"Silakan pergi dan jangan pernah mendekati anakku lagi! Laki-laki tak tahu diri sepertimu harusnya lekas punah. Tak tahu malu!" sentak Wicaksono sembari menunjuk arah pintu keluar. "Papa ...." Vonny kembali merajuk. Perempuan itu masih tetap berharap Baim meralat kembali kata-katanya dan mengucapkan maaf. Dia masih menginginkan laki-laki itu kembali. Cintanya pada Baim memang tergolong unik dan aneh. Entah apa yang dia lihat dari sosok laki-laki seperti Baim yang jelas semena-mena pada anak dan istrinya. "Vonny, sejak awal papa sudah ragu dengan laki-laki sepertinya, tapi kamu kekeuh mau bertunangan sama dia. Papa sudah izinkan karena tak ingin melihatmu kecewa, tapi apa nyatanya? Detik ini dia justru mempermalukan kamu di depan umum. Tak hanya kamu, tapi papa dan mama juga malu. Apa kamu masih tetap ingin bersama laki-laki tak tahu diri sepertinya? Sadar, Vonny. Laki-laki yang jauh lebih baik dibandingkan dia masih banyak. Jangan cinta buta!" sentak Wicaksono pada Vonny yang masi
Vonny masih meraung-raung tak karuan di kamarnya. Semua cara sudah dilakukan, tapi Vonny masih saja kesal dan kecewa karena pertunangannya batal. Dia semakin membenci Meira karena merasa dialah yang membuat Baim membatalkan acara spesialnya tadi. Padahal Meira sengaja mempertanyakan ini dan itu pada Baim agar Vonny mendengar kejujurannya. Dengan begitu dia bisa melihat siapa Baim sebenarnya. Sayangnya, tanggapan Vonny justru berbeda. Dia merasa dipermalukan dan dibandingkan sampai akhirnya acara dibatalkan. "Ini pemberian bunda setelah saya menikah." Meira meletakkan kotak usang itu di atas meja sesuai permintaan Adrian. Semua duduk di sofa sembari mendengarkan cerita Meira tentang masa lalunya dan alasan Adrian mengirimkan anak kandungnya itu ke panti asuhan. Sedikit gemetar Adrian mengambil kotak berwarna coklat itu lalu membuka isinya. Ternyata cincin dan selembad surat yang ditulis dengan air mata bercucuran itu masih tersimpan rapi di sana. Adrian masih mengingat semuanya begi
"Kamu memaafkan papa kan, Mei?" Pertanyaan itu kembali terdengar. Meira tersenyum lalu mengangguk pelan."Mei sudah maafkan kok, Pa. Mei bersyukur bertemu dengan papa. Setelah sekian lama memendam semua tanya itu sendiri, akhirnya terjawab sudah. Mei tak lagi menduga-duga dan tak akan menyalahkan keputusan papa saat itu. Mei paham posisi papa. Terima kasih papa sudah mau datang dan memperkenalkan Meira pada banyak orang sebagai anak kandung papa. Itu adalah kado terindah yang selama ini Mei impikan. Papa tak perlu terus merasa bersalah. Mei ikhlas dengan semuanya dan tak pernah menyesali takdir yang sudah ditetapkanNya." Meski agak canggung memanggil papa, tapi Meira berusaha menghargai dan menghormati papanya. Kedua Meira kembali berkaca. Rasa sesak dalam dadanya memang masih begitu terasa, tapi Mei yakin semua akan memudar dan menghilang dengan sendirinya setelah teka-teki dalam hidupnya terbuka. Mei bahagia bertemu dengan lelaki yang bisa disebut papa untuk pertama kalinya. Setid
"Eh, nggak apa-apa kalau kamu mau pulang, Mei. Sekarang kita semua sudah tahu siapa orang tuamu. Masa iya putri semata wayang Adrian Hidayat bekerja sebagai baby sitter di sini?" Sundari ikut menimpali. Lagi-lagi tawa terdengar di ruang keluarga Wicaksono itu. "Benar itu, Mei. Kamu boleh pulang, soal kontrak kerja itu anggap saja hangus. Nggak mungkin juga kami tega mempekerjakan anak sahabat sendiri, apalagi anak pengusaha ternama di negeri ini." Wicaksono ikut berkomentar. "Jangan berlebihan, Wi. Bisa besar kepala aku nanti." Adrian menonjok lengan kanan Wicaksono. Kedua lelaki itu kembali terkekeh. "Nggak apa-apa, Bu. Mei di sini dulu sampai kontrak habis. Lagipula kasihan Aldo kalau pindah sekolah lagi. Dia baru seneng-senengnya sekolah di sana." "Ohya, Aldo cucuku sekolah di mana, Wi?" Adrian menoleh pada Wicaksono yang baru saja beranjak dari sofa dan pamit ke kamar mandi. "Hayam Wuruk, An. Rama yang mengantarnya ke sana sebulan lalu. Sepertinya dia memang senang sekolah di
"Gara-gara ibu semua hancur berantakan!" sentak Baim setelah kembali ke Jakarta. "Kamu nyalahin ibu?" Sulastri meradang dan tak terima dengan tuduhan anak lelakinya. Baim menjatuhkan bobotnya ke sofa ruang tengah. Pikirannya kacau. Dia kembali menyesal telah menjatuhkan talak pada Meira yang ternyata anak orang kaya bahkan anak dari pemilik perusahaan dimana dia bekerja. Baim benar-benar ingin merajut kembali pernikahannya dengan Meira. Dia tak ingin berpisah sekalipun bayang-bayang perselingkuhan itu masih belum sepenuhnya dia terima. Namun, Baim merasa jika bersama Meira hidupnya akan lebih terjamin. Lagipula dia belum sepenuhnya move on, sekalipun sudah berusaha membuka hati untuk Vonny. "Ibu selalu menyalahkan Meira, menyudutkan dia dan mengomporiku untuk menalaknya. Bahkan sengaja menjodohkanku dengan Vonny saat Meira masih sah menjadi istriku." "Kalau kamu nggak suka, kamu bisa menolak. Nyatanya kamu mengikuti saran ibu. Iya kan?" Lagi-lagi Sulastri tak terima. "Kapan aku
"Maafkan ibu, Im. Ibu-- "Cukup! Ibu jangan bicara lagi atau kepalaku semakin terasa mau pecah. Ibu pasti tahu jika Meira adalah cinta pertamaku. Aku sangat mencintainya. Banyak hal yang kukorbankan asal dia bahagia. Sepuluh tahun bukan waktu yang sedikit kan, Bu? Selama itu pula aku tak pernah melupakan tanggungjawabku sebagai anak lelaki ibu dan Meira tak pernah melarang itu. Bahkan dia selalu mengingatkanku untuk berbakti pad orang tua, terutama ibu. Meira tulus menyayangi ibu dan bapak, bahkan dia merawat bapak sepenuh hati saat beliau stroke sampai tiada. Apa kurangnya Meira, Bu? Sampai hati ibu memfitnah dia? Bodohnya aku, mata hatiku terkunci. Kupikir ibu adalah cinta sejatiku. Kupikir ibu tak mungkin membuatku sengsara. Kupikir ibu adalah wanita satu-satunya yang mengorbankan segala hal untuk membuatku bahagia. Ternyata dugaanku keliru. Ibu justru menjadi wanita pertama yang membuat hidupku hancur berantakan. Ibu tak tulus mencintaiku. Ibu hanya memanfaatkanku untuk memenuhi s
"Seharusnya kamu lebih banyak meluangkan waktu sama Dee daripada sibuk di kantor, Ka. Memangnya nggak punya asisten, sampai kamu semua yang urus?" protes Sundari saat anak sulungnya itu masih saja lembur dan sibuk dengan urusan kantornya. "Aku cuma nggak mau membuat papa kecewa, Ma. Ini kan cabang baru yang masih merangkak, jadi aku harus benar-benar pantau sendiri supaya nggak salah langkah." Raka membalas sembari membuka jam tangan dan dasinya. "Iya, mama tahu itu, tapi kasihan Dee kalau kamu tinggal-tinggal terus. Dia butuh perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya." "Oke, Ma. Aku usahakan pulang lebih cepat." "Janji ya, Ka. Sesekali ajak Dee jalan-jalan. Dia juga pengin kaya anak-anak lain yang jalan-jalan dengan kedua orang tuanya." "Dee masih terlalu kecil, Ma. Dia belum punya keinginan semacam itu." "Main di mall atau tempat bermain itu disukai anak-anak sekalipun dia nggak meminta, Raka. Lagipula, ajaklah Meira keluar. Dia kan bukan sekadar baby sitter. Di sini dia de
"Kamu!" Raka beranjak dari sofa, nyaris menampar pipi Vonny andai tak ditarik oleh mamanya. "Istighfar, Rama. Sabar ... jangan diambil hati ya. Sebaiknya kamu istirahat di kamar. Kamu lelah." Sundari mencoba menenangkan Rama yang tersulut emosi. "Besok jalan-jalan. Refreshing sama Dee ya? Kamu butuh hiburan dan liburan." Raka menghela napas panjang saat Sundari mengusap pelan punggungnya. Tak banyak bicara, Raka mengikuti perintah mamanya untuk naik ke lantai atas. Dia membuka pintu pelan lalu mengunci kamarnya. "Kamu kenapa sih, Von? Sampai kapan kamu kekanak-kanakan seperti ini?" Sundari menatap Vonny dari tempat duduknya. Vonnya yang baru saja membalikkan badan, menghentikan langkahnya seketika. "Mama nggak perlu mengatur hidupku. Aku tahu apa yang terbaik untuk diriku sendiri. Nggak usah sok perhatian karena aku tahu perhatian mama itu palsu!" Vonny tak menoleh, dia bicara membelakangi Sundari. Benar-benar tak punya sopan santun. Andai tak mengingat janjinya pada suaminya, Su
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati
"Kenapa kamu nikah mendadak, Ken? Selama ini kamu nggak pernah cerita soal perempuan pada mama dan papa. Tiba-tiba kamu kasih kabar akan menikah dan kami dilarang datang. Sebenarnya kejadiannya gimana sampai kamu senekat itu?" Wicaksono menatap lekat Ken yang duduk di depannya itu.Keluarga Ken sedang menikmati makan siang bersama, termasuk Raka dan Meira. Mereka sengaja mencari waktu agar bisa duduk bersama membahas pernikahan Ken ya g dadakan itu. "Papa tahu kamu sudah menjelaskannya waktu itu, tapi berhari-hari papa masih nggak habis pikir kenapa kamu senekat itu, Ken. Apalagi pada gadis yang baru kamu lihat pertama kali," sambung Wicaksono lagi. "Papamu benar, Ken. Bukan maksud mama menyalahkanmu atau menyudutkan istrimu, hanya saja papa dan mama masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kamu ingin menjadi pengantin penggantinya. Suatu hal yang benar-benar di luar nalar. Kalau kalian sudah kenal lama, mungkin mama nggak akan sekaget ini, tapi kamu sendiri bilang kalau kalian baru be
"Ya Allah, Mas. Kita ke klinik sekarang ya? Saya takut Mas Ridho kenapa-kenapa," ujar Hanum begitu panik saat melihat wajah bodyguard suaminya sedikit pucat setelah menerima bogem mentah itu. "Nggak apa-apa, Mbak Hanum. Sudah biasa begini. Tenang saja," balas Ridho berusaha tersenyum meski pipinya benar-benar nyut-nyutan tak karuan. Nyeri dan terasa sakit saat digerakkan. "Nggak apa-apa gimana, Mas? Ini cukup parah," tunjuk Hanum pada sudut bibir Ridho yang pecah. "Tenang saja, Mbak. Ridho sudah kebal," timpal Bagas dengan senyum tipis, berusaha menenangkan Hanum, tapi tetap saja dia merasa sangat bersalah sampai membuat laki-laki di sampingnya itu babak belur. "Siapa mereka, Num?" Pertanyaan Juragan Gino membuat Hanum menoleh seketika. "Mereka teman baik suami saya, Juragan. Maaf kalau sudah membuat keributan di sini." Hanum sedikit membungkuk lalu kembali menatap belanjaannya yang berantakan. "Kemana suamimu? Kenapa dia menyuruh orang lain untuk mengawasimu?" tanya Juragan Gin