Pagi ini, aku tidak bisa menutupi gelisah. Rencana kedatangan Mama hari ini membuatku kepikiran. Meskipun sosoknya belum terlihat, aku sudah sangat takut. Aku tidak ingin dipisahkan dari Mas Arsya.Selepas memastikan Mas Arsya sarapan dan minum obat, aku mondar-mandir sendiri di kebun belakang rumah. Memetik cabai dan tomat untuk membuat sambal, hanya sebagai alasan klise. Aku tidak ingin Mas Arsya cemas. Mata ini tiba-tiba menangkap sosok Mas Mas Arsya. Dia berjalan mendekat dari arah pintu dapur. Senyumnya yang begitu mania selalu mengembang sekarang. Namun, laki-laki itu berjalan melewatiku tanpa berkata, lalu berhenti di depan pohon pisang. "Pohon pisang ini, pohon yang sangat baik dan tidak peduli diri sendiri. Dia cuma berpikir, bagaimana caranya bisa bermanfaat untuk makhluk hidup lain. Bayangan saja, setelah satu kali berbuah, dia pasti akan mati. Namun, daunnya masih bisa dimanfaatkan, buahnya bisa dimakan, dan dia sudah menumbuhkan tunas baru untuk menggantikan tugasnya ya
Mas Arsya sekalian mengajakku memeriksakan kandungan bersamaan jadwal kontrolnya. Kondisi Mas Arsya sudah sangat baik, tapi dokter memberikan surat rujukan untuk bisa kontrol di rumah sakit lain setelah kami mengatakan akan kembali ke Jakarta. Pun kondisi kehamilanku normal, sehingga sudah diperbolehkan melakukan perjalanan menggunakan pesawat. Aku rindu juga dengan suasana ibu kota negara tercinta ini. Apalagi dengan Bi Narti dan Kaniya. Mereka pasti juga merindukanku. Aku meminta Mas Arsya untuk tidak memberitahu kepulangan kami kepada asisten rumah tangga itu agar menjadi kejutan. Saat sedang berbenah, Mas Arsya melarangku membawa semua pakaian. Katanya, biar kalau kami kembali ke Jogja, tidak perlu membawa pakaian lagi. "Tapi, Mas. Bajuku di rumah Mas udah nggak ada. Dulu, aku bawa semua," bantahku. "Siapa suruh kamu kabur?" sahutnya menyebalkan. Dia malah mengungkit kesalahanku. "Siapa dulu yang mulai? Main rahasia-rahasiaan pula! Mana setiap hari aku dibikin sakit hati, dik
Aku merasakan sentuhan lembut di kepala, tapi mata ini masih enggan terbuka. Lelah di perjalanan tadi membuatku tidur sangat nyenyak. Telinga ini terasa seperti ditiup-tiup berulang kali, tapi masih tak kuhiraukan. Aku sedang dalam posisi tidak mau diganggu. "Ada kecoa!" Kecoa? Aku gelagapan saat mendengar nama hewan kecil itu disebut. Bulu-bulu halus di tangan langsung berdiri semua. Namun, saat bangkit dengan buru-buru dari tidur, aku disambut dengan pelukan dari Mas Arsya. Dia sudah duduk manis di tepian tempat tidur. "Cepet usir kecoanya, Mas! Aku geli," ucapku cepat sambil menenggelamkan wajah pada dada Mas Arsya. "Kecoanya banyak, Nda. Aku juga geli. Ini pasti Bi Narti bersihin kamarnya asal, deh," gerutu Mas Arsya. Pelukannya justru makin kencang. Aku pun lantas berteriak, memanggil Bi Narti dan menyuruhnya mengusir hewan pengganggu itu. Rasanya enggan menarik diri dari pelukan Mas Arsya jika masih ada kecoa yang berkeliaran. Hewan kecil itu sebenarnya tidak menakutkan, ta
Mas Arsya mengatakan jika pagi ini, Mama akan datang berkunjung. Dia juga mengingatkan agar aku bersiap karena harus datang ke persidangan pertama Jihan. Gadis itu rupanya sudah ditahan sejak dua pekan yang lalu karena semua bukti yang diperlukan pihak kepolisian sudah komplet. Aku sebenarnya tidak tega, tapi hukum sudah berjalan dan semuanya harus jelas. Ada rasa takut yang masih melekat di hati, tapi pengacara yang mengurus kasus kami dengan Jihan, sudah mengarahkanku untuk mengatakan apa saja yang diperlukan. Terkadang, aku sadar jika hati ini begitu rapuh. Namun, ada saatnya aku harus tetap waras dengan memperlihatkan tawa di depan banyak orang. Konyol memang, tapi saat aku bersama Mas Arsya yang sekarang, sikap Amanda berubah drastis. Seperti orang yang awalnya garang, bisa berubah begitu manis. Lalu, orang yang awalnya penyabar, bisa berubah menjadi pemarah. Itu memang bukan watak bawaan, tapi cenderung ekspresi pada kenyataan yang dialami. Dan aku sekarang memilih untuk meni
Hari ini, hari terakhir cuti Mas Arsya. Tepat satu bulan lamanya dia tidak bekerja. Ria harus kembali ke tempat kerjanya untuk menyelesaikan tugas yang belum selesai sebelum akhirnya mengajukan resign. Mas Arsya sudah bertekad untuk mengajakku pindah meskipun rencana itu belum terlalu matang. Ditambah lagi, permintaan Mama dan Papa yang menambah dilema. Mama meminta Mas Arsya membantu di perusahaan Papa dan mengajak kami untuk tinggal bersama di rumah mereka. Aku sendiri juga bingung, tapi semua keputusan kuserahkan kepada Mas Arsya. Dia pasti mencari solusi yang terbaik. Lagi pula, hubunganku dengan Mama memang sudah lebih baik meskipun masih ada rasa canggung saat bertemu. "Kalau Sayang bersedia, kita akan pindah ke rumah Mama sama Papa. Kamu baru sekali ke sana, 'kan, setelah kita menikah?" cetusnya saat kami sedang bercengkrama di depan televisi yang menyala. Mendengar ucapan Mas Arsya, aku justru menunduk. Masih ada sedikit keraguan jika harus tinggal bersama Mama dan Papa. Ak
Aku dan Mas Arsya terpaksa menerima permintaan Mama untuk menginap. Kami tidak enak menolak karena ini adalah kali pertama aku tidur di rumah mertua sejak menikah dengan Mas Arsya. Dulu, acara ngunduh mantu dilaksanakan di rumah Mas Arsya dan aku hanya sempat diajak satu kali saja di rumah besar ini untuk bertemu keluarga besar. Itu pun tidak menginap.Mama benar-benar sudah berubah sikap terhadapku. Namun, seperti masih ada ganjalan di hati mengenai apa alasan beliau. Bukannya ingin berprasangka buruk kepada mertua, tapi memang keraguan belum mau enyah dari pikiran. "Belum tidur?" Mas Arsya muncul dari balik pintu yang baru saja terbuka. Aku menggeleng pelan, lalu berkata, "Nggak bisa tidur. Mungkin karena belum terbiasa aja sama tempat ini. Aku orangnya susah buat adaptasi."Mas Arsya lantas naik ke tempat tidur, di sampingku. "Kalau ada aku, harusnya bisa tidur nyenyak di mana pun."Kamu duduk berdampingan, lalu kusandarkan kepala di lengannya. Kehadirannya memang sangat berarti.
Bi Narti mengoceh panjang saat aku datang. Katanya ada tamu semalam, tapi saat diminta menunggu untuk menghubungiku atau Mas Arsya, orang itu memilih pergi. Bi Narti juga belum sempat menanyakan nama orang itu. Aku memilih masuk kamar saat Bi Narti menawari makan siang. Tadi, aku sudah makan di acara arisan dengan Mama. Jadi, rasanya masih cukup kenyang. Aku lantas berganti pakaian rumahan yang lebih nyaman dan bergegas mengambil wudu. Sudah pukul satu siang, sedangkan aku belum salat Zuhur. Aku masih saja kepikiran dengan sikap Mama. Apa yang sebenarnya membuat dia marah? Kenapa meskipun sudah dijelaskan, prasangkanya terhadapku masih saja ada? Adam? Apa mungkin Mama ada masa lalu buruk dengan laki-laki itu? Atau masih ada hubungannya dengan Jihan? Ah, memikirkan itu membuatku kembali dilanda kebingungan. Terserah saja Mama mau menganggapku seperti apa, yang penting tuduhan itu tidaklah benar. Usai salat, pintu kamarku diketuk, lalu diikuti panggilan dari Bi Narti. Aku pun berge
PoV ArsyaManda cenderung diam sejak sore tadi. Selepas dia mandi, azan Magrib berkumandang. Kami pun salat berjemaah dan melanjutkan mengaji hingga Isya. Selama itu pula, kami fokus dengan bacaan masing-masing. Namun, usai salat Isya, Manda tetap diam dan hanya sesekali menanggapi perkataanku. Sepertinya, dia marah karena aku membuang bunga yang tidak jelas pengirimnya tadi. Dia terlihat begitu kecewa, bahkan selalu memalingkan muka ataupun menunduk saat kuajak bicara. "Sayang, jangan tidur dulu. Makan malam dulu, yuk!" ajakku saat dia justru merebahkan badan di tempat tidur usai melipat mukena. "Aku nggak pengen makan. Mau tidur aja," jawabnya, lalu menarik selimut hingga leher. Aku sangat bingung jika menghadapi Manda yang diam seperti itu. Akan lebih baik jika dia marah-marah dan mengeluarkan semua yang mengganjal di hati. Aku lebih siap mengahadapi sikapnya yang seperti itu daripada sikap diamnya. "Aku bawa makanannya ke sini, ya? Atau mau disuapi?" Lagi-lagi, ucapanku tida
PoV ArsyaAku tidak pernah menyalahkan Manda dengan sikapnya yang kadang kala seperti anak kecil. Itulah dia apa adanya. Sekali, dua kali, tiga kali dikecewakan, dia masih bisa bersabar. Semua terbongkar sudah kenapa dia begitu marah saat aku menunda kepulangan dari Kalimantan selama beberapa hari lagi. Semua orang merahasiakan sesuatu dan baru sekarang aku mengetahui kejadian sebenarnya. Afkar sempat demam tinggi dan mengalami kejang sehingga dirawat selama satu hari di rumah sakit. Kemungkinan karena anak itu tidak bisa jauh dariku terlalu lama. Padahal, saat itu baru dua hari aku pergi. Ya, kekecewaan Manda bukan karena egois, tapi dia marah karena itu berhubungan dengan Afkar. Mama menceritakan betapa Manda kebingungan karena harus bolak-balik dari rumah ke rumah sakit sampai sepuluh kali dalam sehari. Syifa yang rewel karena belum pernah jauh dari sang bunda dan Afkar yang terus mencariku. Sementara Syifa tidak mungkin dibawa ke rumah sakit. "Kenapa nggak ngabarin aku, Ma? Aku
PoV ArsyaBayu terperangah saat aku membuka tudung kepala dan kacamata hitam. Dia beringsut mundur dan tampak gugup. Namun, dia juga tidak lari. Mungkin, dia kaget dengan keberadaanku."Ba–bapak kenapa bisa di sini?" tanyanya terbata-bata. "Siapa dia, Pak Bayu? Apa perlu saya—""Diam! Dia adalah Pak Arsya, pemilik Jaya Properties!" seru Bayu kepada laki-laki bertubuh besar yang ada di belakangku. Semua orang yang ada dan melihat kejadian ini, terdengar berkasak-kusuk. Kebanyakan mereka menghujatku karena mengira sebagai orang yang bertanggung jawab dalam pembelian tanah korban kebakaran. Aku lalu menghubungi Damar. Dia bilang, sudah selesai membeli semua barang dan memastikan sampainya barang-barang itu di pengungsian. Sekarang, dia sedang menuju ke tempatku berada. Aku kini justru dikepung warga yang tidak terima dengan harga pembelian tanah mereka. Sementara Bayu berhasil lolos dengan tipu dayanya. Kebanyakan menyalahkanku dan meminta pembatalan pembelian."Saya memang pemilik p
PoV ArsyaKalau orang bilang, pasti aku dan Damar itu seperti surat dengan perangko yang menempel terus ke mana pun. Di Kalimantan ini, Damar pun ikut denganku dan kali ini, tanpa Edo yang bisanya menjadi pelengkap tiga sekawan. Edo sedang ada pertemuan dengan klien lain di Jakarta. Dia juga orang sibuk. Sampai di Kalimantan, aku dan Damar langsung menuju hotel terlebih dahulu karena pertemuan dengan Pak Hamdan sudah dijadwalkan selepas makan siang. Sementara saat ini, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. "Satu kamar aja, nggak apa-apa, kan, Mar? Tapi, aku ambil tempat tidurnya yang dua," kataku setelah memesan kamar. "Saya, sih, nggak apa-apa, Pak. Cuma, apa Bapak nyaman satu kamar sama sopir?" jawab Damar dengan kalimat tanya juga. Mendengar itu, aku justru tertawa. "Kamu masih makan nasi, kan?" "Iya, Pak. Memangnya kenapa? Tadi, saya juga sudah sarapan." Damar berbicara seperti tidak paham dengan ucapanku. "Ya sudah, berarti aku aman. Soalnya, teman satu kamarku bukan
PoV ArsyaDamar berhasil membawa Kasih, istri dari korban di apartemen yang membuat namaku buruk di mata publik. Acara konferensi pers ini juga dihadiri beberapa wakil dari pihak kontraktor, termasuk Pak Alif Nurdiansyah selaku pemilik perusahaan kosntruksi itu. Memang proyek apartemen itu sudah berlangsung lebih dari dua tahun, sejak sebelum aku mengenal Pak Zaidan. Kasih tidak bisa lagi memberikan tuduhan di depan banyaknya kamera yang merekam kami. Dia juga akhirnya mau menerima jalan damai yang aku dan Pak Alif tempuh dengan memberikan jaminan penghidupan yang layak untuk calon anaknya yang masih dalam kandungan hingga lulus jenjang perguruan tinggi. Aku juga memberinya pekerjaan sebagai staff marketing dengan jam kerja bebas karena memperhitungkan kondisinya yang tengah mengandung. Aku memberinya posisi itu karena dia rupanya lulusan SMK dan mempunyai ijazah D3 Managemen Pemasaran. Keterbatasan ekonomi membuatnya tidak bisa melanjutkan jenjang S1 dan dia kesulitan mendapat peke
PoV ArsyaSatu masalah selesai, datang lagi masalah baru. Lelah sudah pasti, tapi selama Manda selalu di sisi, semuanya terasa lebih mudah. Dia selalu mendukungku dalam segala hal yang masih dalam koridor kebaikan. Aku sangat beruntung memilikinya. dengan ancaman perempuan yang suaminya menjadi korban kecelakaan di apartemen. Namun, aku tidak ingin Manda ikut kepikiran dengan masalah itu. Apalagi, berita di media elektronik dan sosial yang simpang siur. Aku sebenarnya tidak takut dengan berita miring yang beredar. Namun, tuduhan tentang korupsi dana yang membuatku tidak habis pikir. Aku yang menggelontorkan dana untuk pembangunan apartemen itu dan lahan pun milikku, mana mungkin aku membuat buruk nama sendiri? Pengacara perusahaan pun memberiku support untuk tetap tenang. Juga semua karyawan yang percaya sepenuhnya denganku. Akan tetapi, banyak juga yang membuat namaku makin dituding buruk. Mereka yang merasa tersaingi dengan pesatnya peningkatan perusahaanku tentunya. Aku memijat-
PoV ArsyaBerita tentangku dengan Galuh rupanya tersebar di media sosial. Apalagi, foto saat awalnya aku duduk di sebelah Galuh, sempat tersebar. Memang sebelumnya aku tidak terlalu peduli duduk bersebelahan dengan perempuan itu, tapi karena mulai ada tanda-tanda tidak beres, aku pun bertukar tempat dengan Damar. Siapalah aku yang sampai menjadi incaran pemburu berita? Apa istimewanya juga meliput tentangku? Bahkan, menyebarkan berita hoax yang bisa saja membuat kehidupanku menjadi kacau. Untungnya, Manda bisa berpikir positif dan tidak langsung menuduhku macam-macam. Saat anak-anak sudah tidur lagi, Manda memperlihatkan berita tentangku di akun Instagram miliknya. Cukup viral juga. Namun, yang membuat geram itu caption yang dituliskan "Pemilik Jaya Properties Berlibur ke Belitung dengan Putri Bungsu Pemilik Lahan yang sedang Digarap menjadi Resort di Pelabuhan Ratu." Jelas salah total apa yang diberitakan. Aku ke sana hanya untuk bisnis dan pemilih lahan resort itu bukan lagi ayah
PoV ArsyaSelepas Subuh, aku sudah berangkat ke Bandara karena Manda justru memaksaku pergi ke Belitung. Dia tidak lagi mempermasalahkan kesibukanku sejak semalam. Setelah kami sama-sama melepas rindu, dia tiba-tiba memberiku izin. Sebenarnya, aku justru takut jika dia seperti itu. Manda seperti menganggap dirinya tidak penting bagiku. Aku bertekad dalam hati akan mengambil libur setelah urusan di Belitung selesai. Lagi pula, nanti sore, aku sudah kembali lagi ke Jakarta. Aku ke sana juga tidak sendiri. Edo dan Damar aku paksa ikut. Sebagai asisten pribadi, Damar sangat dibutuhkan karena dia juga berperan sebagai sekretarisku. Sekitar pukul delapan pagi, aku dan yang lain sampai di bandara Pulau Belitung. Kami pun langsung menuju tempat pertemuan dengan klien yang dijadwalkan pukul sembilan pagi. Masih ada waktu satu jam lagi untuk kami menyiapkan presentasi. Aku juga harus membaca ulang proposal yang dikirimkan oleh pihak klien lewat email kepada Edo. Satu orang yang berada di ant
PoV ArsyaManda makin sibuk mengurus Afkar dan Syifa. Untungnya, kami tinggal bersama Mama dan masih ada Resti sehingga dia tidak terlalu kelelahan. Meskipun begitu, tuan putri kecil kami tidak pernah absen mengajak bergadang sampai usianya sekarang sudah tiga bulan. Dia bahkan sudah bisa diajak bercanda dan mulai belajar tengkurap. Untuk hadiah kunci saat itu, Manda tidak menolak, tapi hadiahnya malah aku yang memakai. Apa lagi, mobil yang dulu kacanya pecah, sudah kujual karena membuat trauma. Kemudian, mobil yang satunya, aku biarkan dibawa oleh Damar. Kasihan saja kalau dia harus bolak-balik pakai motor untuk pulang dan pergi. Jadi, biar dia sekalian yang merawat mobilku dan saat dia datang, aku tinggal berangkat. Tidak perlu memanaskan mesin dulu. "Hari ini jadwal imunisasi Syifa, Mas. Minggu lalu, Mas Arsya udah janji mau anter, loh," ucap Manda saat aku sudah siap akan pergi ke kantor. Aku menatapnya bingung. Aku diam, bingung harus menjawab apa. Aku benar-benar lupa dengan
Hari ini, akikah untuk Syifa dilaksanakan. Rumah Mama dan Papa ditata begitu meriah sehingga penuh dengan tamu yang kebanyakan adalah teman kerja dan keluarga besar. Aku bersyukur karena banyak yang datang dan ikut mendoakan putri kecilku. "Mas, bekas jahitannya nyeri."Mendengar keluhan Manda itu, aku bergegas membawanya ke kamar. Dia pasti kelelahan dan terlalu banyak bergerak saat acara. Syifa pun aku minta kepada Mama untuk dibawa masuk. Apalagi, untuk proses akikah, memang sudah selesai. Tinggal makan bersama saja dengan para tamu. Untungnya, Sofyan juga ada di acara ini dan dia kuminta untuk memeriksa Manda. Katanya, tidak ada apa-apa, hanya kemungkinan karena terlalu banyak bergerak saja. Sofyan lalu menyuruh untuk memberikan obat pereda nyeri saja setelah memastikan Manda makan."Nak Arsya keluar saja. Biar Ibu yang jagain Manda sama Syifa. Para tamu nyariin tadi." Ibu ikut masuk ke kamar ini dan mengambil alih piring berisi makanan yang akan aku berikan untuk Manda. "Iya, S