Fir telah sadar, ia melihat istrinya tertidur pulas. Tak tahu lelaki itu sudah berapa lama ia tertidur. Luka tikaman yang sangat dalam itu membuat ia sulit bergerak ke mana-mana, terasa perih, kulit yang dijahit seperti tarik menarik satu dengan yang lain. Beruntung Gu lekas bangun dan tanggap. Ia terus berada di sana dan berusaha memahami apa yang diminta suaminya. Hingga waktu Shubuh tiba dan Gu pamit untuk membersihkan diri sejenak. Ketika kembali ada Ali yang menunggu di luar ruangan. Di antaranya keduanya, hanya masih ada perasaan bersalah dari Ali. Gu sendiri tidak memikirkan peristiwa lima tahun silam itu lagi, meski tak menjadi jaminan wanita bermata biru itu memaafkan lelaki di hadapannya atau tidak. Yang terpenting sekarang adalah kebersamaannya dengan Firdaus yang begitu ingin ia jalani sampai maut memisahkan. Setelah beberapa saat saling diam akhirnya lelaki bermata keabuan itu membuka mulutnya juga. “Boleh aku melihat saudara angkatku sebentar?” tanya Ali dan Gu hanya m
Bagian 50 Pesan yang Membingungkan Gu bagaikan orang yang tak ingin hidup lagi. Sakit ditinggal mati oleh keluarganya, ternyata jauh lebih sakit saat ditinggalkan suami. Pantas saja Sarah memutuskan tak mau menikah lagi, meski bisa. Sebab kini Gu paham apa arti cinta baginya. Lelaki pertama yang bisa membuatnya menyerah pada kata pernikahan. Hidup bahagia selama enam bulan, dengan tetap harap-harap cemas agar dikaruniai anak. Nyatanya dua bulan setelah Fir pergi pun tak ada kenangan sama sekali. Gu tetap lancar dikunjungi tamu bulanan. Padahal ia berharap ada satu saja anak dari Firdaus agar senantiasa mengingat lelaki itu di sisa usianya. Rumah Firdaus masih tetap ditinggali oleh Gu. Sebab tak mungkin baginya balik ke asrama lagi. Tempat itu juga yang paling aman. Tak mungkin tinggal di rumah Alana dan Dokter Yusuf, karena Ali masih ada di sana. Gu tetap pergi bekerja agar pikirannya tak terus memikirkan tentang mendiang suaminya. Maira yang genap berusia 4 tahun pun tetap dititip
“Orang baik ternyata, ya, ya, ya, orang baik, orang baik. Baru tahu aku,” ucap Gu seolah-olah mencemooh Ali. Lelaki bermata keabuan itu hanya diam saja, ia tahu apa yang dimaksud Gu, menyinggung dirinya yang dulu. “Iya, daripada kau bersama orang lain, lebih baik dengan anak angkat kami saja, bukan?” Alana ikut menimpali. “Ayah dan Ibu yakin Ali ini orang baik? Apa pernah tahu tentang masa lalunya?” sindir Gu lagi, Ali hanya menarik napas panjang saja. Ia yakin perempuan itu tak akan puas menyinggungnya terus.“Masa lalu biarlah berlalu. Sama seperti kau dulu yang pernah menikah dengan lelaki kafirun, tapi Firdaus menerimamu, bukan?” ucap Dokter Yusuf, menegaskan bahwa tak ada manusia di dunia ini yang tak pernah berbuat kesalahan. ‘Aku tak pernah menikah dengan siapa pun sebelum bersama suamiku. Jadi aku tak pernah berbuat kesalahan,’ gumam Gu dalam hati dengan penuh kepercayaan diri sambil menatap tajam Ali, lelaki itu hanya menunduk saja. “Gu, jangan menatap Ali seperti itu. Ka
Gu tak puas dengan jawaban Ali. Harus lelaki itu yang menolaknya agar ia tak bingung menjawab pertanyaan kedua mertuanya tiga hari mendatang. Wanita itu terus memperhatikan Ali yang bolak-balik mengambil piring kotor termasuk yang ada di depannya. “Apa kau bersikap semanis ini di depan orang?” sindir Gu tak selesai-selesai dari tadi. “Seperti yang kau lihat sekarang, dan yang tak kau lihat juga banyak,” jawab Ali sebisanya, ia tak mau menjelaskan siapa dirinya. “Cih. Sok imut kau ini!” Gu meniup cadar di wajahya hingga terbang sedikit. Ali tak menghiraukan ibu Maira lagi, ia kemudian terus saja mencuci tumpukan piring kotor ditambah peralatan bekas memasak yang dari tadi belum sempat disentuh. Wanita bermata biru itu tak berniat membantu sedikit pun. Justru ia berdiri dengan membawa sebilah pisah buah. Selagi tidak ada orang yang melihat dirinya, Gu bisa saja menyakiti Ali dengan mudah. Ia lupa kalau dulunya Ali seorang tentara yang mahir, bahkan sampai sekarang pun masih. Nekat i
Ali bangun, ia melihat istrinya tidur dengan mengenakan baju lengkap sampai ke cadar sekalian. Lelaki itu mengembuskan napas panjang. Tentu ia paham kalau Gu masih takut dengannya. Maka ia harus bersabar sampai rasa takut itu berubah menjadi kepercayaan lalu tak menutup kemungkinan kalau Gu jatuh cinta dengannnya. Dan apakah ia sendiri mencintai Gu? Ali sendiri tak tahu apa jawabannya. Ia hanya menjalani apa yang sudah ada di depan mata. Perkataan Gu yang tak ingin seranjang dengannya jelas dibuktikan tadi malam. Sabar, tak ada pilihan lain agar rumah tangga yang belum berusia 24 jam itu tak lekas atau bahkan jangan berakhir sampai waktunya nanti. Ali kemudian menyelimuti Gu dengan selimut miliknya. Ia pun mandi dan bergegas ke masjid, Shubuh sebentar lagi masuk. Sampai di sana ia kabarkan pada teman-temannya bahwa ia telah menikah. Sontak ucapan alhamdulillah pun dilontarkan berkali-kali, karena lelaki itu terlampau lama menduda di tengah temannya yang bahkan sudah banyak punya istr
Berdua orang itu menunggu di depan sebuah ruangan kantor catatan sipil. Ada banyak pasangan yang duduk romantis sambil memegang tangan pasangannya, bahkan ada pula yang bersandar di bahu sang suami, sedikit menunjukkan kemesraan di depan umum. Terlihat dari wajah lelakinya kalau mereka masih sangat muda. Berbeda dengan Gu dan Ali yang sudah sangat matang dalam menikah. Bahkan orang berdua itu duduk biasa-biasa saja seperti orang tak saling mengenal. Ali membaca laporan yang dikirim ke ponselnya. Sedangkan Gu bermain game menghilangkan bosan, lama sekali mereka dipanggil untuk memproses catatan pernikahan. “Mati kau, mati kau, matilah kau sana! Menghalangi jalanku saja.” Gu menekan-nekan ponselnya, ia menyingkirkan musuh di depan mata dalam mengambil medali. Tentu sambil menyindir Ali. Lelaki itu dengar tapi tak ambil pusing. “Menyusahkan hidupku saja!” Kalah, dan akhirya Gu menggerutu. Ia ulang lagi game itu dari level awal. Tak henti-henti bibirnya menyindir Ali dari tadi, sebab ha
Bagian 55 Hadiah Dari Teman Ali sudah biasa bangun lebih dahulu daripada yang lain meskipun sudah berada di rumah milik Gu. Ia lekas ke dapur, meski ragu-ragu karena belum mendapat izin dari Gu. Namun, perutnya sudah lapar. Tadi malam karena terlalu lelah mereka semua langsung terlelap di kamar masing-masing. Ali memilih tidur di bawah dan membiarkan Maira di kasur tempatnya biasa tertidur. “Oh, banyak sekali kentang di rumah ini,” ujar lelaki itu, ketika membuka tempat penyimpanan makanan. Baru ia ingat Maira sangat suka sekali dengan makanan itu, persis seperti dirinya dan lelaki tersebut semakin menaruh kecurigaan tentang darah yang mengalir di tubuh Maira. Nanti, akan ia temukan waktu yang tepat untuk mencari tahu. “Permisi, ya, aku masak duluan. Kita semua pasti sudah lapar.” Lelaki itu memotong-motong kentang ada yang tipis ada yang tebal. Ada yang digoreng kering begitu saja dan ditabur bumbu, ada yang disiram dengan mayonaise dan saus lainnya. Aroma yang menguar sampai me
Bagian 56 Dari Hati ke Hati. Dua orang itu tidur dengan berselimut tebal, menghalau dingin yang merambat pada tubuh mereka masing-masing. Tidak ada yang berani keluar kamar, sampai waktu terlewati menjadi tengah malam. Gu melihat ponselnya, pesan yang tadi sore ia kirim baru saja centang biru. Ada pula balasan, bahwa Maira menginap bersama kakek dan neneknya. Satu rumah bicara menggunakan ponsel, luar biasa ajaibnya. “Ah, mending berdua saja dengan Maira kalau begini,” gerutu Gu. Tak jelas apa maunya, didekati takut tak didekati bertanya-tanya penasaran. Tak bisa tidur wanita itu, cuaca dingin menjelang musim salju membuat perutnya mudah lapar. Ia pun mengenda-endap pergi ke dapur. Takut sekali tertangkap basah oleh suaminya sendiri. Ia buka lemari makan, tak ada masakan apa pun di sana. Terpaksa ia membuka laci, dan hanya tersisa tiga bungkus pasta saja. Mereka belum sempat belanja kebutuhan dapur. Pelan-pelan Gu menghidupan kompor gas agar suaranya tak terdengar sampai ke kamar