Prak!
Tiara melemparkan sebuah buku besar jauh darinya. Fokus dua perampok itu pun terpecah dan segera berlari menuju arah suara yang ditangkap oleh mereka.
Ruangan yang dalam keadaan remang dan memang berantakan penuh buku, membuat dua perampok itu tak sadar bahwa dari belakang tubuh mereka ada Tiara yang berjalan dengan kaki telanjang secara cepat dengan mengendap-ngendap keluar dari gudang.
Tiara berlari cepat menuruni anak tangga dengan keringat bercucuran. Sayang sekali ia tidak bisa keluar dari pintu depan, Tiara berbalik dan berlari menuju pintu belakang yang ternyata sudah didobrak.
Ia masih berlari ke jalan raya dan berhenti tepat di depan gedung kantornya. Mang Parjo yang biasa bertugas jaga malam tidak ada dan sangat tumben sekali jalanan juga sangat sepi.
Tanpa sengaja, Tiara menoleh ke arah jendela lantai empat tempat gudang berada dan dari jendela, Tiara melihat salah satu orang perampok juga tengah melihat kearahnya
Bisa tolong bukakan pintu apartemennya? Kunci kartunya sedang rusak, jadi harus dipencet," ujar Bari meminta tolong pada Tiara."Memangnya aku siapa? Mana aku tahu kode masuk ke apartemen kamu," balas Tiara sambil memutar bola mata malasnya.Bari sedikit mendekat, membuat jantung Tiara kembali pada keadaan tidak sehat. Wanita itu sedikit bergeser karena canggung."Tanggal lahir, bulan, dan tahun kelahiran Mbak," bisik Bari sontak membuat Tiara menatap lelaki itu dengan tidak percaya."Ya Tuhan, bualan apa ini? Sudahlah, aku mau pergi saja, cari penginapan biasa saja." Tiara merampas tas jinjing dari tangan Bari, tetapi tangan lelaki itu berayun hingga tas Tiara berada di atas kepalanya. Sosok Bari yang memiliki tinggi 180 centimeter, tentulah tak sebanding dengannya yang hanya memiliki tinggi 156 centimeter. Tiara tidak bisa meraih kembali tasnya."Kamu mau menginap di mana? Ini sudah jam setengah dua malam. Kamu juga
Tiara belum sempat makan sore sejak kemarin, ditambah malam harinya terjadi perampokan di kantor yang ia tinggali. Napsu makan itu pun menguap, hingga keesokan harinya, Tiara terbangun dalam keadaan perut yang sakit.Dengan lemas ia berjalan keluar kamar dan tertatih menuju dapur. Sebenarnya ia tidak mau makan makanan dari rumah Bari, tetapi perutnya sungguh tidak bisa diajak kompromi. Sakit lambungnya kambuh dan kini ia tidak membawa obat yang biasa ia minum. Obat itu tertinggal di gudang kantor.Tiara bernapas lega saat menemukan rice cooker yang tersambung ke listrik. Ia membukanya dan menemuka nasi hangat dengan aroma menggoda. Tiara kini berjalan ke arah kulkas untuk melihat telur. Ia akan menggoreng telur saja untuk mengisi perutnya yang sakit. Sayang sekali, ia bingung cara membuka kulkas Bari yang besarnya seperti lemari baju."Ssst ...." rintihnya sambil berpegangan pada dinding dapur.Clek!Bari keluar dari kamar dengan baju K
Tiara memandang titisan air hujan yang membasahi jendela apartemen. Untuk beberapa saat ia membiarkan jendela itu terbuka agar angin sore masuk ke dalam ruangannya. Namun ketika angin mulai disertai hujan deras, Tiara buru-buru menutup jendela.Tak banyak yang bisa ia lakukan selain berbaring, beres-beres, mencuci piring, menyapu, mengepel, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Walau ia masih membenci Bari, tetapi ia juga tipe orang yang tahu terima kasih.KringKringTelepon apartemen berdering. Tiara tersentak dari lamunannya, tetapi ia enggan mengangkat panggilan itu. Bagaimana kalau yang menelepon adalah pacar Bari, atau keluarganya? Jangan sampai Rumi dan Angkasa tahu kalau dia tinggal bersama pria itu. Paling tidak untuk saat ini.KringKringDering telepon kembali nyaring memekakkan telinga Tiara. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali hingga satu jam lamanya. Karena merasa terganggu Tiara akhirnya berjalan menuju
Tiara bangun dari atas tubuh Bari dengan susah payah. Walaupun ia memperlihatkan wajah masamnya, tetapi rona kemerahan di pipinya tidak bisa ditutupi, bahkan menjalar hingga ke daun telinga.Setelah berdiri dengan tegak, Tiara berjalan cepat masuk ke dalam kamar. Bari yang masih belum tersadar dari rasa terkejutnya, masih berbaring di lantai dengan detak jantung yang tidak beraturan.Masih dalam keadaan berbaring ia meraba bibirnya yang baru saja menempel dengan bibir Tiara. Garis bibirnya naik ke atas dengan keadaan hati yang membuncah senang."Tiara, setelah ini tidak akan aku biarkan kamu jatuh pada lelaki lain," gumam Bari sambil meletakkan tangan di dadanya.Lalu bagaimana dengan Tiara? Wanita itu sibuk mencuci mulutnya, lalu menyikat bibirnya dengan sikat gigi. Ia berharap bekas ciuman tidak disengaja dengan Bari itu bisa hilang dengan cepat dan tid
Tiara dan Bari sudah berbaring di ranjang yang sama, tetapi keduanya belum terlelap. Lebih tepatnya mereka tidak bisa terlelap. Bari sibuk mendengar debar jantung Tiara yang tertangkap indera pendengarannya, begitu pun Tiara. Suara detak jantung Bari terdengar sangat nyaring ke telinganya.Berbaring bak patung, sama-sama menatap langit kamar yang gelap karena saat ini hanya lampu tidur yang menerangi kamar."Maaf, tadi saya lupa, ada syarat satu lagi," cicit Bari sambil menoleh ke samping kanan. Tiara pun cukup kaget dengan ucapan suami jadi-jadiannya itu, ia ikut menoleh dan menatap Bari dengan perasaan ingin tahu."Apa?" tanyanya heran."Saat tidur malam, sebaiknya kita berpelu ....""Maaf, ya, syarat kamu terlalu banyak. Kita batalkan saja rencana konyol ini," sela Tiara berusah bangun dari tidurnya. Namun lengannya terlanjur ditahan oleh Bari, sehingga Tiara terpaksa kembali berbaring
"Eit, tunggu! Karena majikan saya sedang tidur, maka Mbak boleh tidur di kamar sebelah ya," ujar Tiara sopan sambil menuntun wanita yang mulutnya berbau alkohol itu."Tapi aku mau tidur sama Bari. Udah lama sekali aku gak tidur dengannya, udah dua puluh tahun," oceh wanita itu tak jelas. Tiara tidak menyahut, ia hanya memutar bola mata malasnya. Jika dua puluh tahun yang lalu tidur bersama, berarti saat itu Bari masih Sekolah Dasar. Ada-ada saja. Batin Tiara."Iya, nanti kalau majikan saya sudah bangun, saya beritahu agar menyusul Nona di kamar ini, oke? Sekarang masuk ya? Nanti saya buatkan teh manis," kata Tiara lagi dengan sedikit memaksa tubuh wanita mabuk itu masuk ke dalam kamar. Tak lupa kunci kamar sudah ia cabut terlebih dahulu, lalu ia menguncinya dari luar.Tiara kembali ke dapur membuat teh untuk tamu Bari, tak lupa ia suguhkan juga sepiring pisang goreng yang masih hangat. Tangan kanan Tiara mengetuk pintu kam
"Siapa Bari?" tanya Tiara lagi dengan ekor mata melirik wanita yang masih mendengkur di tempat tidur itu."I-ini Helena. D-dia ...." Tampak sekali wajah Bari berubah warna menjadi tidak baik-baik saja."Benar pacar kamu?" desak Tiara lagi masih dengan tatapan tajam pada suaminya."D-dia ... bisa kita bicara di luar saja?""Kenapa? Kamu takut pacar kamu ini terbangun?""Bukan, Tiara. Aku tidak takut dengannya. Begini, sekitar tiga bulan yang lalu, aku bertemu kembali dengan Helena. Dia adalah teman kampusku dahulu dan saat tengah berada di cafe berdua, tiba-tiba saja aku tidak sadarkan diri dan bangun sudah berada di ranjang bersamanya. Dia mengatakan tidak apa-apa dan malah ia memutuskan pergi begitu saja. Jadi ... a-aku kaget dengan kehadiran Helena di sini," terang Bari dengan serius.
"Apa? hamil anakku? Kok bisa?" Bari mengeluarkan pertanyaan yang membuat Helena tertawa geli, sedangkan Tiara tengah berusaha menopang tubuhnya agar tidak jatuh. Sungguh ini sebuah kejutan yang tidak pernah ia sangka sebelumnya."Ya, bisa, kita pernah melakukannya dan jangan bilang kamu lupa pertemuan kita beberapa bulan lalu," ujar Helena percaya diri sambil meletakkan bokongnya di samping Bari. Lelaki itu bergeser, tidak ingin dekat dengan Helena. Menurutnya Helena melakukan sebuah kebohongan dan bisa saja sengaja menjebaknya."Tiara, kamu ngapain masih di situ? Sana pergi! Kami perlu bicara berdua," usir Helena dengan sinis."Tunggu, maaf Helena, Tiara ini bukan pembantuku, tapi istriku. Kamu tidak berhak mengusirnya karena ini adalah rumahnya, paham!""Apa? Istrimu? Kapan kalian menikah? Bukankah kamu tidak jadi menikah dengan Rumi? Trus, ini bukan Rumi, walau ...." Helena memperhatikan dengan seksama