"Apa? hamil anakku? Kok bisa?" Bari mengeluarkan pertanyaan yang membuat Helena tertawa geli, sedangkan Tiara tengah berusaha menopang tubuhnya agar tidak jatuh. Sungguh ini sebuah kejutan yang tidak pernah ia sangka sebelumnya."Ya, bisa, kita pernah melakukannya dan jangan bilang kamu lupa pertemuan kita beberapa bulan lalu," ujar Helena percaya diri sambil meletakkan bokongnya di samping Bari. Lelaki itu bergeser, tidak ingin dekat dengan Helena. Menurutnya Helena melakukan sebuah kebohongan dan bisa saja sengaja menjebaknya."Tiara, kamu ngapain masih di situ? Sana pergi! Kami perlu bicara berdua," usir Helena dengan sinis."Tunggu, maaf Helena, Tiara ini bukan pembantuku, tapi istriku. Kamu tidak berhak mengusirnya karena ini adalah rumahnya, paham!""Apa? Istrimu? Kapan kalian menikah? Bukankah kamu tidak jadi menikah dengan Rumi? Trus, ini bukan Rumi, walau ...." Helena memperhatikan dengan seksama
"Oke, yang perlu kamu tahu, aku melakukan ini karena dirimu, Tiara, bukan karena Helena." Bari langsung menurunkan nada suaranya."Karena ini bukan hanya tentang aku, Helena, dan bayi di dalam kandungan wanita itu, tetapi juga dirimu. Percaya atau tidak, kamu menganggapku pembual atau tidak, aku telah mengatakan yang sebenarnya. Aku mencintai kamu dan aku tidak mau kehadiran Helena merusak kebahagiaan yang sekian lama aku cari. Begini saja, ayo kita periksakan kehamilan Helena." Bari berjalan menuju kamar Helena, tetapi Tiara masih bergeming di tempatnya.Tidak ada wanita di dunia ini yang tidak bahagia saat seorang lelaki yang ia cintai mengungkapkan perasaanya. Termasuk Tiara yang begitu lemah terhadap Bari. Benar kata orang, cinta dapat mengalahkan dendam, menyurutkan amarah, dan memaafkan sebuah kesalahan besar. Itu yang dirasakan oleh hati Tiara saat ini.Tok! Tok!Bari mengetuk pintu kamar Helena
"Tunggu, jadi kalian tukar guling? Kamu dengan kakaknya dan Papa kamu dengan adiknya? Ini serius? Wah ... teman-teman kampus kalau tahu semua ini pasti heboh." Helena memekik tak percaya memperhatikan Bari yang duduk di samping Tiara dan Rumi yang ia tahu pacar Bari, duduk di samping Angkasa."Kenapa kamu jadi mengurusi urusan kami? Sekarang saya tanya, apa kamu yakin itu bayi anak saya? Apa buktinya dia pelakunya? Apa kamu punya rekaman CCTV?" cecar Angkasa dengan suara tegas."Saya yakin, Om, karena saya baru melakukannya dengan Bari. Masa Om gak percaya? Om ingat saya'kan? Om tahu keluarga saya walau tidak begitu dekat. Hhm ... begini saja, daripada saya pusing berdebat dengan kalian, setelah bayi ini lahir dan jika terbukti anak dari Bari, maka Bari harus menikahi saya. Kita buat perjanjian! Saya tidak mau anak saya lahir tanpa ayah. Kalian akan sangat berdosa pada saya jik melakukan ini semua." Suara Helena terta
Hujan turun dengan sangat deras ketika Tiara mengantar suaminya sampai di lobi parkir apartemen. Pagi ini ia dan Bari sudah memutuskan untuk memulai semuanya dari awal, layaknya hubungan suami istri.Kecupan selamat pagi sudah diberikan Tiara saat tadi di kamar dan Bari memintanya untuk mengantar sampai lobi parkir. Tiara tidak keberatan karena ia sendiri mencoba menerima takdir yang Tuhan gariskan saat ini untuknya."Saya pergi ya, kamu baik-baik di rumah. Mungkin saya akan pulang malam, karena urusan kemarin, jadi ada hal penting yang saya ganti waktunya menjadi hari ini. Oh iya, kamu harus bersabar dengan Helena ya. Kalau dia sudah keterlaluan, kamu boleh melakukan apapun, oke?" pesan Bari pada Tiara sebelum lelaki itu benar-benar menutup pintu mobilnya."Jangan khawatirkan aku, aku akan baik-baik saja dengan calon maduku," jawab Tiara sambil mengulas senyum.
Tiara menguap berkali-kali sambil menahan kantuk yang luar biasa. Semalam, karena ulah suaminya, ia tidak dapat tidur dengan nyenyak. Entah apa yang dilakukan suaminya sehingga bolak-balik di kasur sambil mendengus. Saat ditanya kenapa, katanya gak bisa tidur dan harus ada yang dijepit. Tiara tertawa dalam hati sambil menggelengkan kepala bila mengingat kejadian tadi malam."Mbak, daripada kamu bengong, mending kamu pijitin kaki aku," ucap Helena santai dengan bokong yang sudah ia hempaskan di sofa. Belum lagi Tiara menjawab, Helena sudah meluruskan kedua kakinya agar dipijat oleh Tiara."Maaf ya, Helena, saya tidak pandai memijat," jawab Tiara santai dengan pandangan lurus menonton televisi."Udah tua jangan suka berbohong. Inget umur!" sindir Helena sinis."Terakhir saya memijat paman saya, beliau malah kena saraf kejepit. Ya udah kalau kamu maksa, sini! Jangan salahkan aku kalau kamu kena saraf ke
K-kalian sedang apa?” Tiara mendelik kaget saat melihat Helena dan suaminya ada di dalam kamar dengan pintu yang tertutup. Bari hanya memakai kaus dalam dan masih lengkap dengan celana panjang, sedangkan Helena masih memakai bajunya yang tadi.“Tiara, aku bisa jelaskan!” kata Bari memucat sambil berlari menghampiri Tiara yang masih bergeming di depan pintu. Wanita itu menatap tajam suaminya dan juga Helena yang tengah memutar bola mata malas, tanpa ekspresi rasa bersalah sama sekali.“Aku rasa berada di dalam kamar berduaan dengan suamiku tidak ada di dalam persyaratan kamu’kan? Jadi sekarang tolong keluar!” suara Tiara meninggi.“Tadiannya aku ingin minta tolong Mbak untuk mengoleskan ini di punggungku, aku kira Bari belum pulang dan Mbak yang ada di kamar mandi. Jadi aku tungguin, eh … malah Bari yang keluar dari kamar mandi, jadi aku minta Bari untuk mengoleskan minyak ini di punggungku &hel
Bohong kalau ia tidak memiliki sedikit perasaan pada Dion, jika tidak, mana mungkin ia mau dikenalkan dengan anak-anak dari pria itu, bahkan mereka sempat piknik ke beberapa tempat wisata selama empat bulan belakangan.Kini semua berbeda dan pasti sangat membuat lelaki itu kecewa. Tiara tidak mampu mengeluarkan kalimat apapun untuk membela dirinya. Sebuah kesalahan fatal yang ia katakan bahwa ia single parent yang suaminya meninggal, bukan single parent perceraian, ditambah pula dirinya memang belum benar-benar bercerai dari Bari, sehingga Tiara semakin merasa bersalah pada lelaki yang kini duduk sambil menunduk di depannya."Maafkan saya, Mas," lirih Tiara dengan suara penuh rasa bersalah. Tubuhnya basah berkeringat karena tenaga yang terkuras karena perasaan cemas sekaligus bersalah."Bagaimana saya mengatakan pada anak-anak perihal ini? Mereka berharap kamu menjadi ibu mereka dan saya pun begitu. Di balik semua kekurang
"Bagaimana bisa kamu tahu apartemen saya? Dan kamu berani memeluk istri bos kamu di depan orang banyak? Kamu ingin saya pecat, Dion?!" Suara Baru meninggi dengan tangan yang terkepal di balik punggungnya."Maaf, Pak Bari, jika saya terus terang meminta alamat Pak Bari, pasti tidak akan diberitahu, sehingga saya memutuskan untuk mengikuti Pak Bari pulang kemarin. Bapak tidak perlu cemburu, saya dan Tiara sudah selesai. Wanita itu adalah wanita baik-baik yang sudah memutuskan untuk memilih suaminya daripada duda seperti saya. Pelukan itu hanya sebagai pelukan perpisahan saja. Namun ada satu hal yang perlu Pak Bari ketahui, jika saya tahu Tiara tidak bahagia dengan Pak Bari, maka saya tidak akan ragu untuk merebut Tiara kembali. Saya permisi, Pak, mau menyiapkan file presentase kita hari ini." Dion bangun dari duduknya, lalu membungkuk sedikit sebagai tanda berpamitan pada Bari.Sepeninggal Dion, Bari menghubungi kembali nomor Tiara, wa