DIKIRA MISKIN 48"Anak Ibu mengalami patah tulang di bagian kaki dan harus segera dilakukan tindakan operasi," kata Dokter."Lakukan saja apa yang terbaik, Dok. Yang penting anak saya bisa sembuh seperti sedia kala," kata Mbak Ranti."Baik, mohon segera urus administrasinya, ya, Bu," ujar lelaki berkaca mata itu."Kalau itu nggak usah khawatir, saya ini seorang pegawai negeri yang mempunyai kartu asuransi," kata Mas Wahyu."Kalau begitu segera urus persyaratannya, ya?" Dokter itu tersenyum."Apakah sekarang kami boleh masuk?" tanya Mas Wahyu."Silahkan, maaf, balita tidak diperkenankan masuk, ya?" katanya lagi saat melihatku ingin ikut masuk."Ibu juga nggak usah ikut masuk. Sana pulang saja! Lagian mau ngapain, sih ikut masuk segala?" ucap Mbak Ranti."Ran, Fia itu cucuku. Aku ini yang melahirkanmu, apa salahnya kalau aku ingin melihat kondisinya?" kata Ibu."Ibu memang orang yang telah melahirkanku karena aku bukannya muncul dari batu, tetapi untuk saat ini, ibu tidak usah ikut mas
DIKIRA MISKIN 37Pov Wiwid"Mbak, uangnya sudah ada, kan? Ini sudah hari Kamis, lho? Kamu sendiri yang bilang akan membayar utang hari ini?" tanya salah seorang tetangga pemilik warung sembako yang sering memberiku pinjaman berupa kebutuhan dapur. Sebenarnya aku malu setiap hari harus pinjam sana-sini hanya untuk memenuhi kebutuhan perut. Mau bagaimana lagi, namanya juga butuh. "Iya, Bu. Nanti sore ya? Suami saya belum pulang soalnya. Ibu nggak usah khawatir, pasti saya bayar karena hari ini suami saya tercinta gajian," jawabku nyengir. "Benar, ya. Aku nanti nggak usah datang ke sini lagi, kamu yang ngantar ke rumah," katanya lagi."Iya, iya. Lagian aku juga malu didatengin kaya gini cuma gara-gara utang yang nggak seberapa," ucapku dengan tangan bersedekap."Nggak seberapa kamu bilang? Nih lihat, catatannya sudah se-abreg gini masih saja kamu bilang nggak seberapa? Situ waras?" ucapnya dengan nada tinggi seraya menunjukkan catatan bon belanja yang yang panjangnya hampir satu meter
DIKIRA MISKIN 50"Mas, Mbak Ranti mau meminta uang yang kita pinjam waktu itu sekarang juga," ucapku pada Mas Ajun yang baru saja selesai mandi. Saat ini ia tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk.Mas Ajun tidak menanggapi ucapanku, hanya menoleh, kemudian memutar mata malas. Oh my God, apakah ia tidak mendengar padahal aku sudah berbicara cukup keras. "Mas," ucapku dengan nada kunaikkan menjadi dua oktaf."Hm," "Kamu ini sebenarnya dengar nggak, sih? Apa yang kukatakan?" Aku mengernyitkan dahi."Aku masih punya dua telinga yang masih berfungsi dengan normal, tentu saja aku mendengarnya," kata Mas Ajun seraya mengorek telinganya dengan ujung jari."Kalau kamu mendengar, kenapa tidak merespon? Kaget kek, atau apa gitu? Ini malah cuek," ucapku cemberut."Kaget? Buat apa aku kaget? Aku sudah menduga kakau kakakmu itu akan meminta kita untuk mengembalikan uang yang kita pinjam. Pasti untuk biaya rumah sakit anaknya itu, kan? Dia yang sok gengsi kok kita yang repot? Harusnya dia itu
DIKIRA MISKIN 51Aku dan Mas Ajun mencari surat yang katanya berharga itu. Tubuhku mulai berkeringat dan panas saat tidak berhasil menemukan juga sebuah kertas dengan judul sertifikat. Ya, surat itu pasti ada tulisan sertifikat, sedangkan warna sampulnya aku juga tidak ingat."Dek, seingatku, kita belum pernah pegang surat berharga itu," kata Mas Ajun setelah sekian lama tidak menemukan juga."Iya, ya Mas, bukankah waktu itu kita hanya dikasih tahu untuk menggarap sawah yang di sebelah utara dan Mbak Ranti yang sebelahnya, tapi ibu maupun bapak tidak menyerahkan sekalian sertifikatnya," kataku mengangguk."Ini aneh, kan? Seharusnya kalau mau ngasih rumah maupun sawah sekalian dengan sertifikatnya karena mereka itu satu paket dan tidak bisa dipisahkan. Kalau begini kita jadi repot, kan?" Mas Ajun menjatuhkan bobotnya di ranjang sambil sesekali menyeka keringat yang terus membanjiri pelipisnya "Apa mungkin masih ada di rumah Ibu ya? Coba kita cari di sana?" Aku berdiri dan menyeret Mas
DIKIRA MISKIN 40Kubaca sekali lagi tulisan yang ada di dalam kertas itu. Isinya tetap sama alias tidak berubah. Aku menghela napas perlahan dan mengembuskannya. Tidak ada pilihan lain, aku harus menanda tanganinya.Dengan tangan genetar tangan ini telah membubuhkan tanda tangan di atas namaku sendiri, pun dengan Mas Ajun. Tidak main-main, Yudi juga sudah melampirkan materai enam ribu di sana. Niat banget dia mengerjaiku. Yjdi tersenyum saat aku berhasil menanda tangani surat itu."Sah ya, Mbak. Jadi, jangan coba-coba untuk lari dari tanggung jawab. Ingat itu!" Yudi menunjukkan tanda tanganku di atas materai."Iya," jawabku menunduk dan tidak berani mengangkat wajahkau yang terasa berat ini."Yud, di sini kok tertulis empat puluh juta? Uang yang kamu kasih itu, kan cuma tiga puluh lima juta?" protes Mas Ajun. Aku tepuk jidat, gara-gara gugup, aku bahkan tidak menyadari kalau uang yang kuterima tidak sesuai dengan yang tertulis dalam perjanjian."Utang Mbak Wiwid sama Antika yang lima
DIKIRA MISKIN 53"Bagaimana, Mas. Saya pingin banget menggarap sawah biar ada kesibukan selain di kantor. Apalagi istri saya juga suka berkebun biar ada kegiatan," kata lelaki yang belakangan kutahu bernama Pian."Kalau hanya ingin berkebun untuk hobi mengisi waktu luang, kan bisa menanam di polybag toh, Mas. Apalagi halaman rumah ibu juga luas," jawab Mas Ajun."Iya, tetapi saya pinginnya bukan hanya sekedar hobi, namun untuk menambah penghasilan," "Silahkan diminum Mas, mumpung masih hangat," tawarku seraya menurunkan dua gelas teh dari nampan."Terima kasih, Mbak," ujarnya tersenyum seraya mengambil gelas dan lekas meminumnya."Kalau Mbak sendiri bagaimana? Boleh enggak kalau sawahnya saya sewa," tanyanya lagi."Em," ucapku serasa memainkan jari tangan. Aduh, kenapa aku malah jadi gugup? kaya seorang gadis yang dilamar pemuda saja."Saya mau menyewa dua juta setiap tahunnya. Bagaimana? Itu uang semua loh dan Mas Ajun tidak perlu memikirkan untuk mengembalikan pada saya seperti sis
DIKIRA MISKIN 42"Wiwid Anggraeni, aku talak engkau, mulai sekarang kita bukan suami istri lagi," ucap Mas Ajun dengan lantang dan tanpa beban.Lututku terasa lemas seakan tidak bertulang. Dada ini terasa sesak mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Mas Ajun. Ya, kata cerai adalah kata yang paling tidak diinginkan oleh pasangan suami istri manapun.Cerai memang tidak haram, tapi siapapun tidak akan pernah ada yang mau. Semua orang ingin menikah sekali seumur hidup, bahagia selamanya."Mas, kamu bercanda, kan?" tanyaku dengan tatapan menyelidik."Tidak, Wid. Sudah saatnya aku mengatakan yang sebenarnya kalau selama ini aku tidak bahagia hidup bersamamu," ucapnya seraya masuk kamar, aku mengikuti langkahnya dari belakang.Hati ini terasa sakit saat mendengar untuk pertama kalinya ia memanggil namaku tanpa embel-embel. Semenjak kami menikah tiga belas tahun yang lalu, ia selalu memanggilku 'Dek' karena itu adalah panggilan sayang, bahkan setelah kami punya anak dan anak itu sudah b
DIKIRA MISKIN 55"Dek, kamu mau, kan memaafkan aku? Aku mohon," ucap Mas Ajun dengn tetap menggenggam erat tanganku."Bu, Bapak kenapa?" tanya Rifki seraya menggoyangkan lenganku."Mas, seandainya kecelakaan ini tidak pernah terjadi, pasti kamu sudah meninggalkan kami berdua sejauh mungkin, kan? Itu artinya kamu memohon hanya saat kau butuh? Aku tidak mau," ucapku dengan sesekali mengusap air mata yang tidak mampu kutahan lagi."Aku hanya main-main, Dek. Dan tidak sungguh-sungguh ingin meninggalkan kamu dan anak kita. Aku hanya ingin memberi kamu pelajaran agar mau membantuku bekerja, tidak hanya ongkang-ongkang kaki saja. Siapa yang tidak stres coba? Tiap pulang kerja melihat istri hanya asyik berjoget ria di depan ponsel. Lihat Antika, dia mau membantu suaminya bekerja sehingga Yudi bisa sukses seperti sekarang," kata Mas Ajun."Loh, kok malah bawa-bawa Antika segala?" tanyaku dengan nada tinggi."Agar kamu bisa bercermin dari dia," kata Mas Ajun."Apa? Bercermin? Yang benar saja, m
DIKIRA MISKIN 87Kami hanya terdiam mendengar permintaan sang keponakan yang sudah beranjak remaja itu. Rifki masih saja menggoyangkan lengan Mas Yudi dan berharap agar ia mau menuruti permintaannya mengizinkan papanya ikut tinggal dengan kami.Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan yang cukup keras dari arah belakang. Kami menoleh serempak."Hebat, kamu, Mas?" kata Elvira dengan masih bertepuk tangan dan berjalan mengitari Mas Ajun."Pak Atmaja?" Mas Ajun pucat pasi saat melihat kedatangan mantan istri dan mertuanya serta Mas Fikar."Pintar sekali kamu mengarang cerita dan memutar balikkan fakta. Kamu layak untuk menjadi aktor yang pandai berakting dan bersandiwara di depan kamera, ck ck ck," ucap Elvira tersenyum sinis."Ada apa ini? Kenapa kalian datang ke sini beramai-ramai?" tanya Mbak Ranti."Kami mendengar kabar kalau Wiwid meninggal. Ya, meski aku benci dengannya, tapi bagaimanapun juga ia adalah calon dari bagian keluarga kami. Saat Mas Fikar menikah dengan Mbak Ranti, otoma
DIKIRA MISKIN 86Aku terpaku di samping jenazah Mbak Wiwid. Lidahku terasa kelu, tidak mampu berkata lagi.Masih teringat dengan jelas saat Mbak Wiwid bilang kalau saat kami datang menjenguknya, ia sudah tidak bernyawa. Sekarang ucapannya itu menjadi nyata. Apakah ini yang disebut dengan ucapan adalah do'a?Semoga Mbak Wiwid sudah bertaubat saat meninggal. Meski banyak harapan yang belum terwujud.Aku ngeri saat melihat wajah Mbak Wiwid yang sudah pucat karena memang nyawa sudah lepas dari raganya. Itu artinya darahnya sudah berhenti mengalir, jantung sudah tidak berdetak dan organ tubuh sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya."Wiwid. Kenapa kamu pergi secepat ini? Mbak sayang kamu, Wid," seru Mbak Ranti sambil memeluk Mbak Ranti yang matanya sudah tertutup rapat."Sabar, Mbak. Ikhlaskan kepergian Mbak Wiwid." Aku mengusap pundak Mbak Ranti dengan lembut.Kami kembali terdiam, larut dakam pikiran masing-masing. Bagaimana dengan ibu? Ibu pasti shock jika mengetahui kenyataan ini, p
DIKIRA MISKIN 85"Bagaimana, Yud? Apakah kamu berhasil menemui Ajun dan mengancamnya?" tanya Mbak Ranti. Mas Yudi baru saja pulang dari menjalankan misi yang diminta wanita yang akan segera menikah itu."Tidak," jawab Mas Yudi. Tanganya meraih gelas di hadapannya dan segera meminum habis minuman yang tersaji di meja."Maksudmu tidak, apa?" tanya Mbak Ranti dengan dahi mengernyit."Aku tidak berhasil menemui Ajun karena ternyata dia sudah pisah dengan Elvira," kata Mas Yudi."Apa?" "Tadi aku ke rumah Elvira. Awalnya dia marah-marah padaku, dia bilang aku tidak becus menjaga kakak sehingga Mbak Wiwid berbuat nekat. Pusing aku, Mbak Wiwid yang berbuat, aku harus ikut menanggung akibat." Mas Yudi mengusap pelipisnya. Aku segera duduk di sampingnya dan memberikan sentuhan hangat."Terus Ajun sekarang tinggal di mana?" tanya Mbak Ranti. "Mana aku tahu, Mbak. Intinya Mbak tidak perlu khawatir, jika menikah dengan Fikar, Ajun tidak akan ada di sana. Keluarganya tidak akan tahu kalau Mbak Ra
DIKIRA MISKIN 84"Pokoknya aku tidak mau punya kakak ipar dari keluarga Atmaja." Mbak Wiwid masih saja cemberut, sementara Mbak Ranti sudah pergi membawa rasa jengkel."Aku sudah merestui hubungan mereka. Orangtuanya juga sudah datang melamar dan kita tinggal menentukan tanggal untuk melangsungkan acara pernikahan," ucap Ibu."Aku akan menggagalkan pernikahan mereka. Bagaimanapun caranya." Tangan kurus Mbak Wiwid mengepal."Bagaimana caranya, Mbak, kan ada di sini? Sakit lagi," tanya Mas Yudi."Aku akan mati dan arwahku akan gentayangan, kemudian mengganggu Mbak Ranti dan Mas Fikar sehingga mereka tidak akan bisa hidup tenang dan pernikahan pun gagal. Aku yang sudah berada di alam lain akan tertawa saat melihat Mbak Ranti menangis karena gagal nikah dengan lelaki kaya." Mbak Wiwid tersenyum puas. Ia pasti sedang membayangkan kalau menjadi arwah penasaran itu menyenangkan. "Suatu pemikiran yang konyol. Memangnya ada arwah penasaran? Mbak Wiwid ini korban film horror kayaknya. Tidak ad
DIKIRA MISKIN 83Kami saling berpandangan saat Mbak Ranti bilang nama calon suaminya sama dengan yang dibilang Mbak Wiwid. Apa mungkin hanya namanya saja yang sama? Atau memang yang mereka maksud itu orang yang sama? Kenapa bisa kebetulan banget begitu?"Kamu kenal dengan lelaki yang bernama Zulfikar Atmaja?" Bukan hanya aku yang penasaran, Mas Yudi juga."Kalau Zulfikar Atmaja, aku kenal, tapi entah dia yang kumaksud atau orang lain. Mungkin hanya namanya yang sama, kan?" Mbak Wiwid tersenyum."Ya, mungkin hanya namanya yang kebetulan sama. Dia seorang manager di sebuah perusahaan bonafit. Dia sering datang ke resto-ku," jelas Mas Yudi. Pernyataannya menjawab rasa penasaranku."Oh." Mbak Siwid hanya ber 'oh' ria dan tidak bertanya lagi."Kamu yakin tidak mau kusewakan pengacara agar masa tahanan kamu bisa berkurang, Mbak?" tanya Mas Yudi mengalihkan pembicaraan."Iya, aku mau di sini sampai masa tahananku habis sambil memperbaiki diri. Lagi pula aku juga tidak mau utangku semakin me
DIKIRA MISKIN 82Rifki histeris melihat kondisi mamanya, pun dengan kami. Apalagi Ibu, ia bahkan sampai gemetar melihat anak yang selama ini ia manja dan ia rindukan sedang mengalami masa kritis.Ibu terus melantunkan istigfar. Tangannya mengusap lengan Mbak Wiwid."Ya Allah, sembuhkanlah anakku, berilah ia kesempatan untuk memperbaiki diri. Kami sudah memaafkan kesalahannya," ucap Ibu tulus.Mata Mbak Wiwid yang awalnya melotot dan seperti menahan sakit, tiba-tiba terpejam dan tubuhnya mendadak lemas setelah beberapa saat sebelumnya terlihat kaku."Kenapa dengan anak saya, Dok? Dia akan baik-baik saja, kan?" Ibu panik."Tenang, Bu. Pasien hanya pingsan," jawab Dokter Rudy."Dokter tidak bohong, kan? Anak saya tidak mati, kan?" tanya Ibu lagi seraya memeluk Mbak Wiwid yang mata kini sudah terpejam. Aku melihat ada seukir senyum di bibirnya.Mbak Wiwid masih hidup, terlihat dengan jelas dadanya masih naik turun. Saat tanganku mendekat di lubang hidung, masih ada embusan napas di sana.
DIKIRA MISKIN 81"Ada apa, Yud?" Ibu meletakkan sendok dan menatap Mas Yudi dengan nada khawatir."Enggak tahu, Bu. Kita hanya diminta untuk datang menjenguk Mbak Wiwid," jawab Mas Yudi."Ya Allah, apa yang terjadi dengan anakku itu?" "Maafkan aku, Bu. Seharusnya sudah sejak tadi kalian menjenguk Wiwid, tapi gara-gara acara ini, jadi tertiuda hingga harus di telepon lagi," ucap Mbak Ranti seraya menggigit bibir bawah."Ini bukan salah kamu, Nak. Berdo'a saja agar Wiwid tidak apa-apa." Ibu berusaha tersenyum meski aku yakin hatinya perih membayangkan hal buruk yang terjadi dengan anaknya yang ada di dalam penjara. Ya, semarah-marahnya seorang Ibu, ia tidak mungkin menginginkan hal buruk menimpa anaknya."Ibu sudah memaafkan Mbak Wiwid, kan? Ikhlaskan dia Bu, agar Allah mengampuni dosanya," ucapku seraya mengusap pundak Ibu."Innalillah, memangnya Wiwid is dead," ucap Mbak Ranti dengan nada tinggi, matanya melotot kemudian menutup mulutnya dengan kedua tangan."Siapa yang bilang?" tany
DIKIRA MISKIN 80Aku dan Mbak Ranti yang baru saja selesai memasak untuk persiapan nanti malam terkejut dengan kedatangan Mas Yudi dan teriakan ibu."Kita harus menjenguk Wiwid. Pantas saja beberapa hari ini perasaanku tidak enak. Tidur juga sering mimpi buruk. Apa ini ada hubungannya dengannya yang sakit parah itu?" kata ibu.Aku dan Mbak Ranti saling berpandangan. Kulihat aneka makanan yang sudah siap untuk acara istimewa nanti. Jika ibu dan Mas Yudi menjenguk Mbak Wiwid, bagaimana dengan acara ini?"Bu," ucap Mbak Ranti seraya mengusap tangan ibu."Kamu tidak usah khawatir, Ran. Ibu akan menjenguk Wiwid, tetapi tidak sekarang karena ini hari istimewa yang kamu tunggu dan tidak mungkin dibatalkan," ucap ibu tersenyum."Kalau Ibu mau jenguk Wiwid, aku juga tidak akan protes kok, Bu. Aku tahu, dari dulu Wiwid memang selalu yang diutamakan karena ia adalah anak emasnya Ibu dan Bapak," ucap Mbak Ranti menunduk.Ya, meski aku tidak bersama mereka dari kecil, tetapi aku tahu, Mbak Wiwid s
DIKIRA MISKIN 79Ibu berjalan keluar ruangan dan Wiwid berusaha mengejarnya, tetapi seorang petugas menahannya. Ibu sudah tidak menggubris Wiwid lagi. Mungkin ibu sudah terlanjur kecewa."Ibu, maafkan aku!" Mbak Wiwid meronta dalam cekalan tangan seorang petugas, tetapi ibu sudah tidak peduli lagi. Ibu malah semakin mempercepat langkahnya. Ia memilih masuk mobil dan menguncinya rapat-rapat.Aku dan Rifki menyusul ibu ke dalam mobil. Sementara Mas Yudi membuat laporan mengenai Mas Wahyu yang telah menganiaya Rifki. Semoga prosesnya cepat sehingga ia segera mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya."Tik," ucap ibu seraya memelukku erat, air matanya terus bercucuran. Bahunya terguncang."Alhamdulilah, laporan kita sudah dalam proses. Polisi akan segera mencari keberadaan Mas Wahyu. Setelah ini ia tidak akan hidup tenang lagi. Ke manapun ia pergi , polisi pasti akan menemukannya. Meski masuk ke lubang semut sekalipun," kata Mas Yudi."Ya, orang jahat memang harus mendapat bal