
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas