"Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Sundari saat Dokter Ismail keluar dari ruang perawatan Wicaksono. Sundari tampak lesu dan cemas melihat suaminya terbaring lemah di atas ranjang pasien. Rasa khawatir bertambah saat Vonny kritis. Sundari yakin berita tentang Vonny akan membuat suaminya semakin down. Sundari berharap jika anak tirinya itu bisa melewati masa kritisnya. Meski Vonny tak pernah menerima Sundari sebagai ibu sambungnya, tapi Sundari tak pernah menyerah untuk mendekatinya. Sundari hanya ingin berusaha menjadi pribadi yang baik, tak hanya pada anak sambung, tapi untuk siapapun."Alhamdulillah Pak Wicaksono sudah membaik, Bu. Namun, kondisinya belum terlalu stabil. Kita harus berusaha menenangkannya supaya tak berpikir terlalu berat. Tolong jangan bicara hal-hal yang membuatnya berpikir maksimal atau membuat bapak banyak pikiran. Kabarkan saja hal-hal yang baik supaya bapak tenang dan sakitnya tak kambuh lagi," ujar dokter sedikit memberi penjelasan. Sundari manggut
Erina pun menghela napas panjang. Dia paham bagaimana perasaan dan keresahan Raka. Vonny adalah anak kesayangan papanya. Jika terjadi sesuatu yang buruk padanya pasti Wicaksono menjadi orang pertama yang shock. Kondisi itu akan memperparah sakit jantung yang dideritanya selama ini. Jika Wicaksono sakit, tentu Sundari juga akan ikut sakit. Keadaan makin memburuk jika mereka bertiga sakit bersamaan. "Innalilahi wa innailaihi rojiun. Kondisi Vonny separah itu, Ka?" tanya Sundari lirih. Raka mengangguk. "Ya Allah, semoga saja Vonny lekas sadar dan membaik. Dia pasti juga sangat shock jika tahu kakinya tak bisa digunakan dengan maksimal. Tante hanya bisa berdoa supaya dia lebih menerima dan berusaha ikhlas menerima takdirNya," ucap Erina lagi. Raka pun mengaminkan. Tak lupa mengucapkan terima kasih karena Erina dan Adrian selalu membantunya dalam keadaan apapun, tak hanya sekarang, tapi juga tahun-tahun sebelumnya. "Keadaan papa gimana, Tante?" tanya Raka saat menoleh pada Erina yang b
Sundari masih bergeming di kursi tunggu tak jauh dari kamar perawatan Wicaksono. Dia memang sengaja ke luar kamar saat menelepon Raka karena tak ingin mengganggu tidur suaminya. Detik ini, Sundari masih sangat shock mendengar cerita Raka tentang golongan darah Vonny. "Bagaimana mungkin Vonny memiliki golongan darah AB, sementara papanya A dan maminya O? Bukankah kata dokter, jika orang tua bergolongan darah O dan A akan melahirkan anak-anak yang memiliki golongan darah A dan O juga bukan AB?" Sundari berujar lirih sembari menghela napas panjang. Dia benar-benar tak habis pikir kenapa itu bisa terjadi dan suaminya tak menyadarinya sejak dulu. Sundari berencana setelah Wicaksono membaik, dia akan menjelaskan perlahan apa yang diketahuinya saat ini. Dia juga berharap semoga saja suaminya mau tes DNA agar lebih akurat untuk membuktikan status Vonny. Dia benar-benar anak kandung Wicaksono atau lelaki lain. Setelah cuci muka dan lebih tenang, Sundari kembali ke kamar suaminya. Baru saja
[Ka, kamu sudah balik ke rumah sakit belum? Gantian jagain papa ya, mama pengin lihat keadaan Vonny] "Mama sudah kirim pesan sama Raka. Nanti kalau sudah dibaca dia pasti ke sini, Pa. Papa yang tenang ya?" Wicaksono tersenyum lalu mengangguk pelan. "Mama nggak perlu khawatir misalkan nanti papa minta pengacara keluarga kita untuk datang ke sini. Bukan berarti papa berfirasat aneh atau ingin meninggalkan mama dan anak-anak, hanya saja papa ingin menghibahkan sebagian harta kita untuk anak-anak biar mereka mandiri. Semua akan papa atur sesuai porsi dan tak pilih kasih. Soal warisan, urusannya belakangan yang penting papa akan minta pengacara membagi sesuai aturan agama," ucap Wicaksono dengan penuh keyakinan. "Papa mau kasih anak-anak apa memangnya? Bukannya dulu papa bilang mau ngasih Vonny rumah sama salah satu kantor cabang kalau dia sudah menikah?" tanya Sundari memastikan. Dia mulai resah saat Wicaksono membahas soal hibah. Pasalnya, dia ragu status Vonny sebenarnya setelah tah
Saat Sundari keluar toilet, dia sangat shock melihat suaminya tak sadarkan diri. Berulang kali berusaha membuatnya sadar, tapi Wicaksono tetap bergeming. Sampai akhirnya Sundari melihat handphonenya jatuh dan pecah di lantai. Tak ingin terjadi sesuatu pada Wicaksono, Sundari segera memasukkan benda pipih itu ke saku gamisnya lalu menekan bel untuk memanggil perawat. Sembari menunggu perawat datang, Sundari mengusap-usap pelan lengan suaminya. Sundari benar-benar tak tahu kenapa suaminya bisa pingsan seperti itu. Setelah dokter dan perawat datang, Sundari keluar kamar karena dokter akan memeriksa kondisi Wicaksono kembali. Di kursi tunggu, Sundari kembali termangu. Dia mengingat-ingat apa yang dikatakannya pada Wicaksono sebelum pamit ke toilet lagi. Mendadak teringat dengan handphonenya yang pecah. Sundari gegas mengambil benda pipih itu dari saku gamisnya lalu memeriksa beberapa pesan dan panggilan yang masuk di sana. Tak ada siapapun yang menelepon. Jemarinya menggulir aplikasi hi
"Soal hidup anakmu, Mas Baim yang tanggungjawab. Kamu nggak perlu menyakiti dirimu sendiri, Lin," lirih Soraya saat mendengar Lina menggedor-gedor pintu kamarnya. "Cari bajingan itu sampai ketemu, Mas! Enak saja dia menikah dan bahagia dengan perempuan lain sementara aku dan bayi ini ditinggalkannya sendirian!" Lina berteriak. Kata-kata itu selalu diulangnya setiap waktu. Dia benar-benar tak terima diabaikan kekasihnya setelah dia menikmati apa yang seharusnya tak dinikmatinya. Lina tak hanya kecewa dan terluka, tapi kejiwaannya juga terguncang. Bayangan-bayangan Meira sering menyelinap di benaknya. Wajar jika itu terjadi karena dulu Lina sering kali membuat Meira menitikkan air mata. Kini, Allah memutar balikan keadaan. Lina bahagia dengan hidupnya, sementara Lina mulai diselimuti luka, air mata dan penyesalan. Lina dulu sering melukai hati Meira, memfitnahnya bahkan mendukung sang kakak untuk menceraikan istrinya, kini seolah mendapatkan balasan sepadan karena hidupnya yang jauh
Baim bergeming. Kata-kata sang ibu begitu membekas di hatinya. Baim tak menyangka jika ibunya masih sematrealistis itu, padahal berbagai ujian sudah datang di saat mereka hanya mengejar materi dan kekayaan. Andai dulu tak mendzalimi Meira dan mengusirnya dari rumah hanya demi Vonny yang kaya, tentu dia benar-benar memiliki besan kaya raya. Namun, begitulah balasan Allah. DIA membuktikan jika keserakahan dan kedzaliman hanya akan menciptakan kesengsaraan. Sayangnya, sudah diberi teguran seperti itu pun mereka belum sadar juga. Masih saja licik dan mencari segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. "Mau kemana, Im?" tanya Soraya saat melihat Baim keluar kamar dengan kopernya. "Mau jenguk Pak Wicaksono sama Vonny, Bu. Sekalian minta maaf karena sudah mempermalukan mereka. Sekalipun aku sudah minta maaf sama Vonny lewat WhatsApp, tapi nggak ada salahnya minta maaf langsung. Rasanya benar-benar nggak tenang saat tahu Vonny kecelakaan bahkan sekarang masih koma," ujar Baim l
Baim menginap di hotel yang tak jauh dari mall ternama di Jogja. Dia sengaja menginap di sana agar tak terlalu jauh saat ingin ke rumah Vonny, sekalian bertemu dengan Aldo karena sudah cukup lama tak bertemu dengan anak semata wayangnya itu. Selama berpisah dengan Meira, Baim tak pernah memberi nafkah pada anaknya karena dia merasa jika keluarga Meira sudah punya segalanya. Uang satu atau dua juta yang dia berikan tentu tak ada apa-apanya dibandingkan kekayaan yang Adrian punya. Awalnya Baim juga ingin mengirimkan nafkah bulanan, hanya saja lagi dan lagi ibunya melarang. Soraya selalu membujuk dan mengompori Baim agar tak ikut campur masalah Aldo karena dia sudah memiliki kakek sultan, katanya. Soraya lantas membandingkan Aldo dengan Angga, anak semata wayang Rumi. Angga yang tak mendapatkan jatah bulanan dari bapaknya dan Rumi yang harus berjuang sendirian untuk anak lelakinya. Soraya meminta Baim untuk memberikan jatah Aldo pada Angga saja karena dia jauh lebih membutuhkan, pada
Ken masih mematung dengan perasaan campur aduk, sementara Hanum kembali masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya."Sayang, kamu cantik banget pakai itu. Ayo keluar," lirih Ken berusaha membuat Hanum lebih nyaman."Malu, Mas." Hanum membalas singkat. Dia membasuh wajahnya yang tadi merona dengan air kran. "Ngapain malu sama suami sendiri? Malu itu kalau dilihat orang lain, Sayang.""Tetap saja malu, Mas." "Kalau begitu, ganti piyama biasa saja, Sayang. Jangan memaksakan diri kalau memang kamu belum siap. Tenang saja, aku juga nggak akan memaksamu kok." Ken kembali berujar lirih. Mendengar ucapan Ken yang tulus itu, Hanum kembali menghela napas panjang. Sebenarnya dia ingin melayani suaminya dengan baik, tapi rasa malu itu ternyata lebih besar menyergap batinnya. Setelah memejamkan kedua matanya, Hanum menghela napas panjang. Dia mengerjap pelan lalu membuka pintu perlahan. Tak ada Ken di sana. Sepertinya jauh lebih aman dan membuat Hanum melangkah perlahan menuju ranjang. Kamar i
"Mas, Ken. Maaf ganggu malam-malam. Saya benar-benar terdesak dan nggak tahu minta bantuan siapa lagi selain Mas Ken." Ken sengaja menyalakan speaker handphonenya agar Hanum juga bisa mendengar obrolannya dengan penelepon itu. Ken tak ingin Hanum kembali curiga tentangnya atau berpikir macam-macam seperti sebelumnya. Melihat sikap Ken itu, Hanum kembali terharu dan bersyukur memiliki suami seperti Ken. Dia yang berusaha menepis pikiran-pikiran buruk istrinya. "Nggak apa-apa, Mir. Mau minta tolong apa memangnya?" tanya Ken kemudian. Dari seberang, terdengar isak seseorang. Sepertinya penelepon itu sedang dilanda masalah berat, makanya berani menelepon Ken di jam yang tak wajar seperti itu. Jarum jam nyaris menunjuk angka sepuluh malam. Biasanya Ken tak akan menerima panggilan semalam itu. Hanya saja, dia penasaran kenapa tetangga yang tak terlalu jauh dari rumahnya itu tiba-tiba menelepon. "Adik saya kecelakaan, Mas. Sekarang masih di IGD. Saya butuh pegangan uang lebih untuk biaya
Raka dan Meira sedang asyik menikmati malam indahnya. Di kamar lain, Ken pun ingin sekali menikmati malam pertamanya yang tertunda. Hanya saja, dia tak ingin memaksa Hanum untuk melayaninya. Dia ingin Hanum suka rela menyerahkan dirinya pada Ken. Meski sering menggoda, Ken tak pernah berniat untuk merampas apapun yang dimiliki Hanum. Sekalipun memberi nafkah batin untuk suami adalah kewajibannya, tapi Ken sangat memahami perasaan Hanum saat ini. Dia memilih menunggu, meski entah sampai kapan. "Mas, piyamanya sudah Hanum siapkan di sofa ya?" ujar Hanum saat Ken masih di kamar mandi. "Oke, Sayang. Makasih ya?" Hanum mengiyakan lalu kembali duduk di tepi ranjang. Dia mengambil handphone di tas lalu mengetikkan pesan untuk bapaknya. [Maaf Hanum baru kasih kabar, Pak. Hanum sama Mas Ken sudah sampai di Jogja. Alhamdulillah, keluarga Mas Ken menerima Hanum dengan baik, Pak. Mereka tak mempermasalahkan bagaimana pendidikan ataupun kehidupan Hanum di Jakarta. Mereka percaya pilihan Mas K
"Ada apa, Sayang? Kenapa ekspresimu seperti itu? Ada yang salah?" tanya Raka saat keluar dari kamar mandi. Dia menangkap keanehan di wajah istrinya yang tengah bersandar di dinding ranjang kamarnya. "Ini, Mas. Tiba-tiba dapat chat dari Lina," balas Meira lirih. Dia menoleh sekilas lalu kembali menatap layar handphonenya. Meira membaca ulang pesan yang dikirimkan mantan adik iparnya itu. Tiap kali mengingat Lina, tiap itu pula hanya kenangan buruk yang didapatkannya. Lina yang selalu meremehkan dan memfitnahnya berulang kali saat masih berstatus sebagai iparnya dulu. Bahkan dia merendahkan harga diri Meira di depan banyak orang, menuduhnya selingkuh dan banyak hal yang membuatnya malu dan tertekan. Detik ini, Meira tak menyangka akan mendapatkan pesan seperti itu. Pesan yang benar-benar mengejutkan baginya. "Lina ... Lina siapa, Sayang?" tanya Raka kemudian. Dia tak ingat jika Baim memiliki adik bernama Lina. Maklum, mereka bertemu cuma dua atau tiga kali, salah satunya saat hari
Hanum masih berdiri terpaku di depan lemari besar yang baru saja dibuka oleh Ken. Lemari itu terisi penuh dengan deretan pakaian yang semuanya terlihat mahal dan berkelas. Warna-warnanya lembut dan elegan, sesuai dengan seleranya. Hanum mengerutkan kening, merasa bingung dan kaget sekaligus."Mas ... ini semua apa?" tanyanya dengan suara nyaris berbisik.Ken tersenyum lebar, tampak puas melihat ekspresi istrinya. Ia bersandar di pintu lemari sambil melipat kedua tangannya di dada. "Ini untuk kamu, Sayang." Hanum menatap Ken tak percaya. "Pakaian sebanyak ini, Mas? Buat apa?" tanyanya lagi masih dengan keheranan yang sama. Ken berjalan mendekat, mengusap lembut bahu Hanum. "Hanum, kamu itu istriku. Aku ingin kamu merasa istimewa. Selama ini aku belum pernah memberikan pakaian yang benar-benar layak untukmu kan? Makanya, sekarang aku siapkan semuanya. Aku amati warna kesukaanmu dan inilah hasilnya." Ken tersenyum lebar. Hanum menggeleng pelan. "Tapi ini terlalu berlebihan, Mas. Lih
Hanum menatap pintu besar di hadapannya dengan ragu. Tangannya terasa gemetar dan pikirannya dipenuhi berbagai dugaan. Ken, suaminya, berdiri di sebelahnya, memegang gagang pintu. Tanpa berkata apa-apa, Ken memutar kunci, lalu membuka pintu itu perlahan."Masuk, Sayang," katanya singkat.Hanum melangkah masuk dengan hati-hati. Begitu matanya menangkap isi ruangan, ia tertegun. Kamar itu besar, mungkin empat kali lipat kamarnya di Jakarta. Lantainya berlapis marmer mengilap dan dinding-dindingnya dihiasi aksen kayu dengan pencahayaan LED yang modern. Di sudut ruangan, sebuah tempat tidur king-size dengan seprai putih bersih berdiri megah, dikelilingi oleh lampu gantung minimalis.Ada sofa abu-abu lembut dengan meja kaca di depannya, rak dinding penuh buku dan ornamen mahal. Di sisi lain, ada lemari pakaian besar dengan pintu kaca buram yang menampilkan deretan pakaian rapi. Sebuah meja kerja dengan aksen emas tampak berdiri megah di dekat jendela besar yang menghadap taman luas, lengka
Hanum duduk dengan kedua tangannya di pangkuan, menggenggam erat ujung kerudungnya. Di hadapannya, suami dan mama mertuanya berbincang santai, sementara kakak iparnya, Raka, sesekali menyisipkan komentar. Meira pun tak mau kalah. Terkadang dia ikut menimpali obrolan. Semua terasa begitu hangat dan menyenangkan. Namun, kedatangan lelaki dengan rambut nyaris penuh uban itu membuat Hanum kembali diterpa gelisah. Dia bertubuh tegap dengan kemeja putih yang masih rapi meski seharian dipakai bekerja. Wajahnya tegas, dengan alis tebal dan sorot mata yang tajam. Hanum langsung menunduk sedikit, mencoba menghindari tatapannya."Papa," sapa Ken sambil berdiri. "Sudah pulang?" sambungnya sembari mencium punggung tangan papanya. Wicaksono, papanya Ken pun mengangguk kecil. Sorot matanya masih tertuju pada Hanum. Wajahnya tetap datar, tak ada senyuman, membuat Hanum semakin merasa terintimidasi."Ini Hanum, Pa," lanjut Ken, memperkenalkan. "Istri aku."Wicaksono berjalan mendekat, berdiri tegak
"Mas, apa masih jauh?" tanya Hanum saat Ken baru saja menyelesaikan obrolannya dengan klien via handphone. Ken menoleh lalu menggeleng pelan. "Sebentar lagi, Sayang. Mungkin sepuluh menitan. Kenapa?" tanya Ken menatap lembut wajah istrinya yang kini terlihat gusar. "Hanum deg-deg an, Mas," ujarnya lirih. Hanum menghela napas panjang. Jemarinya sibuk bermain dengan ujung tas selempangnya yang kecil. Pandangannya sesekali melirik ke luar jendela mobil, memperhatikan pepohonan yang berjajar rapi di sepanjang jalan menuju rumah Ken. Dia membuka sedikit kaca jendela. Kebetulan suasana sedikit mendung, membuat udara di luar terasa berbeda--lebih sejuk dan tenang. Namun, di dalam dirinya, suasana begitu bergejolak. Ini adalah pertama kalinya Hanum akan bertemu keluarga suaminya. "Sayang, jangan dibuat cemas atau takut. Percayalah, kamu pasti bakal suka sama mereka," kata Ken sambil melingkarkan lengan kanannya ke pinggang Hanum. "Hanum juga sudah berusaha tenang, Mas. Tapi,
"Sudah pernah ke Jogja, Dek?" tanya Ken setelah sampai di kota kelahirannya itu. Hanum menggeleng pelan. "Belum pernah?" tanya Laki-laki itu lagi. "Belum, Mas. Dulu saat SMA ada study tour ke Jogja saja Hanum nggak ikut karena nggak ada biaya. Hanum ini beneran perempuan rumahan, nggak pernah kemana-mana. Tiap hari paling ke sekolah, ke pasar, ke warung gitu-gitu doang. Makanya, pantaslah kalau Mbak Rena selalu nyebut Hanum perempuan kampungan. Memang kenyataannya begitu," balas Hanum dengan senyum tipis. Senyum yang menyimpan beragam kepahitan hidupnya. "Kasihan istriku ini. Sudah nggak apa-apa. Itu bagian dari masa lalu. Mulai sekarang, kamu akan kuajak jalan-jalan, belanja, makan-makan, pokoknya apapun yang kamu mau bilang saja ya?" balas Ken sembari mengusap pelan puncak kepala istrinya. Kedua mata Hanum kembali berkaca. Hanum berpikir, entah kebaikan apa yang pernah dilakukannya sampai bisa memiliki suami seperti Ken. Dia benar-benar tak menyangka jika lelaki yang sebelumnya