Luna beserta beberapa orang yang ikut ke kantor polisi tiba di gedung tinggi pencakar langit, sekitar pukul tiga sore. Reza yang mendengar cerita dari beberapa orang tentang sang Bos yang diserang oleh Andrew membuat Reza cemas dan menunggu di depan ruang kerja Luna. Sampai akhirnya, Luna bersama sekretarisnya tiba di lantai 7 tempatnya berkantor, sedangkan Reza sendiri bersama beberapa staf bagian marketing berada di lantai 8.
“Sore Bu Luna, bagaimana kondisi Ibu?” tanya Reza berdiri dari kursi yang berada di depan ruang kerja Luna.“Baik,” ucap Luna singkat.“Syukurlah..., untung saja saya nggak jadi menghubungi Pak Subroto. Karena beberapa kali saya hubungi Ibu nggak di angkat,” ujar Reza selaku HRD pada perusahaan tersebut.“Pak Reza, lain kali jangan punya pikiran untuk hubungi Pak Subroto..., Bapak tau sendiri kan, kondisi Pak Subroto lemah,” pinta Luna tanpa memandang ke arah Reza masuk ke dalam ruang kerjanya.Tak lama kemudian, sekretaris Luna yang ikut masuk ke ruang kerja Luna memanggil HRD dan sekuriti yang masih berada di depan ruang kerja Luna.Kedua lelaki yang bekerja pada perusahaan tersebut pun, masuk ke dalam ruangan kerja Luna yang telah tampak rapi. Karena usai penetapan tersangka dan garis polisi dilepas, cleaning service merapikan ruang kerja yang agak berantakan usai terjadi peristiwa di dalam ruangan tersebut.“Silakan duduk,” pinta Luna dari meja kerjanya mempersilakan kedua stafnya duduk pada bangku khusus tamu.Setelah itu, Luna beranjak dari tempat duduknya berjalan menuju ruang tamu pada ruang kerjanya dan duduk di sofa tunggal bagian tengah. Sementara, sekretaris Luna, menyiapkan minuman untuk ketiganya setelah itu keluar dari ruangan tersebut untuk menghubungi beberapa kolega yang batal bertemu dengan Luna, selalu CEO perusahaan tersebut“Baiklah..., di sini akan saya sampaikan pada Pak Imron, untuk lebih berhati-hati lagi menerima tamu yang akan bertemu dengan saya. Jadi, mulai sekarang ... Setiap tamu harus menyerahkan kartu identitas diri. Lalu, hubungi sekretaris saya. Jangan biarkan tamu tersebut masuk sebelum ada konfirmasi kepastiannya. Paham yaa?” tanya Luna memandang ke arah Reza selaku HRD dan Imron selaku sekuriti.“Siap Bu,” jawab Imron sambil menganggukkan kepalanya. Begitu juga dengan Reza.“Untuk Pak Reza, tolong dibuatkan aturan baru untuk penerimaan tamu pada setiap bagian,” perintah Luna pada HRD.“Siap Buu...,” jawab Reza kembali.Tak lama kemudian, terdengar dering ponsel Luna yang diletakkan di meja kerjanya. Luna meninggalkan tempat duduknya dan melangkah panjang menuju meja kerjanya dan meraih ponselnya. Terlihat nama Subroto pada bagian depan layar ponselnya. Kemudian, Luna pun menjawab panggilan tersebut.“Halo ... Pa...,” sapa Luna pada sambungan ponselnya.“Luna, apa yang terjadi sama kamu? Tadi Om kamu cerita, kalau lelaki jahanam itu ke kantor dan buat keributan di sana. Apa kamu baik-baik saja?” tanya Subroto dalam sambungan telepon dengan intonasi panik dan terdengar suaranya tampak melemah.“Luna baik-baik aja, jadi Papa tenang aja..., malah sekarang ini Luna sama Pak Reza dan sekuriti lagi membahas masalah keamanan di kantor,” tutur Luna meyakinkan Subroto yang terdengar panik atas kondisi dirinya.“Oh, syukurlah..., apa bisa Papa bicara dengan Reza sebentar?” tanya Subroto berbicara dengan suara pelan.Mendengar permintaan Subroto, Luna memberikan ponselnya pada Reza yang duduk bersebelahan dengan Imron.“Pak Reza, ini Pak Subroto mau bicara,” ujar Luna memberikan ponselnya. Setelah itu, Reza pun berbicara dengan Subroto dalam sambungan ponsel Luna.“Sore Pak, apa kabar?” sapa Reza.“Reza..., aku saat ini sedang menuju rumah sakit bersama Dicky. Tapi ... Tolong jangan katakan hal ini pada Luna, karena aku kasihan pada dia yang baru merasakan shock berat. Apalagi saat ini aku merasa bagian pinggangku terasa sangat sakit. Tolong, segera temui aku di rumah sakit Bhakti Rahayu,” ujar Subroto pelan.“Baik Pak...,” jawab Reza menutup ponsel tersebut dan memberikannya pada Luna.Setelah itu, Reza yang diminta untuk tidak mengatakan pada Luna atas sakitnya Subroto dan sedang dibawa ke rumah sakit, mematuhi permintaan sang bos besarnya. Kemudian lelaki tampan itu, meminta izin pada Luna untuk keluar dari ruang kerjanya.“Maaf Buu ... Saya permisi dulu. Ada pekerjaan penting yang harus saya kerjakan,” izin Reza sembari melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.“Silakan Pak Reza. Tolong nanti segera buat peraturannya. Biar saya bisa lihat dan kalau perlu di revisi agar bisa secepatnya di revisi,” pinta Luna.Setelah itu Reza pun beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari ruang kerja Luna. Dan dengan berlari kecil Reza menuju lift untuk membawanya ke lantai dasar.Sesampai di Lobby, Reza tergesa-gesa keliar dari pintu kaca menuju tempat parkir. Sesaat kemudian, mobil yang dikendarai oleh Reza pun keluar dari area gedung bertingkat 21 menuju rumah sakit Bhakti Rahayu.Selama dalam perjalanan, Reza selalu berdoa dan berharap kalau keluhan Subroto atas bagian pinggangnya yang sangat terasa sakit itu, bukan suatu penyakit yang mematikan. Karena, selama ini Subroto telah begitu banyak membantu kehidupan Subroto dan keluarganya.Satu jam kemudian, Reza pun sampai di rumah sakit Bhakti Rahayu dan mencari Subroto yang tengah ditangani di ruang UGD ditemani oleh Dicky yang menjadi ajudannya sejak Subroto menjabat sebagai CEO dari perusahaan yang saat ini dipegang oleh Luna.“Bagaimana Pak? Apa semua baik-baik saja?” tanya Reza saat bertemu dengan Subroto.Dengan wajah pucat, Subroto pun berucap, “Semua tidak baik-baik saja Reza. Hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan aku gagal ginjal. Maka aku harus melakukan cuci darah terus menerus,” urai Subroto dengan suara lemah.“Ya Allah...,” ucap pelan Reza dengan wajah sedih memegang tangan Subroto yang telah berjasa bagi kehidupan keluarga mereka.***Selama tiga bulan, Subroto bolak balik ke rumah sakit untuk menjalani cuci darah dan mencari donor ginjal yang cocok dengannya. Walaupun Luna ingin mendonorkan ginjalnya, namun tidak ada kecocokan dengan Subroto sehingga, Luna yang mengetahui kondisi Subroto yang kian melemah kian kuatir atas jiwa papanya.“Papa..., kita coba berobat keluar negeri saja ya?” bujuk Luna pada saat Subroto harus masuk ruang ICU untuk ke sekian kalinya.“Sayang..., Papa nggak mau wafat di luar negeri. Biar Papa tetap di sini,” lirih Subroto.“Papa ... Jangan bicara seperti itu. Jangan tinggalkan Luna, Pa...,” tangis Luna saat melihat kondisi Subroto yang kian melemah.Lalu, di saat kondisi Subroto kian melemah, lelaki berusia 60 tahun itu pun, berbicara pada putrinya dengan suara lemah.“Luna ... Papa ingin melihat kamu menikah, sayang. Papa ingin ada lelaki baik yang kelak akan melindungi kamu dan Papa juga ingin kelak, ada penerus atas apa yang ” ucap Subroto lirih.“Papa ... Bagaimana Luna bisa menikah? Sampai saat ini aja Luna belom punya teman dekat. Luna juga takut kalau sampai salah memilih,” ujar Luna di antara tangisnya.Lalu, di antara sadar dan tidaknya, Subroto yang masih di ruang ICU pun, berucap pada putrinya, “Luna..., apa kamu keberatan jika menikah dengan Reza? Memang Reza telah beristri. Tapi, kalau saja istrinya setuju Papa ingin dia jadi pendamping hidup kamu. Papa lihat, dia adalah lelaki baik, Luna. Kelak kamu akan punya anak yang baik juga, karena bibit kebaikan Reza akan menjadikan anak-anak kalian baik juga.”Mendengar permintaan Subroto yang tak masuk akal, Luna hanya terdiam. Luna berpikir sangat mustahil jika Reza yang telah beristri dan punya anak akan menerima permintaan papanya. Sekalipun, Luna tahu kalau Subroto sangat baik dan memberi perhatian lebih pada lelaki jujur seperti Reza. Namun, masalah hati tidak akan bisa dibeli, pikir Luna.“Luna ... Jika ternyata Reza menerima tawaran Papa, apa kamu mau menikah dengan Reza?” tanya Subroto kembali.“Ya Pa ... Tapi, Papa harus sehat yaa...,” jawab Luna dalam kebingungan.“Papa janji akan berjuang melawan penyakit ini, asal kamu menikah sayang...,” pinta Subroto kembali.Setelah itu, kesepakatan antara Subroto dan Luna pun terjadi di ruang ICU di saat Subroto sedang berjuang dari kondisi kritisnya. Luna yang yakin jika Reza menolak permintaan Subroto mengiyakan apa yang jadi keinginan papanya. Di samping itu, Luna juga percaya kalau Reza adalah lelaki baik yang telah dipantau selama ini oleh Subroto. Hanya saja yang jadi kendala adalah istri Reza yang belum tentu menyetujui keinginan dari Subroto.Hari ini Reza pulang lebih awal usai menjenguk Subroto yang kini berada di rumahnya untuk menjalani cuci darah atas penyakitnya. Terlihat, wajah Reza tampak bermuram durja, sehingga membuat Amrita, istri Reza bertanya-tanya tentang kondisi Subroto.“Gimana kondisi Pak Subroto, Mas?” tanya Amrita kala Reza telah kembali dari Rumah Subroto.Amrita mengikuti langkah suaminya, Reza hingga masuk ke dalam meja makan. Terlihat Reza duduk dan menuangkan segelas air putih dan meneguknya hingga tandas.“Rita, kondisi pak Subroto sudah sangat parah. Menurut dokter nggak ada kemungkinan bertahan. Untungnya masih bisa dilakukan cuci darah,” jawab Reza menatap wajah istrinya.“Ya Allah, kasihan sekali ... mana anak gadisnya belum menikah,” cicit Amrita.Terlihat Reza menarik napas dalam dan memandang lurus ke wajah Amrita. Ada kegelisahan menyelinap dari gerakan tubuhnya dan beberapa kali netranya menerawang jauh.“Mas, ada apa lagi? Sepertinya ada yang mau Mas katakan, katakanlah,” pinta Amrita me
Seminggu kemudian, usai Reza meyakinkan hatinya dan hati Amrita untuk menerima Luna menjadi madunya, mereka berdua pun mengunjungi Subroto di rumah sakit usai menjalani cuci darah yang dilakukan seminggu sekali.“Pagi Pak, gimana kondisi Bapak hari ini?” tanya Reza berdiri di hadapan Subroto, sementara Amrita berdiri di belakang Reza.“Sama saja seperti kemarin, Za ... siapa wanita yang ada di belakangmu? Istrimu?” tanya Subroto dengan pandangannya yang telah tidak jelas.Reza meraih pundak Amrita. Lelaki tampan itu pun mengenalkan Amrita yang selama ini tidak dikenal oleh Subroto, tetapi wanita cantik itu mengenal Subroto pada saat ikut dalam kegiatan ulang tahun perusahaannya. Hingga, Amrita juga tahu, seperti apa cantiknya Luna Subroto.“Ini istri saya, Amrita. Seperti yang Bapak minta, saya membawa istri saya menemui Bapak.”Amrita maju ke depan dan mencium punggung tangan lelaki tua yang telah tampak lemah, sebagai rasa hormat.“Saya Amrita ... Sehat ya, Pak,” sapa Amrita terseny
Seminggu kemudian, malam sebelum pernikahan yang akan dilakukan oleh Reza esok hari, lelaki itu masih tidur bersama Amrita. Seorang wanita yang telah selama 22 tahun menemaninya dan memberikan dua orang anak yang sangat mereka cintai.“Rita ... Besok ikutlah ke rumah pak Broto. Entah mengapa hatiku begitu gelisah. Aku berpikir, karena kamu belum mengikhlaskan aku,” bujuk lembut Reza seraya memeluk tubuh istrinya.“Aku sudah ikhlas, Mas. Mungkin ini adalah jalanku menuju surga, mengikuti keinginan suamiku,” ujar Rita masih membenamkan kepalanya dalam pelukan Reza.“Sayang..., tolong datanglah. Nggak ada seorang pun yang akan menghinamu saat merelakan aku bersama wanita lain. Semua orang akan berdecap kagum. Aku sangat bersyukur mempunyai wanita sehebat kamu, Rita,” ungkap hati Reza sembari membujuk Amrita untuk datang di pernikahannya.Dengan berlinang air mata, Amrita melepaskan seluruh kegundahan hatinya pada lelaki yang selama ini dicintanya.“Mas, aku takut ... suatu saat Mas akan
Sesampai di ruang UGD, dokter bertindak cepat dengan memberikan pertolongan pertama usai mendengar sekilas perihal hilangnya kesadaran Reza.“Dokter tolong selamatkan suami saya ... tolong dokter ... hikss...,” pinta Amrita dalam tangisnya dengan wajah penuh air mata, hingga maskara dan make up yang digunakan berantakan.Sementara, Luna masih terlihat cantik. Terlihat wanita cantik itu mengamati cara dokter melakukan pemeriksaan pada Reza. Wanita cerdas itu pun, berkata pada dokter yang baru saja melakukan tindakan pertama atas diri Reza.“Dokter apakah suamiku kena serangan jantung?” tanya Luna menatap lekat pada dokter yang berada disisi Reza.“Benar Buu, bapak Reza terkena serangan jantung. Maaf, apa ini suami Ibu?” tanya dokter yang memandang ke arah Amrita yang juga masih menangis.“Iya ini suamiku..., sekarang apa tindakan dokter untuk membuat suamiku sadar” tanya Luna memandang serius pada dokter yang baru saja menempelkan alat pendeteksi jantung.“Baru saja saya memberikan sun
Sampai akhirnya, setelah dua belas jam kemudian kala waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, seorang perawat keluar dari ruang ICU memanggil keluarga Reza.“Keluarga pasien Reza, apa ada disini?” tanya seorang perawat lelaki menatap ke arah beberapa orang yang juga menunggu keluarga mereka di depan ruang ICU.“Ya, aku keluarga pak Reza,” sahut Luna berdiri dan berjalan menuju pintu ruang ICU.Luna masuk ke dalam ruang ICU seorang diri, ketika Amrita dan kedua anaknya pulang ke rumah untuk membersihkan diri dan mereka berencana akan menginap di rumah sakit bersama, sekalian membawa pakaian Reza yang diperkirakan akan menjalani operasi jantung esok hari, setelah di diagnosis mempunyai penyakit jantung koroner.Luna yang telah pulang lebih dahulu untuk membersihkan diri dan menemani Subroto pulang untuk beristirahat di rumah, kembali pukul sembilan malam. Setelah itu, Amrita izin pada Luna untuk pulang ke rumahnya dan meminta wanita cantik itu, menunggu di ruang tunggu ICU hingga ia dan k
Luna yang ditolak mengikuti acara tahlilan di hari pertama hingga hari ke tiga oleh putri kesayangan Reza, memaksakan diri pergi ke rumah Reza untuk mengikuti acara tahlilan di hari ke tujuh. Tepat pukul enam sore Luna berkendara bersama Syamsul, sopir pribadinya menuju rumah duka untuk mengikuti acara tujuh hari almarhum suaminya. Di dalam perjalanan menuju rumah tersebut, Luna teringat atas cerita sahabatnya yang bernama Arumi, perihal sahabat karibnya yang bernama Cintya telah tiba di Indonesia dua hari lalu, usai melakukan liburan bersama pacarnya. Maka, kesempatan tersebut digunakan oleh Luna untuk menghubungi sahabat karibnya.“Halo! Apa kabar?” tanya Luna pada sambungan telepon.“Baik..., lagi dimana? Di kantor ya?” tanya Cintya menjawab panggilan telepon.“Kagak, gue lagi di jalan. Gue denger dari Arumi, elo udah balik ke Indo?” balik tanya Luna.“Iya, baru dua hari lalu gue balik. Capek jalan-jalan pake tour guide. Mending tour sendiri aja kali, kecuali kita kagak bisa bahasa
Setelah hari ketujuh sejak kematian almarhum Reza, wanita cantik nan cerdas itu memutuskan untuk bekerja seperti biasa. Luna ingin melupakan semua kesialan yang menimpanya. Bahkan, desas-desus kematian Reza usai menikahi Luna masih menjadi gosip yang belum sepenuhnya diyakini sebagai berita yang akurat. Beberapa karyawan menanggapi hal itu sebagai kabar burung saja. Sementara Siska sang sekretaris yang setiap hari selalu bersama Luna saja sama sekali tidak mengetahui kebenaran atas berita tentang sang CEO cantik tersebut, kala tujuh hari lalu membatalkan seluruh pertemuan dengan koleganya dan menjadwal ulang rapat intern yang biasa dilakukan Luna. Dan pembatalan itu bersamaan dengan kematian almarhum Reza yang telah berjalan selama tujuh hari.Seperti saat ini, saat Siska berada di Pantry yang berada di lantai 7, ada salah seorang staf langsung bertanya pada Siska, mengenai berita burung yang semakin santer terdengar.“Mbak Sis..., si bos udah mulai masuk kerja ya?” tanya Emil seoran
Usai Siska keluar dari ruangan tersebut, Luna dan Devan terdiam kembali. Kemudian, Luna meraih cangkir kopinya seraya menawarkan teh yang telah di sajikan Siska di depannya.“Minumlah...,” pinta Luna seraya menyeruput kopi yang ada di tangannya dengan sesekali meniup-niupkan uapnya. Setelah Devan meletakkan teh yang telah diminumnya kembali, Luna membuka percakapan di antar mereka.“Dev, waktu aku ke rumah kemarin ... Aku sudah tegaskan kalau aku sama sekali nggak akan menuntut atas apa pun. Itu hanya perjanjian konyol yang dibuat papaku dan almarhum papa kamu. Jadi abaikanlah. Apa pun, yang telah papa kamu terima dari keluargaku adalah sebagai wujud kesetiaannya pada keluarga kami,” jelas Luna menatap lelaki tampan yang juga menatapnya saja wanita dewasa nan cantik jelita berbicara.Dengan menelan salivanya, lelaki tampan dengan wajah maskulin itu angkat bicara, “Bu Luna..., kesepakatan yang dibuat itu, kesepakatan antara Bu Luna dengan orang yang kini telah wafat. Jadi, apa yang di
Regina yang punya rencana untuk mempertemukan Devan dan Silvi, tampak telah berdandan rapi. Regina keluar dari kamarnya dan mengetuk pintu Devan.Tok ... Tok ... Tok ...“Kak Devan ... Kak, jadi kita keluar kan? Kak...,” panggil Regina diluar kamar Devan.Tidak mendapat tanggapan dari sang kakak, membuat Regina membuka pintu kamar Devan dan mendapati sang kakak tertidur pulas hingga Regina pun membangunkan Devan.“Kakak! Bangun...! Gimana sih..., ngomongnya mau jalan keluar,” rajuk Regina mengguncang-guncangkan tubuh Devan.Dengan memicingkan matanya dan menggeliat kan tubuhnya Devan memandang ke arah sang adik yang duduk disisi tempat tidurnya dan bertanya padanya. “Ada apa sih, Gina...”“Tadi Kakak ngomong mau jalan keluar. Ayolah Kak..., sekarang udah jam 6 sore. Cepatlah Kak...,” ujar Regina memandang wajah tampan sang kakak yang sesekali menguap.“Udahlah besok aja Gina..., Kakak lagi malas nih,” jawab Devan menolak ajakan adiknya.Mendengar jawaban Devan jelas membuat Regina pan
Devan yang pulang ke rumahnya, disambut oleh Amrita dan diberondong oleh banyak pertanyaan perihal hubungan putranya dengan Luna yang kini telah hamil.“Gimana kondisi Luna, Devan...? Apa dia baik-baik aja? Apa dia muntah-muntah?” Tanya Amrita ketika melihat Devan dan duduk di meja makan.“Luna baik Ma. Dia sudah pulang ke rumahnya. Hmmm..., sepertinya dia ingin tenang dan katanya Dev nggak usah ke rumahnya. Kalau ada apa-apa nanti dia yang akan hubungi Devan,” ucap Devan terdengar sedih.“Kok begitu? Apa dia marah sama kamu? Bukankah selama ini kamu terus yang menjaga dia?” tanya Amrita.“Dia nggak marah. Mungkin ingin lagi sendiri aja...,” jawab Devan kembali.Amrita menganggukkan kepalanya sementara adik Devan yang bernama Regina, menyambut kedatangan sang kakak ke rumah dengan bahagia karena, Regina yang sejak awal tidak setuju sang kakak menikahi Luna, diam-diam mencuri nomor telepon Silvi dan beberapa kali bertemu di luar dengan teman kampus kakaknya. Bagi Regina, Luna adalah p
Luna berjalan menuju kamar Subroto. Perlahan Luna membuka pintu kamar sang papa. Terlihat Dicky sang ajudan duduk pada sebuah kursi di sebelah tempat tidur Subroto. Dengan langkah pelan, Luna menghampiri Dicky yang terlihat tertidur dalam duduknya. Namun, saat Luna kian mendekati tempat tidur Subroto, secara refleks Dicky langsung berdiri dan sigap memandang ke arah langkah Luna yang perlahan.“Maaf Non Luna, saya pikir siapa,” tutur Dicky mengangguk kecil dan menarik kursi yang tadi didudukinya saat berada di sisi Subroto.“Gimana kondisi Papa, Pak?” tanya Luna menatap lurus pada Subroto yang menggunakan selang oksigen dan terlelap dalam tidurnya.“Dua hari ini Tuan agak sesak napas. Sepertinya Tuan terlalu berpikir keras atas diri Nona. Semalam sama sekali Tuan tidak bisa tidur. Karena itu, mengalami sesak napas.” Dicky melaporkan kondisi Subroto.Luna yang melihat kondisi Subroto kian melemah duduk di sisi tempat tidur sang papa dan memegang jemari tangan yang kian tak berisi denga
Hari ini adalah hari terakhir, Luna berada di rumah sakit. Wanita cantik yang tengah hamil muda itu telah pulih dan sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Devan dengan keluguannya bertanya pada Luna.“Luna, lebih baik kamu jangan turun dari tempat tidur. Aku takut terjadi sesuatu hal dengan dirimu,” pinta Devan.“Dev, santai aja. Kalau infus ditangan sudah dilepas berarti aku udah bisa jalan dan semua akan baik-baik saja,” ucap Luna yang bangun dari tempat tidur.Namun saat kaki jenjangnya akan menyentuh tanah, Devan lalu mencegahnya, “Stop. Kamu mau kemana? Luna ... Serius aku nggak akan membiarkan kamu jalan kemana pun.”“Ya ampun Dev. Aku mau ke kamar mandi. Aku udah diperbolehkan jalan. Udah, kamu tenang aja,” jawab Luna tetap menurunkan kakinya.Namun, tiba-tiba Devan meraih tubuh Luna dan membawanya ke kamar mandi di rumah sakit tersebut dan meletakkan wanita cantik tersebut tepat di depan kloset kamar mandi.“Dev! Kamu ini terlalu lebay!” sungut Luna saat Devan telah menurunkann
Setelah dua minggu berlalu, Luna yang tengah mengisi waktu dengan kedua sahabatnya, Arumi dan Cyntia di sebuah pusat perbelanjaan terbesar itu tiba-tiba terkulai lemah, hingga membuat dua orang sekuriti untuk membopong tubuh Luna, yang tampak antara sadar dan tidak serta nyaris ambruk jatuh ke lantai Mal tersebut. Untung saja seorang lelaki muda dan menyadari Luna yang terjatuh, secara refleks meraih tubuh Luna dan menahannya untuk tidak sampai terjerembap ke lantai Mal tersebut. Seketika suasana Mal yang ramai pengunjung tersebut ramai. Dan salah seorang pengunjung lainnya yang baik memberitahu sekuriti di Mal tersebut hingga mereka dengan cepat tanggap mengevakuasi tubuh Luna yang lemas.“Pak! Tolong bawa ke Lobby! Sekarang saya akan ambil mobil!” teriak Arumi meminta tolong dan berlari menuju lift untuk ke tempat parkir mobil.Sementara Cyntia memegang tas Luna dan mengikuti langkah kedua orang sekuriti dan seorang anak muda yang membantu Luna saat akan terjatuh menuju lift dengan
Satu bulan kemudian, Devan pun menepati janji dengan mengemasi pakaiannya ke dalam tas gendong. Kala itu jam baru menunjukkan pukul 6 pagi. Terlihat, Luna masih tertidur nyenyak usai pergumulan hari ketiga puluh antara ia dan Devan. Dan lelaki muda tampan itu memberikan kenikmatan berulang kali hingga jam menunjukkan pukul 2 dini hari.‘Sebaiknya, aku tinggalkan aja sepucuk surat untuk Luna sebagai salam perpisahan terakhirku. Semoga saja, bulan depan Luna hamil,’ bisik Devan dalam hati.[Teruntuk Luna : Terima kasih untuk 30 hari yang indah bersama kamu. Terima kasih untuk bantuannya pada keluargaku. Kelak, aku akan jadi lelaki yang membanggakan keluargaku dan dirimu. Luna, tolong kabari aku jika, akhirnya kamu hamil, harapku]Diletakkannya kertas yang telah ditulisnya di meja rias Luna. Kemudian, Devan keluar dari kamar Luna. Sesampai diluar kamar, dilihat Darsi pembantu di rumah mewah itu tengah membersihkan ruang keluarga. Kemudian Devan bertanya pada pembantu rumah tangga terseb
Sesampai di rumah, Luna yang kesal dengan sikap Devan yang tak jujur padanya langsung masuk ke dalam kamarnya, usai bertandang ke kamar Subroto sang papa yang dilihatnya tengah terlelap. Di dalam kamarnya, Luna sejenak termangu dan memikirkan hubungan yang telah hampir dua minggu berjalan bersama Devan.Dalam hati Luna berbisik lirih, ‘Apa sebaiknya aku lepas aja Devan ya? Uhm..., sepertinya aku harus ikuti cara Cintya untuk punya anak. Bukankah, untuk memiliki anak yang punya karakter baik dan cerdas, tergantung dari benih aku? Seperti yang aku baca, bibit kecerdasan dan kebaikan dari anak yang akan dilahirkan 80 persen, tergantung dari ibunya. Berarti, semua tergantung aku dong? Ya sudahlah ... Setelah, aku bantu lunasi hutang kak Rita. Aku putuskan untuk berpisah dengan Devan.’Tok ... Tok ... Tok ... “Luna ... Luna ...,” panggil Devan dari luar kamar Luna.“Ya, ada apa?” tanya Luna terkejut dengan ketukan pintu dari luar kamarnya.“Luna, tolong buka pintunya. Aku mau bicara,” pin
“Kak ... Tunggu! Kak!” Pekik kembali wanita muda dengan menghalangi langkah Luna bersama kedua sahabatnya menuju mobil mereka.Arumi dan Cintya yang melihat wanita muda yang sejak awal bersama Devan dan berbicara serius di parkir sepeda motor lelaki tampan itu pun langsung merespons ucapan wanita cantik jelita tersebut.“Awas! Cantik-cantik kok gatel sih? Asal lo tau ya, lelaki yang tadi sama elo, laki teman gue! Paham lo?!” hardik Cintya yang lebih judes dari Luna ataupun Arumi.“Kak, aku paham ... Karena itu, aku mau jelaskan salah paham ini,” ujar wanita cantik itu dengan mencakupkan kedua tangannya memohon waktu pada Luna.“Eh! Nggak usah ya lo menjelaskan apa yang udah gue liat pakai mata kepala kita. Napa sih, elo pakai susah-susah menjelaskan yang usah terlihat? Udah sana jangan halangi langkah teman gue!” sengit Arumi menarik tangan wanita muda yang menghalangi langkah Luna.“Aduh! Sakit kak tanganku...,” keluh wanita muda tersebut memegangi lengannya dan kembali bergeming di
Di sebuah Cafe tempat nongkrong dari beberapa orang yang seluruh bangkunya di isi oleh anak-anak muda dan kaum intelektual muda untuk bercengkerama dan mengobrol, terlihat Luna sedang berbincang bersama kedua sahabatnya dan asyik menyeruput kopi berisi cream. Sudah satu jam lebih mereka bercengkerama dengan tawa yang kadang terdengar dari meja tempatnya mengobrol.Kedua sahabat Luna telah menikah. Hanya saja, suami Arumi menunda untuk memiliki momongan. Sedangkan Cintya masih betah sendiri usai calon suaminya menikahi saudara sepupunya dan patah hati.“Menurut elo berdua gimana nih, gue harus ambil sikap sama si Devan?” tanya Luna memandang kedua sahabatnya.“Menurut gue ya, seperti yang tadi gue omong ke lo. Bisa jadi laki elo itu uda pernah begituan juga sama ceweknya. Kalau denger dari apa yang dia lakuin ke elo, itu mah lelaki yang udah mahir begituan. Kasihanlah cewek itu. Kalau besok cewek itu bunuh diri karena laki elo, bisa-bisa di penjara si Devan,” tutur Cintya serius sembar