Di dalam kamar, Raka belum jua memejamkan kedua matanya. Malam ini dia benar-benar tak bisa tidur. Dia sendiri tak tahu apa yang dipikirkannya. Hanya saja, dia sedikit gelisah dan tak tenang. Sebenarnya dia ingin sekali menelepon atau sekadar mengirim pesan untuk menanyakan kabar Meira. Hanya saja, gengsinya terlalu tinggi makanya dia memilih diam meski pusing memikirkan calon istrinya itu. [Lagi ngapain, Mas? Barusan aku teleponan sama Meira dong] Sebuah pesan muncul di layar membuat Raka membulatkan mata seketika. Dia melirik jarum jam di dinding. Nyaris jam sepuluh malam. Raka mulai mengomel kenapa Ken menghubungi Meira selarut ini. Bisa dihitung jari Raka menghubungi Meira. Itupun karena Dee, bukan karena hal lain. Namun, membaca pesan dari Ken tak urung membuatnya cemburu. [Nggak bisa tidur kan, Mas? Makanya kalau kangen jujur aja. Nggak perlu jaim!] Lagi, Ken mengirimi Raka pesan. Dia terkekeh membaca pesan yang dikirimkannya sendiri. Ken membayangkan bagaimana ekspresi kesa
"Kenapa wajahmu lesu begitu, Mei? Ada masalah?" tanya Adrian saat melihat anak semata wayangnya membantu Sarmi, asisten Adrian untuk menyiapkan sarapan. "Iya, Pa. Kurang tidur," balasnya dengan senyum tipis. Adrian menarik kursi lalu mendudukinya, sementara Erina baru saja keluar kamar mandi dengan handuk di kepalanya. Erina meminta Sarmi untuk membuatkan jus strawberry dicampur dengan tomat. "Kamu kenapa, Mei? Nervous karena mau menikah?" tanya Erina yang ikut menemukan keanehan di wajah Meira. Semalam Meira memang tak bisa tidur, dia baru bisa memejamkan mata nyaris jam empat pagi dan sebelum jam lima sudah bangun untuk shalat subuh. Wajar jika dia masih tampak lesu dan mengantuk karena hanya satu jam an saja terlelap. Kepalanya pun mendadak pusing karena terus memikirkan bundanya. "Nggak usah bingung, Mei. Soal acara pernikahanmu dengan Raka kan sudah ada mama sama Sundari. Kamu terima beres saja. Jangan dipikir pusing," ujar Erina lagi lalu melangkah ke kamar. "Iya, Mei. Kam
"Maafkan papa, Meira. Papa yang salah dan terlalu pengecut," ujar laki-laki itu dengan mata berembun. Meira tersenyum, tapi kedua matanya menitikkan bulir bening. Dia menggeleng pelan sembari mengusap lengan papanya. "Papa nggak salah. Papa punya alasan tersendiri kenapa sampai selama itu membiarkan Meira di panti. Mei memaklumi dan tak sepenuhnya menyalahkan papa. Apa sebaiknya pernikahan Mei dengan Pak Raka ditunda dulu, Pa? Setidaknya agar Mei bisa bersama papa lebih lama dan melayani papa sehari-hari," ucapnya kemudian membuat Adrian sedikit shock. Adrian tak menyangka jika Meira berpikir sejauh itu. Dia tak menyangka jika Meira takut tak memiliki banyak waktu bersamanya setelah menikah dengan Raka. "Papa lebih senang kamu lekas menikah dengan Raka, Meira. Dengan begitu ada yang berkewajiban menjaga kamu saat papa nggak di sini. Papa akan lebih tenang kalau harus meninggalkanmu. Minggu depan papa harus balik ke Jakarta. Mama juga ikut karena ada beberapa acara yang terpaksa dit
[Aku nggak bermaksud mengganggu hidupmu, Mei. Aku sudah ikhlas kamu pergi atau mungkin menikah dengan bosmu itu. Hanya saja, ini demi ibu. Aku tak tega membiarkannya seperti ini. Ibu masih kritis dan beberapa kali menyebut namamu. Aku juga nggak tahu kenapa hanya namamu saja yang disebutnya. Namun, aku berpikir mungkin ibu teringat kesalahan-kesalahannya di masa lalu padamu yang terlalu banyak. Boleh jadi ibu hanya ingin minta maaf padamu, Mei. Tolong, datanglah. Setidaknya ibu bisa lega jika sudah bertemu dan minta maaf padamu] Pesan panjang itu kembali muncul di layar. Meira masih bergeming di tempat duduknya, sementara Adrian masih mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon. Perempuan itu memijit celah di antara kedua alisnya. Dia teramat pusing kenapa menjelang hari pernikahannya dengan Raka ada saja masalah yang menimpa. Terkadang, Mei berpikir apakah itu artinya mereka tak diizinkan bersama? Namun, kadang pula dia kembali yakin jika ini sekelumit ujian sebelum pernik
[Kata mama, kamu mau bertemu dengan Baim, Mei?] Balasan dari Raka membuat Meira tersenyum tipis. Meira memang tak jadi mengabari Raka soal itu karena dia sudah menelepon Sundari beberapa menit lalu. Namun, sepertinya Sundari gerak cepat untuk memberi tahu anak sulungnya. Padahal jelas, Meira bilang ingin menjenguk mertuanya di rumah sakit bukan sengaja bertemu mantan suaminya. [Mau jenguk ibu yang kritis di rumah sakit, Pak. Bukan sengaja bertemu Mas Baim] Meira membalas pesan Raka setelah membacanya. Tak selang lama, Raka pun mulai mengetik balasan. Meira masih menunggu balasan itu sembari menata baju Aldo ke dalam koper. [Sama saja. Nanti bertemu Baim juga kan? Berapa lama di sana?] Lagi-lagi Meira menggeleng pelan. Apakah dia bisa mengatakan kalau Raka cemburu pada Baim? Meira terdiam sejenak. Ingin rasanya mengiyakan pertanyaannya sendiri, tapi dia tak ingin besar kepala. Dia tak ingin merasa dicemburui oleh Raka hanya karena pesan singkat itu. Baginya, Raka masih abu-abu. T
"Ini rumah papa dan mama di Jakarta, Mei. Rumah kalian juga. Jadi, kapanpun kalian ingin pulang, pulanglah ke sini," ucap Adrian sembari menunjuk rumah megah di hadapannya. Mobil yang ditumpangi rombongan kecil itu sudah sampai di depan gerbang rumah berlantai dua di perumahan mewah kota metropolitan. Setelah gerbang terbuka, mobil melesat masuk ke garasi. Ada dua mobil lain yang parkir di garasi rumah itu. "Ini rumah Opa sama Oma?" tanya Aldo begitu takjub dengan kemegahan rumah itu setelah dia turun dari mobil. Adrian dan Erina saling tatap lalu tersenyum tipis. Laki-laki itu pun mengusap kepala Aldo lalu mengangguk pelan saat keduanya bertatapan. "Iya, ini rumah Opa sama Oma. Rumah bunda dan Aldo juga," balas Adrian kemudian. Senyum tipis tak lepas dari kedua sudut bibirnya saat bersitatap dengan anak laki-laki itu. Aldo tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia benar-benar takjub dengan rumah Opa dan Omanya yang ternyata mewah dan tak seperti yang dibayangkannya selama ini
[Kamu sudah sampai di Jakarta, Mei? Apa kujemput saja? Rumah Pak Adrian di daerah mana?] Usai shalat ashar, Meira membaca pesan yang masuk ke aplikasi hijaunya. Lagi-lagi pesan dari Baim. Sebenarnya dia agak terganggu dengan pesan beruntun dari mantan suaminya itu. Hanya saja, Meira berusaha menghargai. Mungkin Baim terlalu khawatir atau justru senang karena Meira dan Aldo datang demi ibunya, makanya dia seantusias itu. Kali ini Meira cukup memaklumi dan tak ingin berpikir aneh-aneh. [Sudah jam dua tadi, Mas. Nggak usah repot-repot ya, kami diantar supir papa kok. Jam empat InsyaAllah ke sana sesuai jam besuknya] Meira lekas membalas pesan Baim. Jika tidak segera dibalas, laki-laki itu akan terus bertanya dan mengiriminya beragam pesan. Baim tersenyum tipis membaca balasan dari Meira. Dia cukup senang dan lega karena Meira dan Aldo akan datang. Bukan hanya karena ibunya, tapi Baim juga rindu mereka yang masih begitu dia cinta. [Oke, Mei. Ibu pasti sangat senang melihat kalian data
"Kam-- kamu mau menikah bulan depan, Mei?" tanya Baim begitu gugup. Baim tahu jika Meira dan Raka memang memiliki hubungan spesial. Dia pun tahu kalau mereka akan segera menikah, tapi Baim tak percaya jika bulan depan benar-benar bulan spesial mereka. Baim pikir kabar yang diterimanya beberapa hari lalu hanya kabar burung biasa. Tak disangka jika semuanya benar dan Meira sendiri yang menjelaskan kebenarannya. "Iya, Mas. Semua akan diurus mamanya Mas Raka dan ibu sambungku," balas Meira kemudian. Dia kembali tersenyum lalu menoleh pada Soraya yang mengusap lengannya pelan. "Nggak nyangka ya, Mei. Ternyata kamu anak Pak Adrian. Salah satu pengusaha ternama dan kaya di kota ini. Bahkan dia pemilik perusahaan dimana Baim bekerja. Ibu jadi malu sudah menghinamu begini begitu," lirih Soraya lagi. Wanita yang terbaring lemah di atas ranjang itu kembali membayangkan masa lalunya. Dia ingat bagaimana sikapnya dulu pada Meira, apalagi setelah suaminya meninggal dunia. Meira yang dijadikan p
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati
"Kenapa kamu nikah mendadak, Ken? Selama ini kamu nggak pernah cerita soal perempuan pada mama dan papa. Tiba-tiba kamu kasih kabar akan menikah dan kami dilarang datang. Sebenarnya kejadiannya gimana sampai kamu senekat itu?" Wicaksono menatap lekat Ken yang duduk di depannya itu.Keluarga Ken sedang menikmati makan siang bersama, termasuk Raka dan Meira. Mereka sengaja mencari waktu agar bisa duduk bersama membahas pernikahan Ken ya g dadakan itu. "Papa tahu kamu sudah menjelaskannya waktu itu, tapi berhari-hari papa masih nggak habis pikir kenapa kamu senekat itu, Ken. Apalagi pada gadis yang baru kamu lihat pertama kali," sambung Wicaksono lagi. "Papamu benar, Ken. Bukan maksud mama menyalahkanmu atau menyudutkan istrimu, hanya saja papa dan mama masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kamu ingin menjadi pengantin penggantinya. Suatu hal yang benar-benar di luar nalar. Kalau kalian sudah kenal lama, mungkin mama nggak akan sekaget ini, tapi kamu sendiri bilang kalau kalian baru be
"Ya Allah, Mas. Kita ke klinik sekarang ya? Saya takut Mas Ridho kenapa-kenapa," ujar Hanum begitu panik saat melihat wajah bodyguard suaminya sedikit pucat setelah menerima bogem mentah itu. "Nggak apa-apa, Mbak Hanum. Sudah biasa begini. Tenang saja," balas Ridho berusaha tersenyum meski pipinya benar-benar nyut-nyutan tak karuan. Nyeri dan terasa sakit saat digerakkan. "Nggak apa-apa gimana, Mas? Ini cukup parah," tunjuk Hanum pada sudut bibir Ridho yang pecah. "Tenang saja, Mbak. Ridho sudah kebal," timpal Bagas dengan senyum tipis, berusaha menenangkan Hanum, tapi tetap saja dia merasa sangat bersalah sampai membuat laki-laki di sampingnya itu babak belur. "Siapa mereka, Num?" Pertanyaan Juragan Gino membuat Hanum menoleh seketika. "Mereka teman baik suami saya, Juragan. Maaf kalau sudah membuat keributan di sini." Hanum sedikit membungkuk lalu kembali menatap belanjaannya yang berantakan. "Kemana suamimu? Kenapa dia menyuruh orang lain untuk mengawasimu?" tanya Juragan Gin