Share

Musnah

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-11 18:50:04

Ivan turun dari helikopternya, tergesa-gesa ia berlari sembari menabrak kerumunan lainnya. Rumahnya telah hangus seperti yang digambarkan oleh bawahannya. Letak kediaman lelaki itu yang agak masuk ke dalam dan diantara dereten pohon pinus membuat orang-orang terlambat memanggil pemadam kebaran dan menolong.

Ivan memperhatikan tiga jenazah di hadapannya, semuanya tertutup selimut putih. Ia buka perlahan-lahan sembari menguatkan hatinya. Sintia dan dua anaknya telah hangus di dalam rumahnya sendiri. Rumah yang ia bangun dengan susah payah.

Lelaki itu kemudian pergi, tak kuat menahan pedih hati kehilangan orang-orang yang ia sayangi. Semua khayalannya tentang hidup mewah bergelimangan harta bersama keluarganya, musnah sudah. Ivan tak lagi punya tempat untuk pulang dan melepaskan lelah.

***

Lelaki berwajah bengis itu memperhatikan sisa rumahnya. Ia berjalan ke arah rumah yang diberi garis batas keamanan. Foto-foto keluarganya hangus. Semua barang mahal yang ia beli pun lenyap tak bersisa.

“Kau rasakan sendiri akibat perbuatanmu.”

Ivan menoleh, ia merasa ada yang berbisik dan menghina dirinya. Namun, sejauh mata memandang tak ada siapa pun di sana. Bawahannya datang sembari berusaha memberi kabar yang akan semakin menggetarkan hati lelaki itu.

“Katakan.” Satu kata terucap ketika ia menyentuh abu pembakaran rumahnya.

“Istrimu, Bos. Dia, dia.”

“Cepat!”

“Dia terbakar dalam keadaan sedang hamil muda. Baru saja petugas otopsi mengabarkan.” Tak ingin menjadi sasaran murka tuannya, tentara itu kemudian mundur dan menunggu saja di dalam mobil.

Ivan tak kuasa menahan hancur hatinya. Semuanya telah diambil secara paksa darinya tanpa tersisa sedikit pun. Ia tak lagi memiliki siapa-siapa di dunia ini. Ia yang yatim piatu dan terbiasa hidup keras dari kecil.

“Ternyata ini kejutan yang kau sembunyikan dariku. Kenapa? Apa kau marah karena aku mengkhianati kesetiaanmu, Sintia?” Ivan duduk dan berbicara seorang diri. Ia melakukan hal itu berjam-jam lamanya. Menyesal mengapa tak menuruti permintaan istrinya yang meminta makan malam romantis di tepi laut seperti tahun-tahun yang sudah lalu.

“Impas. Kau akhirnya kehilangan keluargamu juga.”

Satu bisikan pedih datang lagi. Ivan gelap mata, ia mengambil senapan laras pendeknya. Ia tembakkan ke sembarang arah agar suara-suara yang menghinanya tak datang lagi. Lelaki itu mulai kehilangan arah.

Beberapa bawahannya mencoba mendekat ketika Ivan menjerit dan berbaring di tanah. Mereka mengambil senapan yang telah kosong, lalu membawa bosnya masuk ke dalam mobil. Baru pertama kali dalam hidupnya Ivan begitu pasrah diatur orang, biasanya ia yang selalu dominan terhadap orang lain. Sepanjang mobil lelaki berwajah bengis itu hanya diam saja memandang jalanan, tak ada air mata yang tumpah. Ia hanya membayangkan bagaimana jerit tangis Sintia dan anak-anaknya ketika berusaha keluar dari kobaran api.

Mobil itu berhenti di kantor Ivan. Ia dibawa masuk ke dalam ruangannya. Diminta untuk menginap di sana sampai semuanya membaik. Beberapa helai pakaian ditinggalkan untuknya.

Lelaki itu merebahkan dirinya di sofa ketika ia hanya tinggal sendiri saja. Sepi begitu terasa, biasanya ia akan berkumpul bersama dua anak lelakinya yang mulai tumbuh mengenal dunianya sendiri. Dan di malam hari Sintia akan bermanja-manja di pelukannya, hingga mereka berdua melewati malam yang penuh kehangatan dalam satu selimut yang sama. Kini semuanya tak ada lagi, benar-benar sunyi.

Perlahan-lahan mata lelaki itu terpejam, ia larut ke dalam mimpi. Di sana ia melihat bagaimana jerit, tangis, pekik minta tolong kaum muslimin yang ia bantai satu per satu. Dengan matanya sendiri pula ia lihat bagaimana para pejuang terbakar dalam kobaran api akibat bom yang ia lesatkan.

Kemudian, tak lama setelahnya pemandangan itu berganti. Sebuah kisah pilu ketika ia memerintahkan bawahannya untuk menembak mati kedua orang tua Gu, gadis yang ia tiduri. Lalu bagaimana ketika Gu ia lempar dari atas helikopter.

Gambaran mimpinya berubah, ia melihat Sintia sedang mempersiapkan ulang tahun pernikahan mereka. Istrinya mengeluarkan kue dari oven listrik. Terjadi sebuah kesalahan tekhnis. Oven listrik itu konslet dan meledak menyambar tubuh Sintia hingga terlempar beberapa meter dari dapur. Api merambat dengan cepat, membakar rumah yang dibangun dengan kayu hutan. Lanjut merambat gorden, sofa dan benda-benda lainnya. Dua anak lelakinya berusaha keluar dari rumah. Terlebih dahulu mereka mencari keberadaan ibunya yang telah tak bernyawa di dapur. Api terus menjalar mengurung dua anak lelaki itu, selanjutnya .... Ivan terbangun dengan peluh yang bercucuran di keningnya. Ia kepanasan di tengah musim salju yang sebentar lagi akan tiba.

Lelaki itu membuka sebotol air mineral, meski telah tandas ia merasa rasa hausnya tak kunjung hilang. Ia pun membuka pintu jendela ruangannya. Membiarkan angin dingin masuk dan menyejukkan tulang-tulangnya.

“Apa rasanya kehilangan?”

Ivan menoleh, ia melihat sosok Gu di kaca jendela. Berdiri menertawakannya tanpa belas kasihan. Lelaki itu mencari di sekeliling ruangannya. Suara gadis bemata biru itu terus menggema. Ivan ambil patung kayu yang ada di mejanya. Memecahkan kaca jendela agar bayangan Gu hilang dan tak mengganggu nyenyak istirahatnya.

Kaca tersebut hancur menjadi serpihan-serpihan tajam. Dari serpihan tajam itu muncul begitu banyak sosok Gu yang menunjuk-nunjuk wajah Ivan. Lelaki itu gelap mata, ia injak kaca itu hingga semakin pecah berkeping-keping. Ia pukul lantai sampai tangannya tergores kaca dan berdarah. Lelaki itu menjerit sekuatnya. Air mata yang ia tahan sedari tadi akhirnya jatuh juga.

“Tidak. Pergi kau dariku, wanita hina!” Ivan melempar semua benda yang ada di atas mejanya. Ia mengamuk membati buta, membalikkan sofa, memukul dinding dan meraih belatinya. Berusaha menikam Gu di arah mana saja ia lihat. Lelaki itu dihantui dosanya sendiri.

Beberapa orang datang mencoba menenangkan Ivan. Tak kurang dari lima orang. Namun, tak mudah, Ivan terlalu kuat untuk ditaklukkan. Bersusah payah lelaki lain di kesatuan itu mencoba menahan agar Ivan tak mengamuk. Ia akhirnya dijebloskan ke dalam penjara, ketika tak juga bisa menenangkan diri, bahkan ketika mencoba menembak kepalanya sendiri.

Di dalam penjara Ivan menangis sekuatnya. Ia masih meluapkan emosinya, sebab bayangan Gu senantiasa berwujud di matanya. Lelaki itu menarik napas dalam berkali-kali, meredam emosinya yang tak beraturan. Ivan sampai tak sadar, di dalam penjara itu ia tak sendirian. Ia ditemani dengan tawanan lama yang telah belasan tahun mendekam di sana. Seorang laki-laki yang tengah mencari anaknya yang diculik oleh tentara Balrus. Lelaki tua beragama Islam.

“Kau baik-baik saja?” sapa lelaki itu padanya.

Ivan menoleh dan memandang lawan bicaranya. Ia sangat mengenali identitas yang melekat pada wajah lelaki itu, janggut yang lebat serta pakaian sorban di kepalanya walau telah usang.

“Untuk apa kau bertanya? Apa kau sedang menghina dan mencoba mengasihaniku?”

“Aku tak perlu melakukannya. Aku hanya kasihan dengan anak-anak yang kalian pisahkan dari orang tuanya. Kalian apakan bocah-bocah tak berdosa itu?” Lelaki tua itu menata mata Ivan, melalui cahaya yang remang-remang, ia terperanjat melihat raut wajah itu. Bola mata abu-abu Ivan begitu mirip dengan …

Bersambung

Bab terkait

  • DILEMA DUA HATI    Guratan Masa Lalu

    Mata abu-abu milik Ivan nyaris sama dengan mata milik anaknya yang hilang puluhan tahun lalu. Lelaki bernama Hamis itu mencari keberadaan putranya yang dibawa tentara musuh, saat wilayahnya diserang ia dan istrinya berhasil menyelamatkan diri sedangkan sang putra semata wayang berhasil ditangkap dan dibawa masuk ke dalam mobil. Tidak banyak orang di dunia ini yang memiliki mata berwarna abu-abu, hanya 1% dari total penduduk dunia. Namun, Hamis tak mau berharap banyak, sebab kebengisan sangat tergambar jelas di mata Ivan. “Akan kami apakan anak-anak itu? Pedulimu apa, Pak Tua? Lebih baik kau urus saja hidupmu sebentar lagi. Eksekusi matimu sudah ditetapkan sejak seminggu lalu. Aku sendiri yang akan mencabut nyawamu. Lalu kau temui bidadari-bidadari surga yang akan menyambutmu dengan tubuh gemulai. Dasar pemuja nafsu!” ketus Ivan sambil menenggelamkan kepalanya. Ia masih berusaha sekuat tenaga menepis bayangan Gu yang terus menuding dirinya. Lelaki berkepala plontos itu sudah kehilanga

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-28
  • DILEMA DUA HATI    Pesan Ayah

    Ivan melirik, ia bisa melihat dengan kedua mata abu-abu itu, lelaki tua di sebelahnya sedang melantunkan ayat suci. Namun, tidak sedikit pun bibirnya bergerak untuk meminta Hamis berdiri. Ivan teramat lelah, rasa kehilangan dalam dirinya telah menciptakan duka luar biasa. “Apa ini yang dialami oleh mereka ketika aku merenggut kehidupan yang tengah mereka jalani?” gumam Ivan. Ia meringkuk lagi, membiarkan Hamis terus mengaji hingga lelaki bengis itu kembali terlelap. Kali ini ia benar-benar berharap agar Gu tak lagi mengganggu tidurnya. Dihantui terus-menerus itu bisa membuatnya nyaris gila. Hamis berhenti mengaji, ia benar-benar tak bisa menampik perasaan ketika gaya tidur Ivan mirip dengan Sarah—istri yang telah lama ia tinggalkan. Hamis sendiri tak tahu apa istrinya masih setia menunggu. Namun, jika wanita yang ia sayangi itu memutuskan menyerah lalu memilih menikah lagi pun, ia tak akan marah. Wajar, tidak hanya lelaki saja yang butuh pendamping. Perempuan pun demikian, butuh din

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-28
  • DILEMA DUA HATI    Persiapan

    Ivan tinggal di kantornya selama belum jelas akan ia kemanakan dirinya sendiri. Hanya beberapa helai baju yang ia beli, tak banyak, sebab biasanya Sintia yang akan mengurus semua kebutuhannya. Mulai detik ini ia harus membiasakan diri untuk mempersiapakan semuanya sendirian. Entah sampai kapan. Ia menyesal, bukan karena banyaknya darah umat muslim tumpah di tangannya. Namun, karena mengkhianati kesetiaan sang istri padanya, hingga berakibat pada tewas seluruh anggota keluarga Ivan bahkan yang masih di dalam perut. Sesekali lelaki berkepala plontos itu mengunjungi penjara, ia sedang menghitung di mana tak sampai lima hari kemudian Hamis akan dieksekusi mati. Setiap kali Ivan mengunjungi lelaki tua itu, amarahnya mereda. Ia tak ingin memperlakuan Hamis dengan buruk, tapi tak juga terlalu baik. Ia tetap saja menghardik lelaki yang sudah puluhan tahun di dalam sana setiap kali Ivan dipanggil dengan kata Nak. Anehnya, Ivan masih suka berkunjung. Bahkan sampai di tiga hari menjelang ekseku

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-28
  • DILEMA DUA HATI    Eksekusi Mati

    Hari yang ditunggu tiba. Ivan sudah bersiap dengan pakaian lengkap layaknya menghadapi seorang teroris dengan persenjataan tak kalah mematikan pula. Dua hari menjelang eksekusi mati ia bagai dikejar masa lalu yang sungguh tak ingin lelaki itu ketahui. Masa di mana ia masih dipanggil dengan nama Adhilzan. “Bawa keluar lelaki tua itu!” perintah Ivan pada bawahannya. Enam orang tentara memasuki penjara itu. Membuka kunci jeruji besi. Hamis baru saja menyudahi lantunan terakhir ayat sucinya. Ia senang sebab menghadapi kematian sesegera mungkin. Dan ia bahagia juga atas hadiah kecil yang diberikan Rabb padanya. Masa-masa indah dulu ketika baru saja menikah dengan Sarah, punya anak lelaki dan hidup saling melengkapi, semua terulang lagi dalam mimpinya. Sedikitnya hati Hamis tak terlalu merasa bersalah meninggalkan istrinya selama puluhan tahun. Enam orang tentara berpakaian hitam itu membawa tubuh ringkih Hamis. Bak penjahat yang sudah tak terampuni lagi kejahataannya. Padahal lelaki itu

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-28
  • DILEMA DUA HATI    Penyesalan

    Ivan terbangun setelah tubuhnya diguyur dengan seember air dingin. Musim dingin telah masuk semakin menggigit, lelaki bertubuh tinggi itu tak diberikan pakaian yang layak, sudahlah tipis selimut pun banyak yang robek. Sejak kejadian penembakan brutal sebulan yang lalu. Ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan militer. Terlalu banyak saksi hidup dan juga barang bukti beruma kamera CCTV. Ivan pun tak menyangkal sama sekali. Kini di hatinya hanya bercokol rasa sesal tiada tara. Sebab oleh perantara tangannya, sang ayah yang telah terpisah puluhan tahun lalu, tewas dengan cara mengenaskan. “Jangan terlalu lama tidur, kawan. Nanti juga kau pasti akan terlelap dalam peti mati lalu dibakar,” ucap Hendrik. Kini tak ada lagi penghalangnya demi meraih karir militer yang lebih tinggi. Pesaing yang ia anggap mumpuni telah dengan bodohnya menghancurkan semua yang sudah dibangun. “Pergi. Kau bukan temanku,” usir Ivan. Ia hanya meringkuk menahan dingin dalam ruangan gelap itu. Sendirian lelaki berke

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-28
  • DILEMA DUA HATI    Rencana Pelarian

    Satu bulan sudah Ivan ditahan dalam penjara tingkat tinggi itu. Ia belum mau mati, takut banyak dosa dan tak akan bertemu dengan ayahnya kelak di akhirat nanti. Setidaknya hanya itu yang ia ingat tentang agamanya dulu. Lelaki bertubuh tinggi itu tak terlalu bergaul dengan tahanan lainnya. Ia selalu menyendiri, pun ia juga diawasi walau hanya pergi ke kamar mandi.Agar tak menimbulkan kecurigaan, bekas militer itu tak senang membuat keributan. Ia bekerja dengan baik sesuai dengan arahan. Membersihkan salju yang setiap hari terus menebal, dan apa saja yang diperintahkan oleh petugas jaga. Tentu saja sambil mengawasi semua sudut penjara bahkan matanya memindai sisi luar yang juga tertutup salju. Jika nekat lari tanpa rencana yang matang, sudah tentu akan mati membeku di luar sana. Dingin suhu di Balrus jangan ditanya lagi, bisa minus di bawah nol derajad celcius. Malam itu tiga orang kuasa hukum dari pemerintahan Balrus datang ke ruang tahanan Ivan. Vania masih betah bekerja di sana wal

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-04
  • DILEMA DUA HATI    Menyelamatkan Keimanan

    Satu, dua, tiga. Ivan menghitung detik jam dari arloji yang ia curi. Lelaki bertubuh tinggi tegap itu telah mengenakan seragam yang warnanya sedikit pucat terkena pemutih. Di dalam gudang tempat tenaga listrik cadangan berada ia lemparkan mayat salah satu petugas yang telah ia lenyapkan nyawanya. Hari ini ia harus memperoleh kebebasan, demi bisa menyelamatkan dirinya dari kematian yang menakutkan juga demi mengunjungi makam ayah yang waktu kecil begitu ia hormati. Kemudian, ledakan besar terjadi. Ivan melemparkan minyak yang bisa menyulut api, tak lupa kabel-kabel yang masih terhubung dengan tenaga listrik juga turut terbakar. Hasilnya, ledakan besar pun terjadi. Lelaki itu telah berada di dekat motor yang tempo hari. Api begitu cepat merambat sebab musim semi anginnya sedikit lebih kencang. Beberapa petugas langsung berusaha mencegah api yang begitu cepat merembet. Tak luput beberapa orang terkena sambaran api, begitu juga dengan para tahanan. Singkatnya, di malam itu Ivan mengeksek

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-04
  • DILEMA DUA HATI    Teman Sejalan

    Ivan dibawa ke kerumunan para penyintas. Di sana ada banyak umat muslim yang berusaha menyelamatkan diri ke Negeri Syam. Ya, meski pemerintahan Balrus mengharamkan penduduknya untuk memeluk agama Islam. Namun, tetap ada yang menganutnya meski tak mudah. Sama halnya dengan hidayah. Tidak ada yang bisa menghalangi ketika sudah tiba masanya untuk singgah di hati anak cucu Adam. Dua tenda berdiri di sana. Digunakan untuk tempat beristirahat wanita dan anak-anak. Ivan mengingat bahwa ia baru saja membunuh tiga orang tentara Balrus. Sesuai dengan pengalamannya. Tidak lama lagi akan ada anjing pelacak disertai satu pasukan yang akan menyusuri wilayah sampai ke kedalaman. Tak lupa pula dukungan drone dalam memantau situasi. “Sebaiknya kita cepat pergi dari sini. Aku khawatir persembunyian kita akan diketahui,” ucap Ivan. Ia duduk bersandar di dekat pohon pinus. Tangannya meraba kantong celana bekas yang ia beli. Ada sebatang rokok yang ia temukan. Ia meminta api untuk menghidupkan rokok ter

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-04

Bab terbaru

  • DILEMA DUA HATI    Home Sweet Home

    Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi

  • DILEMA DUA HATI    Bersama Zahra

    Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,

  • DILEMA DUA HATI    Gombal

    Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig

  • DILEMA DUA HATI    Terlalu Polos

    Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug

  • DILEMA DUA HATI    Lelaki Yang Gugup

    Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me

  • DILEMA DUA HATI    Benang Merah

    Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek

  • DILEMA DUA HATI    Pertandingan Sepak Bola

    Bagian 189 Pertandingan Sepak Bola Pagi-pagi selepas Shubuh Maira sudah siap dengan seragam lengkapnya, minus rompi anti peluru saja, pistol dan HT turut serta ia bawa. Ia ada pekerjaan penting dari pagi sampai sore, makan dan sholat di sana saja. Namun, sebelum pergi ia sempat berpamitan pada Ali yang memandangnya agak berbeda pagi itu. “Ayah pergi menonton sepak bola nanti?” tanya Maira. “Tidak, Ayah sudah cukup tua untuk urusan itu, biar yang muda-muda saja.” “Terus rapi sekali pagi ini, Ayah mau pergi ke mana?” Agak curiga Maira. “Ada urusan penting, demi keluarga ini juga.” Ali menyembunyikan tujuannya hari itu pada putrinya. Jika Maira tahu sedang dicarikan jodoh, bisa-bisa ia mengelak lagi. “Oh, kabari bagaimana hasilnya, ya. Aku pergi dulu.“ Pagi itu Maira menggunakan mobil polisi karena tugas besar yang ia emban. Maira memimpin tim untuk menjaga keamanan pertandingan sepak bola di salah satu stadion olahraga. Putri Ali mengawasi di tempat duduk khusus perempuan, yang

  • DILEMA DUA HATI    Pengorbanan Seorang Ayah

    Bagian 188 Pengorbanan Seorang Ayah. Gu dan tiga putrinya pulang ke kota tempat tinggal mereka menggunakan kereta cepat. Di dalam kendaraan ekpres itu, Maira hanya diam membisu memandang salju yang terus turun dari langit. Salju sebentar lagi akan berhenti, dan Hira kembali sekolah menyelesaikan pendidikannya, lalu Zahra yang masuk pendidian tingkat pertama. Maira sendiri? Tetap bekerja. Kantor tempatnya mengabdi juga mengalami revolusi besar-besaran, imbas dari kasus Gubernur Asad. Jadi sampai musim panas nanti putri Ali akan sangat sibuk. Namun, tak mengapa, dia jadi bisa melupakan Fahmi. “Kau pasti sudah kembali hidup di kota asalmu. Semoga kita tak akan pernah berjumpa lagi,” gumam Maira dalam keheningan. Ibu dan dua adik kandungnya sedang terlelap, jadi polisi wanita itu menjaga mereka dengan baik. Masalah luka hatinya, ia yakin akan membaik dengan sendirinya. Sampai juga empat perempuan beda generasi itu di stasiun. Tadinya Gu ingin menelepon Ali untuk menjemput mereka. Na

  • DILEMA DUA HATI    Selesai

    Bagian 187 Selesai Fahmi dan Maira membuka matanya perlahan-lahan ketika dua ember air dingin disiramkan ke wajah mereka. Dingin di tengah musim salju yang masih turun. Mereka saling melihat diri masing-masing. Tubuh keduanya terikat dan berada di sebuah gedung kosong juga luas. “Maira, Fahmi. Kalian dua parasit pengganggu, gara-gara kalian, saudaraku banyak yang tewas ditembak.” Lelaki itu duduk di depan keduanya. “Ya, kematian sebenarnya terlalu mudah buat kalian, tapi aku yakin di alam kubur juga kalian kena cambuk malaikat,” jawab putri Ali, sedangkan Fahmi berusaha membuka ikatan di tangannya.“Bawa mereka ke dalam mobil. Terlalu banyak bicara, bosan aku mendengarnya.” Perintah suruhan Harun. Lalu dua orang itu diangkat dalam keadaan terikat dan dimasukkan ke dalam mobil. Sebuah alat berat datang dari belakang hendak menghancurkan mobil Maira dan orangnya di dalam sekalian. Para pesuruh Harun sudah bepergian dan tinggal supir alat berat itu saja dan satu orang pengawas.“Ast

DMCA.com Protection Status