Vonny masih meraung-raung tak karuan di kamarnya. Semua cara sudah dilakukan, tapi Vonny masih saja kesal dan kecewa karena pertunangannya batal. Dia semakin membenci Meira karena merasa dialah yang membuat Baim membatalkan acara spesialnya tadi. Padahal Meira sengaja mempertanyakan ini dan itu pada Baim agar Vonny mendengar kejujurannya. Dengan begitu dia bisa melihat siapa Baim sebenarnya. Sayangnya, tanggapan Vonny justru berbeda. Dia merasa dipermalukan dan dibandingkan sampai akhirnya acara dibatalkan. "Ini pemberian bunda setelah saya menikah." Meira meletakkan kotak usang itu di atas meja sesuai permintaan Adrian. Semua duduk di sofa sembari mendengarkan cerita Meira tentang masa lalunya dan alasan Adrian mengirimkan anak kandungnya itu ke panti asuhan. Sedikit gemetar Adrian mengambil kotak berwarna coklat itu lalu membuka isinya. Ternyata cincin dan selembad surat yang ditulis dengan air mata bercucuran itu masih tersimpan rapi di sana. Adrian masih mengingat semuanya begi
"Kamu memaafkan papa kan, Mei?" Pertanyaan itu kembali terdengar. Meira tersenyum lalu mengangguk pelan."Mei sudah maafkan kok, Pa. Mei bersyukur bertemu dengan papa. Setelah sekian lama memendam semua tanya itu sendiri, akhirnya terjawab sudah. Mei tak lagi menduga-duga dan tak akan menyalahkan keputusan papa saat itu. Mei paham posisi papa. Terima kasih papa sudah mau datang dan memperkenalkan Meira pada banyak orang sebagai anak kandung papa. Itu adalah kado terindah yang selama ini Mei impikan. Papa tak perlu terus merasa bersalah. Mei ikhlas dengan semuanya dan tak pernah menyesali takdir yang sudah ditetapkanNya." Meski agak canggung memanggil papa, tapi Meira berusaha menghargai dan menghormati papanya. Kedua Meira kembali berkaca. Rasa sesak dalam dadanya memang masih begitu terasa, tapi Mei yakin semua akan memudar dan menghilang dengan sendirinya setelah teka-teki dalam hidupnya terbuka. Mei bahagia bertemu dengan lelaki yang bisa disebut papa untuk pertama kalinya. Setid
"Eh, nggak apa-apa kalau kamu mau pulang, Mei. Sekarang kita semua sudah tahu siapa orang tuamu. Masa iya putri semata wayang Adrian Hidayat bekerja sebagai baby sitter di sini?" Sundari ikut menimpali. Lagi-lagi tawa terdengar di ruang keluarga Wicaksono itu. "Benar itu, Mei. Kamu boleh pulang, soal kontrak kerja itu anggap saja hangus. Nggak mungkin juga kami tega mempekerjakan anak sahabat sendiri, apalagi anak pengusaha ternama di negeri ini." Wicaksono ikut berkomentar. "Jangan berlebihan, Wi. Bisa besar kepala aku nanti." Adrian menonjok lengan kanan Wicaksono. Kedua lelaki itu kembali terkekeh. "Nggak apa-apa, Bu. Mei di sini dulu sampai kontrak habis. Lagipula kasihan Aldo kalau pindah sekolah lagi. Dia baru seneng-senengnya sekolah di sana." "Ohya, Aldo cucuku sekolah di mana, Wi?" Adrian menoleh pada Wicaksono yang baru saja beranjak dari sofa dan pamit ke kamar mandi. "Hayam Wuruk, An. Rama yang mengantarnya ke sana sebulan lalu. Sepertinya dia memang senang sekolah di
"Gara-gara ibu semua hancur berantakan!" sentak Baim setelah kembali ke Jakarta. "Kamu nyalahin ibu?" Sulastri meradang dan tak terima dengan tuduhan anak lelakinya. Baim menjatuhkan bobotnya ke sofa ruang tengah. Pikirannya kacau. Dia kembali menyesal telah menjatuhkan talak pada Meira yang ternyata anak orang kaya bahkan anak dari pemilik perusahaan dimana dia bekerja. Baim benar-benar ingin merajut kembali pernikahannya dengan Meira. Dia tak ingin berpisah sekalipun bayang-bayang perselingkuhan itu masih belum sepenuhnya dia terima. Namun, Baim merasa jika bersama Meira hidupnya akan lebih terjamin. Lagipula dia belum sepenuhnya move on, sekalipun sudah berusaha membuka hati untuk Vonny. "Ibu selalu menyalahkan Meira, menyudutkan dia dan mengomporiku untuk menalaknya. Bahkan sengaja menjodohkanku dengan Vonny saat Meira masih sah menjadi istriku." "Kalau kamu nggak suka, kamu bisa menolak. Nyatanya kamu mengikuti saran ibu. Iya kan?" Lagi-lagi Sulastri tak terima. "Kapan aku
"Maafkan ibu, Im. Ibu-- "Cukup! Ibu jangan bicara lagi atau kepalaku semakin terasa mau pecah. Ibu pasti tahu jika Meira adalah cinta pertamaku. Aku sangat mencintainya. Banyak hal yang kukorbankan asal dia bahagia. Sepuluh tahun bukan waktu yang sedikit kan, Bu? Selama itu pula aku tak pernah melupakan tanggungjawabku sebagai anak lelaki ibu dan Meira tak pernah melarang itu. Bahkan dia selalu mengingatkanku untuk berbakti pad orang tua, terutama ibu. Meira tulus menyayangi ibu dan bapak, bahkan dia merawat bapak sepenuh hati saat beliau stroke sampai tiada. Apa kurangnya Meira, Bu? Sampai hati ibu memfitnah dia? Bodohnya aku, mata hatiku terkunci. Kupikir ibu adalah cinta sejatiku. Kupikir ibu tak mungkin membuatku sengsara. Kupikir ibu adalah wanita satu-satunya yang mengorbankan segala hal untuk membuatku bahagia. Ternyata dugaanku keliru. Ibu justru menjadi wanita pertama yang membuat hidupku hancur berantakan. Ibu tak tulus mencintaiku. Ibu hanya memanfaatkanku untuk memenuhi s
"Seharusnya kamu lebih banyak meluangkan waktu sama Dee daripada sibuk di kantor, Ka. Memangnya nggak punya asisten, sampai kamu semua yang urus?" protes Sundari saat anak sulungnya itu masih saja lembur dan sibuk dengan urusan kantornya. "Aku cuma nggak mau membuat papa kecewa, Ma. Ini kan cabang baru yang masih merangkak, jadi aku harus benar-benar pantau sendiri supaya nggak salah langkah." Raka membalas sembari membuka jam tangan dan dasinya. "Iya, mama tahu itu, tapi kasihan Dee kalau kamu tinggal-tinggal terus. Dia butuh perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya." "Oke, Ma. Aku usahakan pulang lebih cepat." "Janji ya, Ka. Sesekali ajak Dee jalan-jalan. Dia juga pengin kaya anak-anak lain yang jalan-jalan dengan kedua orang tuanya." "Dee masih terlalu kecil, Ma. Dia belum punya keinginan semacam itu." "Main di mall atau tempat bermain itu disukai anak-anak sekalipun dia nggak meminta, Raka. Lagipula, ajaklah Meira keluar. Dia kan bukan sekadar baby sitter. Di sini dia de
"Kamu!" Raka beranjak dari sofa, nyaris menampar pipi Vonny andai tak ditarik oleh mamanya. "Istighfar, Rama. Sabar ... jangan diambil hati ya. Sebaiknya kamu istirahat di kamar. Kamu lelah." Sundari mencoba menenangkan Rama yang tersulut emosi. "Besok jalan-jalan. Refreshing sama Dee ya? Kamu butuh hiburan dan liburan." Raka menghela napas panjang saat Sundari mengusap pelan punggungnya. Tak banyak bicara, Raka mengikuti perintah mamanya untuk naik ke lantai atas. Dia membuka pintu pelan lalu mengunci kamarnya. "Kamu kenapa sih, Von? Sampai kapan kamu kekanak-kanakan seperti ini?" Sundari menatap Vonny dari tempat duduknya. Vonnya yang baru saja membalikkan badan, menghentikan langkahnya seketika. "Mama nggak perlu mengatur hidupku. Aku tahu apa yang terbaik untuk diriku sendiri. Nggak usah sok perhatian karena aku tahu perhatian mama itu palsu!" Vonny tak menoleh, dia bicara membelakangi Sundari. Benar-benar tak punya sopan santun. Andai tak mengingat janjinya pada suaminya, Su
[Dasar murahan! Kamu sengaja mencari Om-om untuk memberimu kekayaan? Kalau mau hidup enak, kerja! Bukan menjadi seorang pela cur!] Erina mengirimkan pesan itu dengan tangan gemetar saking emosinya. Dia tak menyangka, sekian lama bersama Adrian, suaminya justru bermain hati dengan perempuan lain yang jauh lebih muda dibandingkan dia bahkan mungkin usianya separuh dari usianya. Erina merasa jika cinta dan perhatian yang selama ini Adrian berikan itu palsu. Aku tahu kekuranganku. Aku sadar tak bisa memberinya keturunan, tapi kenapa Mas Adrian melakukan ini semua tanpa sepengetahuanku? Apa ini alasannya menolak adopsi anak selama ini? Apa karena ini dia sering pulang telat beberapa minggu belakangan? Apa karena ini dia selalu memintaku banyak istirahat agar tak kelelahan, padahal dia dia hanya tak ingin aku curiga dan menyelidiki perubahan sikapnya? Erina tergugu setelah mendapatkan beragam foto dan pesan yang masuk ke aplikasi hijaunya.Dua puluh delapan tahun menikah, tak pernah sekal
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,