Berdua orang itu menunggu di depan sebuah ruangan kantor catatan sipil. Ada banyak pasangan yang duduk romantis sambil memegang tangan pasangannya, bahkan ada pula yang bersandar di bahu sang suami, sedikit menunjukkan kemesraan di depan umum. Terlihat dari wajah lelakinya kalau mereka masih sangat muda. Berbeda dengan Gu dan Ali yang sudah sangat matang dalam menikah. Bahkan orang berdua itu duduk biasa-biasa saja seperti orang tak saling mengenal. Ali membaca laporan yang dikirim ke ponselnya. Sedangkan Gu bermain game menghilangkan bosan, lama sekali mereka dipanggil untuk memproses catatan pernikahan. “Mati kau, mati kau, matilah kau sana! Menghalangi jalanku saja.” Gu menekan-nekan ponselnya, ia menyingkirkan musuh di depan mata dalam mengambil medali. Tentu sambil menyindir Ali. Lelaki itu dengar tapi tak ambil pusing. “Menyusahkan hidupku saja!” Kalah, dan akhirya Gu menggerutu. Ia ulang lagi game itu dari level awal. Tak henti-henti bibirnya menyindir Ali dari tadi, sebab ha
Bagian 55 Hadiah Dari Teman Ali sudah biasa bangun lebih dahulu daripada yang lain meskipun sudah berada di rumah milik Gu. Ia lekas ke dapur, meski ragu-ragu karena belum mendapat izin dari Gu. Namun, perutnya sudah lapar. Tadi malam karena terlalu lelah mereka semua langsung terlelap di kamar masing-masing. Ali memilih tidur di bawah dan membiarkan Maira di kasur tempatnya biasa tertidur. “Oh, banyak sekali kentang di rumah ini,” ujar lelaki itu, ketika membuka tempat penyimpanan makanan. Baru ia ingat Maira sangat suka sekali dengan makanan itu, persis seperti dirinya dan lelaki tersebut semakin menaruh kecurigaan tentang darah yang mengalir di tubuh Maira. Nanti, akan ia temukan waktu yang tepat untuk mencari tahu. “Permisi, ya, aku masak duluan. Kita semua pasti sudah lapar.” Lelaki itu memotong-motong kentang ada yang tipis ada yang tebal. Ada yang digoreng kering begitu saja dan ditabur bumbu, ada yang disiram dengan mayonaise dan saus lainnya. Aroma yang menguar sampai me
Bagian 56 Dari Hati ke Hati. Dua orang itu tidur dengan berselimut tebal, menghalau dingin yang merambat pada tubuh mereka masing-masing. Tidak ada yang berani keluar kamar, sampai waktu terlewati menjadi tengah malam. Gu melihat ponselnya, pesan yang tadi sore ia kirim baru saja centang biru. Ada pula balasan, bahwa Maira menginap bersama kakek dan neneknya. Satu rumah bicara menggunakan ponsel, luar biasa ajaibnya. “Ah, mending berdua saja dengan Maira kalau begini,” gerutu Gu. Tak jelas apa maunya, didekati takut tak didekati bertanya-tanya penasaran. Tak bisa tidur wanita itu, cuaca dingin menjelang musim salju membuat perutnya mudah lapar. Ia pun mengenda-endap pergi ke dapur. Takut sekali tertangkap basah oleh suaminya sendiri. Ia buka lemari makan, tak ada masakan apa pun di sana. Terpaksa ia membuka laci, dan hanya tersisa tiga bungkus pasta saja. Mereka belum sempat belanja kebutuhan dapur. Pelan-pelan Gu menghidupan kompor gas agar suaranya tak terdengar sampai ke kamar
Bagian 57 Malu-Malu Sampai dua orang itu di sebuah rumah yang teramat sederhana. Baju Gu dan Ali terkena jejak salju. Lekas saja dokter kandungan itu diminta untuk masuk ke dalam kamar yang sempit persis seperti tempat tinggalnya bersama Sarah dulu. Hanya ada kasur tipis tempat ibu itu berbaring. “Kenapa hanya sendiri saja? Mana suaminya?” tanya Gu pada wanita itu. Ia kemudian ditunjukkan pada seorang lelaki yang terbaring di lantai. “Pingsan. Istri mau melahirkan masih sempat-sempatnya pingsan?” gerutu Gu sambil kesal. “Sudah cepat, urus saja dia.” Ali menggeser tubuh lelaki yang tak kuat melihat istrinya kesakitan. “Lalu apa yang harus disiapkan?” tanya lelaki bermata abu-abu itu pada istrinya. “Air bersih dan selimut bayi. Makanan seduh saja yang ini. Penting selesai bersalin.” Gu membuka sebuah selimut khusus untuk alas melahirkan. Ia angkat tubuh wanita itu dibantu Ali tentunya. Jelas sekali wanita tersebut mulai menjerit karena tak tahan dengan tekanan yang ada di bagian pa
Bagian 58 Anak Ayah Musim dingin berjalan sedikit hangat di rumah itu. Meski masih belum satu kamar, setidaknya Gu tak takut-takut lagi memandang sosok lelaki dalam rumahnya. Mereka kerap bertukar pikiran bersama. Bahkan pernah membahas masa lalu tanpa canggung dan berujung pada Gu yang lari ke dalam kamar. Sebabnya, karena pikiran laki-laki dan perempuan yang berbeda. Terkadang wanita bermata biru itu juga heran apa yang ia mau. Pernah Ali tak pulang selama tiga hari, tak juga ada telepon masuk saking lelaki itu sibuknya. Gu, jangan tanya lagi, ia bingung. Ingin menyusul ke perbatasan takut terulang kejadian serupa. Tak diketahui kabarnya ia berpikir yang tidak-tidak. Terhitung sudah satu bulan lebih mereka satu rumah tapi tidak pernah terjadi apa-apa. Kejadian di perbatasan itu hanya angin lalu saja. Yang satu gengsi luar biasa, yang satu takut untuk mencoba. “Isi kepalaku sudah lebih keriting daripada rambutku.” Gu berbicara sendirian di depan cermin sambil menyisir rambutnya. S
Bagian 59 Perang Panas Dingin Gu tidur di kamar rawat inap tempat Maira. Anak gadisnya semakin menunjukkan kesembuhan. Sesekali ayahnya datang berjaga gantian. Gu tetap bekerja sembari memantau perkembangan Maira. Ali memasang sikap dingin pada istrinya. Ia diam agar tak mudah melepaskan marahnya. Ternyata tak diberi perhatian itu membuat hati Gu kelimpungan. Ia seperti kehilangan sebelah sayapnya. Malam itu Maira baru saja tidur selepas minum obat walau sedikit dipaksakan. Kedua orang tuanya menunggu di kamar yang sama. Keheningan menjadi teman, tidak ada satu pun yang mau berbicara. Ali menatap Gu yang hampir tertidur. Dengan mengucap bismillah di dalam hati lelaki itu menanyakan yang telah ia pendam selama beberapa hari. “Apa Maira putriku?” tanya Ali, tidak ada jawaban dari Gu, wanita itu masih memejamkan matanya. “Jangan pura-pura tak dengar, aku tahu kau belum tidur.” Lelaki itu menegakkan tubuhnya yang tadi bersandar di sofa. “Nasabnya ikut denganku,” jawab wanita itu tan
Bagian 60 Saran yang Menyesatkan Terhitung satu minggu sudah Ali hanya berbicara seperlunya dengan Gu. Semakin panas dingin wanita itu dibuatnya. Namun, untuk memulai terlebih dahulu ia juga tak berani. Memang mereka kini sudah tidur satu kamar. Maira di ranjang atas, sedangkan keduanya di bawah memakai kasur lipat yang berbeda-beda. Gu tidur di sisi kiri dan Ali di sisi kanan, seperti orang yang sedang bermusuhan. Sebenarnya tak ada niat lelaki bermata abu-abu untuk tak memberi perhatian pada istrinya. Namun, ia hanya ingin memastikan putrinya sembuh dulu. Sebagai pengganti waktu yang terbuang percuma selama tiga tahun lamanya.“Bisa kering aku lama-lama kalau begini.” Wanita itu mengaduk teh panas di gelasnya. Ia selalu membuat lebih. Ali bersedia memakan dan meminum apa saja yang dibuat oleh Gu, tanpa banyak protes. Walau rasa makanan istrinya kurang enak. “Sayang.” Sebuah panggilan yang membuat hati wanita itu berdesir-desir. Ia menoleh dan terlihat di sana Ali sedang memegang
Ali bangun terlebih dahulu. Ia ingat tadi sebelum satu kamar bersama dengan Gu karena digoda. Ali mendapatkan pesan bahwa ia memang harus pergi ke wilayah yang baru dikembangkan di bagian pinggiran. Lelaki itu mengusap wajahnya. Masih berusaha menimbang antara mimpi dan kenyataan. Namun, Gu yang berbaring di sebelahnya menjadi bukti bahwa mereka tadi malam memang menjadi suami istri yang sebenarnya. “Salah minum obat mungkin dia ini. Selama ini jual mahal luar biasa,” ujar lelaki itu. Ia memakai bajunya yang tadi malam dibuka paksa oleh Gu. Jelas sekali Ali ingat betapa memang istrinya berubah seperti serigala kelaparan, dan sekarang sedang tidur nyenyak karena kelelahan. Ali membersihkan dirinya di kamar mandi. Kulitnya terasa perih terkena air hangat. Ada beberapa bekas cakaran tipis yang tercipta baik di punggung atau bagian dada. Tak habis pikir Ali kenapa istrinya berubah dalam waktu semalam saja. Namun, ia berharap hal itu tidak hanya untuk sementara waktu saja, jika bisa sela