Bagian 57 Malu-Malu Sampai dua orang itu di sebuah rumah yang teramat sederhana. Baju Gu dan Ali terkena jejak salju. Lekas saja dokter kandungan itu diminta untuk masuk ke dalam kamar yang sempit persis seperti tempat tinggalnya bersama Sarah dulu. Hanya ada kasur tipis tempat ibu itu berbaring. “Kenapa hanya sendiri saja? Mana suaminya?” tanya Gu pada wanita itu. Ia kemudian ditunjukkan pada seorang lelaki yang terbaring di lantai. “Pingsan. Istri mau melahirkan masih sempat-sempatnya pingsan?” gerutu Gu sambil kesal. “Sudah cepat, urus saja dia.” Ali menggeser tubuh lelaki yang tak kuat melihat istrinya kesakitan. “Lalu apa yang harus disiapkan?” tanya lelaki bermata abu-abu itu pada istrinya. “Air bersih dan selimut bayi. Makanan seduh saja yang ini. Penting selesai bersalin.” Gu membuka sebuah selimut khusus untuk alas melahirkan. Ia angkat tubuh wanita itu dibantu Ali tentunya. Jelas sekali wanita tersebut mulai menjerit karena tak tahan dengan tekanan yang ada di bagian pa
Bagian 58 Anak Ayah Musim dingin berjalan sedikit hangat di rumah itu. Meski masih belum satu kamar, setidaknya Gu tak takut-takut lagi memandang sosok lelaki dalam rumahnya. Mereka kerap bertukar pikiran bersama. Bahkan pernah membahas masa lalu tanpa canggung dan berujung pada Gu yang lari ke dalam kamar. Sebabnya, karena pikiran laki-laki dan perempuan yang berbeda. Terkadang wanita bermata biru itu juga heran apa yang ia mau. Pernah Ali tak pulang selama tiga hari, tak juga ada telepon masuk saking lelaki itu sibuknya. Gu, jangan tanya lagi, ia bingung. Ingin menyusul ke perbatasan takut terulang kejadian serupa. Tak diketahui kabarnya ia berpikir yang tidak-tidak. Terhitung sudah satu bulan lebih mereka satu rumah tapi tidak pernah terjadi apa-apa. Kejadian di perbatasan itu hanya angin lalu saja. Yang satu gengsi luar biasa, yang satu takut untuk mencoba. “Isi kepalaku sudah lebih keriting daripada rambutku.” Gu berbicara sendirian di depan cermin sambil menyisir rambutnya. S
Bagian 59 Perang Panas Dingin Gu tidur di kamar rawat inap tempat Maira. Anak gadisnya semakin menunjukkan kesembuhan. Sesekali ayahnya datang berjaga gantian. Gu tetap bekerja sembari memantau perkembangan Maira. Ali memasang sikap dingin pada istrinya. Ia diam agar tak mudah melepaskan marahnya. Ternyata tak diberi perhatian itu membuat hati Gu kelimpungan. Ia seperti kehilangan sebelah sayapnya. Malam itu Maira baru saja tidur selepas minum obat walau sedikit dipaksakan. Kedua orang tuanya menunggu di kamar yang sama. Keheningan menjadi teman, tidak ada satu pun yang mau berbicara. Ali menatap Gu yang hampir tertidur. Dengan mengucap bismillah di dalam hati lelaki itu menanyakan yang telah ia pendam selama beberapa hari. “Apa Maira putriku?” tanya Ali, tidak ada jawaban dari Gu, wanita itu masih memejamkan matanya. “Jangan pura-pura tak dengar, aku tahu kau belum tidur.” Lelaki itu menegakkan tubuhnya yang tadi bersandar di sofa. “Nasabnya ikut denganku,” jawab wanita itu tan
Bagian 60 Saran yang Menyesatkan Terhitung satu minggu sudah Ali hanya berbicara seperlunya dengan Gu. Semakin panas dingin wanita itu dibuatnya. Namun, untuk memulai terlebih dahulu ia juga tak berani. Memang mereka kini sudah tidur satu kamar. Maira di ranjang atas, sedangkan keduanya di bawah memakai kasur lipat yang berbeda-beda. Gu tidur di sisi kiri dan Ali di sisi kanan, seperti orang yang sedang bermusuhan. Sebenarnya tak ada niat lelaki bermata abu-abu untuk tak memberi perhatian pada istrinya. Namun, ia hanya ingin memastikan putrinya sembuh dulu. Sebagai pengganti waktu yang terbuang percuma selama tiga tahun lamanya.“Bisa kering aku lama-lama kalau begini.” Wanita itu mengaduk teh panas di gelasnya. Ia selalu membuat lebih. Ali bersedia memakan dan meminum apa saja yang dibuat oleh Gu, tanpa banyak protes. Walau rasa makanan istrinya kurang enak. “Sayang.” Sebuah panggilan yang membuat hati wanita itu berdesir-desir. Ia menoleh dan terlihat di sana Ali sedang memegang
Ali bangun terlebih dahulu. Ia ingat tadi sebelum satu kamar bersama dengan Gu karena digoda. Ali mendapatkan pesan bahwa ia memang harus pergi ke wilayah yang baru dikembangkan di bagian pinggiran. Lelaki itu mengusap wajahnya. Masih berusaha menimbang antara mimpi dan kenyataan. Namun, Gu yang berbaring di sebelahnya menjadi bukti bahwa mereka tadi malam memang menjadi suami istri yang sebenarnya. “Salah minum obat mungkin dia ini. Selama ini jual mahal luar biasa,” ujar lelaki itu. Ia memakai bajunya yang tadi malam dibuka paksa oleh Gu. Jelas sekali Ali ingat betapa memang istrinya berubah seperti serigala kelaparan, dan sekarang sedang tidur nyenyak karena kelelahan. Ali membersihkan dirinya di kamar mandi. Kulitnya terasa perih terkena air hangat. Ada beberapa bekas cakaran tipis yang tercipta baik di punggung atau bagian dada. Tak habis pikir Ali kenapa istrinya berubah dalam waktu semalam saja. Namun, ia berharap hal itu tidak hanya untuk sementara waktu saja, jika bisa sela
Cuti masih lama selesai. Maira juga sudah berangsur-angsur membaik, bahkan sudah diantar kembali ke rumah kakek dan neneknya. Terhitung dua bulan lagi Gu dan Ali baru kembali bekerja. Bingung, tak ada yang bisa diperbuat, siang itu keduanya memutuskan membeli cat baru. Mengganti suasana rumah dengan warna yang lebih segar dan terang. Kamar maira didesain lebih ramah anak-anak dengan warna-warna cerah. Sedangkan Gu dan Ali yang kini sudah satu kamar bersama memutuskan menukar cat putih dengan cat biru, dengan corak daun maple yang berguguran. Tidak ada jasa tukang cat yang mereka gunakan, selama dua hari lamanya suasanya rumah itu akhirnya bertukar juga. Sesekali keduanya bersenda gurau dan tak jarang baju mereka kotor karena terkena tumpahan cat. Tak ada lagi dendam, malu, gengsi dan bayang-bayang masa lalu. Semua sudah keduanya ikhlaskan. Yang sudah terjadi tak akan mungkin bisa diperbaiki lagi. Hanya perlu menatap masa depan lebih baik lagi. Cat sudah selesai dan barang-barang jug
Gu terbangun dengan napas berlomba-lomba. Ia barusan memimpikan hal kelam lima tahun lalu. Wanita itu mengucek matanya, lalu melihat jam di dinding. Jam empat sore, pantas saja ternyata ia melewati wakthu Ashar sampai 30 menit lamanya. Tak ada Ali di rumah itu. Judul saja suaminya cuti, tapi sesekali masih dipanggil jika menyangkut hal yang teramat sangat penting. “Kenapa aku mimpi hal itu lagi, ya? Kan, sudah lama aku ikhlaskan kejadian di masa lalu,” gumam Gu perlahan. Ia ambil wudhu lalu tunaikan kewajiban. Setelahnya wanita itu angkat dua tangannya tinggi. Mendoakan agar kedua orang tua juda saudara-saudara muslimnya yang tewas saat pembantaian itu mendapatkan tempat terbaik, dan satu hal yang baru pertama kali ini ia ucapkan juga. “Ya Allah, andai adikku masih hidup, tolong tunjukkan jalan. Jika mampu akan kuselamatkan dia. Aamiin.” Wanita itu mengusap wajah dengan dua tangannya. Sejak Ali mengaku bahwa ia Adhilzan dari seminggu lalu, beberapa kali ia memimpikan tentang adik la
Ali sudah mencari informasi terkait keberadaan Nursultan Berik, adik iparnya. Tak ayal kamar itu berubah menjadi ruang investigasi. Ada foto, gambar terowongan, camp serta gambar penjaga di sana. Mantan sahabat Ali dulu menjadi kepala penjara—Hendrik. Mungkin saja jika Ali tak diberikan hidayah maka ia yang akan memegang posisi penting itu. “Ini adikku sekarang?” tanya Gu ketika melihat foto anak lelaki berusia 10 tahun. Rambut lurus dan mata hitam, wajah mirip dengan wanita berambut keriting itu. “Iya, data yang kudapat begitu. Namanya dulu Nursultan, tapi sudah diganti menjadi Andrey Boris,” jawab Ali sambil menghubungkan benang merah dari satu foto ke foto lain. “Dia benar-benar lupa denganku?” Gu memegang foto wajah adiknya. Sudah lama sekali tak berjumpa. Ia senang kalau Sultan masih hidup. “Biasanya seperti itu. Akan lebih bahaya kalau adikmu di usia sekarang, misalnya sudah baligh. Pihak militer Balrus tak akan membiarkannya di dalam asrama saja. Tentu akan diadakan uji cob