Tiara memandang titisan air hujan yang membasahi jendela apartemen. Untuk beberapa saat ia membiarkan jendela itu terbuka agar angin sore masuk ke dalam ruangannya. Namun ketika angin mulai disertai hujan deras, Tiara buru-buru menutup jendela.
Tak banyak yang bisa ia lakukan selain berbaring, beres-beres, mencuci piring, menyapu, mengepel, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Walau ia masih membenci Bari, tetapi ia juga tipe orang yang tahu terima kasih.
Kring
KringTelepon apartemen berdering. Tiara tersentak dari lamunannya, tetapi ia enggan mengangkat panggilan itu. Bagaimana kalau yang menelepon adalah pacar Bari, atau keluarganya? Jangan sampai Rumi dan Angkasa tahu kalau dia tinggal bersama pria itu. Paling tidak untuk saat ini.
Kring
KringDering telepon kembali nyaring memekakkan telinga Tiara. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali hingga satu jam lamanya. Karena merasa terganggu Tiara akhirnya berjalan menuju
Tiara bangun dari atas tubuh Bari dengan susah payah. Walaupun ia memperlihatkan wajah masamnya, tetapi rona kemerahan di pipinya tidak bisa ditutupi, bahkan menjalar hingga ke daun telinga.Setelah berdiri dengan tegak, Tiara berjalan cepat masuk ke dalam kamar. Bari yang masih belum tersadar dari rasa terkejutnya, masih berbaring di lantai dengan detak jantung yang tidak beraturan.Masih dalam keadaan berbaring ia meraba bibirnya yang baru saja menempel dengan bibir Tiara. Garis bibirnya naik ke atas dengan keadaan hati yang membuncah senang."Tiara, setelah ini tidak akan aku biarkan kamu jatuh pada lelaki lain," gumam Bari sambil meletakkan tangan di dadanya.Lalu bagaimana dengan Tiara? Wanita itu sibuk mencuci mulutnya, lalu menyikat bibirnya dengan sikat gigi. Ia berharap bekas ciuman tidak disengaja dengan Bari itu bisa hilang dengan cepat dan tid
Tiara dan Bari sudah berbaring di ranjang yang sama, tetapi keduanya belum terlelap. Lebih tepatnya mereka tidak bisa terlelap. Bari sibuk mendengar debar jantung Tiara yang tertangkap indera pendengarannya, begitu pun Tiara. Suara detak jantung Bari terdengar sangat nyaring ke telinganya.Berbaring bak patung, sama-sama menatap langit kamar yang gelap karena saat ini hanya lampu tidur yang menerangi kamar."Maaf, tadi saya lupa, ada syarat satu lagi," cicit Bari sambil menoleh ke samping kanan. Tiara pun cukup kaget dengan ucapan suami jadi-jadiannya itu, ia ikut menoleh dan menatap Bari dengan perasaan ingin tahu."Apa?" tanyanya heran."Saat tidur malam, sebaiknya kita berpelu ....""Maaf, ya, syarat kamu terlalu banyak. Kita batalkan saja rencana konyol ini," sela Tiara berusah bangun dari tidurnya. Namun lengannya terlanjur ditahan oleh Bari, sehingga Tiara terpaksa kembali berbaring
"Eit, tunggu! Karena majikan saya sedang tidur, maka Mbak boleh tidur di kamar sebelah ya," ujar Tiara sopan sambil menuntun wanita yang mulutnya berbau alkohol itu."Tapi aku mau tidur sama Bari. Udah lama sekali aku gak tidur dengannya, udah dua puluh tahun," oceh wanita itu tak jelas. Tiara tidak menyahut, ia hanya memutar bola mata malasnya. Jika dua puluh tahun yang lalu tidur bersama, berarti saat itu Bari masih Sekolah Dasar. Ada-ada saja. Batin Tiara."Iya, nanti kalau majikan saya sudah bangun, saya beritahu agar menyusul Nona di kamar ini, oke? Sekarang masuk ya? Nanti saya buatkan teh manis," kata Tiara lagi dengan sedikit memaksa tubuh wanita mabuk itu masuk ke dalam kamar. Tak lupa kunci kamar sudah ia cabut terlebih dahulu, lalu ia menguncinya dari luar.Tiara kembali ke dapur membuat teh untuk tamu Bari, tak lupa ia suguhkan juga sepiring pisang goreng yang masih hangat. Tangan kanan Tiara mengetuk pintu kam
"Siapa Bari?" tanya Tiara lagi dengan ekor mata melirik wanita yang masih mendengkur di tempat tidur itu."I-ini Helena. D-dia ...." Tampak sekali wajah Bari berubah warna menjadi tidak baik-baik saja."Benar pacar kamu?" desak Tiara lagi masih dengan tatapan tajam pada suaminya."D-dia ... bisa kita bicara di luar saja?""Kenapa? Kamu takut pacar kamu ini terbangun?""Bukan, Tiara. Aku tidak takut dengannya. Begini, sekitar tiga bulan yang lalu, aku bertemu kembali dengan Helena. Dia adalah teman kampusku dahulu dan saat tengah berada di cafe berdua, tiba-tiba saja aku tidak sadarkan diri dan bangun sudah berada di ranjang bersamanya. Dia mengatakan tidak apa-apa dan malah ia memutuskan pergi begitu saja. Jadi ... a-aku kaget dengan kehadiran Helena di sini," terang Bari dengan serius.
"Apa? hamil anakku? Kok bisa?" Bari mengeluarkan pertanyaan yang membuat Helena tertawa geli, sedangkan Tiara tengah berusaha menopang tubuhnya agar tidak jatuh. Sungguh ini sebuah kejutan yang tidak pernah ia sangka sebelumnya."Ya, bisa, kita pernah melakukannya dan jangan bilang kamu lupa pertemuan kita beberapa bulan lalu," ujar Helena percaya diri sambil meletakkan bokongnya di samping Bari. Lelaki itu bergeser, tidak ingin dekat dengan Helena. Menurutnya Helena melakukan sebuah kebohongan dan bisa saja sengaja menjebaknya."Tiara, kamu ngapain masih di situ? Sana pergi! Kami perlu bicara berdua," usir Helena dengan sinis."Tunggu, maaf Helena, Tiara ini bukan pembantuku, tapi istriku. Kamu tidak berhak mengusirnya karena ini adalah rumahnya, paham!""Apa? Istrimu? Kapan kalian menikah? Bukankah kamu tidak jadi menikah dengan Rumi? Trus, ini bukan Rumi, walau ...." Helena memperhatikan dengan seksama
"Oke, yang perlu kamu tahu, aku melakukan ini karena dirimu, Tiara, bukan karena Helena." Bari langsung menurunkan nada suaranya."Karena ini bukan hanya tentang aku, Helena, dan bayi di dalam kandungan wanita itu, tetapi juga dirimu. Percaya atau tidak, kamu menganggapku pembual atau tidak, aku telah mengatakan yang sebenarnya. Aku mencintai kamu dan aku tidak mau kehadiran Helena merusak kebahagiaan yang sekian lama aku cari. Begini saja, ayo kita periksakan kehamilan Helena." Bari berjalan menuju kamar Helena, tetapi Tiara masih bergeming di tempatnya.Tidak ada wanita di dunia ini yang tidak bahagia saat seorang lelaki yang ia cintai mengungkapkan perasaanya. Termasuk Tiara yang begitu lemah terhadap Bari. Benar kata orang, cinta dapat mengalahkan dendam, menyurutkan amarah, dan memaafkan sebuah kesalahan besar. Itu yang dirasakan oleh hati Tiara saat ini.Tok! Tok!Bari mengetuk pintu kamar Helena
"Tunggu, jadi kalian tukar guling? Kamu dengan kakaknya dan Papa kamu dengan adiknya? Ini serius? Wah ... teman-teman kampus kalau tahu semua ini pasti heboh." Helena memekik tak percaya memperhatikan Bari yang duduk di samping Tiara dan Rumi yang ia tahu pacar Bari, duduk di samping Angkasa."Kenapa kamu jadi mengurusi urusan kami? Sekarang saya tanya, apa kamu yakin itu bayi anak saya? Apa buktinya dia pelakunya? Apa kamu punya rekaman CCTV?" cecar Angkasa dengan suara tegas."Saya yakin, Om, karena saya baru melakukannya dengan Bari. Masa Om gak percaya? Om ingat saya'kan? Om tahu keluarga saya walau tidak begitu dekat. Hhm ... begini saja, daripada saya pusing berdebat dengan kalian, setelah bayi ini lahir dan jika terbukti anak dari Bari, maka Bari harus menikahi saya. Kita buat perjanjian! Saya tidak mau anak saya lahir tanpa ayah. Kalian akan sangat berdosa pada saya jik melakukan ini semua." Suara Helena terta
Hujan turun dengan sangat deras ketika Tiara mengantar suaminya sampai di lobi parkir apartemen. Pagi ini ia dan Bari sudah memutuskan untuk memulai semuanya dari awal, layaknya hubungan suami istri.Kecupan selamat pagi sudah diberikan Tiara saat tadi di kamar dan Bari memintanya untuk mengantar sampai lobi parkir. Tiara tidak keberatan karena ia sendiri mencoba menerima takdir yang Tuhan gariskan saat ini untuknya."Saya pergi ya, kamu baik-baik di rumah. Mungkin saya akan pulang malam, karena urusan kemarin, jadi ada hal penting yang saya ganti waktunya menjadi hari ini. Oh iya, kamu harus bersabar dengan Helena ya. Kalau dia sudah keterlaluan, kamu boleh melakukan apapun, oke?" pesan Bari pada Tiara sebelum lelaki itu benar-benar menutup pintu mobilnya."Jangan khawatirkan aku, aku akan baik-baik saja dengan calon maduku," jawab Tiara sambil mengulas senyum.