Kini gue lagi mendengarkan suara tarikan napas Ryan yang terdengar begitu kasar juga panjang. Mungkin dia bete juga kesal karena mendengarkan pertanyaan gue yang tiba-tiba membuat kaget itu.
“Kenapa kamu tiba-tiba tanya begitu?”
“Pengen tahu aja hubungan kamu sama Cantika.”
“Biasa aja.”
“Biasa aja gimana, Ryan?”
“Iya biasa aja, nggak ada yang aneh.”
“Yakin?” tanya gue sedikit mendesak ke Ryan. Gimana ya? Ucapan si Cantika itu bikin gue hareudang banget asli. “Jujur aja kalau kamu ada affair sama dia.”
“Apaan sih kamu kok jadi ngaco gitu ngomongnya.”
“Jawab Ryan.”
“Kamu lagi kenapa, hm?”
“Gapapa, tadi ketemu Cantika kalau dia suka sama kamu.”
“Ngaco ah, udah sayang jangan pikiran yang macam-macam. Aku nggak pernah komitmen sama siapa pun, baru kali ini aku mau menjalin kom
Ryan tersenyum setelah kurang lebih menerima telepon lima belas menitan di luar. Gue sebetulnya penasaran Ryan dapat telepon dari siapa tapi kayaknya tahap gue belum sampai ke sana.“Yuk makan,” katanya saat melihat semua menu sudah tersaji dengan rapi di atas meja.Gue pun langsung makan aja, bisa dikatakan kalau gue bukan tipe wanita yang akan jaim makan di depan lawan jenis terlebih seseorang yang spesial seperti Ryan ini. Kalau gue sih makan ya makan aja nggak mikirin penilaian orang gimana. Kalau emang dia suka sama gue jadi harus terima segala kondisi gue. Nggak mungkin kan saat pendekatan makan setengah centong nasi pas udah nikah makan sebakul kan nanti pasangan jadi kaget gimana.“Kenapa kamu latihan muay thai?”“Pengin aja biar bisa jaga diri tapi udah keluar.”“Kenapa?”“Nggak nyaman aja kamu buntutin aku.”Aslinya bukan itu sih alasannya, tapi biarkan saja l
Malam minggu kali ini gue menunggu Ryan yang nggak pulang-pulang. Padahal gue udah mandi dan dandan rapi banget biar Ryan pulang bisa langsung pergi kencan seperti pada manusia umumnya. Bahkan gue nggak makan hanya menunggu Ryan doang.Kaki gue pun tak henti-hentinya mondar-mandir di dekat jendela hotel karena gelisah menunggu Ryan. Nomor ponsel dia pun dihubungi nggak aktip.“Ryan ke mana sih? Nggak mungkin nyasar kan? Atau dia menghabiskan waktu sama teman-temannya? Misal pun iya harusnya kasih tahu kek,” dumel gue sambil menggenggam ponsel dan sesekali gue gigiti ujungnya karena gelisah.Merasa capek mondar-mandir karena menunggu Ryan yang tak kunjung pulang pun gue memutuskan keluar kamar hotel sendirian menuju ke arah restoran untuk mengisi perut yang dari tadi udah keroncongan.Gue pun memilih tempat duduk di pojokan agar tidak terlihat jomlo-jomlo amat karena yang datang ke restoran ini kebanyakan berpasangan semua tidak seperti g
Entah kenapa kalau melihat Ryan bawaan gue langsung melow begitu aja. Padahal harusnya bahagia karena orang yang dirindukan sudah di depan mata seperti ini. Tapi, gue sangat takut jika ini merupakan khayalan atau daya imajinasi dalam pikiran gue aja.Untuk memastikan kalau Ryan yang tengah menatap gue itu nyata pun akhirnya sebuah tangan melayang ke arah pipinya.PLAK.“Awww,” pekiknya.“Eh betulan kamu, aku kira hanya halusinasi semata,” kata gue sambil meringis tak enak.Dengan cepat pula gue langsung mengubah posisi menjadi duduk tegap menatap Ryan yang masih mengusapi pipinya yang terkena gampar tangan gue.“Maaf Ryan,” cicit gue.“Gapapa sayang. Kamu kenapa nangis, hm?”“Aku takut kamu selingkuh. Kamu kemana aja sih Ryan, kamu tuh buat aku khawatir tahu nggak sih. Mana nomor kamu nggak aktif pula, kamu tidur sama wanita lain, ya?”Biarkan saja h
Saat akan melakukan sarapan bersama entah kenapa gue merasa khawatir sama Ryan yang terus menerus tersenyum kayak orang gila. Gue takut aja melihat dia seperti itu.“Ryan.”“Hmm.”“Kamu waras kan?”“Kok tanya begitu sih?”“Lagian kamu cengar cengir terus sejak selesai mandi sampai sekarang sih. Aku jadi takut kamu kerasukan atau kesambet setan Singapore.”“Ck! Aku tuh lagi bahagia lahir batin sayang.”“Kenapa?”“Bahagia aja mendapat servis dari kamu.”Mendengarkan jawaban dia membuat gue menyesal tanya. Tahu begini mendingan pura-pura nggak tahu kalau si Ryan tengah cengar-cengir. Bukan apa atau gimana sih, tapi gue malu banget jika diingat.“Nggak usah dibahas,” kata gue mencoba memperingati.“Kenapa? Itu merupakan prestasi tahu.”“Ck! Prestasi apaan? Udahlah aku malu kalau d
Satu Bulan Kemudian.Saat ini gue lagi ngecek ke setiap pojok ruangan yang akan digunakan untuk acara baby shower boss. Kali ini gue nggak mau panggil dia ada embel-embel dakjal ngeri keceplosan bisa dipecat.“Gimana Ki? Ada yang kurang nggak?”“Semua udah oke, Win. Pokoknya EO punya lo the best banget deh.”“Cek lagi aja selagi belum mulai acaranya.”Dan gue nurut aja buat ngecek lagi kesetiap sudut ballromm Ritz Carlton. Gue nggak mau kena damprat boss karena kurang perfek atau gimana lha. Bakalan malu habis kalau gue kena omel sama dia terlebih di depan si Kaila biji ketumbar. Duh, tengsin.Kue oke, dekorasi oke, semua makanan juga oke, persiapan lomba juga oke. Fix. Acara bakalan sangat sempurna juga meriah banget nanti. Secara Pak Haidar mengundang tamu kayak orang mau hajatan gitu. Maklum beliau holkay jadi begini deh, dan gue sebagai kacung hanya melaksanakan tugas saja.Merasa sudah oke semu
Gue langsung berjalan menuju ke arah Mbak Sila yang tengah membawa puding di tangannya. Dia masih saja mengunyah puding sambil menatap ke arah gue dengan pandangan menuntut agar gue cepetan cerita.“Gue sedih Mbak.”“Sedih kenapa? Makanan banyak kok sedih sih?”“Ck! Pikiran lo tuh makanan terus deh,” dumel gue. “Lihat ke arah meja yang melingkar itu deh,” tunjuk gue ke arah keluarga si biji ketumbar.“Orang lagi pada makan sambil ketawa ketiwi ada Pak Haidar juga sih.”“Ck! Bukan urusan soal mereka makan,” geram gue.“Lha terus apa?”“Gue iri lihat keharmonisan keluarga mereka. Lihat deh itu laki-laki yang lagi gendong bayi cakep banget.”“Lo mau rebut dia? Mau jadi pelakor?”“Ck! Dengerin gue selesai ngomong kek.”“Oke, lagian lo kalau ngomong setengah-setengah sih, Ki, kelamaan jadinya.&r
Gue sama Mbak Sila kini tengah tertawa melihat kelakuan boss yang terlihat kebingungan di atas panggung. Terlebih wajah galak nan bossy itu terlihat begitu lucu sekali. Bahkan banyak para tamu lain yang ikutan tertawa melihat game yang tengah diadakan. Rasanya saat ini gue puas banget bisa mengerjai boss besar seperti itu.Bisa didengar kalau suara teriakan Kaila begitu lantang yang membuat gue menoleh. Di sana Kaila tengah tertawa sambil memberikan dukungan kepada suaminya itu. Bagi gue sendiri mereka berdua pasangan yang aneh. Satunya bar-bar nggak bisa diam dan satunya jutek sekaligus angkuh banget. Mereka kalau romantisan gimana, ya, kok mendadak gue jadi penasaran urusan pribadi si biji ketumbar sama suaminya itu.Apakah boss gue sehebat Ryan? Kayaknya sih hebatan Ryan masalah kissing deh. Lihat wajah si boss aja udah merinding duluan. Emang sih tampan, tapi galaknya bikin ngedown. Kalau Ryan kan lembut banget sama gue, terus jago banget bikin melayang. Dih,
Dua Hari Kemudian.“Iya Mbak tolong izinkan kalau gue nggak masuk kantor hari ini, ya, soalnya sakit nih.”“Sakit apa lo, Ki, kemarin aja segar bugar kok.”“Iya sakit deh pokoknya Mbak Sil.”“Jangan ngadi-ngadi lo, jujur nggak.”“Gue mau jemput Ryan di bandara Mbak, bilang aja kalau emang gue lagi sakit. Hehehe.”“Dasar anak kampret. Oke deh kalau begitu.”Nit.Selesai menelepon Mbak Sila, kini gue beralih menelepon Pak Haidar supaya beliau tidak kaget kalau sekertaris-nya tak masuk kantor. Sebelum menelepon pun gue berdeham-deham dan akting di depan kaca pura-pura menampakkan wajah lemas tak berdaya.“Ih bego, kan Pak Haidar nggak lihat juga. Ngapain pakai acara akting lemes segala, haduh,” rutuk gue.Saat ini gue lagi menunggu sambungan telepon diangkat sama Pak Haidar. Dari roman-romannya sih beliau masih tidur soalnya gue telep
Satu minggu kemudian.Seperti rencananya beberapa hari silam untuk berlibur ke kota Yogyakarta kini akhirnya terlaksana. Kiki dan Ryan tiba di sebuah hotel yang terletak di kawasan Malioboro.Mereka berdua sengaja tak menggunakan pesawat, tapi kereta api. Entah kenapa Kiki mendadak pengin naik kereta api agar bisa melihat pemandangan.Namun siapa sangka perjalanan itu membuat Kiki langsung tepar dan tidur saat tiba di hotel. Ryan yang melihat pun hanya bisa meringis saja.“Jangan sampai aktipin ponsel.”Suara itu membuat Ryan langsung terhenti kala ingin mengambil ponsel di tasnya. Ia menoleh dan melihat istrinya masih memejamkan mata.“Lha, dia tidur sambil ngomong?” gumam Ryan bermonolog.Tak ingin ketahuan dan berbuntut panjang membuat Ryan langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan niatnya akan jalan-jalan di sekitaran Malioboro nanti malam nyari angkringan.Dua jam kemudian.Mera
Setelah membersihkan motor dan dirinya. Kini Ryan mengajak istrinya untuk pergi ke kedai bakso untuk mengambil mobil sekalian makan bakso di sana. Namun, melihat kondisi sang istri banyak yang lecet di bagian lengan dan kaki membuat Ryan mengurungkan niatnya itu.Kiki yang sedang mengobati lukanya dengan betadine langsung diambil alih oleh Ryan. Melihat banyak bekas luka seperti itu membuat Ryan langsung tak tega.“Sakit,” ringis Kiki.“Iya sayang, tahan bentar, ya.”Bahkan kaki dan lengan Kiki terdapat banyak lebam-lebam di mana-mana. Ryan memegang lembut bagian lebam pun membuat Kiki langsung meringis kesakitan.“Awww, sakit Mas.”“Maaf sayang.”Ryan langsung mengolesi bagian lebamnya dengan gel yang memang sudah sedia di kotak obat-obatan. Selesai membantu Kiki, Ryan langsung izin pamit untuk mengambil mobilnya.“Sayang, aku pergi ambil mobil dulu, ya. Kamu tinggal sendir
Setelah selesai mengantar ke counter pengiriman, Kiki pun mengantar mamanya pulang karena jaraknya tak terlalu jauh. Tentu saja Kiki mengantar mamanya dengan sepeda motor yang memang baru dibelinya. Awalnya Ryan ingin membelikan mobil namun Kiki tolak. Dari dulu masih sendiri memang Kiki ingin mobil, tapi mengingat itu hanya sebuah keinginan bukan kebutuhan membuat Kiki membatalkan dan memilih membeli sepeda motor agar lebih praktis jika pergi kemana-mana.“Ki, jangan ngebut lho.”“Enggak lha, Ma, Kiki aja masih rada takut kalau di jalan raya. Untung saja ini jalannya nggak besar bisa melipir lewat gang.”Ya, Kiki dan Ryan mendapat tanah di kawasan Pondok Labu dekat rumah orang tua Kiki. Dan Ryan sendiri berniat akan memindah kantornya untuk dekat rumah karena di tempat lama jaraknya terlalu jauh dan memakan waktu di jalan. Ryan sudah pasang iklan jika kantornya dijual dan akan membuat baru yang lebih besar dari sebelumnya.P
Disaat Ryan ingin menghajar kembali, Wirawan sudah sampai dan mencegahnya. Berbeda dengan Panji yang sedang memegang hidungnya yang terkena pukulan oleh Ryan.“Sudah, kalian ini meributkan apa, sih?” Suara Wirawan begitu tegas.“Dia yang mulai duluan, Pa. Si manusia millennium ini mau rebut Kiki dari aku,” tukas Ryan menjelaskan dengan napas yang bergemuruh.Wirawan menoleh ke arah Panji dengan tatapan yang tak bisa terbaca. “Panji … kamu sama Kiki kan sudah selesai lama. Apalagi kalian sudah sama-sama dewasa kan? Sudah saling memiliki kehidupan masing-masing juga. Biarkan anak saya bahagia dengan tidak adanya kamu yang mengganggu.”“Maaf, Om. Saya hanya bercanda saja barusan dengan Ryan. Tapi emang dasarnya Ryan langsung gampang terpancing saja emosinya.”“Apa bercanda lo bilang? Lo anggap istri gue jadi bahan bercandaan?” emosi Ryan makin meledak kala mendengar pengakuan dar
14 hari kemudian.Hari ini tepat di mana Kiki terakhir bekerja di Ansell. Dan besok pun hari pernikahan kakak iparnya yang diadakan begitu sederhana saja. Ijab dan walimah urusy.Kiki pun berpamitan dan meminta maaf kepada seluruh staf Ansell saat ini sebelum berkemas barang-barangnya. Tak lupa juga ia berpamitan dengan Mirza yang tampak keberatan melepaskan Kiki.“Boleh peluk Bapak nggak?” Kiki meminta izin kepada Mirza sebelum melangkahkan kakinya ke luar kantor Ansell. Mirza pun merespon dengan mengangguk pelan.Kiki langsung berjalan maju dan memeluk Mirza. “Maaf, ya, Pak. Semoga Ansell ke depannya semakin baik dan lebih baik serta paling baik dari perusahaan lain.”“Thank you, Ki.”Kiki melepaskan pelukannya. Tanpa disadari Kiki menitikan air matanya di depan Mirza. Meski tak selama bekerja di Azekiel, tapi sikap Mirza lebih hangat dibanding Melviano. Mungkin karena Melviano sudah beristri jadi sangat
Pagi ini seperti rencana-nya semalam. Kiki memberikan surat pengunduran dirinya kepada Manda selaku bagian HRD.Awalnya Manda yang tak tahu hanya mengerutkan kedua alisnya saja dan setelah membuka dan membaca ternyata surat pengunduran diri Kiki sebagai sekertaris. Perasaan Manda pasti syok. Tapi mengingat rekor sekertaris yang bekerja sebelumnya juga tidak ada yang bertahan lama. Kiki merupakan paling lama karena bisa bertahan kurang lebih lima bulanan. Manda menatap wajah Kiki menelisik. Ia mencari alasan yang sejujurnya kepada perempuan itu."Kenapa resign mendadak gini?""Saya nggak mendadak, kan saya kasih tahu sekarang dan resign-nya 14 hari lagi genapin akhir bulan.""Iya, tapi kenapa? Padahal anak-anak sini sudah salut lho sama kamu yang bisa bertahan lumayan lama.""Gapapa, hanya saja saya capek, Bu.""Kerja kan capek Shakira. Apa si boss sudah mulai suka memarahi kamu?"Kiki menggeleng. "Bukan masalah sikap Pak Mirza,
Setelah kemarin sabtu minggu pergi berlibur ke puncak, kini Kiki dan Ryan kembali ke aktifitasnya seperti kemarin.Mengingat belum mendapat rumah kontrakan membuat Kiki dan Ryan masih menginap di rumah Mama Nina, namun sebelum menginap sudah ada ancaman oleh Mama Desi jika anaknya masih dijelek-jelekkan, Desi berjanji akan pisahkan Ryan dari Kiki. Dan menjambak Nina sampai botak.Tentu saja melihat sikap barbar Desi yang tak diragukan lagi membuat Nina takut sendiri. Lagipula kemarin mereka juga sudah berdamai dengan jalan-jalan dobel date bersama ditambah Surya sebagai nyamuk.“Mau makan apa hari ini? Biar nanti pas belanja Mama jadi nggak bingung.”Kiki terkejut melihat sikap mertuanya yang berubah itu. Bagus sih kembali ke awal lagi. Karena emang sebetulnya Mama Nina itu baik, cuma pedes saja kalau ngomong.“Enggak usah biar nanti Kiki makan di luar saja.”“Nggak usah, makan di rumah saja. Duitnya ditabung.&r
Minggu pagi semua para mama masih pada tidur karena semalam habis bergadang. Berbeda dengan Ryan dan Kiki yang sudah keluar villa untuk menikmati pemandangan perkebunan teh dan menikmati udara sejuk yang jarang sekali mereka nikmati.Mereka berdua terus menyusuri setiap jalanan yang masih berupa tanah itu dengan tangan yang terus tetap saling menggandeng. Apalagi Kiki sendiri sudah berulang kali ingin terjatuh karena jalanan yang kurang halus ini.“Hati-hati sayang,” ujar Ryan saat tangan dirinya ketarik oleh Kiki yang ingin terjatuh.“Nggak lihat ada batu.”Mereka pun berpapasan dengan banyak pasangan muda mudi yang sedang menikmati pemandangan pagi ini. Kiki yang melihat langsung merasa ingat dulu saat masih berpacaran dengan Panji.“Kamu kenapa senyam-senyum sendiri?”“Gapapa kok.”“Pengin kayak gitu?”“Enggak lha malu. Masa digendong gitu buat foto doang.”“Gapapa, emangnya kalau foto digendong begitu cuma buat yang
Malam ini, keluarga besar Kiki dan Ryan memutuskan untuk membuat acara bakar-bakaran jagung di teras samping. Kiki dan Ryan hanya duduk sambil berpelukan dengan posisi Kiki yang duduk di depan Ryan.Mereka berdua hanya tersenyum dan sesekali curi-curi kecupan kala kedua orang tua mereka sedang berdebat di depan pembakaran jagung bakar.Mama Desi yang sikapnya barbar bertemu dengan Mama Nina yang sikapnya lembut sekaligus tak suka kotor itu."Ya ampuuuun Jeng, itu jagungnya jangan taro disitu. Nanti kotor piye?""Halah, kotor dikit saja ribet. Nanti juga pas dibakar nggak keliatan yang kotor kok.""Aku nggak mau makan yang itu. Mau buka sendiri jagungnya.""Terserah Jeng Nina sajalah."Di saat mama-mama sedang sibuk membuka jagung dan membakar, lain hal dengan papa-papa yang sibuk menikmati hasilnya sambil terus main catur."Ini Papa malahan main catur melulu. Bantuin Mama dong," tegur Desi kesal."Tanggung, M