"Han, kamu sudah memberikan oleh-oleh dari emak untuk keluarga Mas Doni?" tanya Mas Irfan ketika aku sedang memasak untuk sarapan.
"Belum, Mas. Rencananya setelah selesai sarapan aja, masih malas aku bertemu dengan Mbak Santi," jawabku membuat Mas Irfan mengulum senyum.Mas Irfan mendekat padaku dan berkata, "Jangan terlalu diambil hati, Han. Memang sudah sikapnya Mbak Santi seperti itu. Kasihan Mas Doni nanti, jika kamu bertengkar terus dengan Mbak Santi.""Tapi kan, Mbak Santi memang sudah keterlaluan, Mas," sanggahku."Ya kamu sebagai adik harus banyak mengalah, Han. Mungkin saja Mbak Santi sedang khilaf," ucap Mas Irfan lembut."Kok, Mas malah belain Mbak Santi, sih. Istrimu itu aku lho, Mas. Jihan bukan Mbak Santi!" sahutku cemberut."Bukannya Mas membela Mbak Santi, Han. Tapi kita sebagai adik juga harus mengalah, agar tidak terjadi pertengkaran antar saudara, Han," terang Mas Irfan."Ah, tau lah, Mas. Pagi-pagi sudah bikin aku sebel dengan belain Mbak Santi," ucapku sembari menyiapkan masakan yang telah matang.Aku menghidangkan sarapan di atas meja makan dengan cemberut, Mas Irfan yang melihatku cemberut hanya menggelengkan kepalanya.Setelah semua terhidangkan, aku pun bergegas memanggil Ayu untuk sarapan bersama."Ayu, makan dulu yuk, Nak." Aku menggandeng Ayu menuju meja makan.Setelah sampai di meja makan, Ayu pun duduk di samping Mas Irfan yang telah lebih dahulu duduk di kursinya.Aku menyendok nasi beserta sayur dan lauk di atas piring dan menyodorkannya pada Mas Irfan dalam diam, setelahnya aku juga melakukan hal yang sama pada Ayu.Lalu aku pun mengambil makanan untukku sendiri, kami makan dalam diam tanpa berbincang sama sekali. Aku masih kesal dengan Mas Irfan yang membela Mbak Santi.Setelah semua selesai sarapan, aku bergegas membersihkan piring-piring yang kotor. Sementara Ayu sudah keluar untuk bermain, sedangkan Mas Irfan masih duduk di tempatnya menikmati tehnya yang belum habis.Aku membawa piring-piring kotor ke tempat mencuci piring dan mulai mencucinya dalam diam. Aku mendengar suara langkah Mas Irfan mendekatiku. Mas Irfan menyandarkan tubuhnya pada tembok di sampingku."Kamu masih marah ya, Han?" tanya Mas Irfan dengan lembut.Aku diam tak menjawab pertanyaan Mas Irfan. Tanganku masih sibuk membilas piring yang sudah aku sabun."Pertanyaan Mas kok nggak dijawab, Han?" Tangan Mas Irfan menghentikan tanganku yang sedang membilas piring.Aku menatap lekat pada Mas Irfan. Mas Irfan pun menatapku dengan lembut, memang seharusnya aku tidak boleh melampiaskan amarahku padanya.Aku menghembuskan nafas pelan dan menjawab pertanyaan Mas Irfan, "Maaf, Mas. Seharusnya aku tidak melampiaskan amarahku padamu, Mas.""Tidak apa-apa, Han. Mas juga minta maaf jika tidak sengaja melukai hatimu dengan membela Mbak Santi. Mas hanya tidak mau terjadi pertengkaran, Han," ucap Mas Irfan sembari mengelus kepalaku."Iya, Mas. Aku paham, kali ini aku akan menahan diri lagi, Mas. Tapi, kalau Mbak Santi berbuat ulah lagi, aku tidak akan tinggal diam," sahutku membuat Mas Irfan tersenyum."Iya, terserah kamu, Han. Tapi, Mas minta tahan emosimu, Han. Jangan mudah terpancing emosi karena tingkah Mbak Santi.""Akan aku usahakan, Mas. Tapi nggak janji," jawabku sembari nyengir kepada Mas Irfan.Mas Irfan mengacak rambutku gemas dan memelukku dengan erat. Kami memang tidak pernah bisa bertengkar lama-lama. Biasanya Mas Irfan akan mengalah, meminta maaf terlebih dahulu padaku."Nah gitu baru istri Mas yang baik. Ya sudah, Mas berangkat kerja dulu," ucap Mas Irfan."Iya, Mas. Hati-hati, aku lanjutin cuci piring lagi," sahutku sembari mencium tangan Mas Irfan."Iya, Han. Oh ya, jangan lupa kamu antarkan barang yang kemarin dari emak untuk Mas Doni sekeluarga.""Iya, Mas.""Ya sudah, Mas berangkat. Assalamu'alaikum," pamit Mas Irfan padaku."Wa'alaikumsalam, Mas."Aku pun melanjutkan mencuci piring yang belum selesai. Setelahnya aku berencana ke rumah Mas Doni untuk mengantarkan buah tangan dari emak.Setelah menyelesaikan mencuci piring, aku bergegas mengambil barang yang akan aku antar ke rumah Mas Doni.Saat melewati kamar Ayu, aku melihatnya sedang bermain boneka."Nak, Ibu mau ke rumah Budhe Santi. Ayu mau ikut atau tidak?" tawarku pada Ayu yang sedang asyik bermain boneka."Ayu di rumah saja, Bu. Nanti kalau Ibu lama, Ayu akan menyusul ke sana," jawab Ayu tanpa mengalihkan pandangan dari bonekanya."Baiklah, kalau Ayu ingin di rumah. Ibu ke rumah Budhe Santi dulu." Aku bergegas pergi ke rumah Mbak Santi.Sejujurnya masih malas aku bertemu Mbak Santi. Tapi, aku sudah kadung janji pada Mas Irfan untuk mengantarkan buah tangan dari emak."Assalamu'alaikum," salamku ketika sampai di depan pintu rumah Mbak Santi."Wa'alaikum salam, eh Jihan. Masuk, Han," jawab Mas Doni sembari mempersilahkan aku masuk. Mas Doni sedang duduk di kursi ruang tamunya.Aku pun masuk ke dalam rumah Mas Doni dan duduk di kursi berhadapan dengan Mas Doni."Oh iya, ini ada sedikit oleh-oleh dari emak untuk Mas Doni sekeluarga," ucapku sembari menyodorkan barang yang telah aku bawa."Wah, terima kasih, Han. Padahal nggak usah repot-repot membawakan oleh-oleh segala. Mertuamu kan lebih butuh dari pada harus dibagikan."Deg, ucapan Mas Doni terasa menusuk hatiku. Jika aku tidak salah mengira ucapannya terdengar seperti merendahkan keluarga emak.Aku diam tak membalas apa yang Mas Doni ucapkan, aku tak mengira Mas Doni akan berkata seperti itu. Padahal dari dulu Mas Doni tidak pernah mengatakan hal-hal yang merendahkan keluarga Mas Irfan, walaupun Mas Doni tidak begitu akrab dengan Mas Irfan."Han, Mas pengen bicara sama kamu," ucap Mas Doni padaku."Bicara saja, Mas," sahutku."Tolong kamu rubah sikapmu, Han. Janganlah kamu bersikap kurang ajar pada Mbakmu, kasihan dia jika kamu permalukan di depan teman-temannya," pinta Mas Doni membuatku sedikit terkejut.Aku membulatkan mata mendengar permintaan Mas Doni, pasti Mbak Santi sudah mengadu yang tidak-tidak tentangku. Huh, dasar ipar nggak punya akhlak, bisa-bisanya dia mengadukan hal sepele pada Mas Doni.Hatiku memanas merasakan kesal pada Mas Doni, seharusnya Mas Doni bertanya padaku terlebih dahulu sebelum menegurku. Seharusnya dia tidak hanya mendengarkan dari sisi Mbak Santi saja."Han, kamu masih mendengarkan Mas, kan?" tanya Mas Doni kembali."Eh, iya, Mas. Jihan mendengarkan Mas Doni," jawabku akhirnya."Mas minta kamu jangan kurang ajar, sampai mau melempar Santi dengan panci. Kamu jangan bersikap kekanak-kanakan, Han," tambah Mas Doni lagi.Aku mengepalkan tangan menahan perasaan dongkol setengah mati pada Mbak Santi. Yang bersikap kekanakan itu Mbak Santi, beraninya cuma mengadu saja. Menyesal aku sudah kemari."Bagaimana, Han? Kamu tidak keberatan merubah sikapmu, kan?" tanya Mas Doni."Jihan usahakan, Mas. Tapi Mas juga jangan hanya menegurku, tegur juga Mbak Santi yang sudah mengambil kue-kue yang sudah dipesan orang tanpa bertanya padaku terlebih dahulu." Aku menjawab pertanyaan Mas Doni dengan berani.Mas Doni nampak terkejut dengan jawabanku, mungkin dia malu karena tidak mengetahui fakta yang sebenarnya."I-ya, nanti Mas juga akan menegur Santi," jawab Mas Doni terbata."Ya sudah, kalau sudah tidak ada lagi yang dibicarakan Jihan pamit, Mas." Aku pun bangkit dari dudukku dan beranjak pergi tanpa mendengar jawaban dari Mas Doni.Aku berjalan dengan menghentakkan kaki jengkel karena ulah Mbak Santi lagi.Aku keluar dari rumah Mas Doni dengan hati jengkel karena ditegur olehnya, mentang-mentang Mbak Santi istrinya dibela-bela terus."Eh, Jihan. Baru dari rumah, ya?" tanya Mbak Santi yang baru saja tiba dengan menaiki motor barunya.Mbak Santi turun dari motor sembari menenteng tas belanjaannya. Kebiasaan, dandan sudah seperti toko emas berjalan. Kalau ada jambret baru tau rasa."Iya," jawabku ketus."Lah, ditanya baik-baik kok jawabnya ketus gitu, Han? Lagi PMS ya?" tanya Mbak Santi sok polos.Aku melengos pergi tanpa menjawab pertanyaan Mbak Santi. Malas banget melihat muka Mbak Santi, apalagi aku baru saja ditegur Mas Doni gara-gara Mbak Santi tukang ngadu."Kok ditanya malah pergi sih, Han?" Suara Mbak Santi masih terdengar bertanya padaku yang sudah hampir sampai di halaman rumahku.Setelah sampai di rumah, aku bergegas masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan Mbak Santi. Sakit hatiku karena Mas Doni sampai menegurku tanpa tau apa alasan semua tindakanku.Mas Doni memang terlalu mem
Selesai mencuci aku duduk di teras sembari menemani Ayu yang sedang bermain pasir di halaman.Sekalian menunggu Mas Irfan pulang dari mengajar. Netraku tak sengaja melihat Indah sedang menggedor-gedor pintu rumah Mbak Santi dengan keras."Ndah," teriakku memanggil namanya.Indah yang mendengar namanya dipanggil menolehkan kepalanya kepadaku, setelah melihatku dia bergegas melangkah ke arahku."Kamu ngapain gedor-gedor pintu rumah Mbak Santi, Ndah?" tanyaku begitu Indah sudah sampai di hadapanku."Lagi nyari Mbak Santi aku, Han," jawab Indah sembari menghempaskan tubuhnya di kursi di sampingku."Memang ada keperluan apa mencari Mbak Santi, Ndah?" tanyaku penasaran.Indah menghela nafas panjang dan menjawab, "Mbak Santi sudah lama nunggak bayar emas-emas yang dia pakai, Han. Aku pusing sekali setiap ditagih selalu ngilang," jawab Indah sembari memijit keningnya.Mataku membulat mendengar apa yang baru saja diungkapkan oleh Indah. Jadi perhiasan yang dipamerkan Mbak Santi selama ini kred
"Bu, Ayu masuk ke dalam dulu, Ayu sudah mengantuk menunggu Ayah tidak pulang-pulang," keluh Ayu sembari membereskan mainannya."Iya, Nak. Ayu tidur saja dulu, Ibu masih menunggu Ayah pulang."Ayu pun melangkah masuk ke dalam rumah, kulihat dia berbelok menuju kamarnya untuk tidur."Han ... Jihan." Suara teriakan Mbak Santi terdengar di telingaku setelah kepergian Indah beberapa menit yang lalu.Aku menolehkan kepala melihat Mbak Santi yang lari menuju ke arahku dengan tergopoh-gopoh."Ada apa, Mbak?" tanyaku begitu Mbak Santi tiba di depanku.Mbak Santi duduk di sampingku sambil mengatur nafasnya setelah berlari-lari."Ada minum nggak, Han? Ambilin minum dong, Han?Mbak haus nih, habis lari-lari," pinta Mbak Santi dengan entengnya.Aku hanya melongo mendengar apa yang diucapkan Mbak Santi. Bisa-bisanya dia main perintah saja. Baru juga datang sudah merepotkan, siapa suruh lari-lari segala. Dengan cemberut aku bangkit dari duduk untuk mengambilkan air minum Mbak Santi.Aku melangkah de
"Jadi kamu bertengkar lagi dengan Mbak Santi, Han?" tanya Mas Irfan setelah aku menceritakan semua yang terjadi.Kami sedang duduk bersantai di atas ranjang untuk beristirahat di dalam kamar. Kamar yang hanya berisi satu lemari pakaian yang tak terlalu besar, hanya untuk menyimpan baju-baju kami dan sebagian barang-barang penting lainnya, termasuk berbagai perhiasan pemberian emak.Setiap musim panen, emak selalu memberikan aku satu set perhiasan. Tapi aku jarang sekali memakainya, kadang aku malah merasa risih jika memakai perhiasan. Katakanlah aku aneh, memang kenyataannya seperti itu.Aku tidak seperti Mbak Santi yang gemar dengan kemewahan. Dari dulu aku lebih suka hidup sederhana seperti Mas Irfan."Iya, Mas. Aku sudah tidak bisa menahan diri kalau Mbak Santi sudah menghinamu, Mas. Aku tidak rela jika Mbak Santi terus meremehkanmu, aku sudah kadung emosi mendengar Mbak Santi berbicara seperti itu."Mas Irfan nampak menghela nafas, aku tahu kalau aku salah karena tidak bisa menaha
"Aku tidak pernah mengumbar aib pada siapa pun Mas!" seruku tidak terima dengan tuduhan Mas Doni."Jangan mengelak kamu, Han! Santi sudah menceritakan semuanya padaku," balas Mas Doni nampak tidak mau kalah.Aku geram mendengarnya, ternyata Mbak Santi lah yang berada di balik semua tuduhan Mas Doni. Benar-benar minta di tampar mulutnya. Beraninya dia menfitnahku tanpa memikirkan akibatnya."Inilah kurangmu, Mas. Kamu tidak pernah mencari tahu terlebih dahulu fakta yang sebenarnya. Kamu langsung mengambil kesimpulan sendiri tanpa mendengarkan dari pihakku. Aku adikmu satu-satunya, Mas. Apa mungkin aku tega menceritakan aib keluarga kita?" tanyaku membuat Mas Doni terdiam."Apa aku pernah mengeluh padamu jika pembagian keuntungan tidak dibagi dengan rata? Lebih baik aku tidak usah diberikan keuntungan itu lagi, Mas," tambahku."Baiklah, jika itu maumu! Aku tidak akan pernah memberikan lagi keuntungan toko. Bisa apa kamu tanpa keuntungan toko ini? Memang benar apa yang dikatakan oleh San
Setelah kami bertemu dengan Mas Doni, Indah bergegas mengantarkan aku pulang. Kami berkendara dalam diam, aku masih larut dalam pikiranku tentang pertengkaran yang telah terjadi antara aku dengan Mas Doni.Selang lima belas menit perjalanan kami pun tiba di rumahku. Aku langsung turun begitu Indah memberhentikan motornya di halaman rumahku."Mampir dulu, Ndah," tawarku pada Indah setelah aku turun."Iya, Han," jawab Indah sembari turun dari motornya.Kami pun melangkah bersama menuju pintu rumahku, aku mengetuk pintu perlahan dan mengucapkan salam."Assalamu'alaikum, Mas."Selang beberapa detik Mas Irfan muncul dari balik pintu sembari menggendong Ayu."Wa'alaikum salam, Han," ucap Mas Irfan sembari membuka lebar pintu."Ayo masuk, Ndah," ajakku pada Indah.Aku dan Indah pun masuk ke dalam rumah, sementara Mas Irfan dan Ayu sudah pamit ke dalam terlebih dahulu. Mas Irfan memang selalu membatasi diri untuk tidak ikut mengobrol jika ada temanku yang datang ke rumah, bukan karena Mas Irf
Sudah berhari-hari berlalu, aku masih saja bungkam tentang pertengkaranku dengan Mas Doni dan Mbak Santi. Mas Irfan pun tidak pernah menanyakan apa yang terjadi sebenarnya.Aku sedikit lega karena Mas Irfan tidak lagi menanyakannya. Jujur aku tidak mau membuat Mas Irfan terluka karena sering diremehkan dan dihina. Walaupun aku tahu bahwa ketakutanku tidak pernah terbukti. Mas Irfan orang yang sangat sabar, saat ada orang yang menghinanya, dia akan menanggapinya dengan sabar.Kalau aku jadi Mas Irfan, aku akan membungkam satu-satu orang yang sudah menghinaku dengan kenyataan yang sebenarnya."Han?" panggil Mas Irfan sembari menggoyangkan tanganku."Eh, sudah pulang, Mas? Suara motornya tidak terdengar, Mas." Aku terkejut dengan kedatangan Mas Irfan, sungguh aku tidak mendengar suara motornya."Iya, Han. Mungkin kamu sibuk melamun, mangkanya nggak dengar waktu Mas pulang. Tolong buatkan minum untuk mereka, Han."Aku menoleh, menatap ke arah teras, mataku membulat ketika melihat sebuah m
"Mbak Jihan, Ibu ingin menanyakan sesuatu. Tapi Mbak jangan marah." Bu inah berbicara pelan padaku, nampak Bu Inah takut kalau aku tersinggung dengan pertanyaannya."Mau tanya apa, Bu?" tanyaku sedikit penasaran."Tapi beneran jangan marah sama Ibu lho, Mbak. Ibu cuma ingin menyampaikan kepada Mbak Jihan tentang apa yang Ibu dengar saja.""Iya, Bu. InsyaAllah saya tidak akan menyalahkan Bu Inah."Aku sedang berada di toko Ibu Inah untuk berbelanja, perlengkapan mandi di rumah sudah mulai habis, daripada kehabisan, aku lebih suka membelinya untuk persediaan."Begini Mbak, Ibu dengar dari Mbak Santi kalau Mbak Jihan itu serakah meminta bagian toko lebih banyak daripada Mas Doni yang menjalankan toko dengan susah payah. Apakah betul, Mbak?" tanya Bu Inah memulai cerita.Mataku terbelalak mendengar pertanyaan Bu Inah, ternyata Mbak Santi tidak hanya menfitnahku di depan teman-temannya. Tapi juga sudah sampai di telinga Bu Inah. Berarti Mbak Santi sudah menfitnahku kemana mana."Maaf seb
Tak terasa beberapa bulan berlalu, sebentar lagi bulan Ramadhan telah tiba. Mas Irfan berencana mengajak kami pindah ke rumah Emak menjalani puasa Ramadhan bersama Emak dan Bapak. Semua keperluan sudah Mas Irfan urus termasuk kepindahannya mengajar di kampung Emak.Aku sedikit lega karena bisa menemani Emak dan Bapak di hari tuanya. Sungguh jauh dari orangtua rasanya tidak enak, apalagi kami tidak punya saudara lagi selain Mas Doni yang sekarang tidak tahu kemana perginya.Sejak rumahnya terjual, aku tidak pernah bertemu Mas Doni ataupun Mbak Santi, seolah mereka menghilang ditelan bumi.Saat bertemu dengan adik Mbak Santi pun aku sudah bertanya padanya, tapi dia juga tidak tahu kemana perginya kakak perempuannya itu.Aku dan Mas Irfan ingin sekali bertemu dengan mereka, kami ingin meminta maaf sembari berpamitan untuk tinggal di rumah Emak seterusnya. Kami khawatir, jika kami sampai tidak diberi kesempatan untuk bertemu dengan Mas Doni dan Mbak Santi lagi.Mungkin setelah ini kami ti
"Kenapa baru mengaku saudara saat dalam keadaan susah, Mbak? Kemana saja dari dulu tidak pernah adil padaku?" Aku sudah tidak bisa lagi menahan amarah.Mbak Santi hanya diam saja mendengar pertanyaanku, tapi aku lihat raut wajahnya nampak memerah."Sudah cukup selama ini aku sudah berbaik hati pada keluargamu, Mbak. Lebih baik sekarang jangan menggangguku lagi," tambahku."Kamu tega, Han. Padahal saudaramu sedang butuh bantuanmu, kamu malah menutup mata dari penderitaan kami," ucap Mbak Santi."Mbak, bukankah kalian sendiri yang sudah membuat aku seperti ini? Kalian yang selalu meremehkan aku dan juga Mas Irfan, kan? Jadi selesaikan saja masalah kalian sendiri, jangan meminta bantuan pada orang yang kalian remehkan.""Jangan tidak punya hati seperti ini, Han," desis Mbak Santi."Apa kamu bilang, Mbak? Bukannya kalian yang tidak punya hati? Sudah lupa dengan semua yang kalian lakukan pada keluargaku?" tanyaku dengan suara meninggi."Tapi kami itu kakakmu, Han. Sudah sepatutnya kamu men
"Minumlah, Mbak," ucapku sembari menyodorkan teh hangat untuk Mbak Santi.Mbak Santi pun menerima gelas yang telah aku sodorkan dan meminumnya hingga habis. Penampilan Mbak Santi sungguh kacau, wajahnya sembab dengan mata yang membengkak karena terlalu banyak menangis."Ada apa ke rumahku, Mbak?" tanyaku pada Mbak Santi.Mbak Santi terdiam mendengar pertanyaanku, kulihat dia nampak ragu ingin berbicara padaku. Aku pun hanya diam menunggu Mbak Santi berbicara."Han, bolehkan aku meminta pertolongan darimu?" tanya Mbak Santi lirih.Aku mengernyitkan kening heran dengan apa yang ingin Mbak Santi ungkapkan sebenarnya. Memangnya dia mau minta tolong apa lagi, jika masalah uang, bukankah hasil penjualan tanah kemarin aku tidak meminta sama sekali?"Tergantung, Mbak. Katakan dulu apa yang ingin Mbak Santi mintai tolong," jawabku.Mbak Santi hanya diam mendengar jawabanku yang terkesan dingin. Jujur aku tidak tega melihat Mbak Santi dalam keadaan menyedihkan seperti itu. Tapi aku juga ingin
"Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya pembangunan Masjidnya sudah selesai. Aku jadi lebih tenang sekarang karena Masjidnya sudah mulai berfungsi dan banyak yang meramaikannya," ucapku pada Mas Irfan saat kami sedang dalam perjalanan pulang dari Masjid.Kami baru saja mengantar sumbangan karpet dan juga berbagai macam keperluan Masjid lainnya dari para warga. Semua warga sangat antusias untuk menyumbang keperluan Masjid yang lainnya."Iya, Han. Aku juga lega sekali, paling tidak kita bisa menggunakan harta kita di jalan yang benar.Semoga saja segala lelah kita menjadi berkah, Han," sahut Mas Irfan."Aamiin Allahuma Aamiin, iya Mas. Terima kasih sudah mau mengabulkan keinginanku, Mas.""Jangan berterima kasih, Han. Apa yang kamu inginkan selama aku mampu, tentu akan aku kabulkan, Han," ucap Mas Irfan.Ah, Mas Irfan sungguh manis sekali. Aku jadi senyum-senyum sendiri dibuatnya. Untung saja Ayu sedang berada di rumah Emak, kalau tidak Ayu pasti akan mengajukan banyak sekali pertanyaan padaku
Satu minggu setelah aku mendapat kejutan dari Mas Irfan, kehidupanku berlangsung damai. Aku tak lagi bertemu dengan Mas Doni ataupun Mbak Santi, mungkin mereka sedang menikmati uang hasil pernjualan tanah kemarin.Aku tak lagi memusingkan apa yang mereka lakukan, jika mereka menyadari kesalahan mereka dan mau meminta maaf dengan tulus, aku akan memberi kesempatan pada mereka, tapi jika tidak pun tidak mengapa. Yang penting aku sudah mengikhlaskan apa yang mereka lakukan padaku.Sekarang tanah bekas toko itu masih belum aku pergunakan untuk apapun, tapi aku punya rencana sendiri untuk mengelolanya, aku ingin meminta ijin kepada Mas Irfan supaya tanah peninggalan orangtuaku itu dibangun Masjid saja. Daripada bingung untuk apa, lebih baik dibangun Masjid supaya bisa berfungsi dengan baik."Mas, boleh tidak tanah yang Mas beli dibangun Masjid saja?" tanyaku setengah ragu-ragu.Mas Irfan menoleh padaku, mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dia baca, aku menunduk tidak berani meli
Aku sudah lama sekali menangis setelah pulang dari rumah Mas Doni hingga kedua mataku membengkak. Hatiku remuk redam karena Mas Doni dan Mbak Santi yang sudah seenaknya.Aku beranjak bangun dari ranjang, bangkit untuk melangkah menuju ke kamar mandi untuk membasuh mukaku. Sebentar lagi Mas Irfan pulang, aku tidak mau kalau sampai dia melihatku habis menangis.Belum jauh langkahku dari ranjang, pintu kamar sudah terbuka oleh Mas Irfan. Aku pun terkejut dibuatnya."Kamu kenapa, Han?" tanya Mas Irfan yang sudah masuk ke kamar.Aku panik melihat Mas Irfan sudah pulang, aku buru-buru menyembunyikan wajahku yang habis menangis.Mas Irfan pun mendekat padaku, dipegangnya tanganku dengan lembut."Aku tahu apa yang membuatmu sampai seperti ini, Han. Sabarlah, Han, InsyaAllah yang menjadi hak kita akan kembali pada kita apapun yang terjadi," ucap Mas Irfan mencoba menenangkanku.Aku mengernyitkan kening tidak mengerti apa maksud ucapan Mas Irfan. Dan dari mana Mas Irfan tahu apa yang sedang aku
"Tapi aku yang sudah menjalankan toko selama ini, jadi wajar saja jika aku yang mendapatkan keuntungan toko lebih banyak, Han."Mas Doni tetap saja tidak mau mengaku salah sudah tidak adil padaku. Aku menggelengkan kepala tidak percaya dengan sikap Mas Doni. Inikah sebenarnya sifat dari Mas Doni yang tidak aku ketahui? "Aku juga berhak menjalankannya, Mas! Tapi aku tidak pernah meminta untuk menjalankannya karena memikirkanmu! Karena kamu tidak punya pekerjaan lain lagi selain menjalankan toko tersebut, aku mengalah karena aku tidak mau kamu berada dalam kesusahan," seruku dengan suara sedikit meninggi.Mas Doni nampak terperanjat mendengarku bersuara tinggi. Dia pasti tidak mengira bahwa aku berani padanya. Mulai sekarang aku tidak akan mengalah lagi, aku pasti akan meminta kembali hakku.Biarlah aku dikatakan sebagai saudara yang kejam, aku sudah lelah sekali hanya diam saja menerima perlakuan semena-mena mereka."Aku akan tetap menjual tanah itu, terserah kamu mau setuju ataupun t
Aku kembali masuk ke dalam Bank begitu Mbak Santi sudah beranjak pergi. Dalam hati aku bertanya-tanya tentang apa yang aku lihat tadi. Aku tidak bisa menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.Untuk apa sebenarnya Mas Doni sampai mempunyai hutang di Bank? Kalau hanya hidup untuk berdua saja tentu tidak perlu melakukannya, kan? Otakku berpikir keras meraba kemungkinan-kemungkinan yang telah terjadi. Akan tetapi semakin aku pikirkan, aku semakin pusing saja.Daripada aku semakin pusing lebih baik nanti aku tanyakan langsung saja pada Mas Doni, bagaimanapun juga aku masih berhak atas tanah tersebut jika akan dijual. Karena kami memang belum membaginya secara adil.Mungkin setelah pulang dari sini aku akan langsung meminta penjelasan dari Mas Doni. Aku tidak mau jika Mas Doni sampai menjual tanah peninggalan orangtua kami begitu saja. Banyak sekali kenangan yang tersimpan di sana.Biarlah hubungan kami semakin buruk, yang penting aku tidak rela jika sampai Mas Doni melakukan hal yang aku
"Kamu kenapa, Han?" tanya Mas Irfan ketika kami sedang makan siang bersama setelah Mas Irfan pulang kerja.Aku tersadar dari lamunanku yang masih memikirkan kondisi toko tadi pagi. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Mas Irfan, tapi aku takut jika Mas Irfan menjadi banyak pikiran karena aku."Tadi sewaktu aku melihat kondisi toko, aku bertemu dengan Mas Doni, Mas." Akhirnya aku pun mulai cerita, Mas Irfan tidak akan suka jika aku menyembunyikan sesuatu darinya. Lebih baik aku menceritakan padanya sekarang daripada nanti Mas Irfan mendengar dari orang lain lagi."Lalu bagaimana, Han?" tanya Mas Irfan."Emm ... Mas Doni marah-marah padaku, Mas. Dia mengira aku senang melihat dia tertimpa musibah," jelasku."Astaghfirullah, kenapa bisa begitu, Han?" Mas Irfan geleng-geleng kepala nampak heran dengan sikap Mas Doni."Aku juga tidak tahu, Mas. Aku tidak tahu kenapa Mas Doni bisa segitu bencinya padaku. Padahal aku juga selalu mengalah padanya, Mas. Aku tidak mengerti kenapa dia bis