“Kalau mau ngundang ustaz kondang nggak bisa asal undang, Bu. Harus hubungi manajernya dari jauh-jauh hari. Jadwal mereka sibuk,” timpal Agus. Duh, ternyata susah mau ngundang ustadz artis. Ngundang siapa, ya? aku memutar otak.“Sudah saja ustadz kampung sini aja, Bu. Biar nggak susah,” timpal Bu Kardun, tapi aku langsung menolaknya. Enak saja. Aku nggak mau kalau sampai Agus kalah sama si Adit.“Ya sudah, saya serahkan saja sama Bu Mae. Saya ikut saja apa yang Bu Mae inginkan,” ucap Bu Kardun akhirnya. Aku kembali bersorak.“Nah, begitu, dong. Pokoknya Bu Kardun tau beres saja. Yang penting, uangnya jangan lupa kasih ke saya,” ucapku mengedipkan sebelah mata.Bu Kardun melongo. “Lho, kirain karena semua sesuai rencana sesuai keinginan Bu Mae, maka dari itu semua biaya Bu Mae sama Agus yang nanggung,” ujar Bu Kardun seenaknya. Duit dari mana aku?“Ya sudah gini saja, biayanya setengah-setengah saja,” timpal Agus dan membuatku melotot.“Setuju,” sahut Bu Kardun dan aku kembali melongo
POV LilisPagi-pagi aku akan dihias untuk acara pertunanganku dengan Mas Agus yang akan dilakukan di balai desa. Sesuai keinginan calon ibu mertuaku, kami semua memakai baju merah sesuai dengan dekorasi.Namun, saat aku mencium bau parfum penata rias, rasa mual tak tertahankan lagi. Aku berlari ke toilet dan memuntahkan air pahit, karena belum ada apapun yang masuk ke dalam perut. Anak ini benar-benar menyusahkan. Nggak kayak bikinnya sampe merem melek, pas hamilnya bikin senewen aja.“Neng Lilis, kenapa?” beberapa ibu-ibu yang bantu-bantu di rumah terlihat penasaran. Mereka juga melirik pada perutku yang tentu saja masih rata. Kepo banget mereka.“Nggak kenapa-napa, paling juga masuk angin. Soalnya semalem dia susah tidur, udah nggak sabar.” Untung saja Ibu segera menjawabnya, karena aku males banget menjawab. Perutku semakin bergejolak karena aroma masakan yang sedang diolah. Rasanya aku ingin pingsan saja dan bangun keesokan harinya setelah semuanya sudah selesai.Ibu-ibu kepo itu
“Bodoh! Kamu mau makan apa kalau kawin sama si Wahyu? Sudah jelas-jelas Ibu jodohin kamu sama si Agus. Kalau misalnya kehamilan kamu semakin besar, paling si Agus bawa kamu ke Jakarta. Orang-orang nggak bakalan tahu. Minimal si Agus itu kerjaannya jelas. Keluarganya juga terpandang. Masa depan kamu bakal lebih baik kalau sama si Agus. Ngerti?!” bentaknya sambil berkacak pinggang.Aku mendengkus dan mengambil lagi selimut dari lantai, lalu kembali menutupi tubuh di atas kasur.“Ibu akan minta mempercepat pesta pernikahan kalian. Kalau perlu minggu depan sekalian. Ibu tidak mau kalau sampai orang-orang curiga dengan kehamilanmu, terutama keluarga Bu Mae.”Itu kalimat terakhir dari mulut Ibu yang kudengar. Sebodo. Aku pusing.**POV Maemunah.Lho, kok, si Lilis muntah-muntah? Mencurigakan. Apa dia lagi hamil? Nggak mungkin kalau anaknya si Agus, orang dia baru keluar dari penjawa beberapa minggu lalu. Apalagi orang-orang pada bisik-bisik soal si Lilis yang muntah, juga rasa masakan yang
“Gini, deh, Bu Mae. Saya yang bayar semua. Nanti saya ganti kerugian Bu Mae. Semua uang yang sudah Bu Mae pake booking, saya ganti, deh. Lagian, kemarin juga pake duit saya sebagian, kan? Pokoknya, kalau minggu depan Lilis sama Agus kawin, biar saya aja yang nanggung,” kata Bu Kardun. Mataku langsung ijo. Kenapa nggak dari dulu aja. Nggak perlu susah-susah pinjem duit ke bank juga, kan. “Ya, sudahlah, Bu Kardun. Saya dan Agus setuju,” jawabku cepat walaupun Agus melirik dan mengunjak kakiku. Pasti dia nggak setuju. Bener, bagus juga si Agus cepet-cepet kawin sama si Lilis, biar bocah gendeng ini nggak perlu mikirin lagi perempuan kampung itu. Aku membalas injakan kaki Agus, hingga dia meringis. Rasain! Dan akhirnya sampai juga ke acara kawinannya si Agus. Bener meriah. Tapi … bunganya kok cuman bunga mati? Gak ada acara lengser seperti waktu kawinan si Adit. Sampe-sampe orang terhibur sama atraksi Nini, Aki di acara lengser. Baju yang dipakai Lillis juga nggak sebagus bajunya si Y
POV LilisKenapa jadi canggung gini ya? Padahal dulu aku begitu berani sama Mas Agus. Sampai-sampai aku sering sampering kalau dia pulang ke kampung sini. Mas Agus itu pemuda idaman setiap gadis di sini. Dia juga menjadi menantu idaman karena kerja di Jakarta sebagai seorang manajer di perusahaan bonafid, kata Bu Mae.Kita semua percaya, karena Mas Agus memang selalu berpenampilan keren. Setiap pulang ke sini pasti pakai mobil bagus. Beda sama dr.Radit, dulu kalau pulang ke sini paling naik angkot atau naik ojek. Nggak nyangka ternyata dia lebih mapan dari Mas Agus. Tahu gitu, dari dulu aku langsung deketin dr.Radit.Dulu nggak ada yang tahu kalau Radit itu menjadi seorang dokter. Bu Wati sama sekali tidak pernah bercerita pada tetangga di sini. Dia cuman bilang kalau Radit kerja di Jakarta sambil kuliah. Kami pikir, Radit hanya kerja biasa di pabrik. Penampilannya juga biasa saja, walaupun memang selalu rapi. Atau … apa mungkin karena dia tidak memakai mobil jadi terlihat biasa saja
Saat aku keluar, Mas Agus lagi duduk di kursi sambil merokok. Ya ampun, baunya bikin makin enek.Dia menatapku dari atas sampai bawah seperti binatang lapar. Semoga saja karena lagi ngebet dia gak sadar kalau aku nggak perawan.Mas Agus bangkit setelah mematikan rokoknya yang masih tersisa setengah. Menatapku lekat ke setiap sudut. Aku memang sengaja hanya memakai baju tidur yang pendek. Baju tidur yang bisa menampilkan keseksian tubuhku yang sintal.“Kamu lumayan cantik juga, Lis,” katanya. Tangannya mulai membelai ke rambut lalu turun ke pipi, bibir dan leher.“Dulu, malam pertamaku dengan Yasmin gagal, karena ibuku menuduhnya sudah tak perawan. Sekarang, aku harap kejadian seperti itu tidak akan terjadi lagi, karena kamu adalah pilihan ibuku. Aku yakin dia memilihkan jodoh yang terbaik,” katanya dengan deru napas yang mulai memburu.Mas Agus mulai mendaratkan ciumannya padaku. Permainannya biasa saja, masih lebih lihai si Wahyu. Mungkin, karena dia sudah sering melakukannya dengank
“Apa iya, Lilis?” tanya Bu Mae tegas.“Nggak, Bu. Itu cuman tuduhan Mas Agus aja. Bukan aku yang nggak perawan, tapi punya Mas Agus aja yang kekecilan.” AKu kembali beralasan. Wajah Agus memerah, mungkin karena malu atau juga marah karena rahasianya diungkap.Mas Agus maju, lalu ….Plak!Tamparannya mendarat di pipiku.“Bisa saja kamu cari alasan. Dasar lont*!” teriaknya. Aku terbelalak sambil memegangi pipiku yang perih.“MAsa iya, sih, punya kamu kecil, Gus?” Bu Mae menatap Agus dengan heran.“Ibu jangan dengarkan dia. Itu cuman karangannya saja. Dia memang sudah nggak perawan. Aku yakin itu!” Mas Agus berteriak marah.“Malam ini juga aku akan kembalikan kamu sama orangtua kamu. Aku ceraikan kamu,” kata Mas Agus.“Gus, jangan gitu. Masa kamu mengulang lagi masa lalu? Dulu sama si Yasmin, kamu cerai di saat malam pertama. Dan sekarang, kamu cerai lagi di malam pertama. Ibu malu … Gus, maluuuu,” kata Bu Mae berusaha mempertahankan. Hahaha. Bagus. Lumayan, ada yang belain.“Heh, Lili
POV AgusAneh, masa iya segampang itu kalau si Lilis masih perawan? Dia tidak terlihat kesakitan sama sekali. Apa aku tanya yang lain saja ya? Apa iya mereka juga semudah itu?Aku akan coba hubungi Wawan. Dia baru beberapa bulan yang lalu kawin, pasti masih ingat.Aku akan keluar dulu sambil mencari angin segar. Sumpek juga rasanya lihat si Lilis. Bikin aku ingat lagi kejadian tadi.Tuuutt. Tuuutt.“Halo?”“Halo, Wan. Sorry ganggu lu malem-malem. Gue cuman mau nanyain sesuatu yang agak tabu. Soal … soal malam pertama.” Aku hentikan kalimat, karena malu rasanya.Wawan tertawa. “Memangnya kenapa? Eluu belum bisa nembus? Sabaar, gue juga beberapa hari baru bisa lolos. Namanya pengantin baru, jangan terburu-buru,” jawabnya. Aku langsung garuk kepala yang tak gatal.“Justru itu, Wan. Kok gue tadi gampang banget, ya? Masa sekali langsung lolos. Gue jadi curiga, kalau—““Kalau bini elu udah gak perawan? Bisa jadi, Gus. Setau gue, namanya pertama itu pasti seret. Gue, kan, udah 2 kali dapet p
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas