Seminggu belakangan aku memang jarang bersosial media, bahkan sengaja tak melanjutkan cerita bersambung yang menjadi bagian dari pekerjaanku selama tiga tahun terakhir. Otakku terasa buntu dan nggak bisa berpikir jernih setelah kejadian memalukan itu. Ditambah kepergian Dikta dia hari belakangan. Entah kemana dia. Pagi tadi, Mas Radit dan keluarga besarnya datang ke rumah. Mereka minta maaf atas kejadian memalukan itu padaku. Entah mengapa mereka harus minta maaf, padahal tak seharusnya mereka melakukan itu sebab bukan mereka pelakunya bukan? Namun, Pak Anwar dan istrinya merasa begitu bersalah setelah mendengar cerita dari Mas Radit. Mereka sangat menyayangiku dan takut aku depresi. Oleh karena itu itulah mereka bilang ingin tanggungjawab jika terjadi sesuatu padaku, hingga akhirnya kukatakan jika aku tak kenapa-kenapa. Bahkan sudah mengantongi bukti visum jika memang tak terjadi apa-apa antara aku dan Mas Radit saat itu. "Lana, kamu di rumah kan?" Suara Ike terdengar dari seberan
Bakda dzuhur aku dan Ikke memutuskan untuk pergi ke rumah Dikta. Meski dengan perasaan campur aduk, aku berusaha untuk tetap tenang saat taksi berhenti di depan rumah bertingkat dua itu. "Kamu yang tenang ya, Lan. InsyaAllah semua baik-baik saja." Ike memelukku sembari tersenyum tipis untuk menenangkan. "Aku akan selalu bersamamu, Lan," sambungnya lagi. Kupejamkan mata sesaat lalu membukanya perlahan. Tak lupa mengucap basmallah sebelum menekan bel rumah itu. Seorang laki-laki tengah baya membuka gerbang. Sepertinya dia supir pribadi keluarga Dikta. Aku sempat melihatnya mengantar Tante Delima waktu itu. "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyanya sopan. Ike melangkah mendekatiku yang berdiri di samping gerbang. "Maaf, Pak. Kami temannya Dikta. Apa bisa bertemu dengan Dikta sekarang?" tanya Ike dengan senyum tipisnya. Ekspresi bapak itu berubah seketika. Dia menghela napas panjang lalu menatapku dan Ikke bergantian. Mendadak aku curiga dan khawatir terjadi sesuatu pada Dikta. "
Aku dan Ikke saling pandang. Mungkinkah orang tua Dikta menemui Ryan dan mengira Dikta ada di sana hingga dia bebas menggeledah rumahku? Ya Allah. Apa yang terjadi dengan Ryan? Dia pasti tak menyangka jika Tante Delima datang ke rumah dengan kesetanan karena kehilangan anak lelakinya. "Saya nggak tahu, Tante. Makanya saya datang ke sini karena ingin bertemu dengan Dikta. Buat apa saya menculik Dikta kalau nyaris tiap hari dia datang sendiri ke rumah saya?" Aku berusaha percaya diri meski berulang kali wanita itu sengaja mengerdilkan mentalku. "Buat apa menculik Dikta? Heh! Kamu pikir aku bo doh?! Dikta itu anak seorang pengusaha terkenal di sini. Bisa saja kamu bersekongkol untuk menculik dia dan minta tebusan ratusan juta kan?" Tante Delima tersenyum miring sembari melipat tangannya ke dada. Tatapannya tajam mengintimidasi. Aku yang biasanya langsung menunduk takut, entah mengapa kali ini ada sekelebat keberanian yang muncul dalam dada. Bukannya menunduk, aku justru menatap tegap
POV : DIKTA "Pokoknya mama nggak setuju hubunganmu dengan Lana, Dikta. Apapun yang kamu katakan tentang dia, mama nggak suka. Ingat, Dikta. Ibunya pernah menjadi selingkuhan papamu dan itu masih membuat mama sakit hati sampai saat ini." Mama masih saja membahas hal yang sama, padahal berulang kali papa bilang jika semua itu hanya bagian dari masa lalu dan kini hanya mama yang papa cintai. Lagipula ibunya Lana sudah tiada, bisa-bisanya mama masih cemburu pada orang yang sudah meninggal dunia. Aneh. "Ibunya Lana bukan selingkuhan papa, Ma. Bukankah beliau menikah dengan papa tiga bulan lebih awal dibandingkan mama?" Aku membela, meski tak bermaksud menyudutkan mama, tapi sepertinya mama merasa tersudutkan. Mama kembali meradang bahkan memintaku memilih antara mama dan Lana. "Mereka menikah di bawah tangan, Dikta. Tanpa diketahui keluarga besar. Dasar ibunya Lana saja yang genit. Mau-maunya menikah dengan papamu tanpa persetujuan keluarga." Lagi, mama terus menyudutkan Lana dan ibuny
"Bagaimana dengan foto-foto ini? Apa kamu masih tetap memakluminya bahkan mempercayai omong kosong perempuan itu?" Mama melempar beberapa lembar foto Lana dengan Radit di depanku. Aku buru-buru mengalihkan pandangan sebab tak ingin melihat Lana dalam kondisi seperti itu. Aku tahu bagaimana perasaannya dan aku tak ingin membuatnya semakin terluka tiap kali aku melihat foto-foto itu. "Foto ini jelas, Dikta. Bukan editan. Apa kamu masih tetap mempercayai dia terbukti tidur dengan lelaki lain? Apa kamu masih mengharapkan perempuan seperti dia untuk menjadi calon pendampingmu kelak?" Mama menatapku tajam sembari menggelengkan kepala perlahan. "Mama benar-benar nggak habis pikir kenapa kamu bisa bersikap seperti ini. Dimana letak spesialnya perempuan itu sampai membuatmu secinta itu, Dikta?" Mama menjatuhkan bobotnya ke sofa lalu memijit kening saking pusingnya. Aku tahu mama cukup frustasi melihat hubunganku dengan Lana. Mungkin terheran-heran kenapa aku belum bisa melupakan Lana meski
POV : DIKTA Riana. Perempuan itu benar-benar keterlaluan. Dia tak pernah jera membuat Lana menderita. Sampai hati melakukan fitnah keji seperti ini. Aku akan membuat perhitungan dengannya. Lihat saja nanti! [Dit, aku sudah tahu dalang penyekapan itu. Kita ketemu di cafe Arjuna untuk membahas rencana selanjutnya] Pesan untuk Radit sudah terkirim. Tak mengukur waktu, aku pamit keluar pada mama dan papa yang masih terlibat obrolan serius soal penyekapan Lana. Mobil kupacu perlahan menuju tempat yang sudah kujanjikan, Cafe Arjuna. Jalanan kota tak terlalu macet hingga membuatku datang lebih cepat. Suasana tak terlalu ramai sore ini. Hanya ada tiga pasang pemudi dan pemuda yang menikmati menu yang tersedia di cafe ini. Lima belas menit menunggu, akhirnya Radit datang juga. Aku melambaikan tangan pada laki-laki bertubuh jangkung dengan kaca mata minusnya itu saat dia mulai mencari keberadaanku. Dia sedikit mengangguk lalu mempercepat langkah ke arahku. "Terlalu lama menunggu?" tanyany
POV : DIKTA Kedua kakiku diikat kuat sementara kedua tangan juga diikat ke belakang. Tak hanya itu saja bahkan mulutku dilakban hingga tak mampu berteriak keras. Mereka benar-benar keterlaluan. Rasa haus membuatku mencoba berteriak dan menyenggol kursi di sampingku hingga terjatuh.Dua lelaki membuka pintu. Lagi-lagi aku tak bisa menebak siapa mereka sebenarnya karena tertutup masker. Meskipun bisa, kemungkinan besar aku tak mengenalnya. Kuyakin jika mereka bukan pelaku utama. Apa mungkin Riana lagi pelakunya? Dia tak berhasil menjauhkanku dengan Lana karena foto-foto itu, lantas sekarang berusaha menculikku balik agar Lana mengira aku membencinya? Jika memang iya, Riana benar-benar kelewat batas. Dia memang pantas mendekam ke penjara atas semua yang dia lakukan. "Jangan ribut! Mau ngapain kamu?!" sentak salah seorang penjaga itu dengan suara garangnya. Aku mencoba mengucap minum meski suaranya tak terlalu ketara. "Dia minta minum, Bang." Laki-laki lain tahu apa yang kuinginkan.
Lima hari Dikta tak ada kabar. Entah mengapa kini di grup alumni ramai dengan foto-foto Riana dan mamanya yang digelandang polisi. Aku benar-benar tak tahu berita apapun karena sengaja jaga jarak dengan teman-teman yang lain. Aku nggak mau terlalu membuka diri di depan mereka semua. Apalagi sejak fotoku bersama Mas Radit tersebar, aku cukup berhati-hati untuk berteman dengan siapapun. [Riana jualan daster sama jadi rentenir, Gaes. Ternyata selama ini kita tertipu! Dia dan keluarganya sudah bangkrut sejak lama, tapi selalu berlagak hedon. Kasihan Lana, selalu dijadikan bahan ejekan. Padahal Lana sekarang sukses loh. Rizal yang cerita kalau Lana nggak seperti yang diceritakan Riana] Pesan pertama yang membuatku membulatkan mata seketika. Entah siapa, aku tak menyimpan nomornya. Sempat aku intip foto profil di WhatsAppnya, tapi tetap tak bisa kutebak. Dia tak memamerkan foto asli melainkan hanya foto kucing yang mungkin dia ambil dari media sosial. Keterkejutanku bertambah saat meliha