Rena membuka pintu kamar hotel dengan senyum lebar. Gaun pengantinnya yang megah kini sudah ditukar dengan dress malam berbahan satin, tetap anggun tapi lebih sederhana. Aziz berjalan di belakangnya, membawa buket bunga yang tadi diberikan salah satu tamu di resepsi."Mas, taruh bunganya di meja sana, ya," ujar Rena sambil melepaskan high heels-nya dan menjatuhkan diri di sofa empuk di tengah ruangan.Aziz mengangguk dan menaruh bunga itu di meja dekat jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota. Lampu-lampu dari gedung-gedung tinggi terlihat gemerlapan, menambah suasana romantis malam itu."Kamu capek nggak?" tanya Aziz sambil duduk di samping Rena."Capek sih, iya," jawab Rena sambil meregangkan bahunya. "Tapi aku juga bahagia banget, Mas. Ini hari yang luar biasa. Aku nggak nyangka acaranya selancar dan semeriah ini."Aziz tersenyum kecil. "Ya iyalah, Sayang. Aku kan sudah nyiapin semuanya buat kamu, supaya kamu puas. Kamu bilang resepsi ini salah satu mimpimu sejak dulu kan?
Aziz berdiri di balkon kamar hotel, memandangi kota yang gemerlapan di malam hari. Angin dingin mengusap wajahnya, namun pikirannya terasa lebih berat dari sebelumnya. Ponsel di tangannya terus bergetar dan akhirnya ia memutuskan untuk mengangkatnya."Halo?" sapanya dengan nada rendah, berharap suaranya tak terdengar ke dalam kamar di mana Rena sedang beristirahat.Suara seorang pria langsung terdengar di seberang, tegas dan tanpa basa-basi. "Aziz, akhirnya kamu angkat juga teleponku."Aziz terdiam sejenak, lalu berusaha tetap tenang. "Ya, ada apa lagi, Doni? Aku sudah bilang, aku akan cari jalan keluarnya.""Cari jalan keluar? Kamu sudah bilang itu berbulan-bulan yang lalu," balas Doni dengan nada tajam. "Tapi sampai sekarang, nggak ada uang yang masuk. Kamu pikir aku main-main?"Aziz menghela napas panjang, punggungnya bersandar ke dinding balkon."Aku lagi susah, Don. Aku baru saja menikah dan istriku minta resepsi mewah. Tolong kasih aku waktu."Doni tertawa kecil, tapi nadanya
Rena melangkah keluar dari mobil hitamnya yang mengilap. Koper mewahnya ditarik perlahan oleh suaminya, Aziz. Dia berusaha tampak tenang, meski dalam hati ada banyak beban yang dia pikirkan. Saat ini, dia hanya tak ingin membuat istrinya kembali merajuk. Terpaksa harus mengikuti kemauan Rena untuk menikmati perannya sebagai suami dari wanita yang begitu gemar menjadi pusat perhatian. Rena melangkah anggun, memakai gaun santai berbahan satin yang membuatnya terlihat seperti model iklan majalah kelas atas.Beberapa tetangga yang sedang duduk-duduk di depan rumah segera melirik ke arahnya. Tidak butuh waktu lama bagi Rena untuk langsung menyapa mereka dengan senyuman lebar."Eh, Bu Santi, Bu Nur, sudah lama di sini? Aduh, maaf nih, baru sempat nongol lagi. Baru aja pulang dari honeymoon kedua," katanya dengan suara riang."Honeymoon kedua, Ren? Wah, keren banget, kayak di sinetron aja!" puji Bu Santi sambil terkekeh."Ya iyalah, Bu. Honeymoon pertama kan biasa, ini yang kedua harus lebi
Hanum duduk di ruang keluarga rumahnya yang sederhana, sambil melipat pakaian yang baru saja dijemur. Ia tahu ini hari ulang tahunnya, tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, ia tak merencanakan perayaan apa pun. Baginya, ulang tahun hanyalah hari biasa. Ia tak pernah memikirkan pesta, kado mewah atau perhatian besar dari orang-orang di sekitarnya.Namun, suasana berubah ketika suara langkah tinggi Rena, kakak sambungnya, menggema dari depan rumah. Rena masuk tanpa permisi, diikuti oleh ibunya, Mawar. Sepertinya mereka baru pulang dari mall. Ada beberapa paper bag di tangan."Hanum, kamu ini ulang tahun kok santai banget, sih? Apa nggak malu? Orang lain pasti bakal bikin acara," kata Rena sambil melirik ke ruang keluarga yang tampak biasa saja. Hanum hanya tersenyum tipis. "Aku nggak biasa merayakan ulang tahun. Dari dulu juga nggak pernah dirayakan. Apa kamu lupa?" balasnya santai. Rena mendengkus. "Ih, aneh banget. Aku sih nggak bisa bayangin kalau ulang tahun nggak dirayakan. Kalau
Hanum masih gemetar dengan kado yang disiapkan Ken untuknya. Dia benar-benar tak percaya jika ahri ini mendapatkan kado sespesial ini. Dia kembali teringat obrolannya dengan Ken beberapa hari lalu. Ternyata semua itu cara Ken untuk menyiapkan kado ulang tahunnya. Saat itu Ken sedang duduk di teras rumah bersama Hanum, istrinya, yang tampak sibuk menggunting tanaman hias di pot kecil. Mata Ken tak lepas mengamati wajah istrinya, yang meski tampak ceria, sering terlihat menyimpan luka batin. Ken tahu betul bahwa Hanum jarang membicarakan perasaannya. Tetapi, ia selalu bisa menangkap raut kecewa setiap kali Rena, kakak sambungnya, melontarkan kata-kata tajam."Sayang." Ken memanggil lembut. Hanum menoleh sambil tersenyum. "Ya, Mas? Ada apa?" tanyanya lembut. Ken menyesap kopinya sejenak, lalu berkata, "Aku sering lihat kamu diam kalau Rena bicara kasar. Apa kamu nggak apa-apa? Aku nggak tega lihat kamu diperlakukan seperti itu terus."Hanum menggeleng pelan. "Hanum nggak apa-apa, Mas.
Matahari belum terlalu tinggi, tapi suasana di kampung Hanum sudah dipenuhi bisik-bisik yang membuat udara terasa lebih gerah dari biasanya. Di warung kopi milik Bu Yati, sekelompok ibu-ibu sudah berkumpul, menyeruput kopi sambil mengupas gosip yang lebih panas dari gorengan pisang di meja."Eh, Mbak Tini, sudah dengar belum soal Hanum?" bisik Bu Mirna sambil melirik kanan-kiri, memastikan tak ada yang mendengar selain mereka."Aduh, siapa sih yang belum dengar? Kampung ini kan kecil," jawab Tini sambil menyeka keringat di lehernya. "Aku cuma heran, dari mana Ken itu punya uang buat kasih Hanum mobil sama ruko?""Aku dengar, mobilnya itu kredit! Mana mungkin mereka bayar cash, harga mobil sama ruko itu lebih dari satu miliar. Kalaupun cash, masa iya sih Ken kasih semua itu cuma-cuma? Mereka kan baru nikah bahkan dulu nggak pernah saling kenal. Lagipula, penampilan Ken saja begitu. Nggak pernah pakai baju branded. Beda banget sama Aziz. Masa punya tabungan sebanyak itu. Duit darimana
Langit malam sudah gelap ketika Ken mengetuk pintu rumah Pak RT. Deru motor yang melintas di jalan kecil kampung nyaris mengaburkan ketukan halusnya. Pak RT, seorang pria paruh baya dengan tubuh tegap, membuka pintu sambil memegang cangkir kopi. Ekspresinya berubah terkejut melihat Ken berdiri di depan pintu."Mas Ken? Ada apa malam-malam begini ke sini?" tanyanya heran."Maaf, Pak RT, saya mengganggu. Tapi saya perlu bicara soal sesuatu yang penting. Boleh saya masuk?" tanya Ken setelah memastikan tak ada yang melihatnya datang berkunjung ke rumah itu. Pak RT mengangguk, meskipun ragu. "Tentu, masuk saja. Mari duduk."Ken melangkah masuk ke ruang tamu kecil itu lalu duduk di kursi kayu yang terasa keras tapi kokoh. Pak RT mengambil tempat di seberangnya, masih menatap Ken dengan bingung."Apa ada masalah serius, Mas?" tanya Pak RT lagi. Dia yakin ada kabar serius yang dibawa Ken detik ini. Pak RT mulai menebak-nebak sebab dia juga dengar rumor yang beredar soal Ken dan pekerjaanny
[Aku jatuhkan talak padamu, Meira Althafunnisa binti Rahmat Hidayat. Mulai saat ini, kamu bukan istriku dan kita tak memiliki hubungan suami istri lagi. Kamu boleh pergi dari rumah yang kamu tinggali saat ini dan aku membebaskanmu untuk tinggal di manapun kamu suka. Bawalah Aldo, hak asuhnya akan kuserahkan padamu] Meira, perempuan berhijab coklat pudar itu ternganga saat membaca pesan dari Ibrahim suaminya yang terkirim di layar handphonenya. Tangannya gemetar saat membaca ulang pesan itu. Rasa sesak dan sakit mulai terasa menyiksa. Air matanya pun luruh seketika. Meira terjatuh ke lantai karena tubuhnya terasa amat lemas seolah tulang-tulangnya dilolosi satu demi satu. Sakit, bingung, shock dan marah tercampur menjadi satu. Maira tak tahu mengapa suaminya yang baru tiga bulan bekerja di luar kota itu tiba-tiba menjatuhkan talak padanya. Dia yang sudah membersamai Ibrahim dari nol hingga kini memiliki jabatan penting di perusahaannya. Meira tak percaya apakah pesan itu benar-benar
Langit malam sudah gelap ketika Ken mengetuk pintu rumah Pak RT. Deru motor yang melintas di jalan kecil kampung nyaris mengaburkan ketukan halusnya. Pak RT, seorang pria paruh baya dengan tubuh tegap, membuka pintu sambil memegang cangkir kopi. Ekspresinya berubah terkejut melihat Ken berdiri di depan pintu."Mas Ken? Ada apa malam-malam begini ke sini?" tanyanya heran."Maaf, Pak RT, saya mengganggu. Tapi saya perlu bicara soal sesuatu yang penting. Boleh saya masuk?" tanya Ken setelah memastikan tak ada yang melihatnya datang berkunjung ke rumah itu. Pak RT mengangguk, meskipun ragu. "Tentu, masuk saja. Mari duduk."Ken melangkah masuk ke ruang tamu kecil itu lalu duduk di kursi kayu yang terasa keras tapi kokoh. Pak RT mengambil tempat di seberangnya, masih menatap Ken dengan bingung."Apa ada masalah serius, Mas?" tanya Pak RT lagi. Dia yakin ada kabar serius yang dibawa Ken detik ini. Pak RT mulai menebak-nebak sebab dia juga dengar rumor yang beredar soal Ken dan pekerjaanny
Matahari belum terlalu tinggi, tapi suasana di kampung Hanum sudah dipenuhi bisik-bisik yang membuat udara terasa lebih gerah dari biasanya. Di warung kopi milik Bu Yati, sekelompok ibu-ibu sudah berkumpul, menyeruput kopi sambil mengupas gosip yang lebih panas dari gorengan pisang di meja."Eh, Mbak Tini, sudah dengar belum soal Hanum?" bisik Bu Mirna sambil melirik kanan-kiri, memastikan tak ada yang mendengar selain mereka."Aduh, siapa sih yang belum dengar? Kampung ini kan kecil," jawab Tini sambil menyeka keringat di lehernya. "Aku cuma heran, dari mana Ken itu punya uang buat kasih Hanum mobil sama ruko?""Aku dengar, mobilnya itu kredit! Mana mungkin mereka bayar cash, harga mobil sama ruko itu lebih dari satu miliar. Kalaupun cash, masa iya sih Ken kasih semua itu cuma-cuma? Mereka kan baru nikah bahkan dulu nggak pernah saling kenal. Lagipula, penampilan Ken saja begitu. Nggak pernah pakai baju branded. Beda banget sama Aziz. Masa punya tabungan sebanyak itu. Duit darimana
Hanum masih gemetar dengan kado yang disiapkan Ken untuknya. Dia benar-benar tak percaya jika ahri ini mendapatkan kado sespesial ini. Dia kembali teringat obrolannya dengan Ken beberapa hari lalu. Ternyata semua itu cara Ken untuk menyiapkan kado ulang tahunnya. Saat itu Ken sedang duduk di teras rumah bersama Hanum, istrinya, yang tampak sibuk menggunting tanaman hias di pot kecil. Mata Ken tak lepas mengamati wajah istrinya, yang meski tampak ceria, sering terlihat menyimpan luka batin. Ken tahu betul bahwa Hanum jarang membicarakan perasaannya. Tetapi, ia selalu bisa menangkap raut kecewa setiap kali Rena, kakak sambungnya, melontarkan kata-kata tajam."Sayang." Ken memanggil lembut. Hanum menoleh sambil tersenyum. "Ya, Mas? Ada apa?" tanyanya lembut. Ken menyesap kopinya sejenak, lalu berkata, "Aku sering lihat kamu diam kalau Rena bicara kasar. Apa kamu nggak apa-apa? Aku nggak tega lihat kamu diperlakukan seperti itu terus."Hanum menggeleng pelan. "Hanum nggak apa-apa, Mas.
Hanum duduk di ruang keluarga rumahnya yang sederhana, sambil melipat pakaian yang baru saja dijemur. Ia tahu ini hari ulang tahunnya, tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, ia tak merencanakan perayaan apa pun. Baginya, ulang tahun hanyalah hari biasa. Ia tak pernah memikirkan pesta, kado mewah atau perhatian besar dari orang-orang di sekitarnya.Namun, suasana berubah ketika suara langkah tinggi Rena, kakak sambungnya, menggema dari depan rumah. Rena masuk tanpa permisi, diikuti oleh ibunya, Mawar. Sepertinya mereka baru pulang dari mall. Ada beberapa paper bag di tangan."Hanum, kamu ini ulang tahun kok santai banget, sih? Apa nggak malu? Orang lain pasti bakal bikin acara," kata Rena sambil melirik ke ruang keluarga yang tampak biasa saja. Hanum hanya tersenyum tipis. "Aku nggak biasa merayakan ulang tahun. Dari dulu juga nggak pernah dirayakan. Apa kamu lupa?" balasnya santai. Rena mendengkus. "Ih, aneh banget. Aku sih nggak bisa bayangin kalau ulang tahun nggak dirayakan. Kalau
Rena melangkah keluar dari mobil hitamnya yang mengilap. Koper mewahnya ditarik perlahan oleh suaminya, Aziz. Dia berusaha tampak tenang, meski dalam hati ada banyak beban yang dia pikirkan. Saat ini, dia hanya tak ingin membuat istrinya kembali merajuk. Terpaksa harus mengikuti kemauan Rena untuk menikmati perannya sebagai suami dari wanita yang begitu gemar menjadi pusat perhatian. Rena melangkah anggun, memakai gaun santai berbahan satin yang membuatnya terlihat seperti model iklan majalah kelas atas.Beberapa tetangga yang sedang duduk-duduk di depan rumah segera melirik ke arahnya. Tidak butuh waktu lama bagi Rena untuk langsung menyapa mereka dengan senyuman lebar."Eh, Bu Santi, Bu Nur, sudah lama di sini? Aduh, maaf nih, baru sempat nongol lagi. Baru aja pulang dari honeymoon kedua," katanya dengan suara riang."Honeymoon kedua, Ren? Wah, keren banget, kayak di sinetron aja!" puji Bu Santi sambil terkekeh."Ya iyalah, Bu. Honeymoon pertama kan biasa, ini yang kedua harus lebi
Aziz berdiri di balkon kamar hotel, memandangi kota yang gemerlapan di malam hari. Angin dingin mengusap wajahnya, namun pikirannya terasa lebih berat dari sebelumnya. Ponsel di tangannya terus bergetar dan akhirnya ia memutuskan untuk mengangkatnya."Halo?" sapanya dengan nada rendah, berharap suaranya tak terdengar ke dalam kamar di mana Rena sedang beristirahat.Suara seorang pria langsung terdengar di seberang, tegas dan tanpa basa-basi. "Aziz, akhirnya kamu angkat juga teleponku."Aziz terdiam sejenak, lalu berusaha tetap tenang. "Ya, ada apa lagi, Doni? Aku sudah bilang, aku akan cari jalan keluarnya.""Cari jalan keluar? Kamu sudah bilang itu berbulan-bulan yang lalu," balas Doni dengan nada tajam. "Tapi sampai sekarang, nggak ada uang yang masuk. Kamu pikir aku main-main?"Aziz menghela napas panjang, punggungnya bersandar ke dinding balkon."Aku lagi susah, Don. Aku baru saja menikah dan istriku minta resepsi mewah. Tolong kasih aku waktu."Doni tertawa kecil, tapi nadanya
Rena membuka pintu kamar hotel dengan senyum lebar. Gaun pengantinnya yang megah kini sudah ditukar dengan dress malam berbahan satin, tetap anggun tapi lebih sederhana. Aziz berjalan di belakangnya, membawa buket bunga yang tadi diberikan salah satu tamu di resepsi."Mas, taruh bunganya di meja sana, ya," ujar Rena sambil melepaskan high heels-nya dan menjatuhkan diri di sofa empuk di tengah ruangan.Aziz mengangguk dan menaruh bunga itu di meja dekat jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota. Lampu-lampu dari gedung-gedung tinggi terlihat gemerlapan, menambah suasana romantis malam itu."Kamu capek nggak?" tanya Aziz sambil duduk di samping Rena."Capek sih, iya," jawab Rena sambil meregangkan bahunya. "Tapi aku juga bahagia banget, Mas. Ini hari yang luar biasa. Aku nggak nyangka acaranya selancar dan semeriah ini."Aziz tersenyum kecil. "Ya iyalah, Sayang. Aku kan sudah nyiapin semuanya buat kamu, supaya kamu puas. Kamu bilang resepsi ini salah satu mimpimu sejak dulu kan?
"Saat resepsi pernikahan begini, kamu masih cukup sibuk juga mengurusi orang lainnya, Mbak? Hebat!" Hanum tersenyum miring. "Entah terbuat dari apa hatimu, sampai bisa berpikir sejauh itu. Apalagi suka menduga-duga yangbtak pasti. Kamu pikir, kamu dan Mas Aziz itu sudah sangat hebat dan keren begitukah? Masih banyak orang-orang di luar sana yang jauh melampaui kalian, tapi nggak berisik. Diam-diam menghanyutkan." Lagi-lagi Hanum membuat Rena meradang. Wajahnya yang dihias make up pengantin itu memerah karena amarah. "Nggak usah banyak tingkah. Bilang saja kalau sebenarnya kamu cuma nggak sanggup lihat resepsi mewahku ini, jadi cari alasan buat datang telat," tukas Rena lagi."Ngapain nggak sanggup lihat? Memangnya kamu pikir aku iri dengan semua kemewahan ini? Kalau aku mau, suamiku bisa membuat resepsi jauh lebih mewah dibandingkan ini, Mbak. Hanya saja aku dan dia sama. Kami lebih menyukai kesederhanaan."Rena terkekeh mendengar ucapan Hanum. Dia geleng-geleng kepala sembari bert
Ballroom hotel malam itu berkilauan. Lampu-lampu gantung kristal bersinar terang, memantulkan cahaya ke dekorasi serba emas dan putih. Karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga ke pelaminan, tempat Rena dan Aziz berdiri dengan senyum yang terus melekat di wajah mereka. Para tamu mengenakan pakaian terbaik mereka, memenuhi ruangan yang mewah. Hanum berdiri di dekat meja registrasi, melihat sekeliling dengan sedikit takjub. "Mewah banget ya, Mas," katanya pelan sambil melirik suaminya, Ken, yang berdiri di sebelahnya."Iya, Sayang. Sepertinya kakakmu memang suka yang begini. Makanya, aku nggak heran kalau resepsinya bakal besar-besaran," jawab Ken sambil tersenyum tipis menatap istrinya. Mereka melangkah masuk ke ruangan, disambut oleh pramusaji yang menawarkan minuman selamat datang. Hanum tersenyum sopan dan mengambil segelas jus jeruk. Tapi sebelum sempat menyesapnya, ponselnya bergetar di tangan. Hanum mengangkat panggilan itu setelah melihat nama yang tertera di layar: "Ba