[Kenapa semua pesanku hanya dibaca, Lan? Apa kamu mengira aku hanya kasihan sama kamu? Apa kamu pikir, aku akan meninggalkanmu dalam kondisi seperti ini? Nggak, Lana. Hentikan dugaan-dugaanmu itu karena cintaku tak akan pernah berubah apapun yang terjadi. Kamu masih ingat dengan janji-janji itu kan? Kita akan melewati semua ujian cinta ini bersama-sama dan ini adalah bagian dari ujian itu. Aku menyayangimu di masa lalu, masa kini hingga masa yang akan datang. Percayalah, cinta itu tak akan pernah berubah dan berkurang] Pesan dari Dikta kembali muncul beruntun. Semua sudah terbaca dan lagi-lagi aku tak membalasnya. Aku tahu dia pasti mengharapkan balasan dariku, tapi apa yang harus kukatakan padanya? Apakah aku harus berterima kasih atas kesetiaannya? Atau aku harus terang-terangan memintanya mundur saja sebab aku yakin jika Tante Delima tahu masalah ini dia pasti semakin membenciku bahkan melarangku berhubungan dengan anak lelakinya itu. Baru saja mengingat wanita modis itu, tiba-ti
POV : LANA[Kamu mengancamku?! Heh, anak ingusan. Sudah berani kamu mengancamku balik ya?! Kamu pikir aku akan takut dengan ancaman anak kemarin sore sepertimu? Dikta nggak mungkin seperti itu kalau kamu nggak main pelet. Jangan besar kepala! Memangnya secantik, sebaik dan sepesial apa kamu sampai membuat Dikta tergila-gila begitu?!] Pesan dari Tante Delima semakin membuat hatiku panas. Aku tak perlu meladeninya karena kata-kata yang diucapkannya hanya akan membuat sakit hati. Beranjak dari ranjang, aku ingin keluar kamar menemui Dikta. Namun, langkahku terhenti saat mendengar suara Dikta dari luar. Sepertinya dia sedang menelpon seseorang. "Masih di rumah Lana," ucapnya yang kini terdengar cukup jelas setelah aku menajamkan telinga di balik pintu kamar. "Iya, Ma. Ada hal buruk yang terjadi makanya aku masih di sini. Memangnya kenapa, Ma?" Aku baru tahu jika saat ini dia sedang ngobrol dengan sang mama. Aku yakin Tante Delima pasti menuduhku macam-macam di depan Dikta agar dia tak
"Mbak, bagaimana hasilnya?" Ryan melangkah tergesa ke arahku setelah keluar dari ruangan dokter untuk visum. Mau tak mau, meski dalam keadaan khawatir dan takut aku tetap melakukannya untuk menenangkan dan meyakinkan diriku sendiri tak ada sesuatu yang lebih buruk terjadi padaku saat itu. "Alhamdulillah, Yan. Nggak ada yang buruk. Semua baik-baik saja. Berarti mereka hanya menginginkan fotoku bersama Mas Radit saja, tanpa berniat lebih." Ryan menghela napas panjang seraya mengucapkan Hamdallah. Ada kelegaan lebih di mata Ryan mendengar kabar dariku tentang hasil visum itu. Tak hanya dia, bahkan tadi aku sempat sujud syukur karena tak terjadi apa-apa pada tubuhku yang lain. Sebenarnya sejak sadar dari pingsan itu, aku tak merasakan tanda-tanda keanehan di tubuhku. Hanya saja ketakutan dan kekhawatiran itu membuatku tak bisa berpikir jernih. Aku benar-benar takut jika keperawananku direnggut saat masih pingsan. Setelah mendengarkan penjelasan dokter atas hasil visum ini, aku sekaran
[Ini Lana bukan sih? Kok bisa foto dia ada di garasi rumahku] Pesan dari Susi di grup alumni SMA itu membuatku tercekat. [Bukannya yang laki-laki ini anak Pak Anwar ya? Radit, namanya. Aku pernah bertemu Pak Anwar dengan anak lelakinya ini] Pesan dari Anggi juga muncul di sana. Suasana grup semakin heboh saat Riana dan Ratna ikut menimpali. [Iya itu anaknya Pak Anwar. Kok bisa Mas Radit sama Lana di situ? Wow! Ternyata diam-diam Lana berani ya! Kelihatannya polos dan alim, eh di luar ternyata liar!] Balasan Riana membuat air mataku meleleh seketika. Ya Allah kenapa foto itu ada di rumah Susi segala? Siapa sebenarnya yang merencanakan ini semua? Sekarang grup heboh gara-gara fotoku di sana. Ya Allah, aku sampai nggak berani muncul, meski mereka sibuk mencolek namaku dan Dikta berkali-kali. Aku benar-benar malu melihat auratku diumbar seperti itu di grup. Ada yang yakin jika itu bukan editan, ada pula yang yakin jika aku nggak mungkin melakukan hal serendah itu dengan lelaki yang
Seminggu belakangan aku memang jarang bersosial media, bahkan sengaja tak melanjutkan cerita bersambung yang menjadi bagian dari pekerjaanku selama tiga tahun terakhir. Otakku terasa buntu dan nggak bisa berpikir jernih setelah kejadian memalukan itu. Ditambah kepergian Dikta dia hari belakangan. Entah kemana dia. Pagi tadi, Mas Radit dan keluarga besarnya datang ke rumah. Mereka minta maaf atas kejadian memalukan itu padaku. Entah mengapa mereka harus minta maaf, padahal tak seharusnya mereka melakukan itu sebab bukan mereka pelakunya bukan? Namun, Pak Anwar dan istrinya merasa begitu bersalah setelah mendengar cerita dari Mas Radit. Mereka sangat menyayangiku dan takut aku depresi. Oleh karena itu itulah mereka bilang ingin tanggungjawab jika terjadi sesuatu padaku, hingga akhirnya kukatakan jika aku tak kenapa-kenapa. Bahkan sudah mengantongi bukti visum jika memang tak terjadi apa-apa antara aku dan Mas Radit saat itu. "Lana, kamu di rumah kan?" Suara Ike terdengar dari seberan
Bakda dzuhur aku dan Ikke memutuskan untuk pergi ke rumah Dikta. Meski dengan perasaan campur aduk, aku berusaha untuk tetap tenang saat taksi berhenti di depan rumah bertingkat dua itu. "Kamu yang tenang ya, Lan. InsyaAllah semua baik-baik saja." Ike memelukku sembari tersenyum tipis untuk menenangkan. "Aku akan selalu bersamamu, Lan," sambungnya lagi. Kupejamkan mata sesaat lalu membukanya perlahan. Tak lupa mengucap basmallah sebelum menekan bel rumah itu. Seorang laki-laki tengah baya membuka gerbang. Sepertinya dia supir pribadi keluarga Dikta. Aku sempat melihatnya mengantar Tante Delima waktu itu. "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyanya sopan. Ike melangkah mendekatiku yang berdiri di samping gerbang. "Maaf, Pak. Kami temannya Dikta. Apa bisa bertemu dengan Dikta sekarang?" tanya Ike dengan senyum tipisnya. Ekspresi bapak itu berubah seketika. Dia menghela napas panjang lalu menatapku dan Ikke bergantian. Mendadak aku curiga dan khawatir terjadi sesuatu pada Dikta. "
Aku dan Ikke saling pandang. Mungkinkah orang tua Dikta menemui Ryan dan mengira Dikta ada di sana hingga dia bebas menggeledah rumahku? Ya Allah. Apa yang terjadi dengan Ryan? Dia pasti tak menyangka jika Tante Delima datang ke rumah dengan kesetanan karena kehilangan anak lelakinya. "Saya nggak tahu, Tante. Makanya saya datang ke sini karena ingin bertemu dengan Dikta. Buat apa saya menculik Dikta kalau nyaris tiap hari dia datang sendiri ke rumah saya?" Aku berusaha percaya diri meski berulang kali wanita itu sengaja mengerdilkan mentalku. "Buat apa menculik Dikta? Heh! Kamu pikir aku bo doh?! Dikta itu anak seorang pengusaha terkenal di sini. Bisa saja kamu bersekongkol untuk menculik dia dan minta tebusan ratusan juta kan?" Tante Delima tersenyum miring sembari melipat tangannya ke dada. Tatapannya tajam mengintimidasi. Aku yang biasanya langsung menunduk takut, entah mengapa kali ini ada sekelebat keberanian yang muncul dalam dada. Bukannya menunduk, aku justru menatap tegap
POV : DIKTA "Pokoknya mama nggak setuju hubunganmu dengan Lana, Dikta. Apapun yang kamu katakan tentang dia, mama nggak suka. Ingat, Dikta. Ibunya pernah menjadi selingkuhan papamu dan itu masih membuat mama sakit hati sampai saat ini." Mama masih saja membahas hal yang sama, padahal berulang kali papa bilang jika semua itu hanya bagian dari masa lalu dan kini hanya mama yang papa cintai. Lagipula ibunya Lana sudah tiada, bisa-bisanya mama masih cemburu pada orang yang sudah meninggal dunia. Aneh. "Ibunya Lana bukan selingkuhan papa, Ma. Bukankah beliau menikah dengan papa tiga bulan lebih awal dibandingkan mama?" Aku membela, meski tak bermaksud menyudutkan mama, tapi sepertinya mama merasa tersudutkan. Mama kembali meradang bahkan memintaku memilih antara mama dan Lana. "Mereka menikah di bawah tangan, Dikta. Tanpa diketahui keluarga besar. Dasar ibunya Lana saja yang genit. Mau-maunya menikah dengan papamu tanpa persetujuan keluarga." Lagi, mama terus menyudutkan Lana dan ibuny
"Cantik." Suara itu terdengar di ambang pintu kamar saat Mbak Agnes fokus merapikan kebaya berwarna salem dengan taburan swarovski yang membuatnya semakin terlihat elegan.Mbak Agnes ikut menoleh lalu tersenyum lebar."Siapa dulu calon suaminya," ujarnya memuji. Kulihat sosok itu dari cermin yang kini memantulkan bayanganku dengan balutan kebaya yang kupilih, senada dengan jas dan celana panjangnya. Dikta, lelaki itu terlihat semakin tampan dengan penampilannya sekarang. Dia masih bersedekap sembari menatapku lekat."Ngapain ke sini, Dikta? Harusnya kamu di luar menyambut tamu, sebentar lagi penghulu juga datang," ujarku sedikit gugup. Aku mendadak salah tingkah saat ditatap begitu lekat olehnya. Mbak Agnes pun tak henti menggodaku, membuat wajah ini mulai memerah seperti tomat matang."Nggak apa-apa, Lana. Calon suami mau lihat calon istrinya masa nggak boleh. Takut diculik mungkin." Mbak Agnes kembali terkekeh."Jangan digoda lagi, Mbak. Calon istriku itu memang pemalu. Takutnya ng
Aku dan Dikta berjalan beriringan keluar bioskop, sementara Denada dan teman-teman yang lain sepertinya sudah pulang sejak beberapa menit lalu. Kulihat jarum jam menunjuk angka setengah sembilan malam. Weekend begini jalanan masih ramai bahkan padat di beberapa tempat. "Kita ke taman Bianglala dulu, Lan. Mau?" tanya Dikta tiba-tiba setelah menghentikan mobilnya perlahan karena terjebak lampu merah. "Jadi kangen taman itu ya setelah nonton film kita." Aku dan Dikta bersitatap lalu sama-sama tersenyum. "Ternyata kamu seromantis itu, Lan. Mengingat semua momen kebersamaan kita dulu. Novelmu cukup detail menceritakan kisah kita dan ternyata ending yang kamu tulis nyaris sama dengan kejadian aslinya. Hanya saja kita belum menikah, sementara dalam novelmu Dikta dan Lana sudah menikah dan hidup bahagia." Dikta menatapku sekilas lalu kembali fokus dengan stirnya. "Iya, Dik. Kita sudah lamaran dan sebentar lagi kamu akan menikahiku bukan? Itu artinya imajinasiku dulu akan menjadi kenyataan
"Mbak Lana!" Aku dan Dikta yang masih duduk santai di lantai atas menoleh seketika. Di samping tangga kulihat gadis cantik dengan hijab cokelatnya tersenyum lebar ke arahku. Aku menatap Dikta beberapa saat lalu kembali pada perempuan modis itu."Denada," ujar Dikta membuatku kembali tersenyum. Baru kali ini aku melihat adik Dikta yang cantik itu. Usianya menginjak dua puluh satu tahun. Beda empat tahun dibandingkan kakaknya. Meski jarak usia mereka tak terlalu dekat, tapi kulihat keduanya cukup akrab. Denada datang dengan wajah cerianya lalu menyalamiku dan Dikta. "Buat calon kakak iparku yang cantik sekaligus penulis favoritku." Denada sedikit berteriak sembari memberikan sebuah kado untukku. Dikta tersentak melihatku yang sudah akrab dan terlihat cocok dengan adiknya. Dia pasti bingung dan tak menyangka kami seakrab ini. "Kalian akrab banget kaya sudah kenal lama." Dikta mulai curiga. Dia menatapku dan Denada bergantian. "Memang sudah kenal lama kakakku sayang." Denada merangkul
"You are mine." Lagi kudengar kalimat spesial darinya, membuatku semakin berbunga. "Iya, iya. Semoga saja prosesnya tak membutuhkan waktu yang lama. Nanti kamu ikut aku buat urus ini itu kan?" Aku menoleh ke arahnya yang masih menyandarkan punggung ke sofa sembari menatapku lekat. Senyum tulusnya kembali terukir di bibir. Dia mengangguk lalu mengedipkan kedua matanya yang bening itu. "Tentu aku akan selalu dampingi kamu, Lana. Aku benar-benar bangga memiliki kamu. Perempuan hebat, mandiri dan istimewa." Lagi, pujiannya membuat hidungku kembang kempis. Gegas mengalihkan pandangan sebab tak ingin dia tahu jika wajahku kali ini pasti sudah memerah seperti tomat karena pujiannya yang berlebihan. "Kita nonton bareng saat gala premiere." Dikta berucap yakin sembari mengangguk pelan saat aku menoleh. "Makasih banyak ya, Dik. Kamu selalu menjadi pendukung pertama selain Ryan di setiap hal yang kulakukan." Aku berkaca. Tiap kali mengingat momen-momen membahagiakan kami di masa lalu maupun
Kebahagiaan mulai datang silih berganti. Setelah Dikta kembali dan restu dari mamanya kugenggam, muncul kabar lain yang tak kalah membahagiakan. Novel berjudul Bianglala yang mengisahkan tentang perjalanan cintaku sendiri dengan Dikta ternyata dipinang sebuah rumah produksi ternama. Production House yang biasa meminang novel-novel terbaik menurutnya. Kulihat ekspresi bangga di wajah Dikta saat aku menjelaskan kabar bahagia yang kudengar dari Pak Abdullah. Tante Delima dan Om Erwin pun terlihat bangga sembari mengucapkan selamat untukku. Akhirnya kini aku bisa membuktikan pada mereka jika aku bisa mandiri dan sukses dengan caraku sendiri. Setidaknya sekarang aku merasa lebih layak bersanding dengan Dikta dan tak merasa terus rendah diri saat bersamanya. Meski Dikta tetap menerimaku apa adanya dan tak pernah memandang dari segi karir yang kupunya, tapi aku ingin membuatnya bangga dan merasa lebih bersyukur memilikiku sebagai calon pendamping hidupnya. "Tante bangga sama kamu, Lana. I
"Aku bawa nampannya. Kamu pasti masih shock dengan kabar bahagia ini." Dikta mengambil alih tugasku membawa nampan berisi empat cangkir teh hangat dan camilan itu. Aku pun mengikutinya kembali ke ruang tamu. "Maaf menunggu lama, Om, Tante." Aku kembali tersenyum lalu menata cangkir dan piring berisi camilan itu ke atas meja dan menyimpan nampan di bawah mejanya. "Nggak apa-apa, Lana. Justru kami yang minta maaf karena sudah mengganggumu pagi-pagi begini." Om Erwin tersenyum tipis lalu menoleh ke arah istrinya yang ikut mengangguk pelan."Nggak masalah kok, Om, Tante. Lagipula saya nggak ada kerjaan. Saya merasa beruntung sekali pagi ini karena mendapatkan tamu spesial." Aku tersenyum tipis lalu melirik Dikta yang ikut manggut-manggut dengan senyumnya yang menawan. "Langsung saja ya, Lana. Kedatangan Om dan Tante ke sini selian untuk silaturahmi, Tante juga mau minta maaf sama kamu atas sikap buruk Tante selama ini. Kepergian Dikta lima hari belakangan karena penculikan itu membuat
POV : LANA "Assalamualaikum, Lana!" Salam terdengar dari luar gerbang. Aku buru-buru menyambar hijab dan membuka pintu utama. Kulihat sosok yang selama lima hari ini kurindukan. Dikta. Dia benar-benar datang dengan begitu bersemangat dan senyum lebarnya. "Wa'alaikumsalam, Dikta. Akhirnya ketemu kamu juga." Aku ikut semringah saat membuka gerbang. Namun, senyumku tiba-tiba padam dan mendadak salah tingkah saat melihat Tante Delima dan Om Erwin sudah ada di belakang Dikta. Mereka saling tatap lalu tersenyum tipis ke arahku. "Eh, Om dan Tante ikut juga. Maaf sudah menunggu lama, silakan masuk." Aku mendadak kikuk saat mempersilakan orang tua Dikta untuk duduk di ruang tamu. Saat pamit ke belakang untuk menyiapkan minuman, aku sempat melotot ke arah Dikta yang hanya senyum-senyum tipis. Sengaja banget dia tak memberi tahuku lebih dulu jika akan datang ke sini dengan kedua orang tuanya. "Aku bantu, Lan." Dikta beranjak dari sofa lalu mengikutiku ke dapur, meninggalkan kedua orang tuany
Lima hari Dikta tak ada kabar. Entah mengapa kini di grup alumni ramai dengan foto-foto Riana dan mamanya yang digelandang polisi. Aku benar-benar tak tahu berita apapun karena sengaja jaga jarak dengan teman-teman yang lain. Aku nggak mau terlalu membuka diri di depan mereka semua. Apalagi sejak fotoku bersama Mas Radit tersebar, aku cukup berhati-hati untuk berteman dengan siapapun. [Riana jualan daster sama jadi rentenir, Gaes. Ternyata selama ini kita tertipu! Dia dan keluarganya sudah bangkrut sejak lama, tapi selalu berlagak hedon. Kasihan Lana, selalu dijadikan bahan ejekan. Padahal Lana sekarang sukses loh. Rizal yang cerita kalau Lana nggak seperti yang diceritakan Riana] Pesan pertama yang membuatku membulatkan mata seketika. Entah siapa, aku tak menyimpan nomornya. Sempat aku intip foto profil di WhatsAppnya, tapi tetap tak bisa kutebak. Dia tak memamerkan foto asli melainkan hanya foto kucing yang mungkin dia ambil dari media sosial. Keterkejutanku bertambah saat meliha
POV : DIKTA Kedua kakiku diikat kuat sementara kedua tangan juga diikat ke belakang. Tak hanya itu saja bahkan mulutku dilakban hingga tak mampu berteriak keras. Mereka benar-benar keterlaluan. Rasa haus membuatku mencoba berteriak dan menyenggol kursi di sampingku hingga terjatuh.Dua lelaki membuka pintu. Lagi-lagi aku tak bisa menebak siapa mereka sebenarnya karena tertutup masker. Meskipun bisa, kemungkinan besar aku tak mengenalnya. Kuyakin jika mereka bukan pelaku utama. Apa mungkin Riana lagi pelakunya? Dia tak berhasil menjauhkanku dengan Lana karena foto-foto itu, lantas sekarang berusaha menculikku balik agar Lana mengira aku membencinya? Jika memang iya, Riana benar-benar kelewat batas. Dia memang pantas mendekam ke penjara atas semua yang dia lakukan. "Jangan ribut! Mau ngapain kamu?!" sentak salah seorang penjaga itu dengan suara garangnya. Aku mencoba mengucap minum meski suaranya tak terlalu ketara. "Dia minta minum, Bang." Laki-laki lain tahu apa yang kuinginkan.