Siang ini, Pak RT mengumpulkan beberapa warga di balai kecil dekat rumahnya. Dia tahu diskusi ini tak akan mudah, tapi sebagai pemimpin di kampung ini ia merasa perlu menjernihkan suasana. Warga yang datang terlihat beragam, ada yang memasang wajah skeptis, ada yang penasaran, ada pula yang tampak tak peduli, menganggap kehadirannya sekadar formalitas belaka.Setelah cukup banyak warga yang datang, Pak RT memulai diskusinya. Dia tak ingin membuat suasana semakin gaduh dengan wajah penuh tanya di antara mereka. "Selamat siang, bapak-bapak dan ibu-ibu. Mohon maaf kalau saya mengganggu waktu ataupun kegiatan bapak dan ibu sekalian." Pak RT membuka pertemuan dengan suara tegas namun bersahabat. "Saya ingin kita semua mendengar dengan hati terbuka dan mengesampingkan ego masing-masing." Baru satu kalimat terucap, beberapa warga mulai saling bisik. Mereka menebak-nebak ke arah mana topik pembicaraan Pak RT kali ini"Sepertinya soal rumor itu," bisik seorang warga yang diiyakan lelaki di
Langit pagi yang cerah menyelimuti suasana ruko furnitur lokal yang sederhana, namun penuh barang-barang unik. Hanum tak bisa menahan senyum lebar di wajahnya saat menggenggam tangan Ken. Mereka baru saja memarkir mobil dan berjalan memasuki ruko yang sudah lama diincar Hanum untuk mencari furnitur impian."Mas, Hanum nggak percaya kita benar-benar sampai di tahap ini. Semua seperti mimpi. Ternyata mimpi yang tinggi itu nggak apa-apa ya?" ucap Hanum dengan senyum dan penuh semangat. Matanya berkeliling, mengagumi tumpukan kursi, meja, dan lampu-lampu gantung yang tertata rapi. Ken menoleh ke arahnya, tersenyum lembut."Nggak apa-apa dong, Sayang. Mimpi itu kan nggak bayar. Nggak ada salahnya setinggi mungkin. Lagipula, saat ini bukan sekadar mimpi, Sayang. Sebentar lagi impianmu akan menjadi nyata." Ken setengah berbisik. Kedua matanya menatap Hanum yang tampak begitu semringah. Hanum berhenti di depan satu set meja kayu kecil dengan desain yang minimalis namun elegan. Ia menyentuh p
Aziz melirik layar ponselnya untuk kesekian kalinya hari ini. Percakapan di grup WhatsApp kantor penuh dengan pesan baru, tapi bukan tentang pekerjaan atau obrolan santai seperti biasanya. Hampir semuanya membahas satu hal yaitu hutang. [Bro, bulan depan aja ya. Minggu ini gue lagi banyak kebutuhan]Pesan dari Anwar.[Maaf, Bro. Istri gue baru lahiran. Gue juga lagi butuh duit. Jadi, nggak bisa bantu Lo]Kali ini pesan dari Rizal.[Ziz, duit gue tinggal segini doang. Maaf, kali ini gue juga nggak bisa bantu]Yang terakhir pesan dari Guntur.Aziz mendesah panjang. Sudah hampir setengah kantor tahu kalau dia sedang butuh uang. Dia benar-benar terdesak. Bukan cuma untuk bayar cicilan ke Doni, tapi juga buat menutupi biaya resepsi yang masih kurang 20 juta.Gajinya bulan ini? Habis dalam sekejap. Di meja sebelah, Andi menyenggol lengannya."Ada masalah, Ziz?" tanyanya sambil menyesap kopi. Aziz memaksakan senyum. "Nggak, cuma lagi mumet aja." Andi menaikkan alisnya. "Jujur aja, Bro. Ka
Seorang laki-laki dengan masker hitamnya berdiri di samping pintu. Sorot matanya tajam menatap Aziz yang melangkah ke teras. Saat masker dibuka, laki-laki berjaket kulit itu tersenyum sinis. Aziz merasakan darahnya berdesir dingin."Doni?" gumamnya dengan mata membesar. Aziz benar-benar kaget melihat Doni muncul di depan rumah mertuanya. Tak menyangka jika dia senekat itu, padahal sudah berulang kali Aziz ingatkan untuk tak membawa masalah hutang itu pada keluarganya, terutama Rena. Laki-laki itu menepuk bahunya dengan keras. "Akhirnya ketemu juga, Bro. Aku telepon berulang kali dari kemarin nggak pernah kamu angkat. Kita perlu bicara," ucapnya tegas dengan tatapan mengancam. Aziz menelan ludah."Kamu kenal, Mas?" tanya Rena dengan mata mendelik. Rena geram karena ini pasti masalah hutang seperti yang diceritakan Aziz kemarin. "Iy-- iya, Sayang. Kenalkan ini Doni, teman lamaku," balas Azziz sedikit gugup. Rena tak membalas uluran tangan Doni. Dia masih melipat tangan ke dada seola
Pagi ini, Hanum dan Ken kembali berangkat lebih awal ke cafe mereka. Sudah hampir seminggu mereka disibukkan dengan berbagai hal. Mereka menata interior, merapikan meja dan kursi, serta memastikan tempat itu terlihat nyaman dan estetik.Hanum berdiri di tengah ruangan mengamati hiasan dinding dan lampu-lampu gantung yang baru mereka pasang kemarin malam. "Mas, menurutmu kalau kita tambahin tanaman hias di sudut-sudut ruangan, bakal makin cantik nggak?" tanyanya sambil menoleh ke Ken yang sedang mengecek furniture lain. "Bagus juga, Sayang. Aku lihat di marketplace ada tanaman gantung artificial, jadi nggak perlu repot nyiram tiap hari." Ken menoleh dengan senyum. Hanum pun balik tersenyum. "Sip, Mas. Nanti Hanum pesan online saja kalau gitu." Sejak sibuk menyiapkan keperluan cafe itu, mereka nyaris tidak punya waktu untuk hal lain. Setiap pagi mereka datang sebelum matahari terbit, dan baru pulang saat langit sudah gelap. Hanum bahkan mulai belajar memasak dari seorang chef kenala
"Sepuluh juta doang! Gaji sebulan juga cukup buat bayar!"Rena mencak-mencak di ruang tamu rumah orang tuanya. Wajahnya merah padam, napasnya memburu. Tangan kanannya menggenggam erat ponsel, sementara tangan kirinya mencengkram ujung kaosnya yang sudah kusut."Kamu tahu, Bu? Orang-orang kampung ini bikin gosip seolah-olah Mas Aziz punya utang sampai miliaran! Emangnya dia rentenir? Sepuluh juta doang, itu mah kecil!" Mawar kembali bersungut kesal lalu menjatuhkan bobotnya ke sofa.Mawar yang duduk di sofa sebelahnya hanya mendengkus kesal. "Mereka nggak sepenuhnya salah, Ren. Kamu sendiri yang awalnya mencak-mencak karena masalah ini. Makanya, mereka jadi bikin gosip seolah utang suamimu ratusan juta. Lagipula, kalau memang cuma hutang kecil, kenapa Azziz nggak lunasin dari dulu? Kenapa malah ribut sama orang?" tukas Mawar sembari melipat tangan ke dada. Dia ikut kesal perihal hutang menantunya itu sebab saat arisan, hajatan atau kumpul-kumpul warga, namanya juga ikut terseret dan
Segala keperluan cafe sudah siap. Tak ingin membuang waktu, Hanum dan Ken sepakat untuk segera membuka cafenya minggu depan. Mereka pun berencana membuat syukuran kecil-kecilan terlebih dahulu di rumah dengan mengundang para tetangga untuk doa dan makan bersama. Saat ini, Hanum minta karyawan cafenya-- Mbak Rini untuk menyiapkan semua menu masakan. Dia minta tolong dicarikan catering yang masakannya enak di lidah. Ken pun menyerahkan semua urusan percateringan itu pada istri dan calon karyawan cafenya. Nanti dia tinggal transfer saja berapa biaya semuanya. "Pokoknya aku pengin semuanya lengkap, Mbak Rini," kata Hanum sambil memeriksa daftar menu di tangannya.Mbak Rini, tetangga sekaligus calon karyawan cafenya itu mengangguk sambil tersenyum."Tenang saja, Mbak Hanum. Insya Allah semua beres. Saya juga sering pesan di catering itu kalau mau syukuran atau hajatan kecil-kecilan. Daripada repot masak sendiri memang lebih enak pesan saja." Mbak Rini tersenyum tipis. Hanum pun mengiyaka
"Num! Kamu ini sibuk terus sama cafemu sampai nggak peduli sama bapak yang lagi sakit!" sentak Rena sembari melipat tangan ke dada di depan pintu utama."Tiap hari berangkat pagi, pulang malam. Sampai nggak ketemu sama orang rumah. Kamu pasti nggak tahu kan kalau sudah dua hari bapak sakit? Sebenarnya siapa sih yang anak kandung bapak, kok malah aku yang lebih tahu dibandingkan kamu!" sentak Rena lagi. Hanum menghela napas panjang. Ken ingin menyahut, tapi Hanum melarangnya. Dia nggak mau kakak tirinya itu kembali menghina dan menyudutkan suaminya seperti biasa. Dia ingin menghadapi Rena dengan caranya sendiri. "Jaga bicaramu, Mbak. Jangan sok paling perhatian sama bapak. Selama ini kamu juga nggak peduli, kenapa sekarang sok perhatian? Kamu cemburu kan karena aku mau buka cafe baru?" Kali ini Hanum sengaja menyindir Rena sebab setiap hari dia memang cari gara-gara. Hanum jengah tiap pulang disambut dengan kata-kata menyakitkan dan menyalahkan seperti itu. "Kamu pasti nggak tahu a
Ken akhirnya sampai di rumah sakit. Begitu masuk ke ruang perawatan, matanya langsung menangkap sosok Hanum yang berbaring di ranjang dengan perban di lengan dan keningnya. Wajahnya sedikit pucat, tapi matanya tetap teduh seperti biasa. Rudy-- bapak mertuanya tampak lelah dan terlelap di sofa samping pembaringan anaknya. Ken berjalan cepat, lalu duduk di samping istrinya."Sayang ...." Ken menggenggam telapak tangan Hanum. Hanum menatap suaminya lekat lalu tersenyum tipis. Sedari tadi dia tak bisa terlelap karena tahu Ken masih dalam perjalanan pulang."Alhamdulillah akhirnya kamu sudah sampai, Mas." Hanum berujar lirih. "Kenapa belum tidur, Sayang? Ini hampir pagi." Ken mengusap kening istrinya pelan. "Nggak bisa tidur, Mas. Hanum nunggu Mas Ken pulang." Ken menggeleng pelan. Kedua matanya berkaca melihat tubuh istrinya yang banyak luka dan terlihat lemah. "Maafkan aku, Sayang. Aku nggak bisa menjagamu dengan baik." Ken kembali mencium kening istrinya. "Bukan salah Mas Ken. Ini m
Ken merasakan dadanya semakin sesak dan takut Hanum kenapa-kenapa. Apalagi saat dia melihat foto-foto yang dikirimkan nomor tak dikenal itu. Ditambah nomor handphone Hanum dan Bagas tak bisa dihubungi. Tak ingin menebak-nebak, Ken segera menekan nomor mertuanya. Setelah beberapa detik, suara berat Rudy terdengar di seberang."Assalamualaikum, Pak. Apa sekarang Hanum sudah sampai rumah?" tanya Ken dengan suara tegang.Hening.Lalu, suara bapaknya terdengar pelan, tapi menghantam keras di telinga Ken."Wa'alaikumsalam, Ken. Hanum dibawa ke rumah sakit. Maafkan bapak yang tak bisa menjaga Hanum dengan baik selama kamu pergi."Ken tertegun. Seolah-olah dunia tiba-tiba berhenti berputar. Dia pikir Hanum sekadar pingsan karena kecapekan, nggak mengira jika Hanum sampai ke rumah sakit segala."Bukan salah bapak, tapi apa yang sebenarnya terjadi, Pak? Kenapa Hanum sampai dibawa ke rumah sakit segala?" Suara Ken bergetar. Beragam rasa berkecamuk di dalam benaknya. Cemas, takut, bingung dan ge
Ken melirik jam tangannya. Sudah pukul sepuluh malam. Dia menghela napas panjang, menyandarkan punggung ke kursi di kamar hotelnya. Hari ini cukup melelahkan, rapat panjang, inspeksi proyek, dan diskusi tanpa henti dengan para investor. Tapi yang paling membuatnya lelah adalah jarak ini. Sudah dua hari di luar kota dan dia benar-benar merindukan Hanum.Baru dua hari berpisah, tapi rasanya sudah seperti sebulan. Proyek baru ini penting, tapi meninggalkan Hanum sendirian dengan cafe barunya bukan hal yang mudah. Dia selalu khawatir, bukan karena tidak percaya pada istrinya, tapi karena tahu akhir-akhir ini ada banyak teror yang membuat ketenangannya terganggu. Baru mau menelepon istrinya, tiba-tiba ponselnya bergetar. Dia tersenyum kecil melihat nama Hanum di layar. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap tersenyum."Assalamualaikum, Mas," sapa Hanum lembut. Ken tersenyum sembari beranjak ke ranjang dan menyandarkan punggungnya. "Wa'alaikumsalam, Sayang. Sudah selesai di cafe?" tanya Ken
"Nggak usah diambil hati, Mas. Setelah hampir dua bulan kita menikah, tentu kamu juga tahu gimana watak Mbak Rena dan ibu. Biar saja mereka ngoceh sesukanya. Masukin kuping kiri langsung keluarkan dari kuping kanan. Kalau diendapkan yang ada bikin sakit jiwa." Hanum mendengkus kesal. Setelah pembuktian Ken selama ini, nyatanya kakak tirinya itu masih saja meremehkan dan menganggap Ken tak sebanding dengannya. Kadang, ada keinginan untuk menyumpal mulut perempuan itu dengan sambal saking gemasnya. "Justru aku khawatir dengan kamu, Sayang. Takutnya kamu masih kepikiran dengan ocehan-ocehan Rena dan ibu. Kalau aku ... laki-laki tak sebaper itu, Dek. Santai dan kuanggap angin lalu ocehan nggak penting seperti itu. Tenang saja, aku nggak kepikiran sedikit pun." Ken menatap lekat wajah istrinya yang masih saja cemberut. Dia tahu kalau Hanum kesal jika ada orang yang menghinanya. Demikian pula dia yang tak terima jika ada orang yang menghina istrinya. Mungkin ini yang dinamakan saling cin
"Sejak syukuran dan pembukaan cafe, bapak lihat kamu dan Hanum sering gelisah dan nggak setenang biasanya, Ken. Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Rudy, bapakertua Ken yang kini duduk di sofa sebelahnya. Mertua dan menantu itu menikmati secangkir kopi dengan pisang goreng buatan Hanum. Keduanya memang sering menghabiskan waktu santai bersama, hanya saja saat sibuk mempersiapkan pembukaan cafe, Hanum dan Ken jarang pulang cepat. Momen itu pun sering terlewatkan. Namun, setelah cafe dibuka beberapa hari lalu, Ken dan Hanum berusaha pulang lebih cepat. Biasanya bakda maghrib mereka sudah sampai rumah untuk berkumpul atau sekadar ngobrol santai dengan Rudy. "Nggak ada apa-apa, Pak. Mungkin kami kecapekan atau nervous saja karena baru buka usaha. Maklum, semua belum stabil dan masih merangkak. Doakan saja semoga cafe kami bisa lebih maju dan lekas mendapatkan pelanggan baru ya, Pak." Ken berujar santai, sengaja menutupi masalah yang ada karena tak ingin bapak mertuanya ikut berpikir macam-
Suasana di rumah Rudy malam ini cukup ramai. Para tetangga berkumpul di halaman rumahnya karena ada syukuran kecil-kecilan yang digelar Hanum untuk menyambut cafe barunya. Setelah pembukaan dan acara lainnya, acara berikutnya adalah doa yang dipimpin oleh seorang ustadz bernama Harun. Ustadz muda itu mulai ceramah tentang usaha dan cara pengelolaannya menurut Islam. Dia berharap Ken dan Hanum bisa menjalankan usahanya dengan baik sesuai syariat agama agar lebih berkah dan maju. "Kita doakan sama-sama ya bapak, ibu ... semoga cafe Mbak Hanum dan Mas Ken nanti sukses dan penuh berkah. Aamiin."Doa dari Pak Ustadz terdengar begitu keras diikuti gumaman "Aamiin" dari para tamu yang berkumpul di halaman rumah Rudy itu. Suasana syukuran terasa hangat dan penuh kebersamaan. Para tetangga, saudara, dan teman-teman dekat datang untuk memberikan doa dan dukungan.Setelah doa selesai, acara terakhir makan bersama. Semua pesanan Hanum sudah lengkap. Mbak Rini ikut sibuk menyiapkan peralatan mak
Suasana tiba-tiba terasa lebih dingin."Siapa, Mas?" tanya Hanum dengan suaranya datar. Ken menghela napas, mencoba bersikap santai. "Bukan siapa-siapa, Sayang. Cuma orang iseng."Hanum menyipitkan mata. "Orang iseng kirim foto perempuan seksi ke handphone kamu, Mas?" sindir Hanum kemudian. Ken menyugar rambutnya."Aku juga nggak tahu kenapa dia kirim foto-foto itu, Sayang."Hanum terdiam sejenak. Lalu, perlahan, tangannya terulur."Kasih lihat." Ken menegang."Buat apa?" Hanum menyilangkan tangan di dada. "Kenapa, Mas? Apa ada yang kamu sembunyikan?" "Sayang, aku akan urus masalah ini supaya kamu tak salah paham lagi. Percayalah. Dia bukan siapa-siapa cuma teman kuliah yang dulu sempat camping bersama." Ken berusaha menjelaskan, tapi Hanum justru makin curiga karena mereka pernah camping bersama. [Tanggal 1 nanti aku di Jakarta. Aku ingin ketemu kamu. Aku kangen]Hanum mengulang isi pesan itu dengan suara pelan, tapi nadanya tajam. Ken merasakan tengkuknya meremang. Dia tak meny
"Num! Kamu ini sibuk terus sama cafemu sampai nggak peduli sama bapak yang lagi sakit!" sentak Rena sembari melipat tangan ke dada di depan pintu utama."Tiap hari berangkat pagi, pulang malam. Sampai nggak ketemu sama orang rumah. Kamu pasti nggak tahu kan kalau sudah dua hari bapak sakit? Sebenarnya siapa sih yang anak kandung bapak, kok malah aku yang lebih tahu dibandingkan kamu!" sentak Rena lagi. Hanum menghela napas panjang. Ken ingin menyahut, tapi Hanum melarangnya. Dia nggak mau kakak tirinya itu kembali menghina dan menyudutkan suaminya seperti biasa. Dia ingin menghadapi Rena dengan caranya sendiri. "Jaga bicaramu, Mbak. Jangan sok paling perhatian sama bapak. Selama ini kamu juga nggak peduli, kenapa sekarang sok perhatian? Kamu cemburu kan karena aku mau buka cafe baru?" Kali ini Hanum sengaja menyindir Rena sebab setiap hari dia memang cari gara-gara. Hanum jengah tiap pulang disambut dengan kata-kata menyakitkan dan menyalahkan seperti itu. "Kamu pasti nggak tahu a
Segala keperluan cafe sudah siap. Tak ingin membuang waktu, Hanum dan Ken sepakat untuk segera membuka cafenya minggu depan. Mereka pun berencana membuat syukuran kecil-kecilan terlebih dahulu di rumah dengan mengundang para tetangga untuk doa dan makan bersama. Saat ini, Hanum minta karyawan cafenya-- Mbak Rini untuk menyiapkan semua menu masakan. Dia minta tolong dicarikan catering yang masakannya enak di lidah. Ken pun menyerahkan semua urusan percateringan itu pada istri dan calon karyawan cafenya. Nanti dia tinggal transfer saja berapa biaya semuanya. "Pokoknya aku pengin semuanya lengkap, Mbak Rini," kata Hanum sambil memeriksa daftar menu di tangannya.Mbak Rini, tetangga sekaligus calon karyawan cafenya itu mengangguk sambil tersenyum."Tenang saja, Mbak Hanum. Insya Allah semua beres. Saya juga sering pesan di catering itu kalau mau syukuran atau hajatan kecil-kecilan. Daripada repot masak sendiri memang lebih enak pesan saja." Mbak Rini tersenyum tipis. Hanum pun mengiyaka