"Maafkan papa, Meira. Papa yang salah dan terlalu pengecut," ujar laki-laki itu dengan mata berembun. Meira tersenyum, tapi kedua matanya menitikkan bulir bening. Dia menggeleng pelan sembari mengusap lengan papanya. "Papa nggak salah. Papa punya alasan tersendiri kenapa sampai selama itu membiarkan Meira di panti. Mei memaklumi dan tak sepenuhnya menyalahkan papa. Apa sebaiknya pernikahan Mei dengan Pak Raka ditunda dulu, Pa? Setidaknya agar Mei bisa bersama papa lebih lama dan melayani papa sehari-hari," ucapnya kemudian membuat Adrian sedikit shock. Adrian tak menyangka jika Meira berpikir sejauh itu. Dia tak menyangka jika Meira takut tak memiliki banyak waktu bersamanya setelah menikah dengan Raka. "Papa lebih senang kamu lekas menikah dengan Raka, Meira. Dengan begitu ada yang berkewajiban menjaga kamu saat papa nggak di sini. Papa akan lebih tenang kalau harus meninggalkanmu. Minggu depan papa harus balik ke Jakarta. Mama juga ikut karena ada beberapa acara yang terpaksa dit
[Aku nggak bermaksud mengganggu hidupmu, Mei. Aku sudah ikhlas kamu pergi atau mungkin menikah dengan bosmu itu. Hanya saja, ini demi ibu. Aku tak tega membiarkannya seperti ini. Ibu masih kritis dan beberapa kali menyebut namamu. Aku juga nggak tahu kenapa hanya namamu saja yang disebutnya. Namun, aku berpikir mungkin ibu teringat kesalahan-kesalahannya di masa lalu padamu yang terlalu banyak. Boleh jadi ibu hanya ingin minta maaf padamu, Mei. Tolong, datanglah. Setidaknya ibu bisa lega jika sudah bertemu dan minta maaf padamu] Pesan panjang itu kembali muncul di layar. Meira masih bergeming di tempat duduknya, sementara Adrian masih mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon. Perempuan itu memijit celah di antara kedua alisnya. Dia teramat pusing kenapa menjelang hari pernikahannya dengan Raka ada saja masalah yang menimpa. Terkadang, Mei berpikir apakah itu artinya mereka tak diizinkan bersama? Namun, kadang pula dia kembali yakin jika ini sekelumit ujian sebelum pernik
[Kata mama, kamu mau bertemu dengan Baim, Mei?] Balasan dari Raka membuat Meira tersenyum tipis. Meira memang tak jadi mengabari Raka soal itu karena dia sudah menelepon Sundari beberapa menit lalu. Namun, sepertinya Sundari gerak cepat untuk memberi tahu anak sulungnya. Padahal jelas, Meira bilang ingin menjenguk mertuanya di rumah sakit bukan sengaja bertemu mantan suaminya. [Mau jenguk ibu yang kritis di rumah sakit, Pak. Bukan sengaja bertemu Mas Baim] Meira membalas pesan Raka setelah membacanya. Tak selang lama, Raka pun mulai mengetik balasan. Meira masih menunggu balasan itu sembari menata baju Aldo ke dalam koper. [Sama saja. Nanti bertemu Baim juga kan? Berapa lama di sana?] Lagi-lagi Meira menggeleng pelan. Apakah dia bisa mengatakan kalau Raka cemburu pada Baim? Meira terdiam sejenak. Ingin rasanya mengiyakan pertanyaannya sendiri, tapi dia tak ingin besar kepala. Dia tak ingin merasa dicemburui oleh Raka hanya karena pesan singkat itu. Baginya, Raka masih abu-abu. T
"Ini rumah papa dan mama di Jakarta, Mei. Rumah kalian juga. Jadi, kapanpun kalian ingin pulang, pulanglah ke sini," ucap Adrian sembari menunjuk rumah megah di hadapannya. Mobil yang ditumpangi rombongan kecil itu sudah sampai di depan gerbang rumah berlantai dua di perumahan mewah kota metropolitan. Setelah gerbang terbuka, mobil melesat masuk ke garasi. Ada dua mobil lain yang parkir di garasi rumah itu. "Ini rumah Opa sama Oma?" tanya Aldo begitu takjub dengan kemegahan rumah itu setelah dia turun dari mobil. Adrian dan Erina saling tatap lalu tersenyum tipis. Laki-laki itu pun mengusap kepala Aldo lalu mengangguk pelan saat keduanya bertatapan. "Iya, ini rumah Opa sama Oma. Rumah bunda dan Aldo juga," balas Adrian kemudian. Senyum tipis tak lepas dari kedua sudut bibirnya saat bersitatap dengan anak laki-laki itu. Aldo tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia benar-benar takjub dengan rumah Opa dan Omanya yang ternyata mewah dan tak seperti yang dibayangkannya selama ini
[Kamu sudah sampai di Jakarta, Mei? Apa kujemput saja? Rumah Pak Adrian di daerah mana?] Usai shalat ashar, Meira membaca pesan yang masuk ke aplikasi hijaunya. Lagi-lagi pesan dari Baim. Sebenarnya dia agak terganggu dengan pesan beruntun dari mantan suaminya itu. Hanya saja, Meira berusaha menghargai. Mungkin Baim terlalu khawatir atau justru senang karena Meira dan Aldo datang demi ibunya, makanya dia seantusias itu. Kali ini Meira cukup memaklumi dan tak ingin berpikir aneh-aneh. [Sudah jam dua tadi, Mas. Nggak usah repot-repot ya, kami diantar supir papa kok. Jam empat InsyaAllah ke sana sesuai jam besuknya] Meira lekas membalas pesan Baim. Jika tidak segera dibalas, laki-laki itu akan terus bertanya dan mengiriminya beragam pesan. Baim tersenyum tipis membaca balasan dari Meira. Dia cukup senang dan lega karena Meira dan Aldo akan datang. Bukan hanya karena ibunya, tapi Baim juga rindu mereka yang masih begitu dia cinta. [Oke, Mei. Ibu pasti sangat senang melihat kalian data
"Kam-- kamu mau menikah bulan depan, Mei?" tanya Baim begitu gugup. Baim tahu jika Meira dan Raka memang memiliki hubungan spesial. Dia pun tahu kalau mereka akan segera menikah, tapi Baim tak percaya jika bulan depan benar-benar bulan spesial mereka. Baim pikir kabar yang diterimanya beberapa hari lalu hanya kabar burung biasa. Tak disangka jika semuanya benar dan Meira sendiri yang menjelaskan kebenarannya. "Iya, Mas. Semua akan diurus mamanya Mas Raka dan ibu sambungku," balas Meira kemudian. Dia kembali tersenyum lalu menoleh pada Soraya yang mengusap lengannya pelan. "Nggak nyangka ya, Mei. Ternyata kamu anak Pak Adrian. Salah satu pengusaha ternama dan kaya di kota ini. Bahkan dia pemilik perusahaan dimana Baim bekerja. Ibu jadi malu sudah menghinamu begini begitu," lirih Soraya lagi. Wanita yang terbaring lemah di atas ranjang itu kembali membayangkan masa lalunya. Dia ingat bagaimana sikapnya dulu pada Meira, apalagi setelah suaminya meninggal dunia. Meira yang dijadikan p
"Aldo ikut ke rumah sakit, Mei?" tanya Baim dan Soraya nyaris bersamaan. Meira mengangguk saat menatap ibu dan anak itu bergantian. "Iya, Mas, Bu. Cuma nggak diizinkan masuk kan, jadi dia di bawah sama asisten papa. Tadi Mei suruh jajan di mini market depan rumah sakit sih," balas Meira lagi. Tak membuang waktu, Meira dan Baim pamit pulang. Baim meminta ibunya untuk istirahat dan nanti gantian Rumi yang jaga di rumah sakit. Soraya pun mengiyakan. Dia mengusap pelan lengan Baim sebelum menyusul Meira keluar kamar.Dengan tergesa Meira sampai di area parkir. Di sana sudah ada Aldo dengan dua asisten papanya. Dua laki-laki dewasa itu masih ngobrol. Mereka duduk di samping kiri dan kanan Aldo yang masih asyik menikmati es krimnya. "Kita ke rumah ayahnya Aldo dulu ya, Mas," ucap Meira saat dia sampai di samping mereka. "Baik, Mbak Meira. Mari kami antar." Kedua asisten Adrian itu pun mengajak Meira dan Aldo ke mobil, sementara Baim hanya bisa menerima keputusan Meira yang menolak tawar
Baim mengernyit. Dia kembali memikirkan pesan yang baru saja muncul di layar handphonenya. Pesan dari Dahlia. Baim ingat kembali kejadian beberapa waktu yang lalu. Mantan istri Raka itu memang sempat meminta nomornya saat tak sengaja bertemu di sebuah cafe. Dahlia sempat menawarkan kerja sama. Dia akan merebut Raka kembali dan Baim diminta untuk mencuri hati Meira demi anak mereka masing-masing. Awalnya Baim menolak karena dia tahu dan sadar diri tak ada lagi di hati Meira. Baim juga merasa kecil jika dibandingkan dengan Raka, apalagi setelah sikap semena-menanya selama ini. Apalagi dia juga tahu kalau keluarga Meira dan Raka sepadan bahkan saling mendukung hubungan Raka dan Meira. Seolah tak ada celah untuk Baim kembali masuk di antara mereka. Hanya saja, Dahlia terus meyakinkan. Perempuan itu bilang memiliki cara sendiri untuk melancarkan aksinya. Tak menolak pun tak membantah, Baim hanya diam saja. Dia mengikuti aturan main Dahlia. Baim pikir mungkin setitik keajaiban itu masih a
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,