"Bapak mau bicara soal formulir pend--"
"Nggak perlu, Pak. Saya nggak lanjut sekolah." Mika langsung memotong ucapan Janu.
Muka Janu agak terperangah. Wajar, sebab ini pertama kali Mika memotong ucapannya. Gadis berwajah datar ini memang dingin, tapi belum pernah sedingin ini.
"Ehm ..., maaf ya, tapi apa Bapak boleh masuk ke dalam? Apa ada orang tua kamu?" tanya Janu masih berusaha bersikap santai.
Mika berniat untuk menghalangi Janu masuk ke dalam rumahnya, tapi tiba-tiba saja ibunya muncul dari dalam rumah. "Heh! Mika! Ada wali kelas kamu kok kamu nggak panggil Bunda?! Pak Janu ..., silakan masuk, Pak. Silakan." Bunda Mika mempersilakan Janu masuk ke dalam rumah sederhana mereka.
Janu melihat-lihat sebentar kondisi ruang tamu rumah Mika yang sempit. Hanya ada sebuah sofa butut, meja kayu kecil, serta sebuah TV cembung keluaran lama.
Mika menyajikan segelas teh panas dan juga setoples kue kering kepada Janu. Setelah kondisi agak tenang, barulah Janu menyampaikan tujuan kedatangan dirinya.
"Di kelas 12 IPA 3, cuma Mika yang belum mengumpulkan formulir pendaftaran kuliah, Bu. Mika harus cepat mendaftar sebelum ditutup."
Bunda menarik napasnya panjang, dia menoleh memandang Mika dengan wajah murung. Mika pun tak kalah sedihnya. "Mohon maaf, Pak Janu. Tapi anak saya, Mika, sepertinya nggak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi."
"Loh. Kenapa, Bu? Mika punya potensi. Dia selalu masuk lima besar sejak kelas sepuluh. Walau di semester akhir ini prestasinya cuma sebatas cukup, tapi Mika sangat berpotensi untuk dapat SBMPTN." Janu tak bisa menutupi rasa kecewa di hati.
"Saya nggak akan sanggup menguliahkan Mika, Pak. Saya sudah menyiapkan pilihan lain untuk Mika." Bunda menarik napas lagi.
"Pilihan lain? Kerja? Atau ... kursus?" selidik Janu.
Bunda menggeleng. Mika mulai menggosok kedua tangannya dengan gugup. Dia tak ingin ibunya membuka masalah pribadi keluarga mereka yang cukup memalukan.
"Saya akan menikahkan Mika." Bunda membeberkan rencananya.
"Mika? Nikah?" Janu terbata-bata. "Ta-tapi, Bu ..., Mika ini masih muda sekali. Berapa umur kamu tahun ini, Ka?"
"Delapan belas tahun, Pak." Mika menjawab malu.
"Delapan belas tahun, Bu. Dengan siapa Mika menikah?" tanya Janu lagi.
"Seorang tuan tanah di kampung halaman ibu saya."
Jawaban dari Bunda menohok Janu. Kepalanya seakan disambar kilat kuat. "Hah? Kenapa, Bu? Kenapa harus sejauh itu? Apa Mika mau?" Janu menatap Mika.
Mika sengaja buang muka, dia tak mau menunjukkan penolakan dirinya secara terang-terangan.
Tak ada pilihan selain membuka semuanya kepada Janu, pikir Bunda pasrah. "Sebetulnya ..., suami saya, ayahnya Mika ... sudah setengah tahun menghilang. Dia kabur entah ke mana, dan sejak empat bulan yang lalu, rentenir terus datang ke rumah kami. Rupanya dia kalah judi, nominalnya lebih dari seratus juta. Kebun warisan ayah saya sudah saya jual. Nggak ada lagi yang kami punya. Kali ini yang bisa membantu kami cuma ... cara seperti ini, yaitu menikahkan Mika." Bunda menahan laju air matanya.
Janu berpikir keras. Dia tak mungkin membiarkan mimpi buruk ini menimpa Mika. Sekalipun dia adalah orang luar, tapi dia merasa masa depan muridnya juga adalah bagian dari tanggung jawabnya.
"Masih ada cara lain, Bu. Saya akan ikut membantu melunasi utang Ibu, yang penting Mika tetap kuliah. Kalau Mika kuliah, kesempatan kerjanya akan lebih luas. Untuk jangka panjang, saya rasa pilihan itu lebih baik. Kalau Mika bisa dapat beasiswa, uang kuliah dari saya bisa dia pakai untuk mencicil utang juga. Misal Mika dapat kerja yang lebih bagus, sisa utang juga bisa cepat selesai."
Bunda tampak masih ragu, sekilas dia melirik Mika. Wajah Mika tampak begitu berharap, dia masih ingin kuliah.
"Jadi ..., Pak Janu mau membiayai kuliah Mika? Dan membantu kami melunasi utang?" Bunda mengulang.
Janu mengangguk mengiyakan. Yakin tanpa ada keraguan. Masa depan cemerlang Mika terlalu sayang untuk dia lepaskan.
"Kalau begitu, saya punya permintaan lebih. Kalau memang Pak Janu mau membantu kami, tolong nikahi Mika."
Nyaris saja Janu terbatuk-batuk mendengar permintaan itu. Tubuh Mika pun tak kalah tegangnya. Permintaan semacam ini tak pernah dia kira akan terlontar dari mulut bundanya.
"Bunda?!" seru Mika hendak protes.
"Supaya jangan ada fitnah. Ambillah Mika sebagai istri Bapak. Bapak kan masih muda juga. Jujur, saya pun rasanya sudah nggak sanggup lagi membiayai hidup kami berdua. Mika juga pasti setuju." Bunda membujuk.
"Bunda ngomong apa? Siapa bilang Mika setuju?" protes Mika.
"Jadi kamu pilih apa, Mika? Nikah sama Pak Broto? Jadi istri ketiganya? Kamu mau itu? Bunda nggak mau timbul fitnah, Mika. Bunda mau kamu ada yang jaga. Kalau kamu dikuliahkan sama Pak Janu sebagai istrinya, kan itu rasanya sah-sah aja. Bunda juga jadi nggak merasa berutang."
Mika kehabisan kata-kata dengan perkataan ibunya. Janu terdiam, pikirannya kacau. Mungkinkah dia menerima tawaran ekstrem begini? Sebetulnya, dia tak punya rencana untuk menikah sama sekali. Tapi sekarang, dia malah ditawari menikah dengan Mika. Dengan Mika! Murid yang paling kaku dan tidak akrab dengannya.
"Bagaimana, Pak?" Bunda bertanya sekali lagi.
"Pak? Gimana?" Bunda Mika membuyarkan Janu dari lamunannya yang sempat membuatnya hilang dari situasi nyata di depan matanya."Ah ..., maaf, Bu. Saya kaget dapat permintaan mendadak seperti itu." Janu menggaruk tengkuknya yang tak gatal sebenarnya.Sambil menahan rasa malu, Mika menepuk tangan ibunya. "Bunda apa-apaan sih? Kesannya kayak menjual aku aja," protesnya."Bunda cuma mau yang terbaik buat kamu, Mika. Mana tau ..., Pak Janu bersedia. Kecuali Pak Janu sudah punya pacar atau bahkan calon istri ..."Janu langsung menggoyangkan tangan di depan mukanya. "Oh, nggak ada, Bu. Nggak ada.""Kalau gitu ..., harusnya nggak ada masalah dong, Pak?" Bunda terdengar mendesak."Saya pikir soal ini lebih dari sekedar mau atau nggak, Bu. Menikah kan bukan persoalan gampang." Janu tersenyum kecut.Sebelum bundanya kembali membicarakan hal yang tak masuk akal, Mika langsung bersuara kembali, "Ya sudahlah ya, Pak! Kan saya juga nggak ada niat unt
Selama satu jam lamanya Janu merenung di dekat jendela kamarnya yang sepi. Dia teringat kembali dengan keputusan nekadnya untuk menikahi Mika.Seakan tengah mempermainkan makna pernikahan, dia sedikit menyesali janji yang dia buat. Dia garuk kepalanya dengan gusar.Setelah menarik napas panjang, dia tebarkan pandangan ke sekitar apartemennya yang gelap gulita. Hanya terdapat bias cahaya lampu dari kamar mandi yang menjadi satu-satunya sumber pencahayaan.Pria penyendiri ini memang jarang menyalakan lampu di malam hari. Rumahnya yang berbau kayu dan penuh buku itu dia biarkan selalu tampak tak berpenghuni. Sisa kehangatan seorang wanita sudah memudar di dalam kegelapannya.Mendadak saja hati Janu terasa sesak, dia ingat lagi sosok yang telah membuatnya menjadi semuram ini. Dan hebatnya, wanita itu sudah menikah. Melanjutkan hidupnya. Tak seperti Janu yang sepertinya akan terus dihantui kenangan dan mimpi buruk."Brengsek ..." Tanpa bisa dikendalikan
Mata Mama membulat lebar kala melihat Mika untuk pertama kali. Sejenak dia tak sanggup berkata-kata. Respons yang cukup masuk akal mengingat Mika masih terlihat begitu muda. Sekilas dia memandang puteranya, matanya seolah hendak memastikan apakah benar yang dia lihat ini: Janu membawa seorang gadis muda sebagai kekasihnya."Ma, kenalin, ini Mika. Mika, ini mamaku. Kamu bisa panggil 'mama' juga." Janu memperkenalkan mereka kepada satu sama lain.Dengan gugup, Mika menyalim tangan ibunya Janu yang masih belum juga bisa berkata-kata. "Mika, Ma ..." sapa Mika kaku."Ah ..., ya. Ayo masuk, kita makan siang sekarang aja, ya. Mama udah lapar." Ibu Janu membukakan pintu lebih lebar untuk mereka berdua.Meski Mika agak ngotot ingin membantu, tapi Mama menahan dan meminta agar dia duduk santai saja di meja makan. Sedang Mama sendiri menarik Janu ke dapur dengan alasan untuk membantu membawakan peralatan makan.Namun, bukannya cuma diminta membawakan alat mak
Walau sempat kembali ragu, Mika memantapkan hatinya untuk menerima Janu dan menandatangani surat perjanjian pra-nikah mereka. Yang mana poin utamanya adalah ini hanya berlaku sementara, baik Mika maupun Janu tidak boleh mencampuri ranah pribadi terlalu dalam, tidak ada kontak fisik, tidak diperbolehkan untuk merasa cemburu pada satu sama lain, dan mereka bebas menjalin hubungan di luar pernikahan mereka.Mirip seperti kawin kontrak tapi tidak ada sistem pembayaran. Setelah bercerai pun, mereka tak akan meributkan harta gono-gini, soal harta bersama diatur oleh Janu.Pernikahan secepatnya diatur, bertepatan dengan waktu pendaftaran masuk universitas. Mika langsung diboyong ikut ke rumah Janu, tak lagi tinggal bersama bundanya. Janu pun tak merasa canggung sama sekali, berbalikan dengan Mika yang tiap detik jantungnya selalu nyaris meledak. Dengan santai, Janu mengambil sofa sebagai tempat tidurnya. Ranjang bisa dipakai sepenuhnya oleh Mika.Yang menjadi pusat uta
Mika duduk sendirian menatap ke luar kaca jendela bis dengan muka mutung dan lesuh. Janu sungguh tega. Tega. Pria itu serius membiarkan Mika ikutcity tourseorang diri. Bulan madu macam apa ini? Mika mendengus dalam hati. Memang sedari awal dia tak berharap apa-apa dari Janu, dia sadar betul hubungan mereka hanyalah perjanjian di atas kertas. Janu membantu Mika, pun sebaliknya. Tapi apakah etis meninggalkan istri seorang diri? Sedang sang suami entah pergi ke mana. Suara pemandu wisata membuyarkan lamunan Mika. Bis yang setengah penuh itu siap untuk berangkat dan memulai perjalanan tur mengelilingi kota Singapura. Namun, sebelum gas diinjak sang sopir. Seorang pria muda berlari masuk ke dalam bis. Tepat sekali. Nyaris dia tertinggal. Pria tinggi muda itu berjakethoodiegelap, wajahnya kusut, rambutnya agak berantakan, tampaknya baru saja terjaga dari tidur atau mungkin baru selesai menangis, matanya bengkak. "Pa
"Habis dari sini kamu mau ke mana?"Mika agak terkejut mendapati pertanyaan bernada agak posesif dari Raga saat kegiatan turing mereka sudah berakhir. Air muka Mika tampak agak kebingungan harus merespons bagaimana. Sejak tadi mereka secara alami menjadi lebih mengenal satu sama lain.Mereka makan bersama di meja yang sama, berfoto bersama. Sejujurnya Mika nyaman sebab rasanya jadi tak sepi, ada seseorang yang menjadi teman bicara di tur ini. Namun, untuk terus menjalin pertemanan lebih lanjut, rasanya Mika tak bisa. Selain karena ada Janu yang sudah menunggunya, dia juga takut kalau Raga punya niat lain. Bagaimana kalau laki-laki ini hanya mencari pelampiasan belaka?"Eh ..., aku harus balik ke hotel sekarang." Mika menjawab kikuk."Kita nggak bakal ketemu lagi?" tanya Raga yang terlihat agak menyayangkan perpisahan mereka."Soal itu ..., ah ..." Mika tergagap.Raga tiba-tiba menjulurkan tangannya. "Minta nomorhapekamu,
"Kamu kayaknya dekat sama cowok itu, ya. Padahal baru kenal."Janu mendadak mengungkit soal Raga saat dia dan Mika akan kembali ke Indonesia. Alis Mika langsung terangkat sedikit, "Tiba-tiba aja Mas bahas dia lagi. Bikin kaget aja." Mika tertawa kikuk.Aneh memang. Padahal selama minum kopi bersama tempo hari, Janu tak banyak bersuara. Justru di saat hendak pulang begini tiba-tiba saja dia berkomentar."Ya, tiba-tiba aja keingat lagi. Ada enaknya kan kamu ikut acara tur itu? Jadi dapat teman baru. Orangnya juga keliatan asyik. Mungkin nanti bisa jumpa lagi pas kita udah balik.""Aku nggak ada maksud lain, kok.""Emangnya aku bilang apa? Jangan salah paham, Mika. Justru aku senang kok. Kamu kira aku cemburu, ya?" balas Janu setengah tertawa."Heh? Cemburu? Ya nggaklah, Mas! Nggak mungkin juga Mas Janu cemburu. Ha ha. Apaan sih!"Keduanya terdiam lebih canggung. "Maaf, ya. Kayaknya aku salah ngomong, nggak tepattiming&nbs
"Hei! Oi! Oi!"Mika mempercepat langkah menuju gedung fakultas hukum, menghindari suara familier yang dia yakini memanggilnya. Sial benar, gara-gara perpustakaan dekat dengan gedung fakultas ekonomi, dia terpaksa sering berjumpa dengan momok yang dia benci.Bahkan setelah masa ospek telah berlalu sekalipun, buat apa River masih merongrong dirinya? Demi Tuhan! Mika menggeretakkan gigi dengan jengkel. Namun, langkahnya tiba-tiba dihadang oleh orang yang dia maksud. Mata Mika langsung berputar sebal."Kamu menghindar, ya?!" sergah River tak percaya."Eh ... Nggak kok, Kak. Aku cuma ..., aku lagi agak buru-buru." Mika berbohong."Halah, nggak mungkin kamu nggak dengar aku tadi manggil kamu!" River membentak. "Lagi nggak ada kelas, kan? Tolong belikan roti, dong." River mengeluarkan dompet dari tas sandang kulitnya.Jelas-jelas permintaan River ini sama sekali tak masuk akal. Kenapa dia tak beli sendiri saja? Terlebih, cuma untuk membeli sepotong
"Bisa kita bicara bentar?" tanya Janu lagi, mulai mendesak.Rossa melirik om dan tantenya lagi. "Sebentar ya, Om," katanya."Jangan lama. Sebentar lagi jadwal penerbangan kita!" tegas sang Om.Rossa mengangguk pelan lalu ikut berjalan bersama Janu menuju pintu keluar bandara. Untuk beberapa lama mereka hanya berdiri berhadapan saling memandang seolah menunggu siapa yang akan bicara lebih dulu."Kamu harus betul-betul pergi sekarang?" tanya Janu akhirnya."Ya. Kayak yang aku bilang kemarin di rumah Bapak, om aku pindah tugas ke Kalimantan.""Kamu nggak akan kembali lagi?"Helaan napas Rossa menjadi lebih panjang. "Aku nggak tau soal itu, belum aku pikirkan.""Bukannya kamu bilang kamu mau lepas dari jerat om kamu? Terus kenapa kamu ikut pergi?"Alih-alih terharu dengan perhatian yang diberikan Janu, amarah Rossa justru meninggi. "Emangnya ada pilihan lain buat aku?! Emangnya aku udah lulus?! Selama aku masih di bawah peng
Hampir satu menit lamanya Mika terdiam memandang pintu rumah bundanya dengan mata kosong. Apa yang terjadi terakhir kali mereka jumpa masih membebani hati, tapi dia kuatkan juga niatnya lantas mengetuk pintu kemudian."Bun ... Bunda ..." sapa Mika ragu-ragu.Ternyata sang Bunda tengah memasak di dapur ketika pintu dibuka oleh Mika sebab tak dikunci. "Mika! Bunda kira kamu nggak akan ke sini lagi ..." ucap Bunda terlihat agak canggung."Ya Bunda juga nggak berusaha untuk menghubungi aku," sahut Mika sambil duduk di sofa tua.Kompor yang masih menyala dipadamkan lebih dulu untuk kemudian Bunda ikut bergabung dengan Mika di ruang depan. "Mika ..." Suara bunda Mika terdengar lesu. "Bunda malu," ungkapnya sambil duduk di depan Mika."O, Bunda masih bisa ngerasa kayak gitu? Wajarlah," sahut Mika agak sinis, amarahnya belum padam sepenuhnya."Kamu ke sini mau ngomel-ngomel lagi? Bunda kan udah mengakui kesalahan ...""Nggak, kok. Aku juga ud
"Mas baru pulang?" sapa Mika yang sedang menuruni tangga untuk ke dapur, dan tepat saat itu pintu utama terbuka dan Janu masuk dengan muka datar.Sesaat Janu cuma terdiam, menatap Mika dengan wajah tanpa ekspresi. Yang terbayang di pikirannya hanya pengakuan Rossa tadi. Perlukah untuk menanyakannya langsung kepada Mika? Janu sendiri tak tahu mesti berbuat apa sekarang."Mas kenapa? Mau makan? Aku siapkan dulu ya." Mika yang kebingungan pun bergegas untuk mencairkan suasana yang kaku.Setelah Mika sampai di pantri, Janu ikut menghampiri. Dia kumpulkan nyali untuk membuka keresahan yang tertimbun di dadanya. "Ka ...""Hm?" toleh Mika terheran-heran. "Mas mau minum teh?"Janu menggeleng. "Ada sesuatu yang serius yang harus Mas tanyakan ke kamu,""Apa? Ngomong aja, Mas. Ada apa?" Mika menunggu dengan perasaan tak nyaman dan was-was."Kamu ada hubungan sama Raga?" tanya Janu tepat pada sasaran.Seketika wajah Mika memucat, tangannya
Rossa sedang asyik membaca sebuah novel ketika pintu kamarnya dibuka oleh tantenya."Kamu nggak belajar, Ros?" tanya tante Rossa pelan."Udah tadi. Mau rehat sebentar, Tan," sahut Rossa tanpa beralih dari novel yang dia pegang.Tante Rossa menarik napas sebentar lalu duduk di tepi tempat tidur Rossa. "Ros ... Tante mau ngomong sesuatu sama kamu, om kamu belum cerita ya?""Hm?" toleh Rossa penasaran."Itu ..." Tante Rossa menggaruk tengkuknya ragu-ragu. "Om kamu pindah tugas, Ros. Kayaknya kita bakal pindah bulan depan."Novel di tangan Rossa otomatis berpindah ke atas kasur, sejenak tubuh Rossa membeku. "Hah?! Pindah gimana? Ke mana?!" Matanya melotot, mukanya mulai pucat."Ya ke luar kota," jawab Tante dengan entengnya. "Ke Kalimantan.""Kalimantan?! Jauh banget!" pekik Rossa panik. "Terus sekolah aku gimana, Tan?!""Ya mau nggak mau kamu harus ikut pindah. Ini om kamu nanti mau ke sekolah kamu buat ngurus perpindahan."
Air muka Raga sedikit berubah mendapat pertanyaan bernada seperti itu dari Mika. "Kenapa kamu penasaran?""Jangan salah paham, ya! Bukan ada maksud aku buat ... menggoda kamu! Jangan mikir ke arah sana!" ujar Mika langsung membuat klarifikasi."Hm, siapa juga yang bilang kamu menggoda aku? Nggak ada yang bilang begitu, berarti kan kamu yang ngarep aku mikir ke arah sana.""Heh! Enak aja! Maksud aku tuh ... kamu kan udah ditinggal sama mantan tunangan kamu, apa iya kamu nggak pernah terpikir tentang dia?"Ekspresi Raga terlihat menjadi lebih murung ketimbang sebelumnya, wajah milik seseorang terbayang di benaknya, seseorang yang sudah setengah mati dia coba untuk lupakan."Nggak perlu dibahas," tandas Raga tegas."Kenapa?" Mika masih penasaran."Kalau kamu cuma penasaran doang, jangan ditanya. Kecuali kamu mau bantu aku buat melupakan dia."Mika tertohok mendengar serangan mendadak dari Raga, maka tak dia lanjutkan lagi rasa ing
Menjelang mendekati rumah ibunya, langkah Mika perlahan melambat sebab dia sadari ada sesuatu yang lain di depan pintu rumah ibunya, terdapat sepasang sepatu asing di teras. Sepasang sepatu laki-laki.Kayak bukan sepatu Ayah, dan kalaupun Ayah, ngapain dia di sini?batin Mika terheran-heran. Dia melangkah lebih dekat, dan dia dengar suara dari dalam. Sayup-sayup mulanya, tapi lama-lama kian keras."Kamu bilang mau kasih uang itu secepatnya buat aku!"Suara seorang laki-laki, hati Mika berdegup ganjil. Suara itu tidak dia kenali."Kamu tau kan? Anak aku juga perlu kuliah, dia nggak bisa minta uang dari suaminya terus ..."Kenapa cara bicara Bunda lain banget?batin Mika lagi."Itu bukan urusan aku! Kamu kira uang lima ratus ribu aja cukup?!"Mendengar suara pria itu meninggi dan menjadi lebih intens, Mika langsung membuka pintu tanpa pikir panjang. Seketika dia membeku tatkala dilihatnya ibunya sedang berdua
Dan meski Janu sudah lelah mengomeli Rossa, tapi dia tetap pada akhirnya melunak. "Ayo, kita pergi sekarang."Mata Rossa sedikit membulat. "Pergi? Pergi ke mana?""Toh jam terakhir tinggal lima menit lagi, apa guna kamu masuk kelas sekarang? Sudah jam makan siang juga, saya lapar."Secara tak langsung, Janu menawarkan makan siang kepada Rossa. Maka, dengan antusias Rossa menyahut, "Iya! Oke! Oke aku ikut!"Senyum miring yang samar melengkung di sudut bibir Janu, entah mengapa dia merasa lucu melihat antusiasme Rossa, seperti seekor anak anjing terlantar yang mengikuti siapa saja di jalan agar dibawa pulang. Tragis, tapi manis.***"Kamu yakin nggak mau pesan ice cream bowl?"Habis makan siang, Janu memesan kopi panas untuknya sedang Rossa ragu-ragu. Meski tak diungkapkan, Janu bisa membaca mimik muka Rossa yang sejak tadi memandangi ice cream bowl di buku menu. Air ludahnya sampai sulit dia telan saking kepenginnya d
Langkah Rossa tertahan sebab tiga gadis bertubuh tinggi kini menghadang di hadapannya. Sorot mata dan wajah Rossa langsung berubah, dia mesti waspada. Saat ini dia tengah berada di toilet perempuan, bersama tiga gadis paling kejam di kelasnya."Mau balik ke kelas? Kok buru-buru banget, sih." Gadis yang berdiri di tengah melipat tangan di depan dada."Apa mau kalian? Minggir!" Rossa memberanikan diri membentak."Wah, wah ... jagoan kita udah punya nyali sekarang." Gadis di sebelah kanan ikut menimpali."Aku nggak punya urusan sama kalina, awas!" Rossa berusaha untuk menyingkir, tapi tangan dua gadis di hadapannya langsung menarik dirinya dan mendesaknya sampai dia terpojok di samping cermin besar toilet."Sadar diri dong anak napi!!" teriak gadis yang berada di tengah.Rossa menggigit bibirnya sendiri, sudah kesekian kali dia mendapat hinaan seperti itu. Tidak akan dia biarkan harga dirinya terus terinjak-injak. "Dengar kalian, anak manja. In
Minggu pagi dengan sisa embun akibat hujan deras semalaman. Janu tengah sibuk memotongi rumput di halaman depan sepetak ketika sebuah mobil pick up berhenti di depan jalan, tepat di depan rumah yang ada di seberang rumahnya. Rumah itu memang sudah sekitar dua bulan tak berpenghuni. Pemilik terdahulu adalah seorang perempuan tua, janda. Dia kini menetap di desa bersama anak tertuanya, entah rumah itu dia sewakan atau sudah dijual, baik Janu maupun Mika tak pernah punya hasrat ingin tahu."Mas, kita sarapan dulu, yuk. Aku bikin roti panggang." Mika membawa nampan ke teras lalu meletakkannya di atas meja.Mata Mika sebentar menoleh pula ke depan, melihat perabot-perabot mulai diturunkan dari pick up. "Kita punya tetangga baru?" Mika mendekati Janu yang sekarang sedang membilas tanah dari tangannya."Ya. Kayaknya sih." Janu menyahut cuek. Dia segera duduk di teras, menyeruput segelas kopi panas yang juga baru dibuatkan Mika. Tanpa pikir pan