"Kamu!" Raka beranjak dari sofa, nyaris menampar pipi Vonny andai tak ditarik oleh mamanya. "Istighfar, Rama. Sabar ... jangan diambil hati ya. Sebaiknya kamu istirahat di kamar. Kamu lelah." Sundari mencoba menenangkan Rama yang tersulut emosi. "Besok jalan-jalan. Refreshing sama Dee ya? Kamu butuh hiburan dan liburan." Raka menghela napas panjang saat Sundari mengusap pelan punggungnya. Tak banyak bicara, Raka mengikuti perintah mamanya untuk naik ke lantai atas. Dia membuka pintu pelan lalu mengunci kamarnya. "Kamu kenapa sih, Von? Sampai kapan kamu kekanak-kanakan seperti ini?" Sundari menatap Vonny dari tempat duduknya. Vonnya yang baru saja membalikkan badan, menghentikan langkahnya seketika. "Mama nggak perlu mengatur hidupku. Aku tahu apa yang terbaik untuk diriku sendiri. Nggak usah sok perhatian karena aku tahu perhatian mama itu palsu!" Vonny tak menoleh, dia bicara membelakangi Sundari. Benar-benar tak punya sopan santun. Andai tak mengingat janjinya pada suaminya, Su
[Dasar murahan! Kamu sengaja mencari Om-om untuk memberimu kekayaan? Kalau mau hidup enak, kerja! Bukan menjadi seorang pela cur!] Erina mengirimkan pesan itu dengan tangan gemetar saking emosinya. Dia tak menyangka, sekian lama bersama Adrian, suaminya justru bermain hati dengan perempuan lain yang jauh lebih muda dibandingkan dia bahkan mungkin usianya separuh dari usianya. Erina merasa jika cinta dan perhatian yang selama ini Adrian berikan itu palsu. Aku tahu kekuranganku. Aku sadar tak bisa memberinya keturunan, tapi kenapa Mas Adrian melakukan ini semua tanpa sepengetahuanku? Apa ini alasannya menolak adopsi anak selama ini? Apa karena ini dia sering pulang telat beberapa minggu belakangan? Apa karena ini dia selalu memintaku banyak istirahat agar tak kelelahan, padahal dia dia hanya tak ingin aku curiga dan menyelidiki perubahan sikapnya? Erina tergugu setelah mendapatkan beragam foto dan pesan yang masuk ke aplikasi hijaunya.Dua puluh delapan tahun menikah, tak pernah sekal
"Sayang, Adrian sudah menikah dengan kekasihnya bahkan kini perempuan itu sedang hamil. Apa kamu tega menghancurkan rumah tangga mereka hanya demi menuruti keinginanmu ini?" Anggi berusaha menenangkan Erina yang saat itu tersulut emosi. Erina benar-benar tak terima dan merasa harga dirinya jatuh saat Adrian lebih memilih perempuan itu dan menolak lamarannya. Erina yang sebelumnya merasa lebih baik dan sempurna, mendadak patah dan kecewa karena Adrian lebih memilih Siti yang yatim piatu dan tak berpendidikan sepertinya. Kecewa dan sakit hatinya bertambah saat Adrian memintanya berhenti meneror dan membuat istrinya cemburu."Kamu cantik, berpendidikan dan memiliki keluarga mapan, Sayang. Kamu pasti bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik dibandingkan Adrian." Anggi terus berusaha meyakinkan anak semata wayangnya, tapi Erina tetap menolak. Cintanya pada Adrian sudah terlalu dalam dan dia tak bisa membuka hati untuk lelaki lain. "Kalau memang aku nggak bisa menikah dengan Mas Adrian, le
[Mei, aku dapat nomor kamu dari Vonny dua hari sebelum pertunangan gagal itu. Maaf jika baru menghubungimu sekarang. Maafkan aku yang sudah memaki dan menuduhmu macam-macam, Meira. Maafkan aku yang terlalu gegabah menjatuhkan talak padamu sebelum mencari tahu semua yang terjadi. Kamu benar, Mei. Ternyata semua perselingkuhan itu hanyalah fitnah dari keluargaku. Mereka sengaja melakukannya agar kita berpisah. Aku benar-benar tak menyangka jika ibu dan kedua saudaraku setega itu menghancurkan rumah tangga kita. Arya juga baru menghubungiku kemarin. Handphonenya hilang dan email-nya ganti yang baru. Dia tak tahu jika aku sudah minta penjelasannya sejak lama. Kemarin dia sudah menjelaskan semuanya, tak ada perselingkuhan di antara kalian berdua. Aku sangat menyesal sudah membuatmu menderita selama ini, Meira. Sekali lagi maafkan aku. Aku janji akan memperbaiki semuanya dan berusaha berubah lebih baik, Mei. Aku nggak mau kehilangan perempuan sebaik kamu. Aku benar-benar menyesal sudah
"Arya kemarin menghubungiku lewat email, Bu. Dia bilang tak pernah berselingkuh dengan Meira. Bahkan dia bilang akan menjemput Meira dan menikahinya jika aku membuatnya menderita." Baim kembali berkaca tiap kali mengingat dan menyebut nama Meira. Cinta dan cemburunya terlalu besar untuk perempuan itu. Oleh karena itulah, dia bisa segegabah itu memutuskan talak saat melihat bukti-bukti palsu di tangannya saat itu. Baim merasa teramat kecewa dan harga dirinya diinjak-injak sampai spontan mengucapkan talak pada Meira tanpa mencari tahu kebenarannya lebih dulu. "Arya shock kenapa aku tega menceraikan perempuan sebaik dan sesetia Meira. Jarang sekali ada perempuan sehebat dia dan aku merasa beruntung mendapatkannya. Namun, ternyata justru kusia-siakan bahkan kutuduh zina dengan sahabatku sendiri. Aku benar-benar bodoh. Sampai hati menuduh istriku sendiri sehina itu." Baim mengusap wajahnya kasar lalu menghela napas panjang. "Ibu minta maaf, Im. Semua ini bukan murni kesalahanmu. Ibu dan
"Kamu kenapa, Lina?" Sulastri kembali bertanya dengan perasaan was-was. Lina hanya diam saja setelah mencuci muka. "Lina! Jangan diam saja. Kamu kenapa?!" Akhirnya Baim membentak adik perempuannya itu saking kesalnya. "Kamu kenapa sih, Mas? Bentak-bentak aja! Nggak bisa ngomong pelan apa?!" Lina tak mau kalah. Dia balik membentak Baim yang masih begitu kesal melihat sikap adiknya yang susah diatur itu. Beragam masalah membuat Baim semakin tersulut emosi bahkan nyaris menampar pipi Lina andai Sulastri tak buru-buru menarik tangannya. "Pelan-pelan, Im," ujar Sulastri dengan tatapan memohon. Baim mendengkus lalu menjatuhkan bobotnya ke sofa. "Jangan memanjakan Lina terus menerus, Bu. Dia bisa ngelunjak kalau selalu dimanja dan dituruti semua kemauannya.""Kamu ngomong apa sih, Mas?" Lina kembali sewot. Dia yang baru mau masuk kamar mendadak membalikkan badannya kembali. "Aku nggak bisa mengawasi dia terus karena sibuk kerja, Bu. Ibu yang seharusnya mengatur dia. Selama ini dia ben
"Kamu tahu siapa laki-laki itu, Vin?" Baim mulai cemas. Vino menggeleng, tapi dia bilang tahu tempat tinggal laki-laki itu karena tak begitu jauh dari rumahnya. "Aku mau ke Jogja dulu, Vin. Lain kali aku ajak kamu ketemu laki-laki itu." Vino mengangguk lalu menepuk bahu Baim perlahan. Kepala Baim kembali berdenyut pusing. Masalah dengan Meira belum usai, berganti masalah baru yang tak kalah memusingkan. Baim benar-benar mengkhawatirkan keadaan Lina yang dia yakini tak baik-baik saja. "Aku harus menyelidiki semuanya!" ujar Baim lirih. Tanpa membuang waktu, dia pamit pada ibunya lalu melangkah tergesa ke mobil. Jarum jam nyaris menunjuk angka tiga sore hari saat Baim keluar dari rumahnya. Baru beberapa meter dari rumah, handphonenya bergetar. Baim menepikan mobil lalu mengambil handphone di saku celananya. Pesan dari Meira terkirim di aplikasi hijaunya. [Aku nggak menyangka saja kenapa kamu bisa percaya begitu saja jika aku selingkuh dengan Mas Arya. Ternyata, sepuluh tahun bersama
[Suamimu cabut gugatan, Mei. Biar Pak Benny yang urus perceraian kamu. Beliau akan ke rumah suamimu untuk mengurus masalah ini. Kamu tak perlu risau, semua akan beres dan kamu akan bebas dari lelaki tak bertanggungjawab sepertinya. Ohya, minggu ini papa nggak bisa ke Jogja. Ada urusan penting yang harus diselesaikan. Kamu hati-hati di sana. Salam buat Raka dan keluarganya ya] Meira baru saja membaca pesan dari papanya -- Adrian. Sudah Meira duga jika Baim akan membatalkan gugatannya, apalagi setelah dia tahu jika semua bukti perselingkuhan Meira dan Arya itu hanya fitnah belaka. Setelah membalas pesan dari papanya, Meira segera menyiapkan seragam sekolah untuk Aldo. Untuk camilan dan makan siang, semua sudah disiapkan pihak sekolah. Meira hanya membawakan susu dan camilan lain sebagai tambahan. Aldo terlihat begitu senang menjalani hari-harinya di sekolah itu meski pulang lebih sore dibandingkan sekolah pada umumnya. Namun, dia sering menceritakan tentang teman-temannya yang seru d
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati
"Kenapa kamu nikah mendadak, Ken? Selama ini kamu nggak pernah cerita soal perempuan pada mama dan papa. Tiba-tiba kamu kasih kabar akan menikah dan kami dilarang datang. Sebenarnya kejadiannya gimana sampai kamu senekat itu?" Wicaksono menatap lekat Ken yang duduk di depannya itu.Keluarga Ken sedang menikmati makan siang bersama, termasuk Raka dan Meira. Mereka sengaja mencari waktu agar bisa duduk bersama membahas pernikahan Ken ya g dadakan itu. "Papa tahu kamu sudah menjelaskannya waktu itu, tapi berhari-hari papa masih nggak habis pikir kenapa kamu senekat itu, Ken. Apalagi pada gadis yang baru kamu lihat pertama kali," sambung Wicaksono lagi. "Papamu benar, Ken. Bukan maksud mama menyalahkanmu atau menyudutkan istrimu, hanya saja papa dan mama masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kamu ingin menjadi pengantin penggantinya. Suatu hal yang benar-benar di luar nalar. Kalau kalian sudah kenal lama, mungkin mama nggak akan sekaget ini, tapi kamu sendiri bilang kalau kalian baru be
"Ya Allah, Mas. Kita ke klinik sekarang ya? Saya takut Mas Ridho kenapa-kenapa," ujar Hanum begitu panik saat melihat wajah bodyguard suaminya sedikit pucat setelah menerima bogem mentah itu. "Nggak apa-apa, Mbak Hanum. Sudah biasa begini. Tenang saja," balas Ridho berusaha tersenyum meski pipinya benar-benar nyut-nyutan tak karuan. Nyeri dan terasa sakit saat digerakkan. "Nggak apa-apa gimana, Mas? Ini cukup parah," tunjuk Hanum pada sudut bibir Ridho yang pecah. "Tenang saja, Mbak. Ridho sudah kebal," timpal Bagas dengan senyum tipis, berusaha menenangkan Hanum, tapi tetap saja dia merasa sangat bersalah sampai membuat laki-laki di sampingnya itu babak belur. "Siapa mereka, Num?" Pertanyaan Juragan Gino membuat Hanum menoleh seketika. "Mereka teman baik suami saya, Juragan. Maaf kalau sudah membuat keributan di sini." Hanum sedikit membungkuk lalu kembali menatap belanjaannya yang berantakan. "Kemana suamimu? Kenapa dia menyuruh orang lain untuk mengawasimu?" tanya Juragan Gin