POV : DIKTA [Aku sudah jawab pernyataan cinta dan rencana lamaran Mas Radit hari ini, Dikta.] Pesan dari Lana membuatku penasaran apa jawaban yang dia berikan pada laki-laki itu. Meski kuyakin jika Lana menolak cintanya, tapi rasa penasaran tetap saja kurasa. Takut jika Lana khilaf dan akhirnya menerima lamaran lelaki itu. Bukannya Allah yang membolak-balikkan hati setiap hamba? [Jawabanmu gimana, Lan?] Aku menunggu balasan dari Lana sebab dia mengetik terlalu lama. Semoga saja nggak ada penghalang hubunganku dengan Lana kecuali mama. Rasanya meluluhkan hati mama sudah terlalu sulit, jangan sampai ada lelaki lain yang menginginkannya juga. Beruntung Rizal pergi ke luar negeri, kalau dia masih di sini tentu akan bersaing dengannya juga. Meski kutahu cinta Lana hanya milikku, tapi tiap kali melihat tatapan Rizal pada perempuan yang kucintai itu, rasa cemburu mulai mengusik hatiku. Rizal benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa cintanya, seolah sengaja agar Lana tahu bagaimana peras
POV : DIKTA"Mau ke mana, Dikta? Ke rumah perempuan itu lagi?" tanya mama yang baru keluar kamar dengan rambutnya yang basah. "Iya, Ma. Mau ke rumah Lana. Sudah lama aku nggak ke sana kan?" Sengaja kutunjukkan seulas senyum pada mama yang tetap saja mencelos tak suka. "Kamu ini benar-benar dibutakan cinta, Dikta. Mama sampai capek nasehati kamu supaya nggak berhubungan dengan perempuan itu lagi," ujar mama dengan gemasnya. "Ma ... jodoh setiap hamba sudah ditulis olehNya sebelum kita dilahirkan. Jadi, mama tak perlu risau. Jika memang Lana bukan jodohku, nanti juga akan terpisah dan digantikan dengan perempuan yang tepat. Namun, jika dia memang jodohku, sekuat apapun mama melarang kami berhubungan dekat maka Allah tetap akan mendekatkan. Allah lebih berhak atas segalanya, Ma." Aku berujar pelan, setidaknya agar mama mengerti jika jodoh tak akan pernah ke mana. "Kamu ini, sudah pintar menasehati mama," balas Mama dengan napas kasar lalu menjatuhkan bobotnya yang ramping itu ke sofa
POV : DIKTA Aku berusaha menelpon Lana berulang kali, tapi nihil. Nomornya nggak aktif. Foto yang dikirimkan orang tak dikenal itu sangat meyakinkanku jika Lana tak baik-baik saja. Kemungkinan besar dia masih pingsan di kamar itu. Dan, Argh! Aku tak bisa membayangkan jika dia sengaja dijebak. Apa yang mereka lakukan pada Lanaku? "Mas, Mbak Lana disekap di perumahan Tirtasari," ucap Ryan setelah menerima panggilan entah dari siapa. Aku mengusap wajah kasar. Rasanya ingin segera mengha*ar siapapun dia yang sudah membuat Lana seperti ini. Aku jelas tak terima melihat Lana, perempuan polos dan baik hati itu diperlakukan sekeji itu. "Bang Edy masih di sana, Mas. Dia pemilik warung langgananku dan Mbak Lana di area pasar. Dia sudah foto beberapa orang yang keluar masuk rumah itu, hanya saja plat mobilnya sengaja nggak dipasang." Ryan berucap dengan tergesa lalu buru-buru mengunci pintu. Aku benar-benar tak menyangka jika penyekapan ini terjadi pada Lana. Pikiranku kacau. Mendadak curig
Pikiranku masih saja kacau. Aku benar-benar tak menyangka jika semua ini akan terjadi. Tak hanya sekamar dengan Mas Radit, tapi juga satu ranjang dengannya. Dia yang jelas tak memakai kaos saat kutemukan terlelap di sampingku. Ya Allah, apa maksud semua ini? Apa yang sudah dilakukannya padaku saat aku tak sadarkan diri? Aku benar-benar kalut melihat pakaian yang kukenakan berantakan. Ingin rasanya menolak pikiran burukku tentang laki-laki itu, tapi melihatnya seranjang denganku dengan kunci kamar di saku celananya, wajar jika aku curiga bukan? Bagaimana mungkin dia tak terlibat jika di rumah ini hanya ada aku dan dia saja? Bahkan dia yang memegang kunci pintu utama. Apakah semua ini balasan dari Mas Radit atas penolakanku tempo hari? Dia yang bilang baik-baik saja dan tetap menganggapku saudara meski kutolak cintanya, apa tega merencanakan hal busuk seperti ini padaku? Sebenarnya aku nggak yakin jika Mas Radit setega itu, tapi siapa lagi yang akan kutuduh sementara hanya dia saja di
[Kenapa semua pesanku hanya dibaca, Lan? Apa kamu mengira aku hanya kasihan sama kamu? Apa kamu pikir, aku akan meninggalkanmu dalam kondisi seperti ini? Nggak, Lana. Hentikan dugaan-dugaanmu itu karena cintaku tak akan pernah berubah apapun yang terjadi. Kamu masih ingat dengan janji-janji itu kan? Kita akan melewati semua ujian cinta ini bersama-sama dan ini adalah bagian dari ujian itu. Aku menyayangimu di masa lalu, masa kini hingga masa yang akan datang. Percayalah, cinta itu tak akan pernah berubah dan berkurang] Pesan dari Dikta kembali muncul beruntun. Semua sudah terbaca dan lagi-lagi aku tak membalasnya. Aku tahu dia pasti mengharapkan balasan dariku, tapi apa yang harus kukatakan padanya? Apakah aku harus berterima kasih atas kesetiaannya? Atau aku harus terang-terangan memintanya mundur saja sebab aku yakin jika Tante Delima tahu masalah ini dia pasti semakin membenciku bahkan melarangku berhubungan dengan anak lelakinya itu. Baru saja mengingat wanita modis itu, tiba-ti
POV : LANA[Kamu mengancamku?! Heh, anak ingusan. Sudah berani kamu mengancamku balik ya?! Kamu pikir aku akan takut dengan ancaman anak kemarin sore sepertimu? Dikta nggak mungkin seperti itu kalau kamu nggak main pelet. Jangan besar kepala! Memangnya secantik, sebaik dan sepesial apa kamu sampai membuat Dikta tergila-gila begitu?!] Pesan dari Tante Delima semakin membuat hatiku panas. Aku tak perlu meladeninya karena kata-kata yang diucapkannya hanya akan membuat sakit hati. Beranjak dari ranjang, aku ingin keluar kamar menemui Dikta. Namun, langkahku terhenti saat mendengar suara Dikta dari luar. Sepertinya dia sedang menelpon seseorang. "Masih di rumah Lana," ucapnya yang kini terdengar cukup jelas setelah aku menajamkan telinga di balik pintu kamar. "Iya, Ma. Ada hal buruk yang terjadi makanya aku masih di sini. Memangnya kenapa, Ma?" Aku baru tahu jika saat ini dia sedang ngobrol dengan sang mama. Aku yakin Tante Delima pasti menuduhku macam-macam di depan Dikta agar dia tak
"Mbak, bagaimana hasilnya?" Ryan melangkah tergesa ke arahku setelah keluar dari ruangan dokter untuk visum. Mau tak mau, meski dalam keadaan khawatir dan takut aku tetap melakukannya untuk menenangkan dan meyakinkan diriku sendiri tak ada sesuatu yang lebih buruk terjadi padaku saat itu. "Alhamdulillah, Yan. Nggak ada yang buruk. Semua baik-baik saja. Berarti mereka hanya menginginkan fotoku bersama Mas Radit saja, tanpa berniat lebih." Ryan menghela napas panjang seraya mengucapkan Hamdallah. Ada kelegaan lebih di mata Ryan mendengar kabar dariku tentang hasil visum itu. Tak hanya dia, bahkan tadi aku sempat sujud syukur karena tak terjadi apa-apa pada tubuhku yang lain. Sebenarnya sejak sadar dari pingsan itu, aku tak merasakan tanda-tanda keanehan di tubuhku. Hanya saja ketakutan dan kekhawatiran itu membuatku tak bisa berpikir jernih. Aku benar-benar takut jika keperawananku direnggut saat masih pingsan. Setelah mendengarkan penjelasan dokter atas hasil visum ini, aku sekaran
[Ini Lana bukan sih? Kok bisa foto dia ada di garasi rumahku] Pesan dari Susi di grup alumni SMA itu membuatku tercekat. [Bukannya yang laki-laki ini anak Pak Anwar ya? Radit, namanya. Aku pernah bertemu Pak Anwar dengan anak lelakinya ini] Pesan dari Anggi juga muncul di sana. Suasana grup semakin heboh saat Riana dan Ratna ikut menimpali. [Iya itu anaknya Pak Anwar. Kok bisa Mas Radit sama Lana di situ? Wow! Ternyata diam-diam Lana berani ya! Kelihatannya polos dan alim, eh di luar ternyata liar!] Balasan Riana membuat air mataku meleleh seketika. Ya Allah kenapa foto itu ada di rumah Susi segala? Siapa sebenarnya yang merencanakan ini semua? Sekarang grup heboh gara-gara fotoku di sana. Ya Allah, aku sampai nggak berani muncul, meski mereka sibuk mencolek namaku dan Dikta berkali-kali. Aku benar-benar malu melihat auratku diumbar seperti itu di grup. Ada yang yakin jika itu bukan editan, ada pula yang yakin jika aku nggak mungkin melakukan hal serendah itu dengan lelaki yang