Hari yang ditunggu tiba. Ivan sudah bersiap dengan pakaian lengkap layaknya menghadapi seorang teroris dengan persenjataan tak kalah mematikan pula. Dua hari menjelang eksekusi mati ia bagai dikejar masa lalu yang sungguh tak ingin lelaki itu ketahui. Masa di mana ia masih dipanggil dengan nama Adhilzan. “Bawa keluar lelaki tua itu!” perintah Ivan pada bawahannya. Enam orang tentara memasuki penjara itu. Membuka kunci jeruji besi. Hamis baru saja menyudahi lantunan terakhir ayat sucinya. Ia senang sebab menghadapi kematian sesegera mungkin. Dan ia bahagia juga atas hadiah kecil yang diberikan Rabb padanya. Masa-masa indah dulu ketika baru saja menikah dengan Sarah, punya anak lelaki dan hidup saling melengkapi, semua terulang lagi dalam mimpinya. Sedikitnya hati Hamis tak terlalu merasa bersalah meninggalkan istrinya selama puluhan tahun. Enam orang tentara berpakaian hitam itu membawa tubuh ringkih Hamis. Bak penjahat yang sudah tak terampuni lagi kejahataannya. Padahal lelaki itu
Ivan terbangun setelah tubuhnya diguyur dengan seember air dingin. Musim dingin telah masuk semakin menggigit, lelaki bertubuh tinggi itu tak diberikan pakaian yang layak, sudahlah tipis selimut pun banyak yang robek. Sejak kejadian penembakan brutal sebulan yang lalu. Ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan militer. Terlalu banyak saksi hidup dan juga barang bukti beruma kamera CCTV. Ivan pun tak menyangkal sama sekali. Kini di hatinya hanya bercokol rasa sesal tiada tara. Sebab oleh perantara tangannya, sang ayah yang telah terpisah puluhan tahun lalu, tewas dengan cara mengenaskan. “Jangan terlalu lama tidur, kawan. Nanti juga kau pasti akan terlelap dalam peti mati lalu dibakar,” ucap Hendrik. Kini tak ada lagi penghalangnya demi meraih karir militer yang lebih tinggi. Pesaing yang ia anggap mumpuni telah dengan bodohnya menghancurkan semua yang sudah dibangun. “Pergi. Kau bukan temanku,” usir Ivan. Ia hanya meringkuk menahan dingin dalam ruangan gelap itu. Sendirian lelaki berke
Satu bulan sudah Ivan ditahan dalam penjara tingkat tinggi itu. Ia belum mau mati, takut banyak dosa dan tak akan bertemu dengan ayahnya kelak di akhirat nanti. Setidaknya hanya itu yang ia ingat tentang agamanya dulu. Lelaki bertubuh tinggi itu tak terlalu bergaul dengan tahanan lainnya. Ia selalu menyendiri, pun ia juga diawasi walau hanya pergi ke kamar mandi.Agar tak menimbulkan kecurigaan, bekas militer itu tak senang membuat keributan. Ia bekerja dengan baik sesuai dengan arahan. Membersihkan salju yang setiap hari terus menebal, dan apa saja yang diperintahkan oleh petugas jaga. Tentu saja sambil mengawasi semua sudut penjara bahkan matanya memindai sisi luar yang juga tertutup salju. Jika nekat lari tanpa rencana yang matang, sudah tentu akan mati membeku di luar sana. Dingin suhu di Balrus jangan ditanya lagi, bisa minus di bawah nol derajad celcius. Malam itu tiga orang kuasa hukum dari pemerintahan Balrus datang ke ruang tahanan Ivan. Vania masih betah bekerja di sana wal
Satu, dua, tiga. Ivan menghitung detik jam dari arloji yang ia curi. Lelaki bertubuh tinggi tegap itu telah mengenakan seragam yang warnanya sedikit pucat terkena pemutih. Di dalam gudang tempat tenaga listrik cadangan berada ia lemparkan mayat salah satu petugas yang telah ia lenyapkan nyawanya. Hari ini ia harus memperoleh kebebasan, demi bisa menyelamatkan dirinya dari kematian yang menakutkan juga demi mengunjungi makam ayah yang waktu kecil begitu ia hormati. Kemudian, ledakan besar terjadi. Ivan melemparkan minyak yang bisa menyulut api, tak lupa kabel-kabel yang masih terhubung dengan tenaga listrik juga turut terbakar. Hasilnya, ledakan besar pun terjadi. Lelaki itu telah berada di dekat motor yang tempo hari. Api begitu cepat merambat sebab musim semi anginnya sedikit lebih kencang. Beberapa petugas langsung berusaha mencegah api yang begitu cepat merembet. Tak luput beberapa orang terkena sambaran api, begitu juga dengan para tahanan. Singkatnya, di malam itu Ivan mengeksek
Ivan dibawa ke kerumunan para penyintas. Di sana ada banyak umat muslim yang berusaha menyelamatkan diri ke Negeri Syam. Ya, meski pemerintahan Balrus mengharamkan penduduknya untuk memeluk agama Islam. Namun, tetap ada yang menganutnya meski tak mudah. Sama halnya dengan hidayah. Tidak ada yang bisa menghalangi ketika sudah tiba masanya untuk singgah di hati anak cucu Adam. Dua tenda berdiri di sana. Digunakan untuk tempat beristirahat wanita dan anak-anak. Ivan mengingat bahwa ia baru saja membunuh tiga orang tentara Balrus. Sesuai dengan pengalamannya. Tidak lama lagi akan ada anjing pelacak disertai satu pasukan yang akan menyusuri wilayah sampai ke kedalaman. Tak lupa pula dukungan drone dalam memantau situasi. “Sebaiknya kita cepat pergi dari sini. Aku khawatir persembunyian kita akan diketahui,” ucap Ivan. Ia duduk bersandar di dekat pohon pinus. Tangannya meraba kantong celana bekas yang ia beli. Ada sebatang rokok yang ia temukan. Ia meminta api untuk menghidupkan rokok ter
Ali bersembunyi di antara pepohonan. Saat tiga ekor anjing pelacak datang ke arahnya, ia lesatkan peluru dari senapan panjang. Satu ekor binatang bergigi tajam itu mati, disusul dua lainnya yang ciut nyali kemudian kabur begitu saja melihat temannya meregang nyawa. Tak banyak lagi peluru persediaan Ali, hanya beberapa saja, tapi lawannya pun tak banyak. “Empat orang tentara berpangkat rendah. Pengalaman kalian masih jauh di bawahku.” Ali menarik napas panjang. Ia, bagaimanapun caranya harus bisa sampai ke Negeri Syam, sebab ingin mencari ibunya yang mungkin sudah ada di sana. Ali melempar sebatang kayu ke arah pepohonan lain. Dua orang tentara menuju ke arah sana. Pergerakan lelaki bermata keabuan itu licin bak belut. Saat dua lainnya menuju arah pergerakan pohon. Ia lesatkan dua buah peluru. Meski tak mengenai titik vital setidaknya bisa membuat mereka kesakitan. Lekas saja dua tentara yang masih selamat meminta bantuan, tak lupa pula drone kecil melintas. Peralatan yang bisa mela
Bagian 15 Negeri Baru Sangat panjang terowongan tersebut dilewati. Tak jarang pula ciut nyali mereka semua di dalam sana, getaran terasa dari atas bumi. Pertanda ada mobil atau kendaraan lain tengah melintas. Waswas saja jika sewaktu-waktu terowongan runtuh. Terutama anak-anak, mereka sudah tak tahan pengap, berkeringat dan mulai kesulitan bernapas.“Sudah beberapa jam kita di dalam terowongan. Lama sekali sampainya. Tak kusangka pula ada yang niat sekali membangun semua ini,” ucap Ali. Ia pun tak kalah berpeluh hingga baju kausnya basah, begitu juga dengan firdaus. Beruntung mereka membawa cadangan oksigen yang diirit saja pemakaiannya. “Sudah cukup lama. Tak jauh lagi kita sampai, semoga saja di luar baik-baik saja.” Firdaus menyeka peluh di dahinya. Lelah, lapar, dan haus melanda semua di dalam sana, demi harapan baru. Kehidupan yang lebih baik. Lalu, akhirnya yang dinanti pun tiba. Dari atas terowongan terdengar sama-samar suara beberapa lelaki dengan bahasa Arab. Tersenyum le
Tubuh Gu terus terombang-ambing setelah dihempaskan ke dalam air sungai. Beberapa kali ia nyaris terlepas dari sebatang kayu yang ia pegang. Namun, tekadnya untuk membalas semua yang telah terjadi pada diri dan keluarganya membuat wanita berambut keriting itu terus bertahan hidup. Dingin air tersebut ia tahan, tak lupa pula doa terus dipanjatkan dalam hatinya. Agar Allah memberinya kesempatan hidup kedua. Semua semata-mata demi melihat kehancuran orang yang telah menyebabkan semua penderitaan untuknya. Gigil di bibir Gu semakin menjadi, sehelelai selimut yang menutupi tubuhnya telah robek sebagian karena tersangkut di akar pepohonan. Kulit wanita itu juga tergores bebatuan yang terkadang ia lewati. Sungai yang terlihat tenang di atasnya belum tentu di bagian bawah tidak menyimpan badai. Sampai mata biru wanita itu telah lelah. Segala upaya telah ia keluarkan untuk bertahan hidup. Ia pasrahkan saja semuanya pada penggenggam hidup. Kalau pun mati sekarang, ia bisa bertemu dengan kedua
Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi
Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,
Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig
Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug
Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me
Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek
Bagian 189 Pertandingan Sepak Bola Pagi-pagi selepas Shubuh Maira sudah siap dengan seragam lengkapnya, minus rompi anti peluru saja, pistol dan HT turut serta ia bawa. Ia ada pekerjaan penting dari pagi sampai sore, makan dan sholat di sana saja. Namun, sebelum pergi ia sempat berpamitan pada Ali yang memandangnya agak berbeda pagi itu. “Ayah pergi menonton sepak bola nanti?” tanya Maira. “Tidak, Ayah sudah cukup tua untuk urusan itu, biar yang muda-muda saja.” “Terus rapi sekali pagi ini, Ayah mau pergi ke mana?” Agak curiga Maira. “Ada urusan penting, demi keluarga ini juga.” Ali menyembunyikan tujuannya hari itu pada putrinya. Jika Maira tahu sedang dicarikan jodoh, bisa-bisa ia mengelak lagi. “Oh, kabari bagaimana hasilnya, ya. Aku pergi dulu.“ Pagi itu Maira menggunakan mobil polisi karena tugas besar yang ia emban. Maira memimpin tim untuk menjaga keamanan pertandingan sepak bola di salah satu stadion olahraga. Putri Ali mengawasi di tempat duduk khusus perempuan, yang
Bagian 188 Pengorbanan Seorang Ayah. Gu dan tiga putrinya pulang ke kota tempat tinggal mereka menggunakan kereta cepat. Di dalam kendaraan ekpres itu, Maira hanya diam membisu memandang salju yang terus turun dari langit. Salju sebentar lagi akan berhenti, dan Hira kembali sekolah menyelesaikan pendidikannya, lalu Zahra yang masuk pendidian tingkat pertama. Maira sendiri? Tetap bekerja. Kantor tempatnya mengabdi juga mengalami revolusi besar-besaran, imbas dari kasus Gubernur Asad. Jadi sampai musim panas nanti putri Ali akan sangat sibuk. Namun, tak mengapa, dia jadi bisa melupakan Fahmi. “Kau pasti sudah kembali hidup di kota asalmu. Semoga kita tak akan pernah berjumpa lagi,” gumam Maira dalam keheningan. Ibu dan dua adik kandungnya sedang terlelap, jadi polisi wanita itu menjaga mereka dengan baik. Masalah luka hatinya, ia yakin akan membaik dengan sendirinya. Sampai juga empat perempuan beda generasi itu di stasiun. Tadinya Gu ingin menelepon Ali untuk menjemput mereka. Na
Bagian 187 Selesai Fahmi dan Maira membuka matanya perlahan-lahan ketika dua ember air dingin disiramkan ke wajah mereka. Dingin di tengah musim salju yang masih turun. Mereka saling melihat diri masing-masing. Tubuh keduanya terikat dan berada di sebuah gedung kosong juga luas. “Maira, Fahmi. Kalian dua parasit pengganggu, gara-gara kalian, saudaraku banyak yang tewas ditembak.” Lelaki itu duduk di depan keduanya. “Ya, kematian sebenarnya terlalu mudah buat kalian, tapi aku yakin di alam kubur juga kalian kena cambuk malaikat,” jawab putri Ali, sedangkan Fahmi berusaha membuka ikatan di tangannya.“Bawa mereka ke dalam mobil. Terlalu banyak bicara, bosan aku mendengarnya.” Perintah suruhan Harun. Lalu dua orang itu diangkat dalam keadaan terikat dan dimasukkan ke dalam mobil. Sebuah alat berat datang dari belakang hendak menghancurkan mobil Maira dan orangnya di dalam sekalian. Para pesuruh Harun sudah bepergian dan tinggal supir alat berat itu saja dan satu orang pengawas.“Ast