"Kamu punya simpanan uang nggak, Han? Mbak pinjam lima ratus ribu kalau ada," tanya Mbak Santi begitu masuk ke dalam rumahku tanpa mengucapkan salam.
"Ada sih, Mbak. Tapi ini simpanan untuk bayar sekolah Ayu, Mbak," jawabku membuat mata Mbak Santi berbinar."Ya sudah, Mbak pinjam dulu. Nanti kalau mau bayar sekolah Ayu, kamu bilang Mbak dulu," ucap Mbak Santi sambil menengadahkan tangan.Aku berpikir sejenak, untuk apa lagi Mbak Santi meminjam uang dariku? Jika tidak aku pinjami pasti Mbak Santi akan marah."Baiklah, Mbak. Tapi nanti harus ada waktu bayar sekolah Ayu ya, Mbak?" tanyaku ragu untuk meminjami uang Mbak Santi."Iya-iya, Han. Kamu kan lihat sendiri usaha Mas Doni lagi bagus-bagusnya. Nanti kalau Mas Doni sudah kasih Mbak uang, pasti akan aku ganti uangmu."Aku melangkah dengan enggan menuju kamar untuk mengambil uang yang akan dipinjam Mbak Santi.Begitu masuk ke dalam kamar, aku bergegas membuka laci lemari dan mengambil lima lembar uang seratus ribuan. Rencananya uang ini memang untuk membayar biaya pendaftaran Ayu yang akan memasuki TK.Aku menghela nafas pelan, bukan aku tidak mau meminjami Mbak Santi uang, tapi Mbak Santi terlalu sering meminjam uang padaku. Padahal usaha Mas Doni bisa dibilang lancar dibandingkan dulu. Bahkan sudah berkembang pesat.Mas Doni adalah saudaraku satu-satunya. Kami memang hanya dua bersaudara. Orangtua kami pun sudah meninggal karena kecelakaan saat aku masih duduk di bangku SMP, sehingga usaha yang dirintis orangtua kami dilanjutkan oleh Mas Doni.Orangtua kami mewariskan sebuah toko kain yang lumayan besar. Dulu sewaktu Mas Doni belum menikah dengan Mbak Santi, dia selalu memberikan lima puluh persen keuntungan penjualan padaku. Tapi semenjak Mas Doni menikah, aku hanya diberikan sepuluh persen dari keuntungan penjualan.Aku tidak pernah mengeluh untuk itu, karena memang Mas Doni lah yang mengelola toko itu sepenuhnya. Aku tidak pernah membantu apapun, karena setelah lulus kuliah aku langsung dilamar oleh Mas Irfan.Dengan langkah malas aku keluar dari kamar. Tampak wajah Mbak Santi tersenyum semringah."Ini Mbak, jangan lupa dikembalikan waktu pendaftaran Ayu ya, Mbak?" ucapku sembari menyodorkan uang yang akan dipinjam Mbak Santi."Iya-iya, jangan takut nggak Mbak kembalikan. Lihat tuh, usaha Masmu makin berkembang," sahut Mbak Santi sembari meraih uang yang aku sodorkan dengan tidak sabar.Aku menggelengkan kepala melihat tingkah Mbak Santi. Aku heran kenapa bisa Mas Doni yang baik hati mendapatkan istri seperti Mbak Santi."Ya sudah, Han. Mbak pamit dulu." Mbak Santi pergi tanpa mendengar jawaban dariku.Aku kembali meneruskan pekerjaanku yang tertunda karena kedatangan Mbak Santi.***"Bu ... Ibu," panggil Ayu sembari berlari dari luar rumah.Aku menoleh begitu melihat sosok Ayu yang hendak menghampiriku. Kuletakkan kue yang sudah aku kemas di atas meja. Sebagai kesibukanku di kala jenuh, aku menerima pesanan kue dari para tetangga."Ada apa lari-lari, Sayang?" tanyaku menyambut kedatangan putriku.Ayu menghambur ke dalam pangkuanku, dia merebahkan kepalanya di pundakku."Ibu tahu nggak, kalau Budhe Santi baru saja membeli motor baru? Motornya bagus deh, Bu. Kapan ya, ayah bisa membelikan motor seperti punya Budhe Santi?" tanya Ayu dengan wajah polosnya.Aku mengulum senyum menanggapi pertanyaan Ayu, tanganku mengelus puncak kepalanya dengan lembut."Nanti ya, Nak. Kalau ayah ada rejeki lebih, InsyaAllah ayah pasti akan membelikan Ayu motor baru," ucapku menghibur Ayu."Bener ya, Bu? Pokok nanti kalau ayah jadi beli motor baru, Budhe Santi juga nggak boleh pegang-pegang.""Lho kok gitu? Memangnya kenapa kok Budhe Santi nggak boleh pegang-pegang?" tanyaku penasaran."Habis, tadi Ayu pegang motor sedikit saja sudah dimarahi sama Budhe. Tangan Ayu kan bersih, Bu," jawab Ayu membuatku sedikit terkejut."Masak sih Budhe gitu?" tanyaku tidak percaya dengan ucapan Ayu."Iya, Bu. Lihat nih, tangan Ayu sampai merah dipukul Budhe gara-gara pegang motornya," jawab Ayu sembari memperlihatkan tangannya yang sedikit memerah.Aku geram dengan sikap Mbak Santi yang memukul Ayu hanya karena masalah sepele. Aku menyesal telah meminjamkan uang padanya.Segera kuambil ponsel untuk menelfon Mbak Santi. Tapi sebelum menelfon Mbak Santi, mataku berbelalak melihat status WA yang baru saja diunggah Mbak Santi.Status WA dengan foto sebuah motor dan bertuliskan [Alhamdulillah, akhirnya bisa membeli motor impian. Yang tidak bisa jangan sirik, ya! Apalagi pegang-pegang.] diakhiri dengan emot tertawa.Aku mengelus dada melihat status Mbak Santi, bisa-bisanya dia tadi meminjam uang padaku, jika dia akan membeli montor.Seharusnya uangnya banyak jika dia mampu membeli montor, aku benar-benar menyesal telah meminjamkan uang pada Mbak Santi jika kenyataannya seperti ini.Segera kucari nomer ponsel Mas Doni dan menghubunginya."Assalamu'alaikum, Han. Ada apa menelfon Mas?" tanya Mas Doni begitu panggilan telfon tersambung."Wa'alaikum salam, Mas. Jihan cuma mau tanya, Mas. Mbak Santi beli motor baru lagi?" tanyaku pada Mas Doni."Masak sih, Han? Mana mungkin beli motor baru, Han. Penjualan lagi menurun, nggak mungkin Mas bisa kasih uang untuk beli motor Mbakmu," jawab Mas Doni."Oh, ya sudah, Mas. Jihan cuma mau tanya itu saja kok. Kalau begitu Jihan tutup dulu, Mas." Aku pun mengakhiri panggilan.Aku semakin heran dengan Mbak Santi, uang dari mana sampai Mbak Santi bisa membeli motor baru."Apa mungkin, Mbak Santi mengambil motor secara kredit?" gumamku pelan.Ah sudahlah, aku tidak perlu memikirkan apa yang dilakukan Mbak Santi. Yang penting nanti saat aku butuh uang, aku akan menagih Mbak Santi."Motor Mbak Santi baru lagi ya, Han?" tanya Mas Irfan setelah kami selesai makan malam dan sedang bersantai menonton acara di televisi."Iya, Mas. Sebel deh aku sama Mbak Santi." Aku menjawab pertanyaan Mas Irfan dengan cemberut."Kenapa lagi, Han? Kamu juga pengen motor baru?" tanya Mas Irfan menggodaku."Bukan itu, Mas. Tadi Mbak Santi ke sini pinjam uang sebelum beli motor baru. Aku kira Mbak Santi benar-benar butuh, taunya malah pulang-pulang bawa motor baru. Tahu gitu nggak aku pinjemin uang, Mas," jawabku sedikit jengkel."Lha memang Mbak Santi nggak bilang pinjam uang buat apa?" tanya Mas Irfan setelah menyesap teh di tangannya."Nggak, Mas. Mbak Santi cuma bilang pinjam uang gitu aja.""Berarti Mbak Santi nggak salah," ucap Mas Irfan sembari tergelak.Aku hanya melongo melihat Mas Irfan tertawa, apa ada yang salah dengan jawabanku sehingga Mas irfan tertawa seperti itu?"Apa sih, Mas? Kok ngetawain aku? Memangnya ada yang salah dengan jawabanku?" Tanganku mencubit pinggang Mas
Setelah selesai mencuci baju, aku berencana untuk berbelanja bahan-bahan untuk membuat kue pesanan Ibu Dina untuk acara nanti malam.Aku bersiap mengganti pakaianku yang basah saat mencuci tadi. Setelah berganti baju, aku mengambil dompetku dan berjalan keluar rumah."Mau kemana, Bu?" tanya Ayu yang sedang bermain di depan halaman rumah bersama temannya."Mau ke toko Bu Inah sebentar, Nak. Ayu mau ikut?" Aku mendekati Ayu dan mengelus rambutnya.Ayu nampak berpikir, sepertinya dia bimbang antara ingin ikut denganku atau meneruskan bermain dengan temannya."Ayu di rumah saja deh, Bu. Kasian Dewi kalau Ayu ikut Ibu," jawab Ayu sembari meneruskan permainannya."Ya sudah, kalau bermain yang rukun, jangan sampai berantem. Ibu pergi belanja sebentar."Ayu membalas ucapanku dengan menganggukkan kepala tanpa melihat ke arahku. Dia sedang asyik bermain dengan Dewi. Aku mengulum senyum melihat mereka bermain.Aku pun bergegas melangkahkan kaki menuju toko Bu Inah. Jarak toko Bu Inah memang tida
Aku memandang lega jejeran kue-kue yang telah selesai aku buat. Aku sudah mengemasnya dengan rapi di dalam kardus.Aku hanya tinggal menunggu Mas Irfan pulang, dan membantuku mengantarkannya ke rumah Bu Dina.Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang, aku belum melaksanakan sholat Dzuhur. Sebelum sholat aku perlu mandi terlebih dahulu, badanku terlalu berkeringat karena kepanasan membuat kue.Aku bergegas membersihkan dapur sebelum mandi, supaya nanti jika Mas Irfan datang aku sudah rapi dan bisa langsung mengantar kue-kue pesanan Bu Dina.Dengan cekatan tanganku membersihkan dapur dari kotoran sisa membuat kue dan merapikan alat-alat dapur. Selang lima belas menit aku pun telah selesai.Setelahnya aku bergegas mandi dan melaksanakan sholat Dzuhur. Masih ada banyak waktu untuk mengantar kue-kue pesanan Bu Dina.Sebelum mandi aku berjalan ke kamar Ayu untuk mengecek Ayu yang sedang tidur siang. Putri semata wayangku itu sedang tidur nyenyak sembari memeluk bonekanya.Selesai mengecek A
"Assalamu'alaikum."Sayup-sayup kudengar suara Mas Irfan mengucapkan salam. Aku segera bangkit melangkah menuju pintu untuk menyambut Mas Irfan."Wa'alaikum salam, Mas," jawabku sembari meraih tangan Mas Irfan dan menciumnya.Nampak Mas Irfan membawakan banyak sekali oleh-oleh dari kampung. Aku segera membantunya membawa masuk ke dalam rumah."Banyak sekali bawaannya, Mas?" tanyaku heran dengan bawaan Mas Irfan yang banyak."Iya, Han. Kata Emak suruh bagiin ke tetangga-tetangga kita," jawab Mas Irfan duduk di kursi setelah memasukkan semua barang yang dibawa olehnya.Aku pun bergegas ke dapur membuatkan teh untuk Mas Irfan. Biasanya aku selalu menyuguhkannya bersama kue yang aku sisihkan, tapi sekarang kuenya tidak tersisa sama sekali karena ulah Mbak Santi.Selesai membuat teh, aku membawanya ke ruang tamu untuk disuguhkan pada Mas Irfan."Tehnya, Mas," ucapku sembari menyodorkan teh pada Mas Irfan.Aku pun duduk di samping Mas Irfan setelah menyuguhkan teh untuknya."Iya, terima kas
"Han, kamu sudah memberikan oleh-oleh dari emak untuk keluarga Mas Doni?" tanya Mas Irfan ketika aku sedang memasak untuk sarapan."Belum, Mas. Rencananya setelah selesai sarapan aja, masih malas aku bertemu dengan Mbak Santi," jawabku membuat Mas Irfan mengulum senyum.Mas Irfan mendekat padaku dan berkata, "Jangan terlalu diambil hati, Han. Memang sudah sikapnya Mbak Santi seperti itu. Kasihan Mas Doni nanti, jika kamu bertengkar terus dengan Mbak Santi.""Tapi kan, Mbak Santi memang sudah keterlaluan, Mas," sanggahku."Ya kamu sebagai adik harus banyak mengalah, Han. Mungkin saja Mbak Santi sedang khilaf," ucap Mas Irfan lembut."Kok, Mas malah belain Mbak Santi, sih. Istrimu itu aku lho, Mas. Jihan bukan Mbak Santi!" sahutku cemberut."Bukannya Mas membela Mbak Santi, Han. Tapi kita sebagai adik juga harus mengalah, agar tidak terjadi pertengkaran antar saudara, Han," terang Mas Irfan."Ah, tau lah, Mas. Pagi-pagi sudah bikin aku sebel dengan belain Mbak Santi," ucapku sembari meny
Aku keluar dari rumah Mas Doni dengan hati jengkel karena ditegur olehnya, mentang-mentang Mbak Santi istrinya dibela-bela terus."Eh, Jihan. Baru dari rumah, ya?" tanya Mbak Santi yang baru saja tiba dengan menaiki motor barunya.Mbak Santi turun dari motor sembari menenteng tas belanjaannya. Kebiasaan, dandan sudah seperti toko emas berjalan. Kalau ada jambret baru tau rasa."Iya," jawabku ketus."Lah, ditanya baik-baik kok jawabnya ketus gitu, Han? Lagi PMS ya?" tanya Mbak Santi sok polos.Aku melengos pergi tanpa menjawab pertanyaan Mbak Santi. Malas banget melihat muka Mbak Santi, apalagi aku baru saja ditegur Mas Doni gara-gara Mbak Santi tukang ngadu."Kok ditanya malah pergi sih, Han?" Suara Mbak Santi masih terdengar bertanya padaku yang sudah hampir sampai di halaman rumahku.Setelah sampai di rumah, aku bergegas masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan Mbak Santi. Sakit hatiku karena Mas Doni sampai menegurku tanpa tau apa alasan semua tindakanku.Mas Doni memang terlalu mem
Selesai mencuci aku duduk di teras sembari menemani Ayu yang sedang bermain pasir di halaman.Sekalian menunggu Mas Irfan pulang dari mengajar. Netraku tak sengaja melihat Indah sedang menggedor-gedor pintu rumah Mbak Santi dengan keras."Ndah," teriakku memanggil namanya.Indah yang mendengar namanya dipanggil menolehkan kepalanya kepadaku, setelah melihatku dia bergegas melangkah ke arahku."Kamu ngapain gedor-gedor pintu rumah Mbak Santi, Ndah?" tanyaku begitu Indah sudah sampai di hadapanku."Lagi nyari Mbak Santi aku, Han," jawab Indah sembari menghempaskan tubuhnya di kursi di sampingku."Memang ada keperluan apa mencari Mbak Santi, Ndah?" tanyaku penasaran.Indah menghela nafas panjang dan menjawab, "Mbak Santi sudah lama nunggak bayar emas-emas yang dia pakai, Han. Aku pusing sekali setiap ditagih selalu ngilang," jawab Indah sembari memijit keningnya.Mataku membulat mendengar apa yang baru saja diungkapkan oleh Indah. Jadi perhiasan yang dipamerkan Mbak Santi selama ini kred
"Bu, Ayu masuk ke dalam dulu, Ayu sudah mengantuk menunggu Ayah tidak pulang-pulang," keluh Ayu sembari membereskan mainannya."Iya, Nak. Ayu tidur saja dulu, Ibu masih menunggu Ayah pulang."Ayu pun melangkah masuk ke dalam rumah, kulihat dia berbelok menuju kamarnya untuk tidur."Han ... Jihan." Suara teriakan Mbak Santi terdengar di telingaku setelah kepergian Indah beberapa menit yang lalu.Aku menolehkan kepala melihat Mbak Santi yang lari menuju ke arahku dengan tergopoh-gopoh."Ada apa, Mbak?" tanyaku begitu Mbak Santi tiba di depanku.Mbak Santi duduk di sampingku sambil mengatur nafasnya setelah berlari-lari."Ada minum nggak, Han? Ambilin minum dong, Han?Mbak haus nih, habis lari-lari," pinta Mbak Santi dengan entengnya.Aku hanya melongo mendengar apa yang diucapkan Mbak Santi. Bisa-bisanya dia main perintah saja. Baru juga datang sudah merepotkan, siapa suruh lari-lari segala. Dengan cemberut aku bangkit dari duduk untuk mengambilkan air minum Mbak Santi.Aku melangkah de
Tak terasa beberapa bulan berlalu, sebentar lagi bulan Ramadhan telah tiba. Mas Irfan berencana mengajak kami pindah ke rumah Emak menjalani puasa Ramadhan bersama Emak dan Bapak. Semua keperluan sudah Mas Irfan urus termasuk kepindahannya mengajar di kampung Emak.Aku sedikit lega karena bisa menemani Emak dan Bapak di hari tuanya. Sungguh jauh dari orangtua rasanya tidak enak, apalagi kami tidak punya saudara lagi selain Mas Doni yang sekarang tidak tahu kemana perginya.Sejak rumahnya terjual, aku tidak pernah bertemu Mas Doni ataupun Mbak Santi, seolah mereka menghilang ditelan bumi.Saat bertemu dengan adik Mbak Santi pun aku sudah bertanya padanya, tapi dia juga tidak tahu kemana perginya kakak perempuannya itu.Aku dan Mas Irfan ingin sekali bertemu dengan mereka, kami ingin meminta maaf sembari berpamitan untuk tinggal di rumah Emak seterusnya. Kami khawatir, jika kami sampai tidak diberi kesempatan untuk bertemu dengan Mas Doni dan Mbak Santi lagi.Mungkin setelah ini kami ti
"Kenapa baru mengaku saudara saat dalam keadaan susah, Mbak? Kemana saja dari dulu tidak pernah adil padaku?" Aku sudah tidak bisa lagi menahan amarah.Mbak Santi hanya diam saja mendengar pertanyaanku, tapi aku lihat raut wajahnya nampak memerah."Sudah cukup selama ini aku sudah berbaik hati pada keluargamu, Mbak. Lebih baik sekarang jangan menggangguku lagi," tambahku."Kamu tega, Han. Padahal saudaramu sedang butuh bantuanmu, kamu malah menutup mata dari penderitaan kami," ucap Mbak Santi."Mbak, bukankah kalian sendiri yang sudah membuat aku seperti ini? Kalian yang selalu meremehkan aku dan juga Mas Irfan, kan? Jadi selesaikan saja masalah kalian sendiri, jangan meminta bantuan pada orang yang kalian remehkan.""Jangan tidak punya hati seperti ini, Han," desis Mbak Santi."Apa kamu bilang, Mbak? Bukannya kalian yang tidak punya hati? Sudah lupa dengan semua yang kalian lakukan pada keluargaku?" tanyaku dengan suara meninggi."Tapi kami itu kakakmu, Han. Sudah sepatutnya kamu men
"Minumlah, Mbak," ucapku sembari menyodorkan teh hangat untuk Mbak Santi.Mbak Santi pun menerima gelas yang telah aku sodorkan dan meminumnya hingga habis. Penampilan Mbak Santi sungguh kacau, wajahnya sembab dengan mata yang membengkak karena terlalu banyak menangis."Ada apa ke rumahku, Mbak?" tanyaku pada Mbak Santi.Mbak Santi terdiam mendengar pertanyaanku, kulihat dia nampak ragu ingin berbicara padaku. Aku pun hanya diam menunggu Mbak Santi berbicara."Han, bolehkan aku meminta pertolongan darimu?" tanya Mbak Santi lirih.Aku mengernyitkan kening heran dengan apa yang ingin Mbak Santi ungkapkan sebenarnya. Memangnya dia mau minta tolong apa lagi, jika masalah uang, bukankah hasil penjualan tanah kemarin aku tidak meminta sama sekali?"Tergantung, Mbak. Katakan dulu apa yang ingin Mbak Santi mintai tolong," jawabku.Mbak Santi hanya diam mendengar jawabanku yang terkesan dingin. Jujur aku tidak tega melihat Mbak Santi dalam keadaan menyedihkan seperti itu. Tapi aku juga ingin
"Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya pembangunan Masjidnya sudah selesai. Aku jadi lebih tenang sekarang karena Masjidnya sudah mulai berfungsi dan banyak yang meramaikannya," ucapku pada Mas Irfan saat kami sedang dalam perjalanan pulang dari Masjid.Kami baru saja mengantar sumbangan karpet dan juga berbagai macam keperluan Masjid lainnya dari para warga. Semua warga sangat antusias untuk menyumbang keperluan Masjid yang lainnya."Iya, Han. Aku juga lega sekali, paling tidak kita bisa menggunakan harta kita di jalan yang benar.Semoga saja segala lelah kita menjadi berkah, Han," sahut Mas Irfan."Aamiin Allahuma Aamiin, iya Mas. Terima kasih sudah mau mengabulkan keinginanku, Mas.""Jangan berterima kasih, Han. Apa yang kamu inginkan selama aku mampu, tentu akan aku kabulkan, Han," ucap Mas Irfan.Ah, Mas Irfan sungguh manis sekali. Aku jadi senyum-senyum sendiri dibuatnya. Untung saja Ayu sedang berada di rumah Emak, kalau tidak Ayu pasti akan mengajukan banyak sekali pertanyaan padaku
Satu minggu setelah aku mendapat kejutan dari Mas Irfan, kehidupanku berlangsung damai. Aku tak lagi bertemu dengan Mas Doni ataupun Mbak Santi, mungkin mereka sedang menikmati uang hasil pernjualan tanah kemarin.Aku tak lagi memusingkan apa yang mereka lakukan, jika mereka menyadari kesalahan mereka dan mau meminta maaf dengan tulus, aku akan memberi kesempatan pada mereka, tapi jika tidak pun tidak mengapa. Yang penting aku sudah mengikhlaskan apa yang mereka lakukan padaku.Sekarang tanah bekas toko itu masih belum aku pergunakan untuk apapun, tapi aku punya rencana sendiri untuk mengelolanya, aku ingin meminta ijin kepada Mas Irfan supaya tanah peninggalan orangtuaku itu dibangun Masjid saja. Daripada bingung untuk apa, lebih baik dibangun Masjid supaya bisa berfungsi dengan baik."Mas, boleh tidak tanah yang Mas beli dibangun Masjid saja?" tanyaku setengah ragu-ragu.Mas Irfan menoleh padaku, mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dia baca, aku menunduk tidak berani meli
Aku sudah lama sekali menangis setelah pulang dari rumah Mas Doni hingga kedua mataku membengkak. Hatiku remuk redam karena Mas Doni dan Mbak Santi yang sudah seenaknya.Aku beranjak bangun dari ranjang, bangkit untuk melangkah menuju ke kamar mandi untuk membasuh mukaku. Sebentar lagi Mas Irfan pulang, aku tidak mau kalau sampai dia melihatku habis menangis.Belum jauh langkahku dari ranjang, pintu kamar sudah terbuka oleh Mas Irfan. Aku pun terkejut dibuatnya."Kamu kenapa, Han?" tanya Mas Irfan yang sudah masuk ke kamar.Aku panik melihat Mas Irfan sudah pulang, aku buru-buru menyembunyikan wajahku yang habis menangis.Mas Irfan pun mendekat padaku, dipegangnya tanganku dengan lembut."Aku tahu apa yang membuatmu sampai seperti ini, Han. Sabarlah, Han, InsyaAllah yang menjadi hak kita akan kembali pada kita apapun yang terjadi," ucap Mas Irfan mencoba menenangkanku.Aku mengernyitkan kening tidak mengerti apa maksud ucapan Mas Irfan. Dan dari mana Mas Irfan tahu apa yang sedang aku
"Tapi aku yang sudah menjalankan toko selama ini, jadi wajar saja jika aku yang mendapatkan keuntungan toko lebih banyak, Han."Mas Doni tetap saja tidak mau mengaku salah sudah tidak adil padaku. Aku menggelengkan kepala tidak percaya dengan sikap Mas Doni. Inikah sebenarnya sifat dari Mas Doni yang tidak aku ketahui? "Aku juga berhak menjalankannya, Mas! Tapi aku tidak pernah meminta untuk menjalankannya karena memikirkanmu! Karena kamu tidak punya pekerjaan lain lagi selain menjalankan toko tersebut, aku mengalah karena aku tidak mau kamu berada dalam kesusahan," seruku dengan suara sedikit meninggi.Mas Doni nampak terperanjat mendengarku bersuara tinggi. Dia pasti tidak mengira bahwa aku berani padanya. Mulai sekarang aku tidak akan mengalah lagi, aku pasti akan meminta kembali hakku.Biarlah aku dikatakan sebagai saudara yang kejam, aku sudah lelah sekali hanya diam saja menerima perlakuan semena-mena mereka."Aku akan tetap menjual tanah itu, terserah kamu mau setuju ataupun t
Aku kembali masuk ke dalam Bank begitu Mbak Santi sudah beranjak pergi. Dalam hati aku bertanya-tanya tentang apa yang aku lihat tadi. Aku tidak bisa menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.Untuk apa sebenarnya Mas Doni sampai mempunyai hutang di Bank? Kalau hanya hidup untuk berdua saja tentu tidak perlu melakukannya, kan? Otakku berpikir keras meraba kemungkinan-kemungkinan yang telah terjadi. Akan tetapi semakin aku pikirkan, aku semakin pusing saja.Daripada aku semakin pusing lebih baik nanti aku tanyakan langsung saja pada Mas Doni, bagaimanapun juga aku masih berhak atas tanah tersebut jika akan dijual. Karena kami memang belum membaginya secara adil.Mungkin setelah pulang dari sini aku akan langsung meminta penjelasan dari Mas Doni. Aku tidak mau jika Mas Doni sampai menjual tanah peninggalan orangtua kami begitu saja. Banyak sekali kenangan yang tersimpan di sana.Biarlah hubungan kami semakin buruk, yang penting aku tidak rela jika sampai Mas Doni melakukan hal yang aku
"Kamu kenapa, Han?" tanya Mas Irfan ketika kami sedang makan siang bersama setelah Mas Irfan pulang kerja.Aku tersadar dari lamunanku yang masih memikirkan kondisi toko tadi pagi. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Mas Irfan, tapi aku takut jika Mas Irfan menjadi banyak pikiran karena aku."Tadi sewaktu aku melihat kondisi toko, aku bertemu dengan Mas Doni, Mas." Akhirnya aku pun mulai cerita, Mas Irfan tidak akan suka jika aku menyembunyikan sesuatu darinya. Lebih baik aku menceritakan padanya sekarang daripada nanti Mas Irfan mendengar dari orang lain lagi."Lalu bagaimana, Han?" tanya Mas Irfan."Emm ... Mas Doni marah-marah padaku, Mas. Dia mengira aku senang melihat dia tertimpa musibah," jelasku."Astaghfirullah, kenapa bisa begitu, Han?" Mas Irfan geleng-geleng kepala nampak heran dengan sikap Mas Doni."Aku juga tidak tahu, Mas. Aku tidak tahu kenapa Mas Doni bisa segitu bencinya padaku. Padahal aku juga selalu mengalah padanya, Mas. Aku tidak mengerti kenapa dia bis