"Jadi kamu bertengkar lagi dengan Mbak Santi, Han?" tanya Mas Irfan setelah aku menceritakan semua yang terjadi.Kami sedang duduk bersantai di atas ranjang untuk beristirahat di dalam kamar. Kamar yang hanya berisi satu lemari pakaian yang tak terlalu besar, hanya untuk menyimpan baju-baju kami dan sebagian barang-barang penting lainnya, termasuk berbagai perhiasan pemberian emak.Setiap musim panen, emak selalu memberikan aku satu set perhiasan. Tapi aku jarang sekali memakainya, kadang aku malah merasa risih jika memakai perhiasan. Katakanlah aku aneh, memang kenyataannya seperti itu.Aku tidak seperti Mbak Santi yang gemar dengan kemewahan. Dari dulu aku lebih suka hidup sederhana seperti Mas Irfan."Iya, Mas. Aku sudah tidak bisa menahan diri kalau Mbak Santi sudah menghinamu, Mas. Aku tidak rela jika Mbak Santi terus meremehkanmu, aku sudah kadung emosi mendengar Mbak Santi berbicara seperti itu."Mas Irfan nampak menghela nafas, aku tahu kalau aku salah karena tidak bisa menaha
"Aku tidak pernah mengumbar aib pada siapa pun Mas!" seruku tidak terima dengan tuduhan Mas Doni."Jangan mengelak kamu, Han! Santi sudah menceritakan semuanya padaku," balas Mas Doni nampak tidak mau kalah.Aku geram mendengarnya, ternyata Mbak Santi lah yang berada di balik semua tuduhan Mas Doni. Benar-benar minta di tampar mulutnya. Beraninya dia menfitnahku tanpa memikirkan akibatnya."Inilah kurangmu, Mas. Kamu tidak pernah mencari tahu terlebih dahulu fakta yang sebenarnya. Kamu langsung mengambil kesimpulan sendiri tanpa mendengarkan dari pihakku. Aku adikmu satu-satunya, Mas. Apa mungkin aku tega menceritakan aib keluarga kita?" tanyaku membuat Mas Doni terdiam."Apa aku pernah mengeluh padamu jika pembagian keuntungan tidak dibagi dengan rata? Lebih baik aku tidak usah diberikan keuntungan itu lagi, Mas," tambahku."Baiklah, jika itu maumu! Aku tidak akan pernah memberikan lagi keuntungan toko. Bisa apa kamu tanpa keuntungan toko ini? Memang benar apa yang dikatakan oleh San
Setelah kami bertemu dengan Mas Doni, Indah bergegas mengantarkan aku pulang. Kami berkendara dalam diam, aku masih larut dalam pikiranku tentang pertengkaran yang telah terjadi antara aku dengan Mas Doni.Selang lima belas menit perjalanan kami pun tiba di rumahku. Aku langsung turun begitu Indah memberhentikan motornya di halaman rumahku."Mampir dulu, Ndah," tawarku pada Indah setelah aku turun."Iya, Han," jawab Indah sembari turun dari motornya.Kami pun melangkah bersama menuju pintu rumahku, aku mengetuk pintu perlahan dan mengucapkan salam."Assalamu'alaikum, Mas."Selang beberapa detik Mas Irfan muncul dari balik pintu sembari menggendong Ayu."Wa'alaikum salam, Han," ucap Mas Irfan sembari membuka lebar pintu."Ayo masuk, Ndah," ajakku pada Indah.Aku dan Indah pun masuk ke dalam rumah, sementara Mas Irfan dan Ayu sudah pamit ke dalam terlebih dahulu. Mas Irfan memang selalu membatasi diri untuk tidak ikut mengobrol jika ada temanku yang datang ke rumah, bukan karena Mas Irf
Sudah berhari-hari berlalu, aku masih saja bungkam tentang pertengkaranku dengan Mas Doni dan Mbak Santi. Mas Irfan pun tidak pernah menanyakan apa yang terjadi sebenarnya.Aku sedikit lega karena Mas Irfan tidak lagi menanyakannya. Jujur aku tidak mau membuat Mas Irfan terluka karena sering diremehkan dan dihina. Walaupun aku tahu bahwa ketakutanku tidak pernah terbukti. Mas Irfan orang yang sangat sabar, saat ada orang yang menghinanya, dia akan menanggapinya dengan sabar.Kalau aku jadi Mas Irfan, aku akan membungkam satu-satu orang yang sudah menghinaku dengan kenyataan yang sebenarnya."Han?" panggil Mas Irfan sembari menggoyangkan tanganku."Eh, sudah pulang, Mas? Suara motornya tidak terdengar, Mas." Aku terkejut dengan kedatangan Mas Irfan, sungguh aku tidak mendengar suara motornya."Iya, Han. Mungkin kamu sibuk melamun, mangkanya nggak dengar waktu Mas pulang. Tolong buatkan minum untuk mereka, Han."Aku menoleh, menatap ke arah teras, mataku membulat ketika melihat sebuah m
"Mbak Jihan, Ibu ingin menanyakan sesuatu. Tapi Mbak jangan marah." Bu inah berbicara pelan padaku, nampak Bu Inah takut kalau aku tersinggung dengan pertanyaannya."Mau tanya apa, Bu?" tanyaku sedikit penasaran."Tapi beneran jangan marah sama Ibu lho, Mbak. Ibu cuma ingin menyampaikan kepada Mbak Jihan tentang apa yang Ibu dengar saja.""Iya, Bu. InsyaAllah saya tidak akan menyalahkan Bu Inah."Aku sedang berada di toko Ibu Inah untuk berbelanja, perlengkapan mandi di rumah sudah mulai habis, daripada kehabisan, aku lebih suka membelinya untuk persediaan."Begini Mbak, Ibu dengar dari Mbak Santi kalau Mbak Jihan itu serakah meminta bagian toko lebih banyak daripada Mas Doni yang menjalankan toko dengan susah payah. Apakah betul, Mbak?" tanya Bu Inah memulai cerita.Mataku terbelalak mendengar pertanyaan Bu Inah, ternyata Mbak Santi tidak hanya menfitnahku di depan teman-temannya. Tapi juga sudah sampai di telinga Bu Inah. Berarti Mbak Santi sudah menfitnahku kemana mana."Maaf seb
Mbak Santi mematung melihat penampilanku sekarang. Dia nampak terkejut karena perubahanku. Aku menyunggingkan senyum melihatnya seperti itu."Mbak, aku boleh masuk dan bergabung dengan teman-temanmu, kan?" tanyaku sembari menyerobot masuk ke dalam rumah Mbak Santi tanpa menunggu jawaban darinya."Assalamu'alaikum semuanya, maaf saya mengganggu, boleh gabung tidak?" sapaku sembari memperlihatkan cincin dan gelang yang aku pakai.Mata mereka melotot melihat perhiasan berlian yang aku pakai. Pandangan mata mereka hanya tertuju pada perhiasanku. Hingga mereka tidak membalas salam dariku."Saya nggak boleh gabung ya? Jadi sedih saya, kalau begitu saya pulang dulu deh," ucapku berpura-pura sedih."Eh, jangan pulang dulu Mbak Jihan. Mari-mari gabung bersama kita-kita," sahut salah seorang dari mereka mendekatiku.Ternyata yang mendekatiku adalah Mbak Rasti, dia adalah teman Mbak Santi yang terlihat paling glamor."Kenapa buru-buru pulang sih, Mbak?" tanya Mbak Rasti begitu sampai di sampingk
Aku pulang dari rumah Mbak Santi dengan hati senang, sepanjang perjalanan aku terus saja menyunggingkan senyum.Aku terus saja terbayang dengan raut muram Mbak Santi tadi. Dia nampak kesal setengah mati denganku yang nyelonong masuk ke rumahnya dan bergabung dengan teman-temannya.Tidak kusangka ternyata semudah ini memberi pelajaran pada Mbak Santi. Jika tahu semudah ini sudah aku lakukan dari dulu saja. Biar cepat sadar Mbak Santinya.Saat sampai di halaman rumah, aku terkejut ketika netraku melihat Mas Irfan duduk di teras dengan memangku Ayu. Aku pun mempercepat langkah menuju ke arahnya."Lho kok sudah pulang, Mas?" tanyaku begitu sampai di depan Mas Irfan."Tadi Bapak telfon, katanya Emak jatuh dari kamar mandi, Han," jawab Mas Irfan dengan raut muram."Astaghfirullah, lalu sekarang bagaimana keadaan Emak, Mas?" tanyaku terkejut mendengar berita yang disampaikan oleh Mas Irfan."Alhamdulillah, Emak tidak apa-apa, Han. Emak sedang di rumah sakit sekarang. Mas berniat menjenguk Em
Selesai sarapan kami pun berbincang-bincang di teras rumah Emak. Di teras Emak terdapat sebuah kursi yang terbuat dari bambu. Kami pun duduk di kursi tersebut sambil bercengkrama menikmati indahnya suasana di kampung yang masih sangat asri.Sedangkan Ayu sedang bermain bersama dengan anak-anak kecil tetangga Emak. Aku tersenyum melihat Ayu yang bahagia sekali jika sudah bermain dengan teman-temannya."Fan, nanti antar Bapak pergi ke kota sebentar, ya," ucap Bapak kepada Mas Irfan."Inggih, Pak. Memang ada keperluan apa Bapak mau ke kota?" tanya Mas Irfan."Bapak mau kamu beli mobil, Fan. Kasihan cucu Bapak jika kesini harus kepanasan dan kehujanan. Lagian kalau kamu punya mobil kan bisa sering-sering ke sini. Tidak harus nunggu satu bulan sekali ke sininya. Apalagi kamu sering sendiri ke sininya, Bapak kan juga kangen sama cucu Bapak," jawab Bapak.Aku pun terkejut mendengar jawaban Bapak, memang Mas Irfan sudah punya rencana untuk membeli mobil. Tapi aku tidak menyangka kalau akan se