[Mei, aku dapat nomor kamu dari Vonny dua hari sebelum pertunangan gagal itu. Maaf jika baru menghubungimu sekarang. Maafkan aku yang sudah memaki dan menuduhmu macam-macam, Meira. Maafkan aku yang terlalu gegabah menjatuhkan talak padamu sebelum mencari tahu semua yang terjadi. Kamu benar, Mei. Ternyata semua perselingkuhan itu hanyalah fitnah dari keluargaku. Mereka sengaja melakukannya agar kita berpisah. Aku benar-benar tak menyangka jika ibu dan kedua saudaraku setega itu menghancurkan rumah tangga kita. Arya juga baru menghubungiku kemarin. Handphonenya hilang dan email-nya ganti yang baru. Dia tak tahu jika aku sudah minta penjelasannya sejak lama. Kemarin dia sudah menjelaskan semuanya, tak ada perselingkuhan di antara kalian berdua. Aku sangat menyesal sudah membuatmu menderita selama ini, Meira. Sekali lagi maafkan aku. Aku janji akan memperbaiki semuanya dan berusaha berubah lebih baik, Mei. Aku nggak mau kehilangan perempuan sebaik kamu. Aku benar-benar menyesal sudah
"Arya kemarin menghubungiku lewat email, Bu. Dia bilang tak pernah berselingkuh dengan Meira. Bahkan dia bilang akan menjemput Meira dan menikahinya jika aku membuatnya menderita." Baim kembali berkaca tiap kali mengingat dan menyebut nama Meira. Cinta dan cemburunya terlalu besar untuk perempuan itu. Oleh karena itulah, dia bisa segegabah itu memutuskan talak saat melihat bukti-bukti palsu di tangannya saat itu. Baim merasa teramat kecewa dan harga dirinya diinjak-injak sampai spontan mengucapkan talak pada Meira tanpa mencari tahu kebenarannya lebih dulu. "Arya shock kenapa aku tega menceraikan perempuan sebaik dan sesetia Meira. Jarang sekali ada perempuan sehebat dia dan aku merasa beruntung mendapatkannya. Namun, ternyata justru kusia-siakan bahkan kutuduh zina dengan sahabatku sendiri. Aku benar-benar bodoh. Sampai hati menuduh istriku sendiri sehina itu." Baim mengusap wajahnya kasar lalu menghela napas panjang. "Ibu minta maaf, Im. Semua ini bukan murni kesalahanmu. Ibu dan
"Kamu kenapa, Lina?" Sulastri kembali bertanya dengan perasaan was-was. Lina hanya diam saja setelah mencuci muka. "Lina! Jangan diam saja. Kamu kenapa?!" Akhirnya Baim membentak adik perempuannya itu saking kesalnya. "Kamu kenapa sih, Mas? Bentak-bentak aja! Nggak bisa ngomong pelan apa?!" Lina tak mau kalah. Dia balik membentak Baim yang masih begitu kesal melihat sikap adiknya yang susah diatur itu. Beragam masalah membuat Baim semakin tersulut emosi bahkan nyaris menampar pipi Lina andai Sulastri tak buru-buru menarik tangannya. "Pelan-pelan, Im," ujar Sulastri dengan tatapan memohon. Baim mendengkus lalu menjatuhkan bobotnya ke sofa. "Jangan memanjakan Lina terus menerus, Bu. Dia bisa ngelunjak kalau selalu dimanja dan dituruti semua kemauannya.""Kamu ngomong apa sih, Mas?" Lina kembali sewot. Dia yang baru mau masuk kamar mendadak membalikkan badannya kembali. "Aku nggak bisa mengawasi dia terus karena sibuk kerja, Bu. Ibu yang seharusnya mengatur dia. Selama ini dia ben
"Kamu tahu siapa laki-laki itu, Vin?" Baim mulai cemas. Vino menggeleng, tapi dia bilang tahu tempat tinggal laki-laki itu karena tak begitu jauh dari rumahnya. "Aku mau ke Jogja dulu, Vin. Lain kali aku ajak kamu ketemu laki-laki itu." Vino mengangguk lalu menepuk bahu Baim perlahan. Kepala Baim kembali berdenyut pusing. Masalah dengan Meira belum usai, berganti masalah baru yang tak kalah memusingkan. Baim benar-benar mengkhawatirkan keadaan Lina yang dia yakini tak baik-baik saja. "Aku harus menyelidiki semuanya!" ujar Baim lirih. Tanpa membuang waktu, dia pamit pada ibunya lalu melangkah tergesa ke mobil. Jarum jam nyaris menunjuk angka tiga sore hari saat Baim keluar dari rumahnya. Baru beberapa meter dari rumah, handphonenya bergetar. Baim menepikan mobil lalu mengambil handphone di saku celananya. Pesan dari Meira terkirim di aplikasi hijaunya. [Aku nggak menyangka saja kenapa kamu bisa percaya begitu saja jika aku selingkuh dengan Mas Arya. Ternyata, sepuluh tahun bersama
[Suamimu cabut gugatan, Mei. Biar Pak Benny yang urus perceraian kamu. Beliau akan ke rumah suamimu untuk mengurus masalah ini. Kamu tak perlu risau, semua akan beres dan kamu akan bebas dari lelaki tak bertanggungjawab sepertinya. Ohya, minggu ini papa nggak bisa ke Jogja. Ada urusan penting yang harus diselesaikan. Kamu hati-hati di sana. Salam buat Raka dan keluarganya ya] Meira baru saja membaca pesan dari papanya -- Adrian. Sudah Meira duga jika Baim akan membatalkan gugatannya, apalagi setelah dia tahu jika semua bukti perselingkuhan Meira dan Arya itu hanya fitnah belaka. Setelah membalas pesan dari papanya, Meira segera menyiapkan seragam sekolah untuk Aldo. Untuk camilan dan makan siang, semua sudah disiapkan pihak sekolah. Meira hanya membawakan susu dan camilan lain sebagai tambahan. Aldo terlihat begitu senang menjalani hari-harinya di sekolah itu meski pulang lebih sore dibandingkan sekolah pada umumnya. Namun, dia sering menceritakan tentang teman-temannya yang seru d
"Siang ini ke kantor Raka ya, Mei. Saya mau ajak dia makan siang di cafe langganan," ucap Sundari pada Meira yang masih sibuk membuatkan Dee segelas susu. "Baik, Bu. Nanti saya siapkan bekal buat Non Dee." Sundari manggut-manggut dengan senyum tipis. Entah apa yang direncanakan Sundari untuk anak sulungnya dan Meira, tapi binar di wajahnya tampak tak biasa-biasa saja.Meira menggendong Dee ke lantai bawah. Baru sampai sofa, terdengar keributan di garasi. Meira dan Sundari saling tatap lalu buru-buru melihat apa yang sebenarnya terjadi. Di garasi rumah Sundari yang luas itu, tampak seorang perempuan modis sedang berseteru dengan satpam baru di rumah itu. "Kamu satpam baru? Pantas nggak tahu siapa saya!" sentak perempuan itu sembari menunjuk-nunjuk laki-laki berseragam putih hitam di depannya. "Iya, Bu. Maaf, biar saya panggilkan ibu Sundari dulu," ujarnya sedikit gugup."Ada apa ini?" Sundari datang dengan tergesa ke pos satpam. Kedua orang itu pun menoleh bersamaan. Sundari cukup
"Stop, Mbak! Dia bukan selingkuhan Mas Adrian, tapi anak kandungnya yang telah lama tinggal di panti asuhan!" ucap Sundari cepat membuat Erina membisu seketika. Meira menutup mulutnya dengan telapak tangan. Tak menyangka jika Sundari akan terang-terangan menceritakan soal itu pada Erina. "Apa maksudmu?!" sentak Erina kemudian. Dia masih tak percaya dengan apa yang dia dengar. "Apa maksudmu bilang begitu, heh?!" sentaknya lagi dengan suara bergetar. Erina maju selangkah demi selangkah ke arah Sundari yang masih bergeming di tempat. Dia tak takut menghadapi Erina yang benar-benarmenampakkan emosinya. "Meira Althafunnisa binti Rahmat Hidayat. Dia adalah anak Mas Adrian dengan almarhumah Mbak Siti. Bayi mungil yang terpaksa dititipkan ke panti asuhan 28 tahun silam karena Mas Adrian nggak mau melihatnya semakin tersiksa jika harus hidup bersamamu!" sentak Sundari tak mau kalah. Rasa hormat yang sebelumnya selalu dia perlihatkan pada Erina dan Adrian sebagai malaikat tak bersayap untu
"Kamu terlalu bo doh makanya bisa ditipu oleh Wicaksono. Dia enak-enakan di luar sana bersama perempuan lain, tak peduli dengan perasaanmu yang terluka karena ulahnya. Dan sekarang, kamu pasti semakin tak tenang setelah anak tirimu tinggal di sini bukan?" Erina tersenyum sinis sembari bersedekap. Di lantai atas, Vonny mendengarkan obrolan mereka sedari tadi. Dia hanya tersenyum mendengar perdebatan mereka di lantai bawah, tepatnya di ruang keluarga. Perempuan itu sengaja tak ikut campur. Dia hanya ingin menyaksikan bagaimana penolakan Erina pada Meira. Melihat Meira tertunduk lesu dengan wajah ditekuk seperti itu membuat rasa berbeda di batin Vonny. Dia bahagia melihat perempuan yang sudah menghancurkan pertunangannya itu terluka. "Siapa bilang? Aku biasa saja bahkan bisa menerima kehadiran Vonny di sini. Sejauh apapun melangkah, Vonny tetaplah anak dari suamiku. Aku akan tetap menghargai kehadirannya karena itu sebagai bukti baktiku pada suami. Aku tak seegois kamu, Erina. Kamu ta
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,