[Kamu sudah sampai di Jakarta, Mei? Apa kujemput saja? Rumah Pak Adrian di daerah mana?] Usai shalat ashar, Meira membaca pesan yang masuk ke aplikasi hijaunya. Lagi-lagi pesan dari Baim. Sebenarnya dia agak terganggu dengan pesan beruntun dari mantan suaminya itu. Hanya saja, Meira berusaha menghargai. Mungkin Baim terlalu khawatir atau justru senang karena Meira dan Aldo datang demi ibunya, makanya dia seantusias itu. Kali ini Meira cukup memaklumi dan tak ingin berpikir aneh-aneh. [Sudah jam dua tadi, Mas. Nggak usah repot-repot ya, kami diantar supir papa kok. Jam empat InsyaAllah ke sana sesuai jam besuknya] Meira lekas membalas pesan Baim. Jika tidak segera dibalas, laki-laki itu akan terus bertanya dan mengiriminya beragam pesan. Baim tersenyum tipis membaca balasan dari Meira. Dia cukup senang dan lega karena Meira dan Aldo akan datang. Bukan hanya karena ibunya, tapi Baim juga rindu mereka yang masih begitu dia cinta. [Oke, Mei. Ibu pasti sangat senang melihat kalian data
"Kam-- kamu mau menikah bulan depan, Mei?" tanya Baim begitu gugup. Baim tahu jika Meira dan Raka memang memiliki hubungan spesial. Dia pun tahu kalau mereka akan segera menikah, tapi Baim tak percaya jika bulan depan benar-benar bulan spesial mereka. Baim pikir kabar yang diterimanya beberapa hari lalu hanya kabar burung biasa. Tak disangka jika semuanya benar dan Meira sendiri yang menjelaskan kebenarannya. "Iya, Mas. Semua akan diurus mamanya Mas Raka dan ibu sambungku," balas Meira kemudian. Dia kembali tersenyum lalu menoleh pada Soraya yang mengusap lengannya pelan. "Nggak nyangka ya, Mei. Ternyata kamu anak Pak Adrian. Salah satu pengusaha ternama dan kaya di kota ini. Bahkan dia pemilik perusahaan dimana Baim bekerja. Ibu jadi malu sudah menghinamu begini begitu," lirih Soraya lagi. Wanita yang terbaring lemah di atas ranjang itu kembali membayangkan masa lalunya. Dia ingat bagaimana sikapnya dulu pada Meira, apalagi setelah suaminya meninggal dunia. Meira yang dijadikan p
"Aldo ikut ke rumah sakit, Mei?" tanya Baim dan Soraya nyaris bersamaan. Meira mengangguk saat menatap ibu dan anak itu bergantian. "Iya, Mas, Bu. Cuma nggak diizinkan masuk kan, jadi dia di bawah sama asisten papa. Tadi Mei suruh jajan di mini market depan rumah sakit sih," balas Meira lagi. Tak membuang waktu, Meira dan Baim pamit pulang. Baim meminta ibunya untuk istirahat dan nanti gantian Rumi yang jaga di rumah sakit. Soraya pun mengiyakan. Dia mengusap pelan lengan Baim sebelum menyusul Meira keluar kamar.Dengan tergesa Meira sampai di area parkir. Di sana sudah ada Aldo dengan dua asisten papanya. Dua laki-laki dewasa itu masih ngobrol. Mereka duduk di samping kiri dan kanan Aldo yang masih asyik menikmati es krimnya. "Kita ke rumah ayahnya Aldo dulu ya, Mas," ucap Meira saat dia sampai di samping mereka. "Baik, Mbak Meira. Mari kami antar." Kedua asisten Adrian itu pun mengajak Meira dan Aldo ke mobil, sementara Baim hanya bisa menerima keputusan Meira yang menolak tawar
Baim mengernyit. Dia kembali memikirkan pesan yang baru saja muncul di layar handphonenya. Pesan dari Dahlia. Baim ingat kembali kejadian beberapa waktu yang lalu. Mantan istri Raka itu memang sempat meminta nomornya saat tak sengaja bertemu di sebuah cafe. Dahlia sempat menawarkan kerja sama. Dia akan merebut Raka kembali dan Baim diminta untuk mencuri hati Meira demi anak mereka masing-masing. Awalnya Baim menolak karena dia tahu dan sadar diri tak ada lagi di hati Meira. Baim juga merasa kecil jika dibandingkan dengan Raka, apalagi setelah sikap semena-menanya selama ini. Apalagi dia juga tahu kalau keluarga Meira dan Raka sepadan bahkan saling mendukung hubungan Raka dan Meira. Seolah tak ada celah untuk Baim kembali masuk di antara mereka. Hanya saja, Dahlia terus meyakinkan. Perempuan itu bilang memiliki cara sendiri untuk melancarkan aksinya. Tak menolak pun tak membantah, Baim hanya diam saja. Dia mengikuti aturan main Dahlia. Baim pikir mungkin setitik keajaiban itu masih a
"Aku antar pulang ya? Sekalian berkenalan lebih dekat dengan keluargamu," ujar Baim setelah Meira pamit pulang. Bakda maghrib dia pamit setelah ditelepon papanya. Adrian ingin mengajak Meira dan Aldo makan siang bersama di luar, tapi sepertinya nggak jadi karena ada tamu spesial, katanya. "Nggak usah, Mas. Sudah ada Mas Kemal sama Mas Zikri yang antar," ucap Meira begitu sopan. Dua lelaki yang disebut namanya tadi tersenyum sembari sedikit membungkuk untuk menghormati anak atasannya. "Mereka biar mengikuti mobilku dari belakang. Kamu dan Aldo aku antar pulang," pinta Baim lagi. Awalnya Meira ingin menolak, tapi melihat Aldo yang sepertinya masih merindukan ayahnya, mau tak mau dia pun mengiyakan. Lebih nggak mungkin jika Meira membiarkan Aldo bersama ayahnya, sementara dia justru semobil dengan dua lelaki bukan mahramnya bukan? Meira tak ingin ada fitnah lebih banyak lagi jika itu terjadi. "Aldo duduk di sampingku dan kamu duduk di belakang. Aman, Mei. Aku juga nggak akan macam-m
Malam ini Raka menginap di rumah Adrian. Sebenarnya dia ingin apartemen Ken karena dia juga sudah kembali ke Jakarta dua hari yang lalu. Namun, Adrian melarang. Dia ingin bercerita banyak hal dengan Raka mumpung dia ada di Jakarta. Sekian soal bisnis, Adrian juga ingin membahas soal pernikahan mereka. [Hebat kamu, Mas. Kamu tak mau menerimaku karena pernah berselingkuh. Sekalipun sekarang aku sudah berubah, tetap saja kamu tak ingin memberiku kesempatan kedua. Padahal kutahu jika di lubuk hatimu yang terdalam masih tersemat namaku. Iya kan? Kenapa kamu nggak mau menerimaku, tapi kamu mau menerima perempuan itu yang jelas masih menyukai mantan suaminya? Lihat foto-foto ini. Mereka terlihat begitu mesra bukan? Tatapan keduanya pun begitu terbaca kalau masih ada cinta di antara mereka] Raka kembali membaca pesan dari Dahlia yang diterimanya bakda ashar tadi saat dia sudah sampai di bandara Soekarno-Hatta. Entah darimana foto-foto itu didapatkan Dahlia. Namun, Raka tahu jika foto itu di
"Pernikahan kita akan dipercepat. Apa kamu keberatan, Mei?" tanya Raka saat dia duduk bersama kedua orang tua Meira di kursi makan. Meira sedikit tersentak lalu melirik Aldo yang masih asyik bermain game di ruang keluarga."Dipercepat, Mas? Kenapa memangnya?" tanya Meira singkat lalu menarik kursi di samping Raka dan mendudukinya. Meira tahu jika Raka memang tak ingin menunda lebih lama soal pernikahan itu, Meira pun sebenarnya lebih senang jika pernikahannya dipercepat. Selain tak ingin timbul fitnah, dia juga khawatir dengan sikap Dahlia dan Baim yang membuatnya tak nyaman. "Aku nggak mau ditikung ya," balas Raka dengan senyum lebarnya. Adrian dan Erina pun saling lirik lalu menggeleng pelan sementara Meira buru-buru mengalihkan pandangan. "Papa dan Om Wicaksono sepakat, Meira. Lebih cepat lebih baik. Papa akan jauh lebih tenang kalau kalian sudah sah dan kamu ada yang menjaga saat berada di Jogja," ucap Adrian kemudian. "Iya, Meira. Kami nggak bisa terus mengawasimu di sana kar
"Siapa dalangnya, Om?" Raka ikut bertanya. Adrian menghirup napas dalam lalu menghembuskannya. Dia menatap Raka beberapa saat sebelum memasukkan kembali handphonenya ke saku celana. "Dahlia, Ka. Dua pelaku yang tertangkap itu sudah mengaku kalau mereka suruhan mantan istrimu. Sepertinya Dahlia masih tak terima karena kamu dan Meira akan menikah. Makanya, dia berusaha berbagai cara agar Meira pergi meninggalkan kita semua. Salah satunya dengan menculik bunda. Dahlia pikir Meira akan menyerah dan membiarkannya menang dalam hal ini. Namun, Om meyakinkan Meira agar dia tetap tenang dan tak perlu menanggapi ancaman itu. Om minta beberapa orang untuk menyelidiki semuanya," ucap Adrian sembari menepuk-nepuk pundak Raka. Raka benar-benar tak menyangka jika Dahlia senekat ini. Mungkin dia semakin nekat saat tahu keberadaannya di rumah ini. Raka mulai berpikir jika Dahlia sudah melakukan banyak hal untuk membuat Meira menyerah. Salah satunya dengan menyekap bunda dan membuatnya cemburu periha
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati
"Kenapa kamu nikah mendadak, Ken? Selama ini kamu nggak pernah cerita soal perempuan pada mama dan papa. Tiba-tiba kamu kasih kabar akan menikah dan kami dilarang datang. Sebenarnya kejadiannya gimana sampai kamu senekat itu?" Wicaksono menatap lekat Ken yang duduk di depannya itu.Keluarga Ken sedang menikmati makan siang bersama, termasuk Raka dan Meira. Mereka sengaja mencari waktu agar bisa duduk bersama membahas pernikahan Ken ya g dadakan itu. "Papa tahu kamu sudah menjelaskannya waktu itu, tapi berhari-hari papa masih nggak habis pikir kenapa kamu senekat itu, Ken. Apalagi pada gadis yang baru kamu lihat pertama kali," sambung Wicaksono lagi. "Papamu benar, Ken. Bukan maksud mama menyalahkanmu atau menyudutkan istrimu, hanya saja papa dan mama masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kamu ingin menjadi pengantin penggantinya. Suatu hal yang benar-benar di luar nalar. Kalau kalian sudah kenal lama, mungkin mama nggak akan sekaget ini, tapi kamu sendiri bilang kalau kalian baru be
"Ya Allah, Mas. Kita ke klinik sekarang ya? Saya takut Mas Ridho kenapa-kenapa," ujar Hanum begitu panik saat melihat wajah bodyguard suaminya sedikit pucat setelah menerima bogem mentah itu. "Nggak apa-apa, Mbak Hanum. Sudah biasa begini. Tenang saja," balas Ridho berusaha tersenyum meski pipinya benar-benar nyut-nyutan tak karuan. Nyeri dan terasa sakit saat digerakkan. "Nggak apa-apa gimana, Mas? Ini cukup parah," tunjuk Hanum pada sudut bibir Ridho yang pecah. "Tenang saja, Mbak. Ridho sudah kebal," timpal Bagas dengan senyum tipis, berusaha menenangkan Hanum, tapi tetap saja dia merasa sangat bersalah sampai membuat laki-laki di sampingnya itu babak belur. "Siapa mereka, Num?" Pertanyaan Juragan Gino membuat Hanum menoleh seketika. "Mereka teman baik suami saya, Juragan. Maaf kalau sudah membuat keributan di sini." Hanum sedikit membungkuk lalu kembali menatap belanjaannya yang berantakan. "Kemana suamimu? Kenapa dia menyuruh orang lain untuk mengawasimu?" tanya Juragan Gin