Luna berjalan menuju kamar Subroto. Perlahan Luna membuka pintu kamar sang papa. Terlihat Dicky sang ajudan duduk pada sebuah kursi di sebelah tempat tidur Subroto. Dengan langkah pelan, Luna menghampiri Dicky yang terlihat tertidur dalam duduknya. Namun, saat Luna kian mendekati tempat tidur Subroto, secara refleks Dicky langsung berdiri dan sigap memandang ke arah langkah Luna yang perlahan.“Maaf Non Luna, saya pikir siapa,” tutur Dicky mengangguk kecil dan menarik kursi yang tadi didudukinya saat berada di sisi Subroto.“Gimana kondisi Papa, Pak?” tanya Luna menatap lurus pada Subroto yang menggunakan selang oksigen dan terlelap dalam tidurnya.“Dua hari ini Tuan agak sesak napas. Sepertinya Tuan terlalu berpikir keras atas diri Nona. Semalam sama sekali Tuan tidak bisa tidur. Karena itu, mengalami sesak napas.” Dicky melaporkan kondisi Subroto.Luna yang melihat kondisi Subroto kian melemah duduk di sisi tempat tidur sang papa dan memegang jemari tangan yang kian tak berisi denga
Devan yang pulang ke rumahnya, disambut oleh Amrita dan diberondong oleh banyak pertanyaan perihal hubungan putranya dengan Luna yang kini telah hamil.“Gimana kondisi Luna, Devan...? Apa dia baik-baik aja? Apa dia muntah-muntah?” Tanya Amrita ketika melihat Devan dan duduk di meja makan.“Luna baik Ma. Dia sudah pulang ke rumahnya. Hmmm..., sepertinya dia ingin tenang dan katanya Dev nggak usah ke rumahnya. Kalau ada apa-apa nanti dia yang akan hubungi Devan,” ucap Devan terdengar sedih.“Kok begitu? Apa dia marah sama kamu? Bukankah selama ini kamu terus yang menjaga dia?” tanya Amrita.“Dia nggak marah. Mungkin ingin lagi sendiri aja...,” jawab Devan kembali.Amrita menganggukkan kepalanya sementara adik Devan yang bernama Regina, menyambut kedatangan sang kakak ke rumah dengan bahagia karena, Regina yang sejak awal tidak setuju sang kakak menikahi Luna, diam-diam mencuri nomor telepon Silvi dan beberapa kali bertemu di luar dengan teman kampus kakaknya. Bagi Regina, Luna adalah p
Regina yang punya rencana untuk mempertemukan Devan dan Silvi, tampak telah berdandan rapi. Regina keluar dari kamarnya dan mengetuk pintu Devan.Tok ... Tok ... Tok ...“Kak Devan ... Kak, jadi kita keluar kan? Kak...,” panggil Regina diluar kamar Devan.Tidak mendapat tanggapan dari sang kakak, membuat Regina membuka pintu kamar Devan dan mendapati sang kakak tertidur pulas hingga Regina pun membangunkan Devan.“Kakak! Bangun...! Gimana sih..., ngomongnya mau jalan keluar,” rajuk Regina mengguncang-guncangkan tubuh Devan.Dengan memicingkan matanya dan menggeliat kan tubuhnya Devan memandang ke arah sang adik yang duduk disisi tempat tidurnya dan bertanya padanya. “Ada apa sih, Gina...”“Tadi Kakak ngomong mau jalan keluar. Ayolah Kak..., sekarang udah jam 6 sore. Cepatlah Kak...,” ujar Regina memandang wajah tampan sang kakak yang sesekali menguap.“Udahlah besok aja Gina..., Kakak lagi malas nih,” jawab Devan menolak ajakan adiknya.Mendengar jawaban Devan jelas membuat Regina pan
“Luna, kemarilah sayang,” panggil Subroto dengan suara nyaris tak terdengar pada putri semata wayangnya yang sedang membaca sebuah buku di ruang santai usai mereka menikmati sarapan pagi di hari Sabtu yang cerah.Luna melirik ke arah Subroto yang saat itu duduk di sebuah kursi roda. Sudah dua tahun ini, Subroto mengalami kelumpuhan setelah mengalami serangan stroke pertama. Tampak Luna menghampiri Subroto yang tengah santai menikmati acara televisi kabel.“Ada apa Pa?” tanya Luna memandang lekat Subroto yang berada persis di sebelah kursi roda lelaki berusia enam puluh tahun.“Sayang, kemarin siang sewaktu kamu di kantor, Om Susetyo datang ke rumah,” ucap Subroto sembari mengecilkan volume pada televisi yang ditontonnya.“Tumben. Untuk apa Om Susetyo ke rumah? Apa dia kesini sama tante Jessica?” tanya Luna dengan raut wajah dan intonasi suara yang seketika berubah.“Dia sendirian ke rumah. Tapi, rencananya malam ini mereka mau ke rumah untuk mengenalkan keponakan tantemu yang baru saj
Sejak pertemuan pertama antara Luna dan Andrew sebulan lalu, hubungan keduanya semakin dekat. Luna yang selama ini mengambil jarak pada beberapa lelaki yang mendekatinya, mempunyai penilaian baik pada diri Andrew. Terlebih, selama satu bulan ini tak pernah sekali pun, Andrew lupa mengirimkan hadiah berupa bunga segar atau mengirimkan makanan kecil ke kantor Luna. Seperti hari ini, Andrew mengirimkan buket bunga segar dengan menyelipkan kata-kata cinta untuk Luna, hingga wanita cantik itu kian merasa yakin, kalau Andrew adalah lelaki yang selama ini dicarinya. Seorang lelaki yang nyaris sempurna dimatanya.[Luna sayang, bunga yang aku kirim tidaklah secantik hatimu, namun aku yakin keindahan dirimu secantik bunga yang aku kirimkan padamu]Luna telah ratusan kali membaca tulisan puitis Andrew yang memabukkan jiwanya."Baiklah, aku akan tetapkan hatiku untuk Andrew. Aku sudah merasa nyaman sama dia. Kalau satu atau dua bulan lagi dia melamarku, pasti akan aku terima," ucapnya bermonolog.
Keadaan kacau yang terjadi di depan restoran itu, membuat beberapa orang yang keluar dan masuk ke restoran tersebut memandang ke arah Andrew, Reza dan seorang sekuriti yang mendengar penjelasan dari kedua belah pihak yang tengah berselisih paham atas seorang wanita yang berada dalam dekapan Andrew.“Pak satpam, wanita ini anak dari bos saya. Tolong, tahan lelaki ini untuk nggak membawa wanita ini ke dalam mobilnya!” seru Reza menghalangi langkah Andrew yang akan membawa masuk Luna ke dalam mobilnya.“Maaf Pak, saya nggak bisa menahan Tuan ini untuk membawa wanita yang diakui sebagai istrinya. Karena mereka memang datang berdua ke restoran ini. Justru Bapak yang harusnya jangan menghalangi Tuan ini," jawab satpam kala melihat penampilan Reza yang sederhana dibandingkan Andrew yang terlihat necis.Melihat Luna yang dipaksa masuk ke mobil oleh Andrew, membuat Reza tak dapat berbuat apa-apa. Hingga ia berinisiatif menghubungi putranya untuk bisa menghalangi langkah Andrew membawa Luna yan
Keesokan harinya sekitar pukul dua sore, Luna yang kondisi psikis dan fisiknya sudah membaik diperbolehkan pulang oleh dokter yang merawatnya di rumah sakit. Sesampai di rumah, Subroto yang senantiasa didampingi oleh Dicky meminta pada ajudan yang merangkap sebagai kepala pelayan untuk memberitahukan pada seorang sekuriti yang berjaga agar tidak membiarkan lelaki bernama Andrew untuk masuk ke dalam rumah mereka.“Dicky! Beritahu sekuriti yang jaga sekarang untuk minta KTP siapa pun yang mau bertamu. Perlu diingat, jangan biarkan lelaki bernama Andrew masuk ke halaman rumahku,” perintah Subroto pada ajudannya.“Siap! Baik Tuan besar,” jawab Dicky berdiri tegap menghadap ke arah Subroto yang berada di ruang keluarga pada sofa panjang. Sementara, Luna duduk di sebelah Subroto terdiam dan mengamati setiap gerakan yang ada di ruang keluarga tersebut dengan menikmati potongan buah semangka berwarna merah.Ajudan bertubuh tinggi besar itu pun, berlalu dari hadapan Subroto dan Luna, berjalan k
Sejak kejadian keributan di rumah Subroto dan diikuti dengan pertengkaran antara Luna dan Andrew serta Jessica, membuat hubungan suami istri dari adik bungsu Subroto menuju kehancuran. Setelah satu minggu kemudian, Susetyo kembali ke rumah Subroto seorang diri. Lelaki berusia sekitar 48 tahun itu menangis di hadapan kakak pertama dan keponakan cantiknya.“Mas, kedua anakku dibawa pergi Jessica. Wanita itu meracuni pikiran kedua putriku dengan mengajaknya pergi bersama lelaki selingkuhannya itu. Sekarang aku harus bagaimana, Mas?” tanya Susetyo dengan suara parau menahan tangis dan kesedihannya melaporkan kondisi rumah tangganya.Dengan menarik napas panjang, Subroto yang duduk di kursi roda menatap iba pada adik bungsunya. Kemudian, lelaki berusia 60 tahun itu pun berucap, “Setyo..., apa kamu sudah bicara sama istrimu masalah gugatan cerai?”“Iya Mas, kami sudah bicara masalah gugatan cerai dan Jessica mau rumah kontrakan dan apartemen yang sudah aku balik nama atas nama kedua putriku