Saat Sundari keluar toilet, dia sangat shock melihat suaminya tak sadarkan diri. Berulang kali berusaha membuatnya sadar, tapi Wicaksono tetap bergeming. Sampai akhirnya Sundari melihat handphonenya jatuh dan pecah di lantai. Tak ingin terjadi sesuatu pada Wicaksono, Sundari segera memasukkan benda pipih itu ke saku gamisnya lalu menekan bel untuk memanggil perawat. Sembari menunggu perawat datang, Sundari mengusap-usap pelan lengan suaminya. Sundari benar-benar tak tahu kenapa suaminya bisa pingsan seperti itu. Setelah dokter dan perawat datang, Sundari keluar kamar karena dokter akan memeriksa kondisi Wicaksono kembali. Di kursi tunggu, Sundari kembali termangu. Dia mengingat-ingat apa yang dikatakannya pada Wicaksono sebelum pamit ke toilet lagi. Mendadak teringat dengan handphonenya yang pecah. Sundari gegas mengambil benda pipih itu dari saku gamisnya lalu memeriksa beberapa pesan dan panggilan yang masuk di sana. Tak ada siapapun yang menelepon. Jemarinya menggulir aplikasi hi
"Soal hidup anakmu, Mas Baim yang tanggungjawab. Kamu nggak perlu menyakiti dirimu sendiri, Lin," lirih Soraya saat mendengar Lina menggedor-gedor pintu kamarnya. "Cari bajingan itu sampai ketemu, Mas! Enak saja dia menikah dan bahagia dengan perempuan lain sementara aku dan bayi ini ditinggalkannya sendirian!" Lina berteriak. Kata-kata itu selalu diulangnya setiap waktu. Dia benar-benar tak terima diabaikan kekasihnya setelah dia menikmati apa yang seharusnya tak dinikmatinya. Lina tak hanya kecewa dan terluka, tapi kejiwaannya juga terguncang. Bayangan-bayangan Meira sering menyelinap di benaknya. Wajar jika itu terjadi karena dulu Lina sering kali membuat Meira menitikkan air mata. Kini, Allah memutar balikan keadaan. Lina bahagia dengan hidupnya, sementara Lina mulai diselimuti luka, air mata dan penyesalan. Lina dulu sering melukai hati Meira, memfitnahnya bahkan mendukung sang kakak untuk menceraikan istrinya, kini seolah mendapatkan balasan sepadan karena hidupnya yang jauh
Baim bergeming. Kata-kata sang ibu begitu membekas di hatinya. Baim tak menyangka jika ibunya masih sematrealistis itu, padahal berbagai ujian sudah datang di saat mereka hanya mengejar materi dan kekayaan. Andai dulu tak mendzalimi Meira dan mengusirnya dari rumah hanya demi Vonny yang kaya, tentu dia benar-benar memiliki besan kaya raya. Namun, begitulah balasan Allah. DIA membuktikan jika keserakahan dan kedzaliman hanya akan menciptakan kesengsaraan. Sayangnya, sudah diberi teguran seperti itu pun mereka belum sadar juga. Masih saja licik dan mencari segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. "Mau kemana, Im?" tanya Soraya saat melihat Baim keluar kamar dengan kopernya. "Mau jenguk Pak Wicaksono sama Vonny, Bu. Sekalian minta maaf karena sudah mempermalukan mereka. Sekalipun aku sudah minta maaf sama Vonny lewat WhatsApp, tapi nggak ada salahnya minta maaf langsung. Rasanya benar-benar nggak tenang saat tahu Vonny kecelakaan bahkan sekarang masih koma," ujar Baim l
Baim menginap di hotel yang tak jauh dari mall ternama di Jogja. Dia sengaja menginap di sana agar tak terlalu jauh saat ingin ke rumah Vonny, sekalian bertemu dengan Aldo karena sudah cukup lama tak bertemu dengan anak semata wayangnya itu. Selama berpisah dengan Meira, Baim tak pernah memberi nafkah pada anaknya karena dia merasa jika keluarga Meira sudah punya segalanya. Uang satu atau dua juta yang dia berikan tentu tak ada apa-apanya dibandingkan kekayaan yang Adrian punya. Awalnya Baim juga ingin mengirimkan nafkah bulanan, hanya saja lagi dan lagi ibunya melarang. Soraya selalu membujuk dan mengompori Baim agar tak ikut campur masalah Aldo karena dia sudah memiliki kakek sultan, katanya. Soraya lantas membandingkan Aldo dengan Angga, anak semata wayang Rumi. Angga yang tak mendapatkan jatah bulanan dari bapaknya dan Rumi yang harus berjuang sendirian untuk anak lelakinya. Soraya meminta Baim untuk memberikan jatah Aldo pada Angga saja karena dia jauh lebih membutuhkan, pada
Dua hari sudah Wicaksono dan Vonny sama-sama dirawat di rumah sakit. Vonny masih koma, sementara Wicaksono mulai membaik meski masih terlihat shock. Setelah membaca pesan dari Raka kemarin, Wicaksono tak banyak bertanya dan bicara. Dia lebih banyak diam dan murung seolah ada beban berat yang dipikulnya. Berulang kali Sundari mencoba bertanya dan menawarkan makanan, tapi Wicaksono selalu menggeleng pelan. Laki-laki itu masih memikirkan Vonny dan almarhum istri keduanya. Wicaksono bingung bagaimana status Vonny yang sebenarnya. Dia masih tak percaya jika Vonny bukanlah darah dagingnya. Tak ingin menduga-duga, akhirnya Wicaksono mengambil keputusan terberat dalam hidupnya. "Ka, tolong panggilkan dokter. Papa ingin minta tolong padanya," lirih Wicaksono saat melihat istri dan kedua anak lelakinya duduk tak jauh dari ranjang. "Iya, Pa. Biar kupanggilkan dulu," balas Raka tanpa membantah. Laki-laki itu beranjak dari kursi lalu keluar kamar. Sundari hanya bergeming meski dalam hati berta
"Papa sudah membaik, salah satu dari kalian bisa mengantar mama pulang. Raka saja yang antar, sekalian istirahat sebentar di rumah. Kasihan Dee pasti kangen sama papanya. Mama juga butuh istirahat karena dari kemarin sudah jaga papa di sini. Biar Ken yang jagain Vonny," pinta Wicaksono kemudian. "Mama nggak apa-apa, Pa. Nanti papa sendirian di sini," ujar Sundari cemas. "Nggak sendirian, Ma. Ada perawat juga kan? Nanti kalau papa butuh sesuatu tinggal tekan bel saja. Nggak masalah kok. Mama harus istirahat. Jangan sampai kita dirawat ramai-ramai di sini," balas Wicaksono dengan senyum tipis. Sundari masih bersikukuh ingin menjaga suaminya, tapi Raka dan Ken sama-sama membujuk mama mereka untuk mengikuti permintaan papanya. Tak ingin membuat Wicaksono cemas akhirnya Sundari mengiyakan. Dia pamit pulang setelah menyiapkan camilan dan sebotol air mineral di meja. Tak lupa meminta Wicaksono untuk segera memanggil perawat jika membutuhkan sesuatu. Sundari terlalu mengkhawatirkan keadaa
Baim bergeming di kamar hotel setelah pulang dari rumah sakit menjenguk Vonny yang masih koma. Sundari benar, kaki Vonny cidera cukup parah sampai membuatnya lumpuh. Meski nggak lumpuh permanen, tapi membutuhkan waktu cukup lama untuk mengembalikannya seperti semula. Itu pun kalah Vonny benar-benar semangat terapi dan optimis sembuh. Jika tidak, kelumpuhannya dipastikan akan semakin lama. Bukan soal itu yang membuat Baim berpikir ulang. Namun, ucapan Sundari saat bertemu dengannya pagi tadi membuat Baim berpikir lagi dan lagi. Benarkah Vonny bukan anak kandung Wicaksono? Jika memang begitu, lantas dia anak siapa? Apakah Vonny tak akan mendapatkan warisan seperti yang pernah dijanjikan Wicaksono dulu? Bagaimana dengan rumah dan perusahaan yang pernah diceritakan Vonny, apakah semua akan ditarik kembali? Berbagai pertanyaan itu lalu lalang di benak Baim. Laki-laki itu tak tahu apa yang sebenarnya terjadi setelah pertunangannya dengan Vonny yang batal beberapa bulan lalu. Sepertinya me
Seminggu sudah Vonny dirawat di rumah sakit. Dia sudah sadar di hari ketiga. Tangis dan jeritan tak pernah sepi dari kamarnya. Tiap kali mengingat soal kakinya yang cidera, tiap itu pula dia kembali histeris. Dia berusaha menggerakkan kaki kanannya, tapi semua sia-sia. Kakinya benar-benar tak bisa berfungsi secara normal. Dia lumpuh. Kursi roda sudah disiapkan Wicaksono di samping ranjang untuk memudahkan Vonny jika ingin keluar kamar sesekali. Tiap kali melihat kursi roda itu, tiap itu pula dia kembali tergugu. Dia kembali menyalahkan Meira atas semua yang dialaminya. Padahal semua terjadi karena kesalahan dan keegoisannya sendiri. Sundari selalu berusaha menenangkan, tapi yang dia dapatkan hanya makian. Akhirnya wanita bermata teduh itu menyerah. Dia malas membujuk Vonny agar lebih tenang dan menerima segala takdirNya. Sundari mulai enggan apalagi saat mengingat golongan darah Vonny yang kemungkinan besar tak sesuai dengan golongan darah kedua orang tuanya."Mama keluar saja, biar
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati
"Kenapa kamu nikah mendadak, Ken? Selama ini kamu nggak pernah cerita soal perempuan pada mama dan papa. Tiba-tiba kamu kasih kabar akan menikah dan kami dilarang datang. Sebenarnya kejadiannya gimana sampai kamu senekat itu?" Wicaksono menatap lekat Ken yang duduk di depannya itu.Keluarga Ken sedang menikmati makan siang bersama, termasuk Raka dan Meira. Mereka sengaja mencari waktu agar bisa duduk bersama membahas pernikahan Ken ya g dadakan itu. "Papa tahu kamu sudah menjelaskannya waktu itu, tapi berhari-hari papa masih nggak habis pikir kenapa kamu senekat itu, Ken. Apalagi pada gadis yang baru kamu lihat pertama kali," sambung Wicaksono lagi. "Papamu benar, Ken. Bukan maksud mama menyalahkanmu atau menyudutkan istrimu, hanya saja papa dan mama masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kamu ingin menjadi pengantin penggantinya. Suatu hal yang benar-benar di luar nalar. Kalau kalian sudah kenal lama, mungkin mama nggak akan sekaget ini, tapi kamu sendiri bilang kalau kalian baru be
"Ya Allah, Mas. Kita ke klinik sekarang ya? Saya takut Mas Ridho kenapa-kenapa," ujar Hanum begitu panik saat melihat wajah bodyguard suaminya sedikit pucat setelah menerima bogem mentah itu. "Nggak apa-apa, Mbak Hanum. Sudah biasa begini. Tenang saja," balas Ridho berusaha tersenyum meski pipinya benar-benar nyut-nyutan tak karuan. Nyeri dan terasa sakit saat digerakkan. "Nggak apa-apa gimana, Mas? Ini cukup parah," tunjuk Hanum pada sudut bibir Ridho yang pecah. "Tenang saja, Mbak. Ridho sudah kebal," timpal Bagas dengan senyum tipis, berusaha menenangkan Hanum, tapi tetap saja dia merasa sangat bersalah sampai membuat laki-laki di sampingnya itu babak belur. "Siapa mereka, Num?" Pertanyaan Juragan Gino membuat Hanum menoleh seketika. "Mereka teman baik suami saya, Juragan. Maaf kalau sudah membuat keributan di sini." Hanum sedikit membungkuk lalu kembali menatap belanjaannya yang berantakan. "Kemana suamimu? Kenapa dia menyuruh orang lain untuk mengawasimu?" tanya Juragan Gin