"Mas Radit kok di sini?" tanyaku cukup kaget melihat laki-laki itu sudah ada di sampingku. Mungkin dia hanya kebetulan lewat saja dan tak berniat untuk menodong jawabanku sekarang. Soalnya tempat kerja Mas Radit memang tak terlalu jauh dari sini. "Iya, Lan. Kebetulan nanti malam bapak minta aku untuk mengantarnya ke rumah Pakde di luar kota. Jadi, nggak bisa ketemu kamu. Makanya aku datang sekarang." "Mas Radit nggak nagih jawaban sekarang kan?" tanyaku sedikit gugup. Laki-laki itu justru tersenyum tipis sembari menatapku lekat. "Sekalian saja, Lan. Bukannya jawaban pagi ini ataupun nanti malam akan tetap sama?" Laki-laki itu kembali mengulum senyum."Iya juga sih, Mas. Cuma belum latihan. Eh maksudku bingung jawabnya." Aku memilih ujung hijab saking gugupnya. "Nggak usah bingung, ikuti kata hatimu saja. Jangan memaksakan sesuatu untuk menerima di saat hatimu menolaknya. Begitu pula sebaliknya, Lana. Kamu harus yakinkan hatimu sendiri, bahagia nggak dengan keputusan itu." Mas Radi
"Sebelumnya aku boleh cerita sedikit, Mas?" "Bolehlah. Selama ini justru aku ingin mendengar banyak cerita darimu. Sayangnya kamu lumayan tertutup." Aku kembali tersenyum tipis lalu meneguk teh yang kubuat sendiri untuk mengurangi kegugupan yang kurasakan. "Sampai saat ini aku memang hanya mencintai satu lelaki saja, Mas. Dia cinta pertamaku saat SMA. Dulu, hubungan kami cukup dekat meski nggak ada status pacaran di dalamnya. Sekadar sahabat, tapi sama-sama saling mencintai. Hanya saja keadaan memaksa kami untuk berpisah cukup lama. Mamanya belum merestui hubungan kami, karena itulah dia sengaja dikuliahkan di luar kota agar tak terus berhubungan denganku pasca SMA. Lima tahun berpisah, ternyata Allah kembali mempertemukanku dengannya."Mas Radit menghela napas. Sepertinya dia mulai paham ke arah mana jawaban yang akan kukatakan. "Kini, kami sama-sama sudah dewasa dan komit untuk memperjuangkan cinta ini sampai mendapatkan restu mamanya. Maaf jika aku harus menceritakan ini padamu,
"Mbak, motornya kenapa?" Ryan keluar rumah sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. Aku mendongak lalu kembali berdiri saat adik lelakiku itu mulai mendekat. "Rusak, Yan. Nggak tahu kenapa, padahal Mbak mau ke pasar belanja bahan-bahan nasi kuning besok. Katanya kamu juga mau bollen pisang sana lapis legit kan?" Ryan mengangguk lalu mengamati motor matic itu. Dia mencoba menstarternya, lalu kembali mematikannya. "Kayanya harus diservis, Mbak. Aku bawa ke bengkel dulu gimana?" tawarnya kemudian. Kulirik jam di tangan, nyaris menunjuk angka sembilan pagi dan itu artinya sudah cukup kesiangan. Kalau harus nunggu motor jadi lebih dulu, yang ada makin siang. Bahan-bahan yang kubutuhkan di pasar bisa habis diserbu para pedagang sayur atau emak-emak lain. "Malah bengong. Aku bawa ke bengkel Mas Bejo dulu ya, Mbak," ucap Ryan lagi lalu buru-buru masuk ke rumah. Dia kembali keluar dengan celana selutut dan kaos pendeknya. "Kamu bawa motornya ke bengkel, Yan, Mbak mau naik ojek online
"Jangan teriak atau mencoba melepaskan diri karena kami tak segan menyakitimu jika hal itu terjadi. Mengerti!" Aku tercekat seketika. Tak mampu memberontak saking takutnya saat salah seorang lelaki itu memperlihatkan pisaunya yang berkilau. Benar-benar mengerikan dan menakutkan. "Kalau kamu diam dan tak banyak protes, kamu akan baik-baik saja." Laki-laki yang duduk di samping kananku itu kembali menatapku tajam. Entah siapa dia, aku pun tak tahu. Saat ini aku benar-benar dilanda kekhawatiran dan ketakutan dengan mereka berdua. Aku takut mereka akan menculik dan minta tebusan seperti dalam film-film, atau mereka akan menjualku ke mucikari dengan harga khusus karena keperawan*nku? Apa yang harus kulakukan sekarang jika hal itu akan terjadi? Saat masih melamun dan berusaha mencari cara untuk kabur, tiba-tiba mataku mengantuk lalu terlelap begitu saja. Saat membuka mata, aku begitu shock karena berada di dalam kamar dengan ikatan kaki dan tangan yang terlepas. Kekagetanku semakin bert
POV : DIKTA [Aku sudah jawab pernyataan cinta dan rencana lamaran Mas Radit hari ini, Dikta.] Pesan dari Lana membuatku penasaran apa jawaban yang dia berikan pada laki-laki itu. Meski kuyakin jika Lana menolak cintanya, tapi rasa penasaran tetap saja kurasa. Takut jika Lana khilaf dan akhirnya menerima lamaran lelaki itu. Bukannya Allah yang membolak-balikkan hati setiap hamba? [Jawabanmu gimana, Lan?] Aku menunggu balasan dari Lana sebab dia mengetik terlalu lama. Semoga saja nggak ada penghalang hubunganku dengan Lana kecuali mama. Rasanya meluluhkan hati mama sudah terlalu sulit, jangan sampai ada lelaki lain yang menginginkannya juga. Beruntung Rizal pergi ke luar negeri, kalau dia masih di sini tentu akan bersaing dengannya juga. Meski kutahu cinta Lana hanya milikku, tapi tiap kali melihat tatapan Rizal pada perempuan yang kucintai itu, rasa cemburu mulai mengusik hatiku. Rizal benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa cintanya, seolah sengaja agar Lana tahu bagaimana peras
POV : DIKTA"Mau ke mana, Dikta? Ke rumah perempuan itu lagi?" tanya mama yang baru keluar kamar dengan rambutnya yang basah. "Iya, Ma. Mau ke rumah Lana. Sudah lama aku nggak ke sana kan?" Sengaja kutunjukkan seulas senyum pada mama yang tetap saja mencelos tak suka. "Kamu ini benar-benar dibutakan cinta, Dikta. Mama sampai capek nasehati kamu supaya nggak berhubungan dengan perempuan itu lagi," ujar mama dengan gemasnya. "Ma ... jodoh setiap hamba sudah ditulis olehNya sebelum kita dilahirkan. Jadi, mama tak perlu risau. Jika memang Lana bukan jodohku, nanti juga akan terpisah dan digantikan dengan perempuan yang tepat. Namun, jika dia memang jodohku, sekuat apapun mama melarang kami berhubungan dekat maka Allah tetap akan mendekatkan. Allah lebih berhak atas segalanya, Ma." Aku berujar pelan, setidaknya agar mama mengerti jika jodoh tak akan pernah ke mana. "Kamu ini, sudah pintar menasehati mama," balas Mama dengan napas kasar lalu menjatuhkan bobotnya yang ramping itu ke sofa
POV : DIKTA Aku berusaha menelpon Lana berulang kali, tapi nihil. Nomornya nggak aktif. Foto yang dikirimkan orang tak dikenal itu sangat meyakinkanku jika Lana tak baik-baik saja. Kemungkinan besar dia masih pingsan di kamar itu. Dan, Argh! Aku tak bisa membayangkan jika dia sengaja dijebak. Apa yang mereka lakukan pada Lanaku? "Mas, Mbak Lana disekap di perumahan Tirtasari," ucap Ryan setelah menerima panggilan entah dari siapa. Aku mengusap wajah kasar. Rasanya ingin segera mengha*ar siapapun dia yang sudah membuat Lana seperti ini. Aku jelas tak terima melihat Lana, perempuan polos dan baik hati itu diperlakukan sekeji itu. "Bang Edy masih di sana, Mas. Dia pemilik warung langgananku dan Mbak Lana di area pasar. Dia sudah foto beberapa orang yang keluar masuk rumah itu, hanya saja plat mobilnya sengaja nggak dipasang." Ryan berucap dengan tergesa lalu buru-buru mengunci pintu. Aku benar-benar tak menyangka jika penyekapan ini terjadi pada Lana. Pikiranku kacau. Mendadak curig
Pikiranku masih saja kacau. Aku benar-benar tak menyangka jika semua ini akan terjadi. Tak hanya sekamar dengan Mas Radit, tapi juga satu ranjang dengannya. Dia yang jelas tak memakai kaos saat kutemukan terlelap di sampingku. Ya Allah, apa maksud semua ini? Apa yang sudah dilakukannya padaku saat aku tak sadarkan diri? Aku benar-benar kalut melihat pakaian yang kukenakan berantakan. Ingin rasanya menolak pikiran burukku tentang laki-laki itu, tapi melihatnya seranjang denganku dengan kunci kamar di saku celananya, wajar jika aku curiga bukan? Bagaimana mungkin dia tak terlibat jika di rumah ini hanya ada aku dan dia saja? Bahkan dia yang memegang kunci pintu utama. Apakah semua ini balasan dari Mas Radit atas penolakanku tempo hari? Dia yang bilang baik-baik saja dan tetap menganggapku saudara meski kutolak cintanya, apa tega merencanakan hal busuk seperti ini padaku? Sebenarnya aku nggak yakin jika Mas Radit setega itu, tapi siapa lagi yang akan kutuduh sementara hanya dia saja di
"Cantik." Suara itu terdengar di ambang pintu kamar saat Mbak Agnes fokus merapikan kebaya berwarna salem dengan taburan swarovski yang membuatnya semakin terlihat elegan.Mbak Agnes ikut menoleh lalu tersenyum lebar."Siapa dulu calon suaminya," ujarnya memuji. Kulihat sosok itu dari cermin yang kini memantulkan bayanganku dengan balutan kebaya yang kupilih, senada dengan jas dan celana panjangnya. Dikta, lelaki itu terlihat semakin tampan dengan penampilannya sekarang. Dia masih bersedekap sembari menatapku lekat."Ngapain ke sini, Dikta? Harusnya kamu di luar menyambut tamu, sebentar lagi penghulu juga datang," ujarku sedikit gugup. Aku mendadak salah tingkah saat ditatap begitu lekat olehnya. Mbak Agnes pun tak henti menggodaku, membuat wajah ini mulai memerah seperti tomat matang."Nggak apa-apa, Lana. Calon suami mau lihat calon istrinya masa nggak boleh. Takut diculik mungkin." Mbak Agnes kembali terkekeh."Jangan digoda lagi, Mbak. Calon istriku itu memang pemalu. Takutnya ng
Aku dan Dikta berjalan beriringan keluar bioskop, sementara Denada dan teman-teman yang lain sepertinya sudah pulang sejak beberapa menit lalu. Kulihat jarum jam menunjuk angka setengah sembilan malam. Weekend begini jalanan masih ramai bahkan padat di beberapa tempat. "Kita ke taman Bianglala dulu, Lan. Mau?" tanya Dikta tiba-tiba setelah menghentikan mobilnya perlahan karena terjebak lampu merah. "Jadi kangen taman itu ya setelah nonton film kita." Aku dan Dikta bersitatap lalu sama-sama tersenyum. "Ternyata kamu seromantis itu, Lan. Mengingat semua momen kebersamaan kita dulu. Novelmu cukup detail menceritakan kisah kita dan ternyata ending yang kamu tulis nyaris sama dengan kejadian aslinya. Hanya saja kita belum menikah, sementara dalam novelmu Dikta dan Lana sudah menikah dan hidup bahagia." Dikta menatapku sekilas lalu kembali fokus dengan stirnya. "Iya, Dik. Kita sudah lamaran dan sebentar lagi kamu akan menikahiku bukan? Itu artinya imajinasiku dulu akan menjadi kenyataan
"Mbak Lana!" Aku dan Dikta yang masih duduk santai di lantai atas menoleh seketika. Di samping tangga kulihat gadis cantik dengan hijab cokelatnya tersenyum lebar ke arahku. Aku menatap Dikta beberapa saat lalu kembali pada perempuan modis itu."Denada," ujar Dikta membuatku kembali tersenyum. Baru kali ini aku melihat adik Dikta yang cantik itu. Usianya menginjak dua puluh satu tahun. Beda empat tahun dibandingkan kakaknya. Meski jarak usia mereka tak terlalu dekat, tapi kulihat keduanya cukup akrab. Denada datang dengan wajah cerianya lalu menyalamiku dan Dikta. "Buat calon kakak iparku yang cantik sekaligus penulis favoritku." Denada sedikit berteriak sembari memberikan sebuah kado untukku. Dikta tersentak melihatku yang sudah akrab dan terlihat cocok dengan adiknya. Dia pasti bingung dan tak menyangka kami seakrab ini. "Kalian akrab banget kaya sudah kenal lama." Dikta mulai curiga. Dia menatapku dan Denada bergantian. "Memang sudah kenal lama kakakku sayang." Denada merangkul
"You are mine." Lagi kudengar kalimat spesial darinya, membuatku semakin berbunga. "Iya, iya. Semoga saja prosesnya tak membutuhkan waktu yang lama. Nanti kamu ikut aku buat urus ini itu kan?" Aku menoleh ke arahnya yang masih menyandarkan punggung ke sofa sembari menatapku lekat. Senyum tulusnya kembali terukir di bibir. Dia mengangguk lalu mengedipkan kedua matanya yang bening itu. "Tentu aku akan selalu dampingi kamu, Lana. Aku benar-benar bangga memiliki kamu. Perempuan hebat, mandiri dan istimewa." Lagi, pujiannya membuat hidungku kembang kempis. Gegas mengalihkan pandangan sebab tak ingin dia tahu jika wajahku kali ini pasti sudah memerah seperti tomat karena pujiannya yang berlebihan. "Kita nonton bareng saat gala premiere." Dikta berucap yakin sembari mengangguk pelan saat aku menoleh. "Makasih banyak ya, Dik. Kamu selalu menjadi pendukung pertama selain Ryan di setiap hal yang kulakukan." Aku berkaca. Tiap kali mengingat momen-momen membahagiakan kami di masa lalu maupun
Kebahagiaan mulai datang silih berganti. Setelah Dikta kembali dan restu dari mamanya kugenggam, muncul kabar lain yang tak kalah membahagiakan. Novel berjudul Bianglala yang mengisahkan tentang perjalanan cintaku sendiri dengan Dikta ternyata dipinang sebuah rumah produksi ternama. Production House yang biasa meminang novel-novel terbaik menurutnya. Kulihat ekspresi bangga di wajah Dikta saat aku menjelaskan kabar bahagia yang kudengar dari Pak Abdullah. Tante Delima dan Om Erwin pun terlihat bangga sembari mengucapkan selamat untukku. Akhirnya kini aku bisa membuktikan pada mereka jika aku bisa mandiri dan sukses dengan caraku sendiri. Setidaknya sekarang aku merasa lebih layak bersanding dengan Dikta dan tak merasa terus rendah diri saat bersamanya. Meski Dikta tetap menerimaku apa adanya dan tak pernah memandang dari segi karir yang kupunya, tapi aku ingin membuatnya bangga dan merasa lebih bersyukur memilikiku sebagai calon pendamping hidupnya. "Tante bangga sama kamu, Lana. I
"Aku bawa nampannya. Kamu pasti masih shock dengan kabar bahagia ini." Dikta mengambil alih tugasku membawa nampan berisi empat cangkir teh hangat dan camilan itu. Aku pun mengikutinya kembali ke ruang tamu. "Maaf menunggu lama, Om, Tante." Aku kembali tersenyum lalu menata cangkir dan piring berisi camilan itu ke atas meja dan menyimpan nampan di bawah mejanya. "Nggak apa-apa, Lana. Justru kami yang minta maaf karena sudah mengganggumu pagi-pagi begini." Om Erwin tersenyum tipis lalu menoleh ke arah istrinya yang ikut mengangguk pelan."Nggak masalah kok, Om, Tante. Lagipula saya nggak ada kerjaan. Saya merasa beruntung sekali pagi ini karena mendapatkan tamu spesial." Aku tersenyum tipis lalu melirik Dikta yang ikut manggut-manggut dengan senyumnya yang menawan. "Langsung saja ya, Lana. Kedatangan Om dan Tante ke sini selian untuk silaturahmi, Tante juga mau minta maaf sama kamu atas sikap buruk Tante selama ini. Kepergian Dikta lima hari belakangan karena penculikan itu membuat
POV : LANA "Assalamualaikum, Lana!" Salam terdengar dari luar gerbang. Aku buru-buru menyambar hijab dan membuka pintu utama. Kulihat sosok yang selama lima hari ini kurindukan. Dikta. Dia benar-benar datang dengan begitu bersemangat dan senyum lebarnya. "Wa'alaikumsalam, Dikta. Akhirnya ketemu kamu juga." Aku ikut semringah saat membuka gerbang. Namun, senyumku tiba-tiba padam dan mendadak salah tingkah saat melihat Tante Delima dan Om Erwin sudah ada di belakang Dikta. Mereka saling tatap lalu tersenyum tipis ke arahku. "Eh, Om dan Tante ikut juga. Maaf sudah menunggu lama, silakan masuk." Aku mendadak kikuk saat mempersilakan orang tua Dikta untuk duduk di ruang tamu. Saat pamit ke belakang untuk menyiapkan minuman, aku sempat melotot ke arah Dikta yang hanya senyum-senyum tipis. Sengaja banget dia tak memberi tahuku lebih dulu jika akan datang ke sini dengan kedua orang tuanya. "Aku bantu, Lan." Dikta beranjak dari sofa lalu mengikutiku ke dapur, meninggalkan kedua orang tuany
Lima hari Dikta tak ada kabar. Entah mengapa kini di grup alumni ramai dengan foto-foto Riana dan mamanya yang digelandang polisi. Aku benar-benar tak tahu berita apapun karena sengaja jaga jarak dengan teman-teman yang lain. Aku nggak mau terlalu membuka diri di depan mereka semua. Apalagi sejak fotoku bersama Mas Radit tersebar, aku cukup berhati-hati untuk berteman dengan siapapun. [Riana jualan daster sama jadi rentenir, Gaes. Ternyata selama ini kita tertipu! Dia dan keluarganya sudah bangkrut sejak lama, tapi selalu berlagak hedon. Kasihan Lana, selalu dijadikan bahan ejekan. Padahal Lana sekarang sukses loh. Rizal yang cerita kalau Lana nggak seperti yang diceritakan Riana] Pesan pertama yang membuatku membulatkan mata seketika. Entah siapa, aku tak menyimpan nomornya. Sempat aku intip foto profil di WhatsAppnya, tapi tetap tak bisa kutebak. Dia tak memamerkan foto asli melainkan hanya foto kucing yang mungkin dia ambil dari media sosial. Keterkejutanku bertambah saat meliha
POV : DIKTA Kedua kakiku diikat kuat sementara kedua tangan juga diikat ke belakang. Tak hanya itu saja bahkan mulutku dilakban hingga tak mampu berteriak keras. Mereka benar-benar keterlaluan. Rasa haus membuatku mencoba berteriak dan menyenggol kursi di sampingku hingga terjatuh.Dua lelaki membuka pintu. Lagi-lagi aku tak bisa menebak siapa mereka sebenarnya karena tertutup masker. Meskipun bisa, kemungkinan besar aku tak mengenalnya. Kuyakin jika mereka bukan pelaku utama. Apa mungkin Riana lagi pelakunya? Dia tak berhasil menjauhkanku dengan Lana karena foto-foto itu, lantas sekarang berusaha menculikku balik agar Lana mengira aku membencinya? Jika memang iya, Riana benar-benar kelewat batas. Dia memang pantas mendekam ke penjara atas semua yang dia lakukan. "Jangan ribut! Mau ngapain kamu?!" sentak salah seorang penjaga itu dengan suara garangnya. Aku mencoba mengucap minum meski suaranya tak terlalu ketara. "Dia minta minum, Bang." Laki-laki lain tahu apa yang kuinginkan.