Ryan tersenyum setelah kurang lebih menerima telepon lima belas menitan di luar. Gue sebetulnya penasaran Ryan dapat telepon dari siapa tapi kayaknya tahap gue belum sampai ke sana.
“Yuk makan,” katanya saat melihat semua menu sudah tersaji dengan rapi di atas meja.
Gue pun langsung makan aja, bisa dikatakan kalau gue bukan tipe wanita yang akan jaim makan di depan lawan jenis terlebih seseorang yang spesial seperti Ryan ini. Kalau gue sih makan ya makan aja nggak mikirin penilaian orang gimana. Kalau emang dia suka sama gue jadi harus terima segala kondisi gue. Nggak mungkin kan saat pendekatan makan setengah centong nasi pas udah nikah makan sebakul kan nanti pasangan jadi kaget gimana.
“Kenapa kamu latihan muay thai?”
“Pengin aja biar bisa jaga diri tapi udah keluar.”
“Kenapa?”
“Nggak nyaman aja kamu buntutin aku.”
Aslinya bukan itu sih alasannya, tapi biarkan saja l
Malam minggu kali ini gue menunggu Ryan yang nggak pulang-pulang. Padahal gue udah mandi dan dandan rapi banget biar Ryan pulang bisa langsung pergi kencan seperti pada manusia umumnya. Bahkan gue nggak makan hanya menunggu Ryan doang.Kaki gue pun tak henti-hentinya mondar-mandir di dekat jendela hotel karena gelisah menunggu Ryan. Nomor ponsel dia pun dihubungi nggak aktip.“Ryan ke mana sih? Nggak mungkin nyasar kan? Atau dia menghabiskan waktu sama teman-temannya? Misal pun iya harusnya kasih tahu kek,” dumel gue sambil menggenggam ponsel dan sesekali gue gigiti ujungnya karena gelisah.Merasa capek mondar-mandir karena menunggu Ryan yang tak kunjung pulang pun gue memutuskan keluar kamar hotel sendirian menuju ke arah restoran untuk mengisi perut yang dari tadi udah keroncongan.Gue pun memilih tempat duduk di pojokan agar tidak terlihat jomlo-jomlo amat karena yang datang ke restoran ini kebanyakan berpasangan semua tidak seperti g
Entah kenapa kalau melihat Ryan bawaan gue langsung melow begitu aja. Padahal harusnya bahagia karena orang yang dirindukan sudah di depan mata seperti ini. Tapi, gue sangat takut jika ini merupakan khayalan atau daya imajinasi dalam pikiran gue aja.Untuk memastikan kalau Ryan yang tengah menatap gue itu nyata pun akhirnya sebuah tangan melayang ke arah pipinya.PLAK.“Awww,” pekiknya.“Eh betulan kamu, aku kira hanya halusinasi semata,” kata gue sambil meringis tak enak.Dengan cepat pula gue langsung mengubah posisi menjadi duduk tegap menatap Ryan yang masih mengusapi pipinya yang terkena gampar tangan gue.“Maaf Ryan,” cicit gue.“Gapapa sayang. Kamu kenapa nangis, hm?”“Aku takut kamu selingkuh. Kamu kemana aja sih Ryan, kamu tuh buat aku khawatir tahu nggak sih. Mana nomor kamu nggak aktif pula, kamu tidur sama wanita lain, ya?”Biarkan saja h
Saat akan melakukan sarapan bersama entah kenapa gue merasa khawatir sama Ryan yang terus menerus tersenyum kayak orang gila. Gue takut aja melihat dia seperti itu.“Ryan.”“Hmm.”“Kamu waras kan?”“Kok tanya begitu sih?”“Lagian kamu cengar cengir terus sejak selesai mandi sampai sekarang sih. Aku jadi takut kamu kerasukan atau kesambet setan Singapore.”“Ck! Aku tuh lagi bahagia lahir batin sayang.”“Kenapa?”“Bahagia aja mendapat servis dari kamu.”Mendengarkan jawaban dia membuat gue menyesal tanya. Tahu begini mendingan pura-pura nggak tahu kalau si Ryan tengah cengar-cengir. Bukan apa atau gimana sih, tapi gue malu banget jika diingat.“Nggak usah dibahas,” kata gue mencoba memperingati.“Kenapa? Itu merupakan prestasi tahu.”“Ck! Prestasi apaan? Udahlah aku malu kalau d
Satu Bulan Kemudian.Saat ini gue lagi ngecek ke setiap pojok ruangan yang akan digunakan untuk acara baby shower boss. Kali ini gue nggak mau panggil dia ada embel-embel dakjal ngeri keceplosan bisa dipecat.“Gimana Ki? Ada yang kurang nggak?”“Semua udah oke, Win. Pokoknya EO punya lo the best banget deh.”“Cek lagi aja selagi belum mulai acaranya.”Dan gue nurut aja buat ngecek lagi kesetiap sudut ballromm Ritz Carlton. Gue nggak mau kena damprat boss karena kurang perfek atau gimana lha. Bakalan malu habis kalau gue kena omel sama dia terlebih di depan si Kaila biji ketumbar. Duh, tengsin.Kue oke, dekorasi oke, semua makanan juga oke, persiapan lomba juga oke. Fix. Acara bakalan sangat sempurna juga meriah banget nanti. Secara Pak Haidar mengundang tamu kayak orang mau hajatan gitu. Maklum beliau holkay jadi begini deh, dan gue sebagai kacung hanya melaksanakan tugas saja.Merasa sudah oke semu
Gue langsung berjalan menuju ke arah Mbak Sila yang tengah membawa puding di tangannya. Dia masih saja mengunyah puding sambil menatap ke arah gue dengan pandangan menuntut agar gue cepetan cerita.“Gue sedih Mbak.”“Sedih kenapa? Makanan banyak kok sedih sih?”“Ck! Pikiran lo tuh makanan terus deh,” dumel gue. “Lihat ke arah meja yang melingkar itu deh,” tunjuk gue ke arah keluarga si biji ketumbar.“Orang lagi pada makan sambil ketawa ketiwi ada Pak Haidar juga sih.”“Ck! Bukan urusan soal mereka makan,” geram gue.“Lha terus apa?”“Gue iri lihat keharmonisan keluarga mereka. Lihat deh itu laki-laki yang lagi gendong bayi cakep banget.”“Lo mau rebut dia? Mau jadi pelakor?”“Ck! Dengerin gue selesai ngomong kek.”“Oke, lagian lo kalau ngomong setengah-setengah sih, Ki, kelamaan jadinya.&r
Gue sama Mbak Sila kini tengah tertawa melihat kelakuan boss yang terlihat kebingungan di atas panggung. Terlebih wajah galak nan bossy itu terlihat begitu lucu sekali. Bahkan banyak para tamu lain yang ikutan tertawa melihat game yang tengah diadakan. Rasanya saat ini gue puas banget bisa mengerjai boss besar seperti itu.Bisa didengar kalau suara teriakan Kaila begitu lantang yang membuat gue menoleh. Di sana Kaila tengah tertawa sambil memberikan dukungan kepada suaminya itu. Bagi gue sendiri mereka berdua pasangan yang aneh. Satunya bar-bar nggak bisa diam dan satunya jutek sekaligus angkuh banget. Mereka kalau romantisan gimana, ya, kok mendadak gue jadi penasaran urusan pribadi si biji ketumbar sama suaminya itu.Apakah boss gue sehebat Ryan? Kayaknya sih hebatan Ryan masalah kissing deh. Lihat wajah si boss aja udah merinding duluan. Emang sih tampan, tapi galaknya bikin ngedown. Kalau Ryan kan lembut banget sama gue, terus jago banget bikin melayang. Dih,
Dua Hari Kemudian.“Iya Mbak tolong izinkan kalau gue nggak masuk kantor hari ini, ya, soalnya sakit nih.”“Sakit apa lo, Ki, kemarin aja segar bugar kok.”“Iya sakit deh pokoknya Mbak Sil.”“Jangan ngadi-ngadi lo, jujur nggak.”“Gue mau jemput Ryan di bandara Mbak, bilang aja kalau emang gue lagi sakit. Hehehe.”“Dasar anak kampret. Oke deh kalau begitu.”Nit.Selesai menelepon Mbak Sila, kini gue beralih menelepon Pak Haidar supaya beliau tidak kaget kalau sekertaris-nya tak masuk kantor. Sebelum menelepon pun gue berdeham-deham dan akting di depan kaca pura-pura menampakkan wajah lemas tak berdaya.“Ih bego, kan Pak Haidar nggak lihat juga. Ngapain pakai acara akting lemes segala, haduh,” rutuk gue.Saat ini gue lagi menunggu sambungan telepon diangkat sama Pak Haidar. Dari roman-romannya sih beliau masih tidur soalnya gue telep
Bandara Soekarno—Hatta, Jakarta.Tubuh gue mendadak kaku ditatap sama boss besar. Kenapa juga si dakjal eh salah Melviano ada di bandara juga? Bukannya dia lagi temanin si Kaila?“Hehehe, Mr.”“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Melviano sambil berjalan semakin mendekat ke arah gue. Sumpah demi apapun kalau kaki mendadak gemetaran.“Sa-sa-sa-kit, Mr.”“Sakit? Sejak kapan rumah sakitnya sekarang pindah di bandara?”Wadaw kacau, udah bohong pakai ketahuan langsung sama boss besar pula. Asem banget emang nasib gue.Saat ini gue hanya diam aja, mau bohong apalagi nih kira-kira? Rasanya lidah udah kelu banget ketahuan bohong begini.“Kenapa kamu bolos kerja Shakira Intan Ayu?”“Maaf.”“Saya nggak butuh maaf kamu, jelaskan alasannya.”“Saya ... mau jemput pacar, Mr.”“Ck! Dasar bucin, harusnya kamu bisa
Setelah sudah tidak ada lagi yang bisa dipertahankan, kini Adeeva memilih untuk kembali ke Indonesia sesuai perintah Kiki. Adeeva sudah memberikan kabar jika hari ini ia akan kembali ke Indonesia. Mungkin rasa-rasanya ia sudah tidak akan merantau lagi. Adeeva akan memilih stay di Jakarta bersama keluarga kecilnya. Adeeva akan menghabiskan sisa usia bersama Ayah, Bunda, juga Grandma.“Adeeva,” panggil Ryan.“Ayah.”Ryan pun langsung berjalan cepat untuk menyambut kedatangan putrinya. Ryan segera memeluk putrinya erat. Mencium pipinya dan segera mengusap buliran air mata yang mulai menetes di pipi mulus milik Adeeva.“Jangan sedih, Ayah akan selalu ada untukmu, Nak.”Adeeva masih tidak menyangka jika pernikahannya akan berakhir seperti ini. Padahal dulu juga pas awal nikah memang niat bercerai. Namun, seiring berjalannya waktu perasaan mulai timbul dan keduanya benar-benar sepakat melupakan perjanjian itu. Tapi, te
Hari ini Adeeva mendapat kabar jika Leonel tinggal di sebuah apartemen milik Darrel. Ternyata kehidupan Leonel selama seminggu ini ditanggung oleh Darrel. Dengan cepat pula Alex langsung menjemput Adeeva dan segera menuju ke kawasan El Born.Alex bilang jika Darrel memiliki apartemen di kawasan yang sangat sepi. Katanya dia lebih suka ketenangan dibanding hirup pikuk keramaian kota.Bahkan kawasan ini dihiasi jalan-jalan sempit hingga tampak sangat misterius. Tak pelak juga tempat ini banyak terdapat kafe kecil di sekitarnya untuk menikmati berbagai jenis minuman juga hidangan catalan.Mereka berdua pun memillih memarkirkan mobil di bahu jalan depan gedung apartemen. Alex dan Adeeva langsung berjalan menuju ke unit Darrel.Alex yang sudah pernah ke sini dan mengetahui password sahabatnya langsung memencetkan sederet password hingga suara ‘klik’ terdengar di telinganya juga Adeeva.“Alex … apa tidak apa-apa kita masuk?
Satu minggu sudah Adeeva melalui hari-harinya begitu berat. Bukan hanya dirinya saja, namun Marinka merasakan hal yang sama.Leonel bahkan tidak masuk kantor sudah semingguan ini. Parahnya, semua kunci mobil, ATM, beserta semua fasilitas lainnya dikirim ke mansion Marinka.Perempuan paruh baya itu merasa sedih dengan sikap Leonel yang sangat gegabah ini. Adeeva pun terus menguatkan Marinka. Entah dengan apa pria itu hidup saat ini jika semua fasilitas dikembalikan kepada Marinka.“Mom, dia pasti nanti kembali. Kau tenang saja, ya.”Marinka mengangguk dan kembali menguatkan Adeeva untuk tetap tabah dalam menghadapi ujian ini. Adeeva pun mendadak dapat telepon dari Indonesia—Bunda Kiki menelepon tiada henti yang membuat Adeeva mengerut bingung.Merasa penasaran membuat Adeeva mengangkat telepon itu dan menyapa bundanya dengan suara yang dibuat seceria mungkin agar tidak ketahuan.“Halo, Bunda,” sapanya dengan nada
Rasa-rasanya saat ini Leonel masih belum bisa menerima kenyataan yang sesungguhnya jika ia bukanlah anak dari Marinka. Apalagi sikap Marinka sangat lembut dan benar-benar menunjukkan kasih sayangnya dengan tulus.Seusai mendengarkan kejujuran Marinka, Leonel langsung pamit pergi meninggalkan mansion. Bahkan saat berpapasan dengan Adeeva pun ia rasanya sangat malu menatap perempuan itu. Bahkan Leonel tidak berani menyapa atau mengajaknya bicara. Leonel terlalu malu. Sifat gengsi yang dimilikki masih menguasai otaknya hingga membuat Leonel tidak melakukan itu semua.Kini tujuannya pergi ke apartemen. Leonel berpikir jika ia sudah tidak pantas lagi menikmati kemewahan yang diberikan oleh Marinka. Leonel terlalu malu kepada perempuan itu. Leonel kesal karena diapit oleh dua perempuan sebaik Marinka juga Adeeva. Rasa-rasanya ia tidak pantas berada di dekat mereka berdua. Kedua perempuan itu hanya pantas berada dilingkungan orang-orang baik saja. Sedangnya dirinya? Hanya ora
Mendengar kenyataan pahit membuat Leonel merasa terpukul luar biasa. Apalagi ia tak pernah menduga jika selama ini Marinka bukanlah orangtua kandungnya. Sialnya, pria yang sangat Leonel benci justru mengalirkan darah brengseknya sangat deras kepadanya. Leonel hancur, kecewa, juga merasa patah mengetahui ini semua.Bahkan untuk pulang saat ini pun membuat Leonel merasa malu sendiri. Terlebih ia sudah sangat kejam memperlakukan Adeeva beberapa hari silam.“Bodoh! Kau benar-benar bodoh Leonel!” makinya merutuk.Tak lama sosok Elizabeth pun datang dengan cengiran khasnya. Perempuan itu langsung duduk di sampingnya dan mencium pipi seperti biasa.“Kenapa kau sangat kacau sekali habis berhadapan dengan wanita antah berantah itu? Apa kau kalah darinya?” cecar Elizabeth ingin tahu hasil perseteruan Leonel dengan Adeeva itu.Tak memedulikan pertanyaan Elizabeth membuat Leonel segera bergegas pergi untuk menanyakan kebenaran kepada Ma
Adeeva merasa kesal diabaikan terus menerus hingga akhirnya ia segera bergegas pergi ke kamar mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang.Terlebih setelah mengeluarkan segala unek-uneknya kepada Leonel, pria itu tidak menanggapi sedikitpun dan justru memilih pergi meninggalkannya tanpa belas kasihan sedikitpun.Adeeva menghubungi Emilia untuk menemani dirinya malam ini karena merasa sangat benar-benar frustasi dengan kehidupan yang dijalaninya ini.Setelah menelepon dan berjanjian dengan Emilia di salah satu bar kota, kini Adeeva segera mengganti pakaiannya. Adeeva menatap gaun berwarna merah terang dengan belahan paha yang begitu sangat tinggi sekali. Tak hanya itu saja, pakaiannya pun mengusung belahan dada yang cukup terbuka dan punggung yang terbuka. Hanya ada ikatan dua saja di belakang punggung.Adeeva segera mengambil dan memakainya. Tak lupa juga ia berdandan selayaknya jalang. Adeeva memakai make-up tebal, dan lipstik merah cabai yang sangat be
Merasa berisik karena ponselnya berdering terus menerus membuat Leonel mengesah kesal. Buru-buru ia langsung bangkit dari ranjang dan melihat ponselnya yang ternyata telepon dari Adeeva. Leonel berdecak sebal, namun ia tetap mengangkatnya.“Ya, halo.”“Kau di mana? Apa kau baik-baik saja?”“Hm, baik-baik saja. Kenapa?”“Sukurlah kalau begitu. Aku sudah selesai menjalankan operasinya dengan lancar.”“Oh.”“Leonel.”“Hm.”“Apa kau tidak berniat untuk menjengukku? Aku mendadak merindukanmu.”“Aku sibuk banyak kerjaan.”“Oh, begitu, ya. Ya sudah kalau begitu kau jangan lupa makan, dan tetap jaga kesehatanmu, ya.”“Hm.”“Selamat istirahat Leonel.”“Hm.”Nit.“Siapa yang menelepon?” tanya Elizabeth yang masih berlindung
Pagi ini Adeeva akan melakukan operasi. Namun, tetap saja Leonel tidak mendampingi di sampingnya saat ini.Adeeva berusaha tegar karena merasa masih banyak orang yang mendukungnya juga sangat menyayanginya saat ini seperti Marinka.Perempuan paruh baya itu pun terus mendampingi Adeeva sebelum nanti waktunya menjalani operasi yang membuat Adeeva akan kehilangan semua harapan menjadi seorang ibu. Adeeva sudah membulatkan ini semua demi kebaikan dirinya ke depan. Meski tidak bisa memberikan keturunan, tapi Adeeva yakin jika suatu saat nanti akan ada orang yang menerima segala kekurangan dirinya dengan sangat tulus.“Thanks you, Mom.”Marinka tersenyum dan menggenggam tangan Adeeva kuat. Entah kenapa melihat menantunya seperti itu mendadak membuat Marinka sedih.Marinka merasa ada persamaan di antara dirinya juga Adeeva. Merasakan nasib buruk menimpa dirinya juga Adeeva yang divonis tidak bisa memberikan keturunan. Namun, Marink
Pagi ini Adeeva mencoba tetap ceria di meja makan. Meski jika mengingat perlakuan Leonel semalam yang tidak manusiawi membuatnya sangat sakit hati sekali. Namun, sebisa mungkin Adeeva tetap tersenyum di depan Marinka. Perempuan paruh baya itu sangatlah baik kepadanya hingga Adeeva tidak tega harus menceritakan semua kelakuan Leonel kepadanya semalam.Namun, tiba-tiba ada sebuah kertas melayang di depan wajah Adeeva yang membuat Adeeva langsung mengambil dan mengerut bingung.“Aku sudah setuju untuk operasimu. Cepatlah lakukan agar kau sehat kembali,” celetuk Leonel dari belakang tubuh Adeeva.Mendengar suara itu membuat Adeeva merasa berdebar. Bukan berdebar karena cinta, melainkan karena takut kepada Leonel.Bayang-bayang semalam benar-benar membuatnya trauma dengan pria yang kini duduk di sampingnya tanpa rasa bersalah sedikitpun.“Ta—““—tidak usah menolak. Lakukan tindakan medis untuk kebai