"Motor Mbak Santi baru lagi ya, Han?" tanya Mas Irfan setelah kami selesai makan malam dan sedang bersantai menonton acara di televisi.
"Iya, Mas. Sebel deh aku sama Mbak Santi." Aku menjawab pertanyaan Mas Irfan dengan cemberut."Kenapa lagi, Han? Kamu juga pengen motor baru?" tanya Mas Irfan menggodaku."Bukan itu, Mas. Tadi Mbak Santi ke sini pinjam uang sebelum beli motor baru. Aku kira Mbak Santi benar-benar butuh, taunya malah pulang-pulang bawa motor baru. Tahu gitu nggak aku pinjemin uang, Mas," jawabku sedikit jengkel."Lha memang Mbak Santi nggak bilang pinjam uang buat apa?" tanya Mas Irfan setelah menyesap teh di tangannya."Nggak, Mas. Mbak Santi cuma bilang pinjam uang gitu aja.""Berarti Mbak Santi nggak salah," ucap Mas Irfan sembari tergelak.Aku hanya melongo melihat Mas Irfan tertawa, apa ada yang salah dengan jawabanku sehingga Mas irfan tertawa seperti itu?"Apa sih, Mas? Kok ngetawain aku? Memangnya ada yang salah dengan jawabanku?" Tanganku mencubit pinggang Mas Irfan yang masih saja menertawakanku."Aduh! Sakit, Han." Tangan Mas Irfan mengusap pinggangnya yang terkena cubitanku."Harusnya kamu tanya Mbak Santi dulu, untuk apa pinjam uangnya. Jika memang mendesak kamu pinjami, tapi jika tidak terlalu mendesak kamu pikirkan terlebih dahulu," ujar Mas Irfan membuatku sadar.Aku hanya nyengir menanggapi ucapan Mas Irfan. Memang salahku juga terlalu mudah memberikan pinjaman pada Mbak Santi."Ya sudah, lain kali kamu pikirkan dulu jika meminjami uang Mbak Santi. Jangan setelah meminjami uang, kamu uring-uringan sendiri," ucap Mas Irfan sembari mengacak rambutku."Iya, Mas. Maaf, uang untuk pendaftaran sekolah Ayu, harus berkurang lagi," sahutku menunduk sendu."Jangan khawatir, Han. InsyaAllah, nanti akan ada rejeki lagi. Yang penting kita masih bisa bekerja, masalah rejeki sudah ada yang mengatur," ucap Mas Irfan lembut."Iya, Mas."Aku menghela nafas lega, ucapan Mas Irfan memang benar. Apapun yang kita punya patut kita syukuri walaupun sedikit.Aku bersyukur mempunyai suami seperti Mas Irfan, walaupun kehidupan kami terbilang sederhana. Tapi kami tidak pernah kekurangan apapun.Mas Irfan adalah anak tunggal dari emak dan bapak mertua di kampung. Aku menerima lamaran Mas Irfan karena ketulusan hatinya. Aku mencintai Mas Irfan apa adanya, bahkan tidak pernah memandang jika Mas Irfan berasal dari kampung.Mas Doni juga tak pernah mempermasalahkan dari mana Mas Irfan berasal, yang penting aku bahagia, Mas Doni sudah merestui pernikahanku dengan Mas Irfan.Akan tetapi tidak dengan Mbak Santi, terkadang Mbak Santi sering meremehkan Mas Irfan. Dia sering membanding-bandingkan Mas Irfan dengan adiknya yang bekerja di sebuah bank di daerahnya.Kadang telingaku sampai panas jika Mbak Santi sudah memuji-muji adiknya tersebut. Memang pekerjaan Mas Irfan hanyalah guru honorer, dengan gaji yang sangat sedikit.Namun, Mbak Santi tidak pernah tau jika orangtua Mas Irfan memiliki perkebunan kopi yang sangat luas. Belum lagi peternakan sapi perah yang di wariskan secara turun temurun oleh keluarga Mas Irfan.Aku pun terkejut dengan fakta tersebut, tidak pernah aku mengira bahwa Mas Irfan yang sederhana ini, memiliki orangtua yang kaya. Dulu saat aku menerima lamarannya aku belum mengetahuinya. Setelah kami menikah aku baru mengetahui fakta tersebut.Mbak Santi bisa kena serangan jantung jika mengetahui Mas Irfan adalah anak orang kaya walaupun berasal dari kampung. Aku senyum-senyum sendiri membayangkan bagaimana ekspresi Mbak Santi saat mengetahui kenyataan yang sebenarnya."Ada apa sih, Han? Senyum-senyum sendiri begitu," tanya Mas Irfan sembari menowel pipiku."Nggak ada apa-apa, Mas," jawabku sambil nyengir."Ya sudah, sekarang kita tidur yuk. Kasihan Ayu sudah tertidur dari tadi. Mas besok harus berangkat subuh, sudah akhir bulan, Mas harus membayar gaji semua pekerja Bapak," ujar Mas Irfan bangkit dari duduknya dan meraih Ayu ke dalam gendongannya melangkah menuju kamar Ayu.Aku pun bangkit mengikuti Mas Irfan dari belakang. Setelah Mas Irfan merebahkan Ayu di ranjang, aku menyelimutinya. Lalu kami pun keluar dari kamar Ayu dan beristirahat di kamar kami.***Hari ini Mas Irfan sudah berangkat sedari subuh, memang setiap akhir bulan, Mas Irfan akan pulang ke kampung untuk mengurus pembayaran gaji para pekerja yang membantu mengurus perkebunan dan peternakan milik mertuaku.Aku tidak keberatan dengan apapun yang dilakukan Mas Irfan. Terkadang aku dan Ayu juga ikut Mas Irfan pulang ke kampung halamannya, tapi jika setiap bulan kami ikut, aku kasihan jika nanti Ayu kecapekan.Matahari sudah mulai meninggi, aku pun bergegas mengumpulkan baju-baju kotor yang akan aku cuci. Aku masih mencuci menggunakan tangan, tidak seperti Mbak Santi yang mencuci dengan mesin cuci yang dibelinya setelah menikah dengan Mas Doni.Aku memasukkan semua baju-baju yang sudah aku pisahkan ke dalam bak dan mengisinya dengan air. Setelah air penuh aku menuangkan deterjen bubuk. Aku bermaksud merendamnya sebentar agar kotoran-kotoran di baju mudah dihilangkan."Eh, lagi nyuci, Han?" tanya Mbak Santi dengan kepala menyembul dari balik pagar tembok pembatas antara rumah kami.Letak rumah kami memang berdampingan, halaman belakang pun hanya dibatasi tembok setinggi leher orang dewasa."Iya, Mbak," jawabku singkat, malas menanggapi Mbak Santi."Masih aja nyuci pakai tangan, Han. Minta si Irfan beliin kamu mesin cuci dong, masak beli mesin cuci aja nggak mampu?" ucap Mbak Santi membuat telingaku gatal."Bukan masalah nggak mampu, Mbak. Lagian aku masih sanggup nyuci pakai tangan, Mbak. Nanti kalau Ayu sudah sekolah dan aku kerepotan pasti aku minta pada Mas Irfan untuk dibelikan mesin cuci," jawabku dengan sedikit kesal."Kalau beli jangan yang bekas ya, Han. Belinya yang kayak punyaku, bagus. Tapi Mbak takutnya Irfan nggak mampu beli, mahal harganya, Han," ucap Mbak Santi meremehkan Mas Irfan.Tanganku mengucek baju dengan kasar, aku melampiaskan kekesalanku akibat perkataan Mbak Santi yang meremehkan Mas Irfan."Han ... Jihan, kamu dengar aku nggak sih?" tanya Mbak Santi."Iya-iya, Mbak. Aku dengar dengan jelas," jawabku ketus."Kok jawabnya gitu sih, Han? Nggak sopan banget sama kakak iparnya. Males aku kalau kamu sudah sewot gitu, lebih baik aku siap-siap berangkat arisan di rumah Bu RT." Mbak Santi pun menghilang dari pandanganku.Hatiku benar-benar geram dengan kelakuan Mbak Santi. Kadang-kadang ingin sekali aku memberi pelajaran pada Mbak Santi yang suka mengejekku itu.Setelah selesai mencuci baju, aku berencana untuk berbelanja bahan-bahan untuk membuat kue pesanan Ibu Dina untuk acara nanti malam.Aku bersiap mengganti pakaianku yang basah saat mencuci tadi. Setelah berganti baju, aku mengambil dompetku dan berjalan keluar rumah."Mau kemana, Bu?" tanya Ayu yang sedang bermain di depan halaman rumah bersama temannya."Mau ke toko Bu Inah sebentar, Nak. Ayu mau ikut?" Aku mendekati Ayu dan mengelus rambutnya.Ayu nampak berpikir, sepertinya dia bimbang antara ingin ikut denganku atau meneruskan bermain dengan temannya."Ayu di rumah saja deh, Bu. Kasian Dewi kalau Ayu ikut Ibu," jawab Ayu sembari meneruskan permainannya."Ya sudah, kalau bermain yang rukun, jangan sampai berantem. Ibu pergi belanja sebentar."Ayu membalas ucapanku dengan menganggukkan kepala tanpa melihat ke arahku. Dia sedang asyik bermain dengan Dewi. Aku mengulum senyum melihat mereka bermain.Aku pun bergegas melangkahkan kaki menuju toko Bu Inah. Jarak toko Bu Inah memang tida
Aku memandang lega jejeran kue-kue yang telah selesai aku buat. Aku sudah mengemasnya dengan rapi di dalam kardus.Aku hanya tinggal menunggu Mas Irfan pulang, dan membantuku mengantarkannya ke rumah Bu Dina.Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang, aku belum melaksanakan sholat Dzuhur. Sebelum sholat aku perlu mandi terlebih dahulu, badanku terlalu berkeringat karena kepanasan membuat kue.Aku bergegas membersihkan dapur sebelum mandi, supaya nanti jika Mas Irfan datang aku sudah rapi dan bisa langsung mengantar kue-kue pesanan Bu Dina.Dengan cekatan tanganku membersihkan dapur dari kotoran sisa membuat kue dan merapikan alat-alat dapur. Selang lima belas menit aku pun telah selesai.Setelahnya aku bergegas mandi dan melaksanakan sholat Dzuhur. Masih ada banyak waktu untuk mengantar kue-kue pesanan Bu Dina.Sebelum mandi aku berjalan ke kamar Ayu untuk mengecek Ayu yang sedang tidur siang. Putri semata wayangku itu sedang tidur nyenyak sembari memeluk bonekanya.Selesai mengecek A
"Assalamu'alaikum."Sayup-sayup kudengar suara Mas Irfan mengucapkan salam. Aku segera bangkit melangkah menuju pintu untuk menyambut Mas Irfan."Wa'alaikum salam, Mas," jawabku sembari meraih tangan Mas Irfan dan menciumnya.Nampak Mas Irfan membawakan banyak sekali oleh-oleh dari kampung. Aku segera membantunya membawa masuk ke dalam rumah."Banyak sekali bawaannya, Mas?" tanyaku heran dengan bawaan Mas Irfan yang banyak."Iya, Han. Kata Emak suruh bagiin ke tetangga-tetangga kita," jawab Mas Irfan duduk di kursi setelah memasukkan semua barang yang dibawa olehnya.Aku pun bergegas ke dapur membuatkan teh untuk Mas Irfan. Biasanya aku selalu menyuguhkannya bersama kue yang aku sisihkan, tapi sekarang kuenya tidak tersisa sama sekali karena ulah Mbak Santi.Selesai membuat teh, aku membawanya ke ruang tamu untuk disuguhkan pada Mas Irfan."Tehnya, Mas," ucapku sembari menyodorkan teh pada Mas Irfan.Aku pun duduk di samping Mas Irfan setelah menyuguhkan teh untuknya."Iya, terima kas
"Han, kamu sudah memberikan oleh-oleh dari emak untuk keluarga Mas Doni?" tanya Mas Irfan ketika aku sedang memasak untuk sarapan."Belum, Mas. Rencananya setelah selesai sarapan aja, masih malas aku bertemu dengan Mbak Santi," jawabku membuat Mas Irfan mengulum senyum.Mas Irfan mendekat padaku dan berkata, "Jangan terlalu diambil hati, Han. Memang sudah sikapnya Mbak Santi seperti itu. Kasihan Mas Doni nanti, jika kamu bertengkar terus dengan Mbak Santi.""Tapi kan, Mbak Santi memang sudah keterlaluan, Mas," sanggahku."Ya kamu sebagai adik harus banyak mengalah, Han. Mungkin saja Mbak Santi sedang khilaf," ucap Mas Irfan lembut."Kok, Mas malah belain Mbak Santi, sih. Istrimu itu aku lho, Mas. Jihan bukan Mbak Santi!" sahutku cemberut."Bukannya Mas membela Mbak Santi, Han. Tapi kita sebagai adik juga harus mengalah, agar tidak terjadi pertengkaran antar saudara, Han," terang Mas Irfan."Ah, tau lah, Mas. Pagi-pagi sudah bikin aku sebel dengan belain Mbak Santi," ucapku sembari meny
Aku keluar dari rumah Mas Doni dengan hati jengkel karena ditegur olehnya, mentang-mentang Mbak Santi istrinya dibela-bela terus."Eh, Jihan. Baru dari rumah, ya?" tanya Mbak Santi yang baru saja tiba dengan menaiki motor barunya.Mbak Santi turun dari motor sembari menenteng tas belanjaannya. Kebiasaan, dandan sudah seperti toko emas berjalan. Kalau ada jambret baru tau rasa."Iya," jawabku ketus."Lah, ditanya baik-baik kok jawabnya ketus gitu, Han? Lagi PMS ya?" tanya Mbak Santi sok polos.Aku melengos pergi tanpa menjawab pertanyaan Mbak Santi. Malas banget melihat muka Mbak Santi, apalagi aku baru saja ditegur Mas Doni gara-gara Mbak Santi tukang ngadu."Kok ditanya malah pergi sih, Han?" Suara Mbak Santi masih terdengar bertanya padaku yang sudah hampir sampai di halaman rumahku.Setelah sampai di rumah, aku bergegas masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan Mbak Santi. Sakit hatiku karena Mas Doni sampai menegurku tanpa tau apa alasan semua tindakanku.Mas Doni memang terlalu mem
Selesai mencuci aku duduk di teras sembari menemani Ayu yang sedang bermain pasir di halaman.Sekalian menunggu Mas Irfan pulang dari mengajar. Netraku tak sengaja melihat Indah sedang menggedor-gedor pintu rumah Mbak Santi dengan keras."Ndah," teriakku memanggil namanya.Indah yang mendengar namanya dipanggil menolehkan kepalanya kepadaku, setelah melihatku dia bergegas melangkah ke arahku."Kamu ngapain gedor-gedor pintu rumah Mbak Santi, Ndah?" tanyaku begitu Indah sudah sampai di hadapanku."Lagi nyari Mbak Santi aku, Han," jawab Indah sembari menghempaskan tubuhnya di kursi di sampingku."Memang ada keperluan apa mencari Mbak Santi, Ndah?" tanyaku penasaran.Indah menghela nafas panjang dan menjawab, "Mbak Santi sudah lama nunggak bayar emas-emas yang dia pakai, Han. Aku pusing sekali setiap ditagih selalu ngilang," jawab Indah sembari memijit keningnya.Mataku membulat mendengar apa yang baru saja diungkapkan oleh Indah. Jadi perhiasan yang dipamerkan Mbak Santi selama ini kred
"Bu, Ayu masuk ke dalam dulu, Ayu sudah mengantuk menunggu Ayah tidak pulang-pulang," keluh Ayu sembari membereskan mainannya."Iya, Nak. Ayu tidur saja dulu, Ibu masih menunggu Ayah pulang."Ayu pun melangkah masuk ke dalam rumah, kulihat dia berbelok menuju kamarnya untuk tidur."Han ... Jihan." Suara teriakan Mbak Santi terdengar di telingaku setelah kepergian Indah beberapa menit yang lalu.Aku menolehkan kepala melihat Mbak Santi yang lari menuju ke arahku dengan tergopoh-gopoh."Ada apa, Mbak?" tanyaku begitu Mbak Santi tiba di depanku.Mbak Santi duduk di sampingku sambil mengatur nafasnya setelah berlari-lari."Ada minum nggak, Han? Ambilin minum dong, Han?Mbak haus nih, habis lari-lari," pinta Mbak Santi dengan entengnya.Aku hanya melongo mendengar apa yang diucapkan Mbak Santi. Bisa-bisanya dia main perintah saja. Baru juga datang sudah merepotkan, siapa suruh lari-lari segala. Dengan cemberut aku bangkit dari duduk untuk mengambilkan air minum Mbak Santi.Aku melangkah de
"Jadi kamu bertengkar lagi dengan Mbak Santi, Han?" tanya Mas Irfan setelah aku menceritakan semua yang terjadi.Kami sedang duduk bersantai di atas ranjang untuk beristirahat di dalam kamar. Kamar yang hanya berisi satu lemari pakaian yang tak terlalu besar, hanya untuk menyimpan baju-baju kami dan sebagian barang-barang penting lainnya, termasuk berbagai perhiasan pemberian emak.Setiap musim panen, emak selalu memberikan aku satu set perhiasan. Tapi aku jarang sekali memakainya, kadang aku malah merasa risih jika memakai perhiasan. Katakanlah aku aneh, memang kenyataannya seperti itu.Aku tidak seperti Mbak Santi yang gemar dengan kemewahan. Dari dulu aku lebih suka hidup sederhana seperti Mas Irfan."Iya, Mas. Aku sudah tidak bisa menahan diri kalau Mbak Santi sudah menghinamu, Mas. Aku tidak rela jika Mbak Santi terus meremehkanmu, aku sudah kadung emosi mendengar Mbak Santi berbicara seperti itu."Mas Irfan nampak menghela nafas, aku tahu kalau aku salah karena tidak bisa menaha
Tak terasa beberapa bulan berlalu, sebentar lagi bulan Ramadhan telah tiba. Mas Irfan berencana mengajak kami pindah ke rumah Emak menjalani puasa Ramadhan bersama Emak dan Bapak. Semua keperluan sudah Mas Irfan urus termasuk kepindahannya mengajar di kampung Emak.Aku sedikit lega karena bisa menemani Emak dan Bapak di hari tuanya. Sungguh jauh dari orangtua rasanya tidak enak, apalagi kami tidak punya saudara lagi selain Mas Doni yang sekarang tidak tahu kemana perginya.Sejak rumahnya terjual, aku tidak pernah bertemu Mas Doni ataupun Mbak Santi, seolah mereka menghilang ditelan bumi.Saat bertemu dengan adik Mbak Santi pun aku sudah bertanya padanya, tapi dia juga tidak tahu kemana perginya kakak perempuannya itu.Aku dan Mas Irfan ingin sekali bertemu dengan mereka, kami ingin meminta maaf sembari berpamitan untuk tinggal di rumah Emak seterusnya. Kami khawatir, jika kami sampai tidak diberi kesempatan untuk bertemu dengan Mas Doni dan Mbak Santi lagi.Mungkin setelah ini kami ti
"Kenapa baru mengaku saudara saat dalam keadaan susah, Mbak? Kemana saja dari dulu tidak pernah adil padaku?" Aku sudah tidak bisa lagi menahan amarah.Mbak Santi hanya diam saja mendengar pertanyaanku, tapi aku lihat raut wajahnya nampak memerah."Sudah cukup selama ini aku sudah berbaik hati pada keluargamu, Mbak. Lebih baik sekarang jangan menggangguku lagi," tambahku."Kamu tega, Han. Padahal saudaramu sedang butuh bantuanmu, kamu malah menutup mata dari penderitaan kami," ucap Mbak Santi."Mbak, bukankah kalian sendiri yang sudah membuat aku seperti ini? Kalian yang selalu meremehkan aku dan juga Mas Irfan, kan? Jadi selesaikan saja masalah kalian sendiri, jangan meminta bantuan pada orang yang kalian remehkan.""Jangan tidak punya hati seperti ini, Han," desis Mbak Santi."Apa kamu bilang, Mbak? Bukannya kalian yang tidak punya hati? Sudah lupa dengan semua yang kalian lakukan pada keluargaku?" tanyaku dengan suara meninggi."Tapi kami itu kakakmu, Han. Sudah sepatutnya kamu men
"Minumlah, Mbak," ucapku sembari menyodorkan teh hangat untuk Mbak Santi.Mbak Santi pun menerima gelas yang telah aku sodorkan dan meminumnya hingga habis. Penampilan Mbak Santi sungguh kacau, wajahnya sembab dengan mata yang membengkak karena terlalu banyak menangis."Ada apa ke rumahku, Mbak?" tanyaku pada Mbak Santi.Mbak Santi terdiam mendengar pertanyaanku, kulihat dia nampak ragu ingin berbicara padaku. Aku pun hanya diam menunggu Mbak Santi berbicara."Han, bolehkan aku meminta pertolongan darimu?" tanya Mbak Santi lirih.Aku mengernyitkan kening heran dengan apa yang ingin Mbak Santi ungkapkan sebenarnya. Memangnya dia mau minta tolong apa lagi, jika masalah uang, bukankah hasil penjualan tanah kemarin aku tidak meminta sama sekali?"Tergantung, Mbak. Katakan dulu apa yang ingin Mbak Santi mintai tolong," jawabku.Mbak Santi hanya diam mendengar jawabanku yang terkesan dingin. Jujur aku tidak tega melihat Mbak Santi dalam keadaan menyedihkan seperti itu. Tapi aku juga ingin
"Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya pembangunan Masjidnya sudah selesai. Aku jadi lebih tenang sekarang karena Masjidnya sudah mulai berfungsi dan banyak yang meramaikannya," ucapku pada Mas Irfan saat kami sedang dalam perjalanan pulang dari Masjid.Kami baru saja mengantar sumbangan karpet dan juga berbagai macam keperluan Masjid lainnya dari para warga. Semua warga sangat antusias untuk menyumbang keperluan Masjid yang lainnya."Iya, Han. Aku juga lega sekali, paling tidak kita bisa menggunakan harta kita di jalan yang benar.Semoga saja segala lelah kita menjadi berkah, Han," sahut Mas Irfan."Aamiin Allahuma Aamiin, iya Mas. Terima kasih sudah mau mengabulkan keinginanku, Mas.""Jangan berterima kasih, Han. Apa yang kamu inginkan selama aku mampu, tentu akan aku kabulkan, Han," ucap Mas Irfan.Ah, Mas Irfan sungguh manis sekali. Aku jadi senyum-senyum sendiri dibuatnya. Untung saja Ayu sedang berada di rumah Emak, kalau tidak Ayu pasti akan mengajukan banyak sekali pertanyaan padaku
Satu minggu setelah aku mendapat kejutan dari Mas Irfan, kehidupanku berlangsung damai. Aku tak lagi bertemu dengan Mas Doni ataupun Mbak Santi, mungkin mereka sedang menikmati uang hasil pernjualan tanah kemarin.Aku tak lagi memusingkan apa yang mereka lakukan, jika mereka menyadari kesalahan mereka dan mau meminta maaf dengan tulus, aku akan memberi kesempatan pada mereka, tapi jika tidak pun tidak mengapa. Yang penting aku sudah mengikhlaskan apa yang mereka lakukan padaku.Sekarang tanah bekas toko itu masih belum aku pergunakan untuk apapun, tapi aku punya rencana sendiri untuk mengelolanya, aku ingin meminta ijin kepada Mas Irfan supaya tanah peninggalan orangtuaku itu dibangun Masjid saja. Daripada bingung untuk apa, lebih baik dibangun Masjid supaya bisa berfungsi dengan baik."Mas, boleh tidak tanah yang Mas beli dibangun Masjid saja?" tanyaku setengah ragu-ragu.Mas Irfan menoleh padaku, mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dia baca, aku menunduk tidak berani meli
Aku sudah lama sekali menangis setelah pulang dari rumah Mas Doni hingga kedua mataku membengkak. Hatiku remuk redam karena Mas Doni dan Mbak Santi yang sudah seenaknya.Aku beranjak bangun dari ranjang, bangkit untuk melangkah menuju ke kamar mandi untuk membasuh mukaku. Sebentar lagi Mas Irfan pulang, aku tidak mau kalau sampai dia melihatku habis menangis.Belum jauh langkahku dari ranjang, pintu kamar sudah terbuka oleh Mas Irfan. Aku pun terkejut dibuatnya."Kamu kenapa, Han?" tanya Mas Irfan yang sudah masuk ke kamar.Aku panik melihat Mas Irfan sudah pulang, aku buru-buru menyembunyikan wajahku yang habis menangis.Mas Irfan pun mendekat padaku, dipegangnya tanganku dengan lembut."Aku tahu apa yang membuatmu sampai seperti ini, Han. Sabarlah, Han, InsyaAllah yang menjadi hak kita akan kembali pada kita apapun yang terjadi," ucap Mas Irfan mencoba menenangkanku.Aku mengernyitkan kening tidak mengerti apa maksud ucapan Mas Irfan. Dan dari mana Mas Irfan tahu apa yang sedang aku
"Tapi aku yang sudah menjalankan toko selama ini, jadi wajar saja jika aku yang mendapatkan keuntungan toko lebih banyak, Han."Mas Doni tetap saja tidak mau mengaku salah sudah tidak adil padaku. Aku menggelengkan kepala tidak percaya dengan sikap Mas Doni. Inikah sebenarnya sifat dari Mas Doni yang tidak aku ketahui? "Aku juga berhak menjalankannya, Mas! Tapi aku tidak pernah meminta untuk menjalankannya karena memikirkanmu! Karena kamu tidak punya pekerjaan lain lagi selain menjalankan toko tersebut, aku mengalah karena aku tidak mau kamu berada dalam kesusahan," seruku dengan suara sedikit meninggi.Mas Doni nampak terperanjat mendengarku bersuara tinggi. Dia pasti tidak mengira bahwa aku berani padanya. Mulai sekarang aku tidak akan mengalah lagi, aku pasti akan meminta kembali hakku.Biarlah aku dikatakan sebagai saudara yang kejam, aku sudah lelah sekali hanya diam saja menerima perlakuan semena-mena mereka."Aku akan tetap menjual tanah itu, terserah kamu mau setuju ataupun t
Aku kembali masuk ke dalam Bank begitu Mbak Santi sudah beranjak pergi. Dalam hati aku bertanya-tanya tentang apa yang aku lihat tadi. Aku tidak bisa menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.Untuk apa sebenarnya Mas Doni sampai mempunyai hutang di Bank? Kalau hanya hidup untuk berdua saja tentu tidak perlu melakukannya, kan? Otakku berpikir keras meraba kemungkinan-kemungkinan yang telah terjadi. Akan tetapi semakin aku pikirkan, aku semakin pusing saja.Daripada aku semakin pusing lebih baik nanti aku tanyakan langsung saja pada Mas Doni, bagaimanapun juga aku masih berhak atas tanah tersebut jika akan dijual. Karena kami memang belum membaginya secara adil.Mungkin setelah pulang dari sini aku akan langsung meminta penjelasan dari Mas Doni. Aku tidak mau jika Mas Doni sampai menjual tanah peninggalan orangtua kami begitu saja. Banyak sekali kenangan yang tersimpan di sana.Biarlah hubungan kami semakin buruk, yang penting aku tidak rela jika sampai Mas Doni melakukan hal yang aku
"Kamu kenapa, Han?" tanya Mas Irfan ketika kami sedang makan siang bersama setelah Mas Irfan pulang kerja.Aku tersadar dari lamunanku yang masih memikirkan kondisi toko tadi pagi. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Mas Irfan, tapi aku takut jika Mas Irfan menjadi banyak pikiran karena aku."Tadi sewaktu aku melihat kondisi toko, aku bertemu dengan Mas Doni, Mas." Akhirnya aku pun mulai cerita, Mas Irfan tidak akan suka jika aku menyembunyikan sesuatu darinya. Lebih baik aku menceritakan padanya sekarang daripada nanti Mas Irfan mendengar dari orang lain lagi."Lalu bagaimana, Han?" tanya Mas Irfan."Emm ... Mas Doni marah-marah padaku, Mas. Dia mengira aku senang melihat dia tertimpa musibah," jelasku."Astaghfirullah, kenapa bisa begitu, Han?" Mas Irfan geleng-geleng kepala nampak heran dengan sikap Mas Doni."Aku juga tidak tahu, Mas. Aku tidak tahu kenapa Mas Doni bisa segitu bencinya padaku. Padahal aku juga selalu mengalah padanya, Mas. Aku tidak mengerti kenapa dia bis